Definisi al-Ijma’ (Konsensus Ulama)
al-Ijma’ dalam makna etimologi berarti keinginan kuat dan kemauan keras akan sesuatu.
Sebagaimana makna ini tercakup dalam firman Allah ta’ala,
فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ
“Maka karena itu bulatkanlah keputusan kalian. “ (Yunus: 71)
Dan Nabi r bersabda,
لاَ صِياَمَ لِمَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّياَمَ مِنْ اللَّيْلِ
“Tidak sah puasa bagi seseorang yang tidak meniatkan puasa dari malam harinya.”[1]
Juga al-Ijma’ dalam tinjauan etimologi bermakna kesepakatan[2].
Adapun definisi al-ijma’ dalam termis para pakar fiqh Islam, yaitu:
اِتِّفاَقُ فُقَهاَءِ العَصْرِ عَلىَ حُكْمِ الحاَدِثَةِ مِنْ الأُمُوْرِ الدِّيْنِيَّةِ وَلَمْ يَتَقَدَّمْ فِيْهاَ خِلاَفٌ
“Kesepakatan
para fuqaha pada sebuah zaman terhadap suatu hukum di antara
hukum-hukum syara’ yang terjadi, tanpa di dahului adanya silang
pendapat sebelumnya.”[3]
Dasar Acuan al-Ijma’
Dasar
acuan (mustanad) al-Ijma’ adalah dalil yang mendasar adanya
kesepakatan para ulama mujtahidin. Dan dalil tersebut dapat berupa nash
dari al-Qur`an, as-Sunnah, dan juga dapat berupa qiyas (analogi hukum),
‘urf dan selainnya.
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,
“Tidaklah saya mengatakan dan tidak juga seorangpun di kalangan ulama :
‘perkara ini perkara yang disepakati’, kecuali pada persoalan anda
tidak mendapati seorang alim kecuali dia mengatakan hal tersebut kepada
anda dan dia menhikayatkannya dari alim sebelumnya, semisal –tentang-
shalat dhuhur empat raka`at, pengharaman khamar dan yang serupa dengan
perkara ini …”[4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menyatakan, “Tidaklah didapati suatu permasalahan yang disepakati,
kecuali terdapat penjelasan dari Rasulullah. Hanya saja terkadang
penjelasan tersebut tersembunyi bagi sebagian kaum manusia (yaitu
sebagian ulama), dan dia mengetahui adanya ijma’ lantas berargumen
dengan al-ijma’. Sebagaimana seseorang yang tidak mengetahui inferensi
dalil syara’ lalu berdalil dengan nash syara’.
al-Ijma’ adalah
dalil kedua setelah nash syara’, sebagaiman beberapa contoh di dalam
al-Qur`an. Demikian pula al-Ijma’ adalah dalil yang lain, seperti
dikatakan: Hal itu telah ditunjukkan oleh al-Kitab, as-Sunnah dan
al-Ijma’.”
Lalu beliau rahimahullah melanjutkan, “Karena segala
persoalan yang ditunjukkan oleh al-ijma’, juga al-Kitab dan as-Sunnah
telah menunjukkan hal tersebut. Dan segala hukum yang ditunjukkan oleh
al-Qur`an, maka Rasulullah r akan menyadur darinya … dan tidaklah di
dapat suatu permasalahan yang terdapat ijma’, kecuali pada permasalahan
tersebut terdapat nash …”
“Ibnu Jarir dan selain beliau
mengatakan: Tidaklah ijma’ menjadi valid kecuali di dasari oleh nash
yang mereka –para ulama- kutip dari Rasulullah r seiring dengan
pengakuan mereka akan validitas al-qiyas. Dan kami tidak mensyaratkan
agar semua ulama mengetahui keberadaan nash syara’. Lalu mereka
mengutip nash tersebut secara makna sebagaimana hadits-hadits
diriwayatkan, akan tetapi kami telah menelusuri dengan metode
al-istiqraa` setiap tempat yang terdapat –klaim- ijma’, hingga kami
mendapati seluruhnya terdapat keterangan nash. Dan sebagian besar ulama
tidaklah mengetahui keberadaan nash syara’ …”[5]
Eksistensi al-Ijma’
Eksistensi
al-ijma’ sebagai dasar pijakan hukum dan sebagai salah satu di antara
dalil-dalil syara’ dalam penetapan hukum, ditunujukkan oleh al-Qur`an
dan as-Sunnah.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang
siapa yang menyelisihi Rasulullah setelah terang baginya petunjuk dan
dia mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, maka akan Kami
palingkan dia kepada apa yang dia berpaling kepadanya dan Kami
campakkan ke dalam Jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat
kembalian.” (an-Nisaa`: 115)
Ayat ini menunjukkan keharusan
mengikuti jalan orang-orang yang beriman dan keharaman menyelisihi
mereka. Sebagaimana hal tersebut juga disebutkan oleh al-Imam
asy-Syafi’i[6].
Dan firman Allah ta’ala:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan
demikianlah kami jadikan kalian umat pertengahan, agar kalian menjadi
saksi atas seluruh kaum manusia, dan Rasul akan menjadi saksi atas
kalian.” (al-Baqarah: 143)
Dan firman Allah ta’ala:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang teguhlah kalian seluruhnya dengan tali Allah dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103)
Dan firman Allah ta’ala lainnya:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Wahai
orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian
kepada Rasulullah dan kepada para ulim amri di antara kalian. Dan jika
kalian berbeda pendapat pada suatu persoalan maka kembalikanlah kepada
Allah dan Rasul-Nya.” (an-Nisaa`: 59)
Ayat ini
mengindikasikan, jikalau tidak terjadi silang pendapat di antara kaum
muslimin, maka tidak menjadi keharusan untuk mengembalikannya kepada
Allah dan Rasul-Nya. Menunjukkan bahwa al-ijma’ adalah dalil yang
shahih.
Dan Rasulullah r bersabda,
لاَ تَجْتَمِعُواْ أُمَّتِيْ عَلىَ ضَلاَلَةٍ
“Dan tidaklah umatku akan berkumpul di atas kesesatan.”[7]
Dan
pada hadits lainnya, dari hadits Jubair bin Muth’im yang diriwayatkan
oleh Ahmad dan hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi,
Rasulullah r bersabda:
ثَلاَثٌ لاَ يَغِلُّ عَلَيْهِنَّ
قَلْبُ المُسْلِمِ : اخْلاَصُ العَمَلِ لِلَّهِ وَالمُنَاصَحَةُ لِوُلاَةِ
الأَمْرِ وَلُزُوْمُ جَماَعَةِ المُسْلِمِيْنَ
“Terdapat
tiga perkara dimana hati seorang muslim tidak akan dengki: ikhlas
beramal karena Allah, saling menasihati bagi para pemimpin dan
berpegang teguh dengan jama`ah kaum muslimin.”[8]
Dan dari hadits Ibnu Abbas, Rasulullah r bersabda,
مَنْ فاَرَقَ الجَماَعَةَ ماَتَ مَيْتَةً جاَهِلِيَّةً
“Barang siapa yang memisahkan diri dari jama`ah, maka dia akan mati dalam keadaan mati jahiliyah.”[9]
Ragam al-Ijma’[10]
Secara umum al-Ijma’ terbagi menjadi dua bagian:
Pertama : al-Ijma’ ash-Sharih (الإحماع الصريح)
Yaitu
kesepakatan setiap mujtahidin terhadap suatu hukum permasalahan secara
jelas dan terang. Semisal masing-masing mujtahid mnegutarakan
pandangannya, dan pandangan mereka seluruhnya bersesuaian pada hukum
masalah tersebut.
Inferensi al-ijma’ ash-sharih ini qath’i.
Kedua : al-Ijma’ as-Sukuti (الإحماع السكوتي )
Yaitu,
dimana sebagian ulama mujtahidin mengutarakan pandangan mereka pada
suatu hukum permasalahan, lalu mujtahidin yang lainnya mendiamkan hukum
tersebut tanpa adanya persetujuan yang jelas maupun pengingkaran,
setelah permasalahan tersebut menyebar luas. alijma’ as-sukuti tergolong
di antara dalil yang bersifat zhanni.
Sebagian ulama lainnya membagi al-ijma` menjadi tiga bagian:
- al-ijma’ al-ihaathi (الإجماع الإحاطي )
- al-ijma’ al-istiqraa`i (الإجماع الاستقرائي )
Hal ini membutuhkan penelusuran menyeluruh dan verikatif pada pandangan seluruh ulama mujtahidin. Kalaupun hal ini secara logika memungkinkan, namun merupakan suatu yang sangat sulit untuk direalisasikan.
- al-ijma’ at-taqriri (الإجماع الاقراري)
[1] Diriwayatkan oleh an-Nasaa`i 4/197 dan selainnya.
[2] Lihat makna ini di dalam at-Ta’rifaat hal. 24, al-Qamus al-Muhith hal. 917, al-Kulliyaat hal. 42, Mukhtar ash-Shihah hal. 70-71, Mujmal al-Lughah 1/198, al-Mahshuul 4/19-20, Nihaayah as-Suul 3/237, Syarh al-Lma’ hal. 179, al-Bahru al-Muhith 4/435 dal al-Mustashfaa 1/173.
[3] Lihat definisi ini di dalam al-Mahshuul 4/20, al-Ihkaam karya al-Amidi 1/167, al-Mustashfaa 1/173, Nihayah as-Suul 3/237, Syarh al-Muhalli ‘alal al-Waraqaat hal. 164-165, Jam’u al-Jawaami’ 2/176, Syarh al-Luma’ 2/665, al-Hudud hal. 63, at-Ta’rifaat hal. 24, al-Kulliyaat karya Abul Baqa` hal. 42.
[4] ar-Risalah no. 1559 hal. 534. Berkata asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam komentar beliau terhadap ucapan al-Imam ini, “Yang beliau maksud bahwa ijma’ tidaklah menjadi suatu ijma’ kecuali pada persoalan yang telah maklum secara aksiomatik dalam agama ini, …”
[5] Lihat Majmu’ al-Fatawa 19/195 dan silahkan melihat perkataan asy-Syathibi terkait hal ini di dalam al-Muwafaqaat 1/50-51, al-Bahru al-Muhith 3/503
[6] Lihat Ahkam al-Qur`an 1/39
[7] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 4/no. 2167 dan beliau berkata, “hadits ini hadits yang gharib dari jalan ini.”, juga oleh Ibnu Majah dari hadits Anas 2/1303, al-Hakim di dalam al-Mustadrak 1/116. as-Sakhawi menyebutkan, “Secara keseluruhan hadits ini hadits dengan matan yang masyhur dan sanad-sanad yang sangat banyak serta beberapa riwayat penguat baik secara marfu’ atau selainnya.”
[8] Imam Ahmad di dalam al-Musnad 4/80, dan at-Tirmidzi di dalam as-Sunan 5/34.
[9] Diriwayatkan oleh al-Bukhari 5/13 dan Muslim 3/1475.
[10] Lihat pembahasan ini di dalam Raudhah an-Nazhir , al-Mahshul 4/153, al-Bahru al-Muhith 4/494, Syarh al-Kaukab al-Munir 2/210, Nasyr al-Bunuud 2/91, al-Ibhaaj 2/379-380, Muqaddimah fii Ushul Fiqh libni al-Qashshaar al-Maaliki hal. 184-185, Syarh al-Luma’ 2/690-691, Jam’u al-Jawaami’ disertai Syarh al-Muhalli 2/187-188 dan 191, Miftaah al-Wushul hal. 165, Ushul as-Sarkhasi 1/303
[Ditulis oleh Ust. Abu Zakariah Al-Makassari hafizhahullah]
http://al-atsariyyah.com/mengenal-hakikat-ijma.html
0 komentar:
Posting Komentar