-->

13 Agustus 2012

" 5 KIAT BENAR MEMAHAMI ISLAM "



·.بسم الله الرحمن الرحيم



السلام عليكم ورحمة الله وبركاته



Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,




“5 Kiat Benar Memahami Islam”. Kelima kiat tersebut hendaknya menjadi landasan bagi kita sebagai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah agar mempunyai pemahaman yang benar terhadap Dienul Islaam ini, menjadi filter (penyaring) apalagi ditengah begitu maraknya kesesatan dan kebid’ahan yang begitu gencar dipromosikan oleh musuh-musuh Al Islaam di zaman sekarang. Dengan memiliki pemahaman yang benar, semoga semakin mengokohkan keyakinan dan memantapkan keimanan kita terhadap Allooh سبحانه وتعالى, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan Syari’at-Nya. Adapun kelima kiat tersebut adalah:




I. Pasrah terhadap “Nash” (Wahyu) yang berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah




Sumber ‘Ilmu itu ada dua, yakni:




Pertama, yang berasal dari Wahyu, yakni Al Qur’an dan As Sunnah.




Kedua, yang bukan berasal dari Wahyu, antara lain adalah berdasarkan:




- Rasa




- Akal (Aql)




- Ketetapan-ketetapan Manusia (seperti: perundang-undangan, ilmu-ilmu sosial, ilmu pengetahuan duniawi, dan sejenisnya)




Berbicara tentang Islam, maka yang disebut “Pasrah terhadap Nash”, berarti dia hanyalah memakai apa-apa yang berasal dari Wahyu; sedangkan bila berasal dari “Bukan Wahyu” maka hanyalah diterima apabila mendukung atau selaras dengan “Wahyu” itu sendiri. Tetapi apabila ‘Ilmu yang berasal dari “Bukan Wahyu” tersebut bersifat membangkang atau menyelisihi Nash, maka ditolak atau tidak bisa diterima.




Meskipun ‘Ilmu itu sendiri bisa bersifat Rasional (Masuk akal) ataupun Irrasional (Tidak Masuk Akal), tetapi tetap saja apabila kita berbicara dalam konteks tentang Dienul Islam, maka apabila ada perkataan ‘Ilmu, berarti yang dimaksud adalah ‘Ilmu yang berasal dari Wahyu, baik Rasional maupun Irrasional. Dimana ‘Ilmu tersebut hendaknya memenuhi 3 (tiga) landasan (sebagaimana telah kita bahas di kajian yang lalu) sebagai berikut:




a) Harus berdasarkan Daliil,




b) Daliil-nya harus Shohiih




c) Daliil tersebut difahami berdasarkan pemahaman yang benar, yakni: pemahaman para As-Salafush Shoolih (pemahaman dari tiga generasi manusia terbaik yang direkomendasikan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sendiri, yaitu: Shohabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in).




Perhatikanlah Firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS At Taubah (9) ayat 100:




وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ






Artinya:




“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allooh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allooh dan Allooh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”






Dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:




فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ




Artinya:




“Hendaklah kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para Khulafaa Ar Roosyidiin yang telah mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Dan hati-hatilah kalian dengan perkara-perkara yang baru (dalam urusan dien), karena sesungguhnya segala sesuatu yang baru (dalam urusan dien) adalah Bid’ah dan segala yang Bid’ah adalah sesat.” (Hadits Riwayat Imaam Abu Daawud no: 4609, dari Al ‘Irbaadh bin Saariyah رضي الله عنه, dishohiihkan oleh Syaikh Al Albaany)




Juga dalam Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory no: 2652 dan Imaam Muslim no: 6635, dari shohabat ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه, ia berkata bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:




عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ »






“Sebaik-baik manusia adalah (orang yang hidup) pada masaku ini (– yaitu generasi shohabat –), kemudian yang sesudahnya (– generasi Tabi’in –), kemudian yang sesudahnya (– generasi Tabi’ut Tabi’in –).”




Jadi barangsiapa yang pemahamannya sesuai dengan al Qur’an dan As Sunnah, maka dia lah pengikut Salaf, walaupun antara dirinya dengan mereka (para Shohabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in) berjauhan tempat dan masanya. Namun sebaliknya, barangsiapa menyelisihi mereka (para Shohabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in), maka bukanlah dari golongan mereka meskipun ia hidup se-zaman dengan mereka.




Berikut ini ada berbagai perkataan ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tentang ‘Imu Dien (Syar’i), yaitu:




1. Perkataan Imaam Ahmad bin Hambal رحمه الله, beliau berkata, “Ahlul Hadiits adalah orang yang paling utama dalam pembahasan perkara ‘Ilmu (Dien).”




Ini artinya, bahwa pemahaman dan pengertian tentang Al Islaam hendaknya berpedoman, bertitik tolak dan merujuk kepada mereka Ahlil Hadiits mengingat bahwa mereka adalah orang yang paling kental dengan Hadits-Hadits dan Peninggalan-Peninggalan yang diwariskan oleh Rosuul Muhammad صلى الله عليه وسلم.




2. Perkataan Imaam Al Laalika’i رحمه الله (seorang ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang hidup di abad 7 Hijriyah), dalam Kitabnya yang berjudul “Syarh Ushuul I’tiqood Ahlus Sunnah Wal Jama’ah” dimana beliau رحمه الله berkata, “Yang paling wajib bagi Ahlus sunnah wal jama’ah adalah memahami tentang Aqidah dan apa-apa yang Allooh سبحانه وتعالى tugaskan bagi manusia (Tauhiid), Sifat-sifat Allooh سبحانه وتعالى, membenarkan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم dengan melalui dalil-dalil dan keyakinan dan sesuatu yang menyampaikannya kepada jalan dan pedoman melalui Hujjah dan argumentasi. Termasuk pernyataan yang paling besar dan Hujjah yang paling jelas dan rasional, adalah Kitabullooh yang benar dan jelas, perkataan Rosuul صلى الله عليه وسلم dan para shohabatnya dan apa-apa yang disepakati oleh pendahulu yang shoolih dan berpegang teguh pada keseluruhannya dan kokoh diatasnya hingga hari kiamat, lalu menjauhi Bid’ah dan dari mendengarnya dari apa-apa yang diada-adakan oleh orang-orang yang menyesatkan.”




Jadi, pada intinya, hendaknya kita kaum muslimin berpegang teguh pada :




- Al Qur’an




- As Sunnah




- Ijma’ Shohabat




- Pemahaman As-Salafush Shoolih (Shohabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in)




Dan menjauhi Bid’ah.




Sedangkan, perkara Ijtihad, hanyalah diperbolehkan terhadap berbagai permasalahan yang berada diluar keputusan Al Qur’an dan Hadiits Shoohih, serta berada diluar perkara Aqiidah.




Karena ‘Ilmu itu ada yang membahas tentang perkara Aqiidah (Pokok), dan ada pula yang membahas perkara-perkara Furu’ (Cabang / Khilaafiyyah / Fiqih).




Untuk perkara Aqiidah maka bersifat tegas (hitam dan putih), tidak ada kompromi. Dan tidaklah diperbolehkan adanya Ijtihad dalam urusan Aqiidah. Sehingga kesalahan didalam memahami Aqiidah (bila tidak mengikuti pemahaman yang lurus dari para As-Salafush Shoolih), menyebabkan munculnya firqoh-firqoh / golongan-golongan yang mana ada 1 golongan yang selamat dan ada pula golongan/ firqoh-firqoh yang celaka.




Dari shohabat ‘Abdullooh bin ‘Amr رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:




تفرقت اليهود على إحدى وسبعين أو اثنتين وسبعين فرقة والنصارى مثل ذلك وتفترق أمتي ثلاث وسبعين فرقة




Artinya:




“Sesungguhnya Bani Isroil terpecah menjadi 72 golongan, dan akan terpecah ummatku menjadi 73 golongan, semuanya didalam Neraka kecuali satu golongan.” Lalu para Shohabat bertanya: “Wahai Rosuulullooh, siapa dia?” Beliau menjawab, “Yaitu mereka yang berada pada apa yang telah ditempuh olehku dan oleh Shohabatku.” (Hadits Riwayat Imaam At Turmudzy no: 2640, dari Abu Hurairoh رضي الله عنه dan dihasankan oleh Syaikh Al Albaany)




Sedangkan untuk perkara-perkara Furu’ (Cabang / Khilaafiyyah / Fiqih) diperbolehkan adanya Ijtihad, sehingga menyebabkan adanya berbagai-bagai madzab seperti madzab Syaafi’iy, madzab Hambali, madzab Maliki, dan madzab Hanafi, dll. Tetapi meskipun madzabnya berbeda, mereka semuanya tetap adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dengan Aqiidah yang satu. Dan bagi kita, berkewajiban untuk mengikuti siapa saja yang berpegang pada dalil yang lebih shohiih atau pendapat yang lebih kuat, dan tidak ada dasar bagi kita untuk taqlid pada satu madzab tertentu dan mengabaikan apalagi menyatakan sesat diluar madzab yang diyakininya.




Jadi, yang dimaksud Ahlussunnah wal Jama’ah adalah menurut hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, dimana beliau صلى الله عليه وسلم bersabda:




ما أنا عليه اليوم وأصحابي




“Mereka adalah orang yang berada diatas jalan seperti aku dan para shohabatku.” (Hadits Riwayat Imaam Dhiyaa al Maqdisy dari Anas bin Maalik رضي الله عنه)




Berarti, Islam yang kita jalankan hari ini, haruslah seperti apa yang dijalankan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan shohabatnya pada masa itu. Karena seperti perkataan Imam Maalik رحمه الله: “Apa saja yang tidak pernah menjadi dien pada masa itu, maka tidak akan pernah menjadi dien pada suatu masa.”




3. Perkataan Imaam Sahl bin ‘Abdillaah at Tustuury رحمه الله, yakni seorang Imaam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang hidup di abad ke-3 Hijriyah, beliau رحمه الله berkata: “Berpegang teguhlah kalian dengan Atsar (peninggalan, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah), sebab sesungguhnya aku takut akan datang suatu zaman dimana jika Nabi (Muhammad) صلى الله عليه وسلم disebut oleh seseorang agar ber-ittiba’ untuk mengikutinya dalam seluruh perkaranya, maka orang-orang pun akan mengatakan “Celalah orang itu”, bahkan mereka menyuruh agar manusia menjauh daripadanya, berlepas diri dari orang tersebut, menghinanya, merendahkan dan menyepelekannya.”




4. Berikut ini adalah suatu contoh betapa para shohabat di zaman dahulu sangat berpegang teguh pada Sunnah, sehingga bila telah datang suatu Nash, maka mereka tidak berbantah-bantahan tentangnya, tidak mendebatnya, tidak bertanya-tanya ‘.. kenapa begini, kenapa begitu..’ sebagaimana yang dilakukan kebanyakan kaum muslimin di zaman sekarang ini. Perhatikanlah Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 789 berikut ini :




عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ




Dari Mu’aadah yang bertanya kepada ‘Aa’isyah رضي الله عنها, istri Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.




Beliau bertanya, “Kenapa wanita yang haid itu disuruh meng-qodho shoum dan tidak disuruh meng-qodho sholat?”




‘Aa’isyah رضي الله عنها, pun bertanya, “Apakah kamu Khawarij?”




Jawab Mu’aadah, “Bukan, aku bukanlah orang Khawarij, tetapi aku hanyalah semata-mata bertanya.”




Jawab ‘Aa’isyah رضي الله عنها, “Haid itu kami alami, lalu kami diperintah untuk meng-qodho shoum dan tidak meng-qodho sholat.”




Perhatikanlah jawaban ‘Aa’isyah رضي الله عنها, betapa beliau رضي الله عنها menjelaskan bahwa demikian itulah perintah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, jadi tidak perlu dibahas lebih lanjut. Subhaanallooh, demikianlah keimanan para shohabat dikala itu, mereka benar-benar sami’naa wa atho’naa (kami dengar dan kami taat), sebagaimana difirmankan oleh Allooh سبحانه وتعالى dalam QS Al Baqoroh (2) ayat 285:




آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ






Artinya:




“Rosuul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allooh, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rosuul-rosuul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rosuul-rosuul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami ta`at”. (Mereka berdo`a): “Ampunilah kami ya Robb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali”.




Jadi, tidak sebagaimana kebanyakan orang, bahkan diantara kaum muslimin, di zaman sekarang yang membahas Islaam itu dengan menggunakan akal, ataupun perasaan mereka lalu berbantah-bantahan tentangnya. Sebab, kalaulah akal dibiarkan untuk menyelami Nash (Wahyu), maka akan menjadi rusak.




Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS Al Baqoroh (2) ayat 145:






وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَّا تَبِعُواْ قِبْلَتَكَ وَمَا أَنتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَمَا بَعْضُهُم بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم مِّن بَعْدِ مَا جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذَاً لَّمِنَ الظَّالِمِينَ




Artinya:




“Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang dzolim.”




Lalu dalam QS Aali ‘Imroon (3) ayat 61:




فَمَنْ حَآجَّكَ فِيهِ مِن بَعْدِ مَا جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْاْ نَدْعُ أَبْنَاءنَا وَأَبْنَاءكُمْ وَنِسَاءنَا وَنِسَاءكُمْ وَأَنفُسَنَا وأَنفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَةَ اللّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ






Artinya:




“Siapa yang membantahmu tentang kisah `Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allooh dan kita minta supaya la`nat Allooh ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”




Juga dalam QS Al Mulk (67) ayat 10 :




وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ






Artinya:




“ Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”.




Dan QS Al Baqoroh (2) ayat 269 :




يُؤتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْراً كَثِيراً وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الأَلْبَابِ




Artinya:




“Allooh menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allooh).”




Dan QS Al Mu’minuun (23) ayat 71 :




وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ






Artinya:




“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.”




Kalaulah Islaam itu harus tunduk pada hawa nafsu atau kemauan manusia maka rusaklah langit dan bumi, sebagaimana kerusakan yang kita saksikan di zaman sekarang, karena manusia menggunakan undang-undang yang tidak berasal dari hukum Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Maka saksikanlah, betapa musibah dan bencana terjadi di berbagai belahan pelosok dunia.




Padahal, didalam memahami ‘ilmu dien, hendaknya kita sebagai kaum muslimin harus pasrah terhadap Nash; suka ataupun tidak suka, sesuai perasaan ataupun tidak sesuai perasaan, diminati ataupun tidak diminati, beresiko ataupun tidak beresiko, rasional ataupun irrasional. Hendaknya kita beriman, sebagaimana orang-orang shoolih terdahulu beriman, yakni sami’naa wa atho’naa (kami dengar dan kami taat) bila telah datang suatu Nash (baik Al Qur’an ataupun Hadiits yang Shohiih).




II. Memahami Islaam, haruslah dengan Guru (yakni: ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah), dan tidak boleh memahami Islam dengan tanpa Guru yang demikian.




Kalaulah Islaam tidak diambil dari para ‘Ulama, maka dapat terjadi kesalahan dalam memahami dien ini.




Dalilnya adalah, firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS An Nahl (16) ayat 43:




وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ




Artinya:




“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”




“Ahludz Dzikri” yang dimaksud dalam ayat diatas adalah ‘Ulama pewaris Nabi, yakni para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang lurus didalam memahami dien ini, yang insya Allooh apabila kita mengambil ‘ilmu dari mereka akan benar.




Dari ‘Abdullooh bin ‘Amr bin Al Ash رضي الله عنه, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,




عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو مَارٌّ بِنَا إِلَى الْحَجِّ فَالْقَهُ فَسَائِلْهُ فَإِنَّهُ قَدْ حَمَلَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عِلْمًا كَثِيرًا – قَالَ – فَلَقِيتُهُ فَسَاءَلْتُهُ عَنْ أَشْيَاءَ يَذْكُرُهَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ عُرْوَةُ فَكَانَ فِيمَا ذَكَرَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْتَزِعُ الْعِلْمَ مِنَ النَّاسِ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعُلَمَاءَ فَيَرْفَعُ الْعِلْمَ مَعَهُمْ وَيُبْقِى فِى النَّاسِ رُءُوسًا جُهَّالاً يُفْتُونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَيَضِلُّونَ وَيُضِلُّونَ




Artinya:




“Sesungguhnya Allooh tidak akan mencabut ‘ilmu begitu saja dari manusia, tetapi Allooh mencabut ‘ilmu itu melalui dimatikannya para ‘Ulama, sehingga jika tidak tersisa satu ‘alim pun, maka orang akan menjadikan orang-orang yang bodoh sebagai pemimpin mereka. Jika mereka ditanya, maka mereka akan berfatwa tanpa ‘ilmu, sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan orang lain.” (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 6974)




Berkata Imaam Ash Shofady رحمه الله, “Para ‘Ulama mengatakan bahwa, ‘Janganlah kamu mengambil ‘ilmu dari wartawan dan jangan pula engkau mengambilnya dari orang yang tekstual. Dan ‘Ulama lain mengatakan bahwa, ‘Barangsiapa yang memasuki ‘ilmu sendirian, maka dia akan keluar sendirian.”




Lalu ada pula perkataan Imaam Asy Syaafi’iy رحمه الله, dalam bentuk syi’ir sebagai berikut:




“Wahai saudaraku,’ilmu itu tidak akan didapat kecuali dengan 6 (enam) perkara. Akan kuberitahukan kepadamu penjelasannya sejelas-jelasnya, yakni:




1. Cerdas




2. Bersemangat tinggi dalam menuntut ‘ilmu




3. Sungguh-sungguh




4. Safar




5. ber-Guru




6. Waktu yang panjang”




Demikianlah pesan dari para Imaam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang shoolih. Betapa berbedanya dengan orang-orang Sufi yang menyatakan bahwa ‘ilmu itu bisa didapat dengan melalui mimpi dan sejenisnya, sehingga kemudian muncullah aliran-aliran sesat sebagaimana Daarul Arqom yang berasal dari Malaysia.




Padahal sangatlah jelas bahwa Imaam Asy Syaafi’iy رحمه الله sekalipun, menyatakan bahwa dibutuhkan waktu yang panjang dan kegigihan didalam menuntut ‘ilmu dien; jadi tidak mungkin ‘ilmu dien itu diperoleh dalam sekejap (melalui mimpi, dll) seperti keyakinan yang keliru dari orang-orang Sufi.




Di sisi lain, ada pula sebahagian orang di zaman sekarang yang bisa jadi dia mengajarkan Kitab ini dan Kitab itu, menjelaskan dan menjabarkan Kitab ini dan Kitab itu; padahal dia sendiri tidak pernah mempelajari Kitab-Kitab tersebut melalui bimbingan Syaikh / Guru yang jelas ke-‘ilmuannya sebelumnya. Contoh: seseorang mengajarkan Kitab Riyaadhus Shoolihin, namun sebelumnya dia sendiri pun tidak pernah ber-Guru untuk mempelajari Kitab Riyaadhus Shoolihin tersebut. Lalu ada pula orang yang mengajarkan Kitab Shohiih Al Bukhoory, namun sebelumnya dia tidak pernah ber-Guru untuk mempelajari Kitab Shohiih Al Bukhoory tersebut, dan seterusnya. Padahal, yang demikian itu adalah bukti autodidak (dimana seseorang belajar Kitab-Kitab sendiri tanpa melalui bimbingan Guru, dan ini adalah bertolak belakang dengan apa yang disampaikan oleh Imaam Asy Syafi’iy رحمه الله yang telah dibahas diatas).




Sesungguhnya yang terpenting dari proses mempelajari suatu ‘ilmu dien dari seorang Guru yang jelas ke-‘ilmuannya adalah penyerapan kepribadian dan akhlaq luhur yang merekat pada diri Guru tersebut sehingga diharapkan terjadi pewarisan nilai-nilai ke-‘ilmuan dan ketaqwaan yang terpancar dari kepribadian Guru / Syaikh tersebut. Dan ini adalah lebih penting dari sekedar mengerti dan memahami ‘ilmu secara teoritis dari Kitab-Kitab yang dipelajarinya, karena ‘ilmu itu bukanlah sekedar data memory yang di-entry (dimasukkan) ke dalam akal atau otak seseorang, tetapi diluar itu semua ada pancaran keluhuran jiwa, ke-shoolihan dan ketaqwaan yang hanya bisa diserap oleh seorang murid yang belajar langsung dari seorang Guru / Syaikh yang lurus ke-‘ilmuannya. Itulah sebabnya mengapa belajar ‘ilmu dien secara autodidak adalah tidak dibenarkan.




Perhatikanlah betapa di dalam riwayat hidup Imaam Al Bukhoory رحمه الله, Guru beliau mencapai 1000 orang. Demikianlah ‘Ulama-‘Ulama Shoolih terdahulu mencontohkannya kepada kita. Namun sayangnya di zaman sekarang, ada pula fenomena dimana seseorang yang mengajarkan Kitab kepada murid-muridnya, merasa marah ketika murid-muridnya belajar dari orang yang lain selain dirinya. Seakan-akan dia hendak mengikat murid-muridnya kepada dirinya sendiri. Hal ini adalah karena kurangnya keikhlasan dan kelurusannya terhadap ‘ilmu dien itu sendiri.




III. Sistematis




Tidak boleh menuntut ‘ilmu dien dengan berdasarkan mood. Kalau lagi mood, maka ia menuntut ‘ilmu, dikala sedang bosan atau jenuh maka ia pun meninggalkannya. Atau suatu Kitab dibacanya baru 1/3 bagian, lalu jenuh dan berganti dengan Kitab yang lain; lalu ia pun jenuh lagi dan berpindah kepada Kitab yang lain lagi. Yang seperti ini tidak boleh. Hendaknya seorang Tholabul ‘Ilmi itu menuntut ‘ilmu dien dengan cara yang sistematis. Satu Kitab diselesaikan dan dipahami dengan sepenuhnya, barulah beralih kepada yang lain. Bahkan ‘Ulama Ibnu Hajar Al Asqolaany رحمه الله membaca dan mendalami shohiih Al Bukhoory sampai dengan 16 kali di-khatam-kan kepada gurunya.




Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Isroo’ (17) ayat 106 :




وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلاً






Artinya:




“Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.”




Juga dalam QS Al Furqoon (25) ayat 32 :




وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلاً




Artinya:




“Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?“; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).”




Dan QS Al Baqoroh (2) ayat 121 :




الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ أُوْلَـئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمن يَكْفُرْ بِهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ






Artinya:




“Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”




Jadi, hikmah dari mempelajari ‘ilmu dien secara bertahap dan sistematis tersebut, adalah untuk memberi kekokohan di dalam keyakinan kita (sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Al Furqon ayat 32 diatas).




Imaam Ahmad bin Hambal رحمه الله bahkan memiliki kemampuan menghafal hadiits hingga 2 juta hadiits, dan 200.000 hadiits diantaranya dihafalnya dengan amat sangat lancar.




Oleh karena itu, bila kita mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengikuti manhaj Salaf, hendaknya kita mulai membiasakan diri untuk belajar menghafal Hadiits. Paling tidak upayakan untuk menghafal sekitar 50 sampai 100 hadiits.




Syaikh Bakr Abu Zaid رحمه الله berkata, “Kaidah didalam Islaam, adalah barangsiapa yang tidak mantap pada pokok-pokok (dasar-dasar) ‘ilmu, maka dia tidak akan sampai pada ‘ilmu yang berikutnya.”




Oleh karena itu, untuk mempelajari ‘ilmu dien ada 6 perkara yang perlu diperhatikan, yakni:




1. Menghafal ringkasan ‘ilmu




2. Membacakan isi ringkasan ‘ilmu tersebut kepada Guru / Syaikh yang menguasai ‘ilmunya (setor hafalan)




3. Tidak menyibukkan diri pada penjelasan-penjelasan panjang




4. Tidak boleh berpindah-pindah pelajaran, jika tidak diperlukan




5. Mencatat / Mengkoleksi poin-poin / rumus-rumus / kaidah-kaidah penting




6. Bersemangat untuk menambah / meningkatkan ‘ilmu.




IV. Tidak boleh belajar pada Ahlul Bid’ah




Imaam Maalik رحمه الله, yakni guru dari Imaam Asy Syaafi’iy رحمه الله, beliau berkata, “’Ilmu (dien) itu tidak boleh diambil dari 4 (empat) jenis orang, yakni:




1. Orang bodoh walaupun banyak meriwayatkan Hadiits




2. Ahlul Bid’ah yang menyeru pada ke-Bid’ahannya




3. Orang yang berdusta dalam pembicaraan dengan manusia, betapapun aku tidak menuduhnya berdusta atas nama Rosuul,




4. Orang yang shoolih, ahlil ibaadah, mempunyai keutamaan; tetapi tidak hafal apa yang diriwayatkannya.”




Lalu Imaam Muhammad bin Siiriin رحمه الله, beliau berkata, “Sesungguhnya ‘ilmu itu adalah dien, maka dari itu perhatikanlah / lihatlah dari siapa engkau mengambil dien tersebut.”




Dan Imaam Asy Syaafi’iy رحمه الله berkata, “Yang berhaq berbicara dalam dien ini, hanyalah orang yang terpercaya dalam dien ini.”




Jadi seseorang hendaknya mengambil ‘ilmu itu dari orang yang kokoh ke-Ahlus Sunnah-annya, sebagaimana Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,




إن من أشراط الساعة أن يلتمس العلم عن الأصاغر




“Diantara ciri hari Kiamat, adalah ‘ilmu diambil dari Ahlul Bid’ah.” (Hadits Riwayat Imaam At Thobrony رحمه الله, dan dishohiihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany)




V. Taqwa




Agar kita benar dalam ber’ilmu, maka haruslah bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى, sebagaimana firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 282 :






…وَاتَّقُواْ اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّهُ وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ






Artinya:




“… Dan bertakwalah kepada Allooh, Allooh memberikan pengajaran kepadamu; dan Allooh Maha Mengetahui segala sesuatu.”




‘Ilmu dien itu adalah merupakan taufiq dari Allooh سبحانه وتعالى, maka hendaknya untuk meraihnya haruslah dengan ketaqwaan.




Imaam Asy Syaafi’iy رحمه الله berkata, “Aku mengeluh kepada guruku bernama Wakii’ tentang jeleknya hafalanku, maka beliau membimbingku agar aku meninggalkan ma’shiyat. Kata Wakii’, ‘Sesungguhnya ‘ilmu Allooh itu adalah cahaya dan cahaya Allooh tidak akan Allooh berikan kepada orang yang berma’shiyat.”




‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه, seorang shohabat berkata, “Menurutku, seseorang lupa akan ‘ilmu itu adalah dikarenakan oleh kesalahan yang dikerjakannya.”




Imaam Al Qurtubiy رحمه الله berkata, “Adalah merupakan janji Allooh pada orang yang bertaqwa kepadanya untuk diberi ‘ilmu-Nya. Artinya, Allooh jadikan dalam hatinya terdapat cahaya, dapat memahami apa yang sampai padanya, bahkan Allooh berikan kemampuan untuk membedakan antara yang haq dan yang baathil.”




Imaam Yahya bin Yahya رحمه الله (murid dari Imaam Maalik رحمه الله) berkata, “Seseorang bertanya pada Imaam Maalik, ‘Wahai Abu Abdillaah, apakah dapat menghafalkan sesuatu?”




Jawab Imaam Maalik رحمه الله, “Jika ingin menghafal, maka tinggalkanlah ma’shiyat.”




Demikianlah, pintu-pintu kebenaran akan sampai dan mudah bagi kita bila bisa menerapkan kelima perkara tersebut diatas. Sekian dulu bahasan pada kesempatan kali ini, mudah-mudahan Allooh سبحانه وتعالى selalu melimpahkan taufiq dan hidayah kepada kita semua untuk istiqomah sampai akhir hayat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :




سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ




والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته










Http://
ustadzrofii.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.