Oleh: Tri Madiyono
Pendahuluan
Banyak pertanyaan dari masyarakat seputar ajaran Kejawen. Pertanyaan
tersebut tidak semata disampaikan oleh orang yang awam terhadap Islam,
akan tetapi juga oleh para da'i, takmir masjid, dan tokoh masyarakat.
Dari 'nada' pertanyaan mereka, penulis menangkap bahwa masyarakat masih
menganggap Kejawen merupakan bagian dari Islam, sehingga mereka sering
menyebut dengan nama Islam Kejawen. Untuk itulah kami menurunkan tulisan
ini, yang insya Allah akan membantu menjawab kerancuan (syubhat)
tersebut.
Dalam bagian pertama ini akan dibahas tentang aliran Sapto Darmo, yang merupakan salah satu aliran besar kejawen.
A. Pengertian Kejawen (Kebatinan)
--------------------------
Rahnip M., B.A. dalam bukunya “Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam
Sorotan” menjelaskan; “Kebatinan adalah hasil pikir dan angan-angan
manusia yang menimbulkan suatu aliran kepercayaan dalam dada penganutnya
dengan membawakan ritus tertentu, bertujuan untuk mengetahui hal-hal
yang ghaib, bahkan untuk mencapai persekutuan dengan sesuatu yang mereka
anggap Tuhan secara perenungan batin, sehingga dengan demikian –menurut
anggapan mereka- dapat mencapai budi luhur untuk kesempurnaan hidup
kini dan akan datang sesuai dengan konsepsi sendiri.”1
Dari
pengertian diatas didapat beberapa istilah kunci dari ajaran kebatinan
yaitu: (i) Merupakan hasil pikir dan angan-angan manusia, (ii) Memiliki
cara beribadat (ritual) tertentu, (iii) Yang dituju adalah pengetahuan
ghaib dan terkadang juga malah bertujuan menyatukan diri dengan Tuhan,
(iv) Hasil akhir adalah kesempurnaan hidup dengan konsepsi sendiri.
B. Sejarah Berdirinya
-------------------------
Secara umum kejawen (kebatinan) banyak bersumber dari ajaran nenek
moyang bangsa Jawa yaitu animisme dan dinamisme,2 yang diwariskan secara
turun temurun sehingga tidak dapat diketahui asal-muasalnya.
Sapto Darmo —salah satu aliran besar kejawen— pertama kali dicetuskan
oleh Hardjosapuro dan selanjutnya dia ajarkan hingga meninggalnya, 16
Desember 1964. Nama Sapto Darmo diambil dari bahasa Jawa; sapto artinya
tujuh dan darmo artinya kewajiban suci. Jadi, sapto darmo artinya tujuh
kewajiban suci. Sekarang aliran ini banyak berkembang di Yogya dan Jawa
Tengah, bahkan sampai ke luar Jawa. Aliran ini mempunyai pasukan dakwah
yang dinamakan Korps Penyebar Sapto Darmo, yang dalam dakwahnya sering
dipimpin oleh ketuanya sendiri (Sri Pawenang) yang bergelar Juru Bicara
Tuntunan Agung.
C. Ajaran pokok Sapto Darmo3 dan Bantahannya
--------------------------
1. Tujuh Kewajiban Suci (Sapto Darmo)
--------------------------
Penganut Sapto Darmo meyakini bahwa manusia hanya memiliki 7 kewajiban atau disebut juga 7 Wewarah Suci, yaitu:
* Setia dan tawakkal kepada Pancasila Allah (Maha Agung, Maha Rahim, Maha Adil, Maha Kuasa, dan Maha Kekal).
* Jujur dan suci hati menjalankan undang-undang negara.
* Turut menyingsingkan lengan baju menegakkan nusa dan bangsa.
* Menolong siapa saja tanpa pamrih, melainkan atas dasar cinta kasih.
* Berani hidup atas kepercayaan penuh pada kekuatan diri-sendiri.
* Hidup dalam bermasyarakat dengan susila dan disertai halusnya budi pekerti.
* Yakin bahwa dunia ini tidak abadi, melainkan berubah-ubah (angkoro manggilingan).
Bantahannya:
Dalam sudut pandang aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah, ajaran Sapto Darmo
hanya berisi keimanan kepada Allah sebatas beriman terhadap Rububiyah
Allah; itupun dengan pemahaman yang salah. Rububiyah Allah hanya
difahami sebatas lima sifat (Pancasila Allah) yaitu Maha Agung, Maha
Rahim, Maha Adil, Maha Kuasa, dan Maha Kekal. Padahal sifat rububiyah
Allah itu banyak sekali (tidak terbatas dengan bilangan).
Keimanan secara benar terhadap Rububiyah Allah saja belum menjamin
kebenaran Iman atau Islam seseorang, apalagi yang hanya beriman kepada
sebagian kecil dari sifat rububiyah Allah seperti ajaran Sapto Darmo
ini. (Baca: Rubrik Tauhid oleh Ustadz Abu Nida', halaman 2).
Inti ajaran Sapto Darmo hanya mengajarkan iman kepada Allah saja. Hal
itu menunjukkan batilnya ajaran Sapto Darmo dalam pandangan Islam.
Aqidah Islam memerintahkan untuk mengimani enam perkara yang dikenal
dengan rukun iman, yaitu beriman kepada Allah, Malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan Takdir yang baik maupun
buruk. al-Allamah Ali bin Ali bin Muhammad bin Abil 'Izzi4 dalam
menjelaskan rukun iman mengatakan; “Perkara-perkara tersebut adalah
termasuk rukun iman.” Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Artinya; “Rasul telah beriman kepada al-Qur'an yang diturunkan kepadanya
dari Tuhannya; demikian pula orang-orang yang beriman; mereka semuanya
beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan
Rasul-rasul-Nya…” (QS. al-Baqarah [2] : 285)
Juga firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:
Artinya; “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu
suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi.”
(QS. al-Baqarah [2] : 177)
Maka, keimanan yang dikehendaki
oleh Allah adalah iman kepada semua perkara tersebut. Dan orang yang
beriman kepada perkara-perkara tersebut dinamakan mukmin; surgalah
balasan baginya. Sedangkan yang mengingkari perkara-perkara tersebut
dinamakan kafir dan neraka jahannamlah tempat kembali yang pantas
untuknya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Artinya;
“Barangsiapa tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya maka Kami sediakan
untuk orang-orang yang kafir neraka yang menyala-nyala.” (QS. al-Fath
[48] :13)
Dan dalam sebuah hadits yang keshahihannya tidak
diperselisihkan lagi, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab
pertanyaan yang disampaikan oleh Malaikat Jibril 'alaihis-salam kepada
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang arti iman. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
Artinya; “Bahwa
keimanan itu adalah engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan Takdir yang baik maupun
buruk.”5
Inilah prinsip dasar yang telah disepakati oleh para Nabi dan Rasul.
Seseorang tidak dikatakan beriman kecuali dengan mengimani para Rasul dan rukun iman yang lainnya.
2. Panca Sifat Manusia
--------------------------
Menurut Sapto Darmo, manusia harus memiliki 5 (lima) sifat dasar yaitu:
* Berbudi luhur terhadap sesama umat lain.
* Belas kasih (welas asih) terhadap sesama umat yang lain.
* Berperasaan dan bertindak adil.
* Sadar bahwa manusia dalam kekuasaan (purba wasesa) Allah.
* Sadar bahwa hanya rohani manusia yang berasal dari Nur Yang Maha Kuasa yang bersifat abadi.
Bantahannya:
Salah satu dari ajaran Sapto Darmo dalam Panca Sifat Manusia –yang
perlu dikritisi- adalah bahwa hanya ruhani manusia yang berasal dari
sinar cahaya Yang Maha Kuasa yang bersifat abadi.
Dalam
pandangan Islam keyakinan seperti ini sangat bathil. Sebab semua yang
ada di alam semesta ini selain Allah adalah makhluk; dan semua makhluk
adalah tidak kekal, termasuk juga manusia, baik ruhnya maupun jasadnya.
Manusia adalah makhluk; yang diciptakan oleh Allah dari tanah.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Surat ash-Shaffat:
Artinya: “…Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.” (QS. ash-Shaffat [37] :11)
Dalam ayat lain disebutkan bahwa manusia diciptakan dari at-thin
(tanah), sebagaimana dikatakan oleh Iblis laknatullahu 'alaihi ketika
menolak bersujud kepada Adam 'alaihis-salam, ia berdalih:
Artinya; “Engkau ciptakan aku dari api, sedang Engkau ciptakan dia (Adam) dari tanah.” (QS. al-A'raf [7]: 12)
Karena manusia itu makhluk, maka baik ruh maupun jasadnya tidak ada yang abadi.
Keyakinan Sapto Darmo tentang keabadian ruh manusia muncul dari
anggapan mereka bahwa pada diri manusia terdapat 'persatuan dua unsur'
yaitu unsur jasmani -dari tanah- dan unsur ruhani -yang mereka dakwakan
sebagai- cahaya Allah yang abadi. Dalam terminologi kebatinan hal itu
disebut dengan ajaran Panteisme, yakni bersatunya unsur Tuhan (Laahut)
dan unsur manusia (Naasut).
Terhadap pandangan yang menyatakan
bahwa ruh itu abadi, al-Allamah Ali bin Ali bin Muhammad bin Abil 'Izzi
menjelaskan; “Dikatakan bahwa ruh itu azali (qadim). Padahal para Rasul
telah bersepakat bahwa ruh itu baru, makhluk, diciptakan, dipelihara,
dan diurus. Ini adalah perkara yang telah diketahui secara pasti dalam
agama bahwa alam itu baru (muhdats). Para sahabat dan tabi'in juga
memahami yang seperti ini kecuali setelah muncul pemikiran yang
bersumber dari orang yang dangkal pemahamannya terhadap al-Qur'an dan
As-Sunnah lalu menyangka bahwa ruh itu qadim. Dia berhujjah bahwa ruh
itu termasuk urusan Allah (min amrillah) sedangkan amrullah bukan
makhluk karena di-idhafah-kan kepada Allah seperti 'ilmu, qudrah, sama',
bashar', dan tangan. Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah telah sepakat bahwa ruh
itu makhluk. Diantara ulama yang menyebutkan tentang ijma' tersebut
adalah Muhammad bin Nashr al-Muruziy, Ibnu Qutaibah, dan lainnya. Adapun
dalil bahwa ruh itu makhluk adalah firman Allah Ta'ala:
Artinya; 'Allah-lah Pencipta segala sesuatu.' (Q.S. Az Zumar: 62)”
Dalam alenia berikutnya Beliau melanjutkan keterangannya; “Allah Ta'ala
adalah Al-Ilah yang memiliki sifat kesempurnaan. Maka ilmu-Nya,
Kekuasaan-Nya, hidup-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, dan semua
sifat-sifat-Nya termasuk dalam sebutan nama-Nya. Maka Dia, Allah
Subhanahu, Dzat maupun Sifat-Nya adalah Pencipta (Al-Khaliq) dan selain
Dia adalah makhluk. Dan telah difahami secara qath'iy bahwa ruh itu
bukan Allah dan bukan pula salah satu dari sifat Allah melainkan salah
satu dari ciptaan-Nya.” Adapun terkait dengan penisbatan (idhafah) ruh
kepada Allah maka Beliau menjelaskan; “Perlu diketahui bahwa penisbatan
kepada Allah ada dua macam;
Pertama: Penisbatan sifat yang
menyatu dengan dzat Allah seperti ilmu, qudrah, kalam, sama', dan
bashar. Maka penisbatan ini adalah penisbatan sifat kepada yang disifati
(idhafatu shifah ila maushuf). Oleh karena itu ilmu, kalam, sama', dan
bashar adalah sifat Allah. Demikian juga wajah dan tangan Allah.
Kedua: Penisbatan dzat yang terpisah (munfashilah) dari Allah seperti
rumah, hamba, Rasul, dan ruh. Maka penisbatan rumah, hamba, rasul, dan
ruh kepada Allah adalah penisbatan makhluk kepada Pencipta-Nya.”
3. Konsep Kitab Suci
-------------------------
Kitab suci penganut Sapto Darmo adalah yang diusahakan oleh Bopo
Panuntun Gutama, yang tidak lain adalah pendirinya itu sendiri,
Hardjosapuro. Menurut pandangan mereka, kitab ini berasal dari kumpulan
'wahyu' dari Tuhan yang memiliki sifat Pancasila Allah.
Bantahannya:
Kitab Suci penganut Sapto Darmo sebagaimana disebutkan di muka adalah
yang diusahakan oleh Bopo Panuntun Gutama, yaitu Hardjosapuro. Menurut
pandangan mereka, kitab suci mereka itu berasal dari 'wahyu' yang
berasal dari Tuhan yang memiliki sifat Pancasila Allah. Itu berarti
bahwa 'kitab suci' tersebut baru, lahir sekitar 40 tahun yang lalu.
Bagaimana kalau dikembalikan kepada ajaran Islam? Aqidah Islam
mengajarkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah
penutup kenabian dan kerasulan. Dan al-Qur'an adalah kitab suci terakhir
yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala; karena tidaklah kitab suci
itu diturunkan melainkan melalui para Rasul; dan Nabi kita Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi dan Rasul.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
Artinya:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara
kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi. Dan adalah
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Ahzab [33] : 40)
Dengan meyakini 'kitab suci' yang dibikin sekitar 40 tahun itu berarti
sama saja dengan mengingkari Muhammad sebagai penutup para Nabi dan
Rasul. Itu berarti ajaran ini secara tidak langsung mengakui dan
menetapkan adanya Nabi baru setelah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Tentu ajaran seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan ajaran
Islam.
4. Konsep tentang Alam
--------------------------
Konsep alam dalam pandangan Sapto Darmo adalah meliputi 3 alam:
* Alam Wajar yaitu alam dunia sekarang ini.
* Alam Abadi yaitu alam langgeng atau alam kasuwargan. Dalam terminologi Islam maknanya mendekati alam akhirat.
* Alam Halus yaitu alam tempat roh-roh yang gentayangan (berkeliaran)
karena tidak sanggup langsung menuju alam keswargaan. Roh-roh tersebut
berasal dari manusia yang selama hidup di dunia banyak berdosa.
Bantahannya:
Aliran Sapto Darmo meyakini adanya alam halus yaitu alam tempat roh-roh
yang gentayangan atau berkeliaran karena tidak sanggup langsung menuju
alam keswargaan. Kata mereka, roh-roh tersebut berasal dari manusia yang
selama hidup di dunia banyak berdosa.
Aqidah Islam tidak
mengenal alam yang demikian itu. Setelah manusia meninggal dunia
–bagaimanapun cara meninggalnya– maka selanjutnya ia berada dalam suatu
alam yang disebut dengan alam kubur atau alam barzakh, sebagaimana
dijelaskan oleh al-Allamah Ali bin Ali bin Muhammad bin Abil 'Izzi.
“Ketahuilah, bahwa adzab kubur adalah adzab barzakh. Semua orang yang
mati dalam keadaan membawa dosa berhak mendapat adzab sesuai dengan dosa
yang dilakukannya, baik jasadnya dikuburkan, dimakan serigala, terbakar
sehingga menjadi abu, melayang-layang di angkasa, disalib, atau
tenggelam di lautan. Adzab kubur akan dirasakan oleh si mati dengan
jasad dan ruh-nya, meski jasadnya tidak terkubur. Hal-hal ghaib yang
berkaitan dengan bagaimana duduknya orang yang mati ketika di kubur,
seperti apa tulang rusuknya, dan hal-hal yang semacamnya, maka wajib
kita pahami (yakini) sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah; tidak
boleh kita menambah-nambah ataupun menguranginya…”6
Terkait
dengan alam, Ibnu Abil 'Izzi pada alenia berikutnya menjelaskan;
“Kesimpulannya adalah bahwa alam itu ada tiga; alam dunia (dar
ad-dunya), alam barzakh (dar al-barzakh), dan alam akhirat (dar
al-qarar). Allah telah memberlakukan hukum-hukum tertentu bagi tiap-tiap
alam tersebut, dan manusia (jasad maupun ruh) akan berjalan sesuai
dengan hukum tersebut. Allah menjadikan hukum-hukum dunia berlaku bagi
jasad dan ruh sesuai keadaannya di dunia. Demikian juga; Allah
menjadikan hukum-hukum di alam barzakh berlaku bagi jasad dan ruh sesuai
keadaannya di alam barzakh. Kemudian, tatkala datang hari
dibangkitkannya semua jasad dan manusia dari kubur mereka, maka akan
berlakulah hukum-hukum yang ada di sana; pemberian pahala dan siksa,
juga kepada ruh dan jasad secara bersama-sama.” (ed)
–bersambung–
(Bagian Kedua dari Dua Tulisan di Link berikut : http://www.facebook.com/
Catatan Kaki:
---------------
1. ^Rahnip M., B.A., Aliran Kebatinan dan Kepercayaan dalam Sorotan, Pustaka Progressif, hal. 11.
2. ^Animisme adalah kepercayaan kepada ruh-ruh yang mendiami suatu
benda (pohon, batu, sungai, gunung, dll), sedangkan dinamisme adalah
kepercayaan bahwa sesuatu benda mempunyai tenaga atau kekuatan. (lihat
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1997).
3. ^Disarikan dari buku Rahnip M., BA., idem, hal. 73-112.
4. ^Syarah ath-Thahawiyah fi al-Aqidah as-Salafiyah, hal. 183-184, Darul-Fikr, 1408H./1988M.
5. ^Muslim hadits no. 9, at-Tirmidzi hadits no. 2535, Nasa-i hadits no.
4904, Abu Dawud hadits no. 4075, Ibnu Majah hadits no. 62, dan Ahmad
hadits no. 179, 186, 346.
6. ^Syarah at-Thahawiyah fi al-Aqidah as-Salafiyah, ibid, hal. 264.
15 Agustus 2012
AJARAN KEJAWEN SAPTO DARMO DALAM PANDANGAN ISLAM (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar