…
قال الشافعي: والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعد
Niat
itu tidak dapat menggantikan takbir. Niat itu tiada memadai, selain
bahwa ada bersama takbir. Ia tidak mendahului takbir dan tidak sesudah
takbir.
Siapa Penggagas Niat ?
Lafadz niat sangat
masyhur dinisbatkan kepada mazhab Syafi’i, hal ini karena Abu Abdillah
Al Zubairi yang masih termasuk dalam ulama mazhab Syafi’i telah
menyangka bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah telah mewajibkan untuk
melafazkan niat ketika shalat.
Sebabnya adalah
pemahamannya yang keliru dalam mengiterpretasikan perkataan Imam Syafi’i
yakni redaksi sebagai berikut:” Jika seseorang berniat menunaikan
ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafazkan.Tidak
seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan AL NUTHQ (diartikan
oleh Al Zubairi dengan melafazkan, sedangkan yang dimaksud dengan AL
NUTHQ disini adalah takbir) [al Majmuu' II/43]
An Nawawi
(seorang ulama pembesar mazhab Syafi’i) berkata: “Beberapa rekan kami
berkata: “Orang yang mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yang
dikehendaki oleh As Syafi’i dengan kata AL NUTHQ di dalam shalat,
melainkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ oleh beliau adalah takbir. [al
Majmuu' II/43; lihat juga al Ta'aalaim :syaikh Bakar Abu Zaid:100]
Ibn
Abi Izz Al Hanafi berkata : “Tidak ada seorang ulamapun dari imam 4
(madzhab), tidak juga Imam Syafi’i atau yang lainnya yang mensyaratkan
lafaz niat.Menurut kesepakatan mereka, niat itu tempatnya dihati.Hanya
saja sebagian ulama belakangan mewajibkan seseorang melafazkan niatnya
dalam shalat. Dan pendapat ini dinisbatkan sebagai mazhab Syafi’i. Imam
An Nawawi rahimahullahu berkata :”Itu tidak benar” (Al Itbaa’ :62)
Ibn
Qoyyim berkata :”Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam jika hendak
mengerjakan shalat,maka dia mengucapkan Allahu Akbar.dan beliau tidak
mengucapkan lafaz apapun sebelum itu dan tidak pernah melafazkan niat
sama sekali. Beliau juga tidak mengucapkan:
“ushali lillah
shalaata kadzaa mustaqbilal qiblah arba’a raka’at imaaman aw ma’muuman
(artinya :aku berniat mengerjakan shalat ini dan itu karena
Allah,menghadap kiblat sebanyak 4 raka’at sebagai imam atau makmum).
Rasulullah
Shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah mengatakan adaa’aa atau
qadhaa’an (artinya melakukannya secara tepat waktu atau qadha’). Dan
tidak pernah juga menyebutkan kefardhuan waktu shalat. Semua itu adalah
bid’ah yang tidak ada sumbernya dari seorangpun baik dengan sanad yang
sahih,dhaif,musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (ada perawi
yang gugur dalam sanadnya). Bahkan tidak juga dinukil dari seorang
sahabat nabi,para tabi’in dan imam 4 (mazhab).
Pendapat ini muncul
akibat sebagian ulama belakangan yang terkecoh dengan perkataan Imam
Syafi’I radhiallahu anhu didalam masalah shalat. Redaksinya sebagai
berikut:
“Sesungguhnya shalat tidak sama dengan
puasa.Tidak ada seorangpun yang akan memasuki shalat kecuali dengan
DZIKIR.”Kata dzikir disini dikira pe-lafaz-an niat oleh orang yang
shalat.Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dengan kata dzikir disini
adalah TAKBIRATUL IHRAM. Bagaimana mungkin Imam Syafi’I mensunahkan
sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Shalallahu alaihi wa
sallam, tidak juga oleh para khulafa’nya, dan para shahabatnya.
Demikianlah jalan hidup dan petunjuk yang mereka ajarkan,jika memang ada
seseorang membawa berita satu huruf saja yang berasal dari beliau,maka
kita akan menerimanya karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari
petunjuk mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam [Zaadul Ma'aad I/201;Ighatsatul
Lahfaan I/136-139;I'laamul Muwaqqi'iin II/371;Tuhfatul Maulud :93]
Syaikh
Abul Hasan Musthafa bin Ismail Sulaiman al-Mishri [2] berkata :
“Perbuatan seperti ini tidak benar. Tidak ada dalil dari Qur’an dan
Sunnah,tidak pula dari ijma’ dan qiyas jali (qiyas yang jelas dan benar)
untuk perbuatan tersebut sebab tempat niat adalah di dalam hati. Adapun
anjuran Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadirkan niat
di dalam segala amalan, yaitu hadist beliau Shalallahu ‘alaihi wa
sallam: “Sesungguhnya seluruh amal shaleh hanya diterima dengan niat
yang ikhlas dan bagi setiap orang mendapatkan sesuai yang ia niatkan.”
Maksudnya
bukan melafalkan niat dengan lisan kita, baik dengan melirihkan ataupun
mengeraskannya. Tidak ada satu riwayat pun yang dinukil dari beliau
bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam melafalkan niat ketika hendak
shalat dan berpuasa. Tidak pernah beliau mengucapkan : “Sengaja aku
berpuasa di bulan ramadhan pada tahun ini secara sempurna tanpa
kekurangan…” dan mengulang-ngulanginya setiap malam ketika bersahur atau
setelah shalat tarawih. Demikian pula dalam ibadah zakat dan lainnya.
Untuk
lebih jelasnya, baiklah kita coba simak uraian pendapat para ulama
salaf, sebagai orang-orang yg mengerti dan paham ttg sunnah dan
perkataan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam serta mereka adalah para
mufassirin(penafsir) makna ayat qur’an maupun hadist, mengenai LAFADZ
NIAT (makna lafadz niat ini secara umum meliputi niat sholat, puasa,
zakat, haji, dan ibadah lainnya).
Hakekat Niat
Ibnu
Taimiyah Rahimahullah berkata dalam kitab Majmu’atur Rasaaili Kubra
I/243 : Tempatnya niat itu di hati tanpa (pengucapan) lisan berdasar
kesepakatan para imam Muslimin dalam semua ibadah : bersuci (thaharah),
shalat, zakat, puasa, haji membebaskan budak (tawanan) serta berjihad
dan yang lainnya. Meskipun lisannya mengucapkan berbeda dengan apa yang
ia niatkan dalam hati, maka teranggap dengan apa yang ia niatkan dalam
hati bukan apa yang ia lafadzkan. Walaupun ia mengucapkan dengan
lisannya bersama niat, dan niat itu belum sampai ke dalam hatinya, hal
ini belu mencukupi menurut kesepakatan para imam Muslimin. Maka
sesungguhnya niat itu adalah jenis tujuan dan kehendak yang tetap.
Sehubungan
dengan masalah niat, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan di dalam
kitab ‘Ighasatul Lahfan’ bahwa : “Niat artinya ialah menyengaja dan
bermaksud sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu. Dan tempatnya ialah
di dalam hati, dan tidak ada sangku pautnya sama sekali dengan lisan.
Dari itu tidak pernah diberitakan dari Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa
sallam , begitu juga para sahabat, mengenai lafadz niat ini.” [3]
Sedangkan
hakikat niat itu sendiri BUKANLAH UCAPAN ‘NAWAITU’ (saya berniat). Ia
adalah dorongan hati seiring dengan futuh (pembukaan terhadapnya),tetapi
kadang-kdang juga sulit. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan urusan
dien, akan mendapatkan kemudahan dalam menghadirkan niat untuk berbuat
baik. Sebab ketika hati telah condong kepada pangkal kebaikan, ia pun
akan terdorong untuk cabang-cabang kebaikan. Barangsiapa hatinya
dipenuhi dengan kecenderungan kepada gemerlap dunia, akan mendapatkan
kesulitan besar untuk menghadirkannya. Bahkan dalam mengerjakan yang
wajib sekalipun.Untuk menghadirkannya ia harus bersusah payah. [4]
Dan
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani sendiri telah menjabarkan dgn panjang
untuk penjelasan hadist “innamal ‘amalu binniyyati” dalam kitabnya
“Fathul Baari bi Syarh al-Bukhari” (kitab yg menjelaskan tentang sanad
& syarh dari hadist-hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari),
diantaranya yg bisa diambil adalah :
“Amal perbuatan
adalah tergantung niatnya, dengan demikian kita dapat (dgn sendirinya)
membedakan apakah niat sholat atau bukan, sholat fardhu atau sunnah,
dhuhur atau ashar, di qashar atau tidak, dan seterusnya. Dan apakah
masih perlu ditegaskan (kembali) jumlah rakaat sholat yang akan
dikerjakan ? …Tapi pendapat yg kuat menyatakan tidak perlu lagi
menjelaskan jumlah bilangan rakaatnya, seperti seorang musafir yg
berniat melakukan sholat qashar, ia tidak perlu (lagi) menegaskan bhw
jumlah rakaatnya adalah dua, karena itu merupakan suatu hal yg pasti
bahwa jumlah rakaat qashar adalah dua !”
Dan beliau juga
menjelaskan makna niat dari perkataan Imam Baidhawi : “Niat adalah
dorongan hati untuk melakukan sesuatu dgn tujuan, baik mendatangkan
manfaat atau menolak mudharat, sedangkan syariat adalah sesuatu yang
membawa kepada perbuatan yang diridhai Alloh dan mengamalkan segala
perintah-Nya.” [5]
Masalah Bacaan Niat Dalam Shalat
Masalah
malafadzkan bacaan niat dalam sholat ini, tidak ada satu orang perawi
hadist pun dari 6 orang imam (Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i,
Tirmidzi, dan Ibnu Majah) yang memuat dalam Kuttubus Sittah, termasuk
Imam Ahmad dalam kitab “Musnad Ahmad” dan al-Hakim dalam kitab
“Mustadrak”, yang meriwayatkan tentang bacaan niat sholat begini dan
begitu, dan seterusnya dengan bermacam-macam bacaan / lafadz sesuai dgn
masing-masing jenis sholat.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata dalam kitab ‘Zaadul Ma’ad’ :
“Sesungguhnya
Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallambila berdiri untuk bersholat,
beliau berdiri dengan tegak ke arah kiblat disertai khusyu’ lalu
bertakbir’Allohu Akbar’, tanpa suatu ucapan lain atau melafadzkan niat
usholli lillahi, shalat ini dan itu, mustaqbilal qiblati arbaah rakaat
imaaman atau makmuman, juga tidak mengucap adhaan atau qadhaan, atau
fardhu atau sebagainya.” [6]
Kemudian beliau menambahkan :
“Tidak mengucapkan apapun sebelumnya atau melafadkan niatnya dan tidak
pula hal tersebut dianjurkan oleh para tabi’in atau imam para madzhab.”
Imam
Ahmad bin Hambal mengomentari masalah niat dalam sholat dengan berkata :
“Ini (melafadzkan niat usholli) adalah sepuluh macam bid’ah, tidak ada
yang meriwayatkan dengan sanad shahih atau dhoif, musnad atau
mursal,bahkan tidak ada seorang dari sahabatnya atau dari pada tabi’in
yang mengerjakannya.” [7]
Imam An-Nawawi (salah satu imam
madzhab Syafi’i) mengatakan di dalam ‘Raudhatu ‘th-Thalibin’ I/224,
Al-Maktab Al-Islami : “Niat adalah maksud. Orang yang shalat hendaklah
menghadirkan di dalam ingatannya dzat shalat itu sendiri dan
sifat-sifatnya yang wajib ia lakukan, seperti Zhuhriyah dan Fardhiyah
dan lain-lain. Kemudian, ia memasukkan pengetahuan-pengetahuan ini
secara sengaja dan menghubungkan dengan awal takbir.” [8]
Muhammad Nashruddin Al-Albani;
Niat
,yaitu : menyengaja untuk shalat menghambakan diri kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala semata, serta menguatkannya dalam hati sekaligus.
Dan tidaklah disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan atau
mengucapkan : “Usholli fardhu … rak’ah Lillahi Ta’ala” atau ucapan
sejenisnya.
Berkata : “Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa
sallam membuka sholat dengan kata-kata’Allohu Akbar’ (HR. Muslim dan
Ibnu Majah). Di dalam hadist ini terdapat sebuah isyarat bahwasannya ia
belum pernah membuka sholat dengan ucapan seperti yang mereka ucapkan
‘Nawaitu an usholli…’ (aku berniat sholat).
Bahkan telah
disepakati bahwa hal ini adalah bid’ah. Dan mereka hanya berselisih
apakah bid’ah seperti itu baik atau buruk. Sedangkan kami mengatakan
bahwa setiap bid’ah di dalam ibadah itu adalah merupakan suatu
kesesatan.berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :”Setiap
bid’ah adalah sesat dan setiap sesat neraka tempatnya.” [8]
Dishahihkan
pula oleh Sayyid Sabiq dalam ‘Fiqqus Sunnah’ bahwa : “Dan
ungkapan-ungkapan yang dibuat-buat dan diucapkan pada permulaan bersuci
dan sholat ini, telah dijadikan oleh syaitan sebagai arena pertarungan
bagi orang-orang yang diliputi was-was, yang menahan dan menyiksa mereka
dalam lingkaran tersebut, dan menuntut mereka untuk menyempurnakannya.
Maka anda lihat masing-masing mereka mengulang-ulanginya dan bersusah
payah untuk melafadzkannya, pada hal demikian itu sama sekali tidak
termasuk dalam upacara sholat.” [9]
Al-Qadhi Jamaludin Abu
Rabi Sulaiman bin Umar As-Syafi’I (seorang pembesar ulama mazhab
Syafi’i), ia berkata : “Mengeraskan dan membaca niat bagi makmum tidak
termasuk sunnah, bahkan makruh. Jika hal itu menimbulkan gangguan
(membuat bising) kepada jama’ah sholat, maka hukumnya haram.
Barangsiapa
yang mengatakan bahwa mengeraskan niat adalah sunnah, maka ia keliru.
Haram baginya dan lainnya berbicara dalam agama Alloh subhanahu wa
ta’ala tanpa didasari ilmu. [Al A'lam 3/194 [10]
Syaikh
‘Alauddin Al ‘Athhor , belau berkata : meninggikan (niat) suara hingga
menimbulkan kebisingan / gangguan kepada jam’ah sholat adalah haram
secara ijma’, apabila tidak demikian (tidak menimbulkan gangguan) maka
bid’ah yang keji.Jika dimaksudkan dalam melafadzkan niat itu riya’ ,
adalah haram dari 2 sisi yakni dosa besar dari dosa-dosa besar.
Adalah
benar mengingkari orang yang mengatakan bahwa melafadzkan niat itu dari
sunnah.Membenarkan (niat dengan lafadz) adalah kekeliruan, dan
menisbahkan keyakinan demikian pada agama ini adalah kekufuran!!….dst.
lih. Majmu Ar Rosail al Kubro 1/254 [10]
Abu Abdillah
Muhammad bin Qasim at-Tunisi al-Maliki, ia berkata : “Niat termasuk
amalan hati. Maka mengeraskannya adalah bid’ah dan perbuatan itu juga
menganggu orang lain.”[1]
Imam Abu Dawud pernah bertanya
kepada Imam Ahmad bin Hambal, : “Apakah seorang yang hendak shalat ada
membaca sesuatu sebelum takbir ?” Beliau menjawab, “Tidak ada !” [1]
Imam
As-Suyuthi (salah seorang imam madzhab Syafi’i) berkata, : “Juga
termasuk perbuatan bid’ah, adalah was-was di dalam niat shalat.
Perbuatan ini tidak dilakukan Rasululloh dan para sahabatnya. Mereka
tidak mengucapkan niat ketika shalat, melainkan hanya takbir.” [1]
Imam Asy-SYAFI’I berkata : “Was-was dalam niat shalat termasuk kejahilan tentang syariat atau kebodohan akal.” [1]
Ibnu
Jauzy berkata : “Diantara tipu daya iblis adalah menipu mereka dalam
niat shalat. Diantara mereka ada yang berkata, ‘Sengaja aku shalat ini
dan ini,’ kemudian ia mengulanginya lagi karena ia mengira niatnya telah
batal, padahal niatnya tidak gugur walaupun ia melafalkan apa yang
tidak dimaksudkannya.”
______________
Referensi:
1.Secara
ringkas dari Qaulul Mubin Fi Akhtahil Mushollin :Syaikh Abu Ubaidah
Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman: edisi indonesia :Koreksi Total
Ritual Shalat ,terbitan Pustaka Azzam 98-101
2.”Silsilah
Al-Fatawa Asy-Syar’iyah” (edisi Indonesia) Bunga Rampai Fatwa-Fatwa
Syar’iyah oleh Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail As-Sulaiman
Al-Mishri, terbitan Pustaka At-Tibyan, Penerjemah Abu Ihsan
3. “Ighasatul Lahfan”, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
4.
“Tazkiyatun Nufus : penulis : Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Rajab, dan
Imam Al-Ghazali, pengumpul : Dr. Ahmad Farid ; pentahqiq : Majid ibnu
Abi Laila, hal 18 & 20.
5. “Fathul Baari bi Syarh
Shahih al-Bukhari”,(edisi Indonesia) Penjelasan Kitab Shahih Bukhari
oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, peneliti Syaihk Abdul Aziz
Abdullah bin Baz
6. “Zaadul Ma’ad”, hal 7, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, cet. ke-1, (edisi Indonesia) Duta Ilmu
7.
“Syahdzaratil Balatin min Thayyibati Kalimati Salafinash Shalihin –
Betulkah Sholat Anda”, hal 98, Imam Ahmad bin Hambal, cet. ke-X, (edisi
Indonesia) Bulan Bintang
8. “Shifatu Sholati Nabi
Shalallahu ‘alaihi wa sallam , hal 85 & 86, Muhammad Nashruddin
Al-Albani, Maktabah Al Ma’arif Riyadh
9. “Fiqqus Sunnah”, Jilid I – Bab Fardhu Shalat, hal 286, cet. ke-V, Al- Ma’arif
10.
Qawaid wal Fawaid minal Arbaina An Nawawiyah , Fati’ Muhammad Sulthan ,
hal 31 , cet. II/1410 H , Darul Hijroh Linnasyr wa Attazi’ Riyadh.
11. “Sifat Puasa Nabi”, oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, (edisi Indonesia)Pustaka Al-Haura
12.
“Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia”,
Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, (edisi Indonesia) terbitan
Pustaka Imam Asy-Syafi’i, hal 98 – 104, Penerjemah H.Asmuni Solihan
Zamakhsyari Lc99
قال الشافعي: والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعد
Niat itu tidak dapat menggantikan takbir. Niat itu tiada memadai, selain bahwa ada bersama takbir. Ia tidak mendahului takbir dan tidak sesudah takbir.
Siapa Penggagas Niat ?
Lafadz niat sangat masyhur dinisbatkan kepada mazhab Syafi’i, hal ini karena Abu Abdillah Al Zubairi yang masih termasuk dalam ulama mazhab Syafi’i telah menyangka bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah telah mewajibkan untuk melafazkan niat ketika shalat.
Sebabnya adalah pemahamannya yang keliru dalam mengiterpretasikan perkataan Imam Syafi’i yakni redaksi sebagai berikut:” Jika seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafazkan.Tidak seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan AL NUTHQ (diartikan oleh Al Zubairi dengan melafazkan, sedangkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ disini adalah takbir) [al Majmuu' II/43]
An Nawawi (seorang ulama pembesar mazhab Syafi’i) berkata: “Beberapa rekan kami berkata: “Orang yang mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yang dikehendaki oleh As Syafi’i dengan kata AL NUTHQ di dalam shalat, melainkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ oleh beliau adalah takbir. [al Majmuu' II/43; lihat juga al Ta'aalaim :syaikh Bakar Abu Zaid:100]
Ibn Abi Izz Al Hanafi berkata : “Tidak ada seorang ulamapun dari imam 4 (madzhab), tidak juga Imam Syafi’i atau yang lainnya yang mensyaratkan lafaz niat.Menurut kesepakatan mereka, niat itu tempatnya dihati.Hanya saja sebagian ulama belakangan mewajibkan seseorang melafazkan niatnya dalam shalat. Dan pendapat ini dinisbatkan sebagai mazhab Syafi’i. Imam An Nawawi rahimahullahu berkata :”Itu tidak benar” (Al Itbaa’ :62)
Ibn Qoyyim berkata :”Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam jika hendak mengerjakan shalat,maka dia mengucapkan Allahu Akbar.dan beliau tidak mengucapkan lafaz apapun sebelum itu dan tidak pernah melafazkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengucapkan:
“ushali lillah shalaata kadzaa mustaqbilal qiblah arba’a raka’at imaaman aw ma’muuman (artinya :aku berniat mengerjakan shalat ini dan itu karena Allah,menghadap kiblat sebanyak 4 raka’at sebagai imam atau makmum).
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah mengatakan adaa’aa atau qadhaa’an (artinya melakukannya secara tepat waktu atau qadha’). Dan tidak pernah juga menyebutkan kefardhuan waktu shalat. Semua itu adalah bid’ah yang tidak ada sumbernya dari seorangpun baik dengan sanad yang sahih,dhaif,musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (ada perawi yang gugur dalam sanadnya). Bahkan tidak juga dinukil dari seorang sahabat nabi,para tabi’in dan imam 4 (mazhab).
Pendapat ini muncul akibat sebagian ulama belakangan yang terkecoh dengan perkataan Imam Syafi’I radhiallahu anhu didalam masalah shalat. Redaksinya sebagai berikut:
“Sesungguhnya shalat tidak sama dengan puasa.Tidak ada seorangpun yang akan memasuki shalat kecuali dengan DZIKIR.”Kata dzikir disini dikira pe-lafaz-an niat oleh orang yang shalat.Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dengan kata dzikir disini adalah TAKBIRATUL IHRAM. Bagaimana mungkin Imam Syafi’I mensunahkan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, tidak juga oleh para khulafa’nya, dan para shahabatnya. Demikianlah jalan hidup dan petunjuk yang mereka ajarkan,jika memang ada seseorang membawa berita satu huruf saja yang berasal dari beliau,maka kita akan menerimanya karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam [Zaadul Ma'aad I/201;Ighatsatul Lahfaan I/136-139;I'laamul Muwaqqi'iin II/371;Tuhfatul Maulud :93]
Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail Sulaiman al-Mishri [2] berkata : “Perbuatan seperti ini tidak benar. Tidak ada dalil dari Qur’an dan Sunnah,tidak pula dari ijma’ dan qiyas jali (qiyas yang jelas dan benar) untuk perbuatan tersebut sebab tempat niat adalah di dalam hati. Adapun anjuran Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadirkan niat di dalam segala amalan, yaitu hadist beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya seluruh amal shaleh hanya diterima dengan niat yang ikhlas dan bagi setiap orang mendapatkan sesuai yang ia niatkan.”
Maksudnya bukan melafalkan niat dengan lisan kita, baik dengan melirihkan ataupun mengeraskannya. Tidak ada satu riwayat pun yang dinukil dari beliau bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam melafalkan niat ketika hendak shalat dan berpuasa. Tidak pernah beliau mengucapkan : “Sengaja aku berpuasa di bulan ramadhan pada tahun ini secara sempurna tanpa kekurangan…” dan mengulang-ngulanginya setiap malam ketika bersahur atau setelah shalat tarawih. Demikian pula dalam ibadah zakat dan lainnya.
Untuk lebih jelasnya, baiklah kita coba simak uraian pendapat para ulama salaf, sebagai orang-orang yg mengerti dan paham ttg sunnah dan perkataan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam serta mereka adalah para mufassirin(penafsir) makna ayat qur’an maupun hadist, mengenai LAFADZ NIAT (makna lafadz niat ini secara umum meliputi niat sholat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya).
Hakekat Niat
Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata dalam kitab Majmu’atur Rasaaili Kubra I/243 : Tempatnya niat itu di hati tanpa (pengucapan) lisan berdasar kesepakatan para imam Muslimin dalam semua ibadah : bersuci (thaharah), shalat, zakat, puasa, haji membebaskan budak (tawanan) serta berjihad dan yang lainnya. Meskipun lisannya mengucapkan berbeda dengan apa yang ia niatkan dalam hati, maka teranggap dengan apa yang ia niatkan dalam hati bukan apa yang ia lafadzkan. Walaupun ia mengucapkan dengan lisannya bersama niat, dan niat itu belum sampai ke dalam hatinya, hal ini belu mencukupi menurut kesepakatan para imam Muslimin. Maka sesungguhnya niat itu adalah jenis tujuan dan kehendak yang tetap.
Sehubungan dengan masalah niat, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan di dalam kitab ‘Ighasatul Lahfan’ bahwa : “Niat artinya ialah menyengaja dan bermaksud sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu. Dan tempatnya ialah di dalam hati, dan tidak ada sangku pautnya sama sekali dengan lisan. Dari itu tidak pernah diberitakan dari Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallam , begitu juga para sahabat, mengenai lafadz niat ini.” [3]
Sedangkan hakikat niat itu sendiri BUKANLAH UCAPAN ‘NAWAITU’ (saya berniat). Ia adalah dorongan hati seiring dengan futuh (pembukaan terhadapnya),tetapi kadang-kdang juga sulit. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan urusan dien, akan mendapatkan kemudahan dalam menghadirkan niat untuk berbuat baik. Sebab ketika hati telah condong kepada pangkal kebaikan, ia pun akan terdorong untuk cabang-cabang kebaikan. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan kecenderungan kepada gemerlap dunia, akan mendapatkan kesulitan besar untuk menghadirkannya. Bahkan dalam mengerjakan yang wajib sekalipun.Untuk menghadirkannya ia harus bersusah payah. [4]
Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani sendiri telah menjabarkan dgn panjang untuk penjelasan hadist “innamal ‘amalu binniyyati” dalam kitabnya “Fathul Baari bi Syarh al-Bukhari” (kitab yg menjelaskan tentang sanad & syarh dari hadist-hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari), diantaranya yg bisa diambil adalah :
“Amal perbuatan adalah tergantung niatnya, dengan demikian kita dapat (dgn sendirinya) membedakan apakah niat sholat atau bukan, sholat fardhu atau sunnah, dhuhur atau ashar, di qashar atau tidak, dan seterusnya. Dan apakah masih perlu ditegaskan (kembali) jumlah rakaat sholat yang akan dikerjakan ? …Tapi pendapat yg kuat menyatakan tidak perlu lagi menjelaskan jumlah bilangan rakaatnya, seperti seorang musafir yg berniat melakukan sholat qashar, ia tidak perlu (lagi) menegaskan bhw jumlah rakaatnya adalah dua, karena itu merupakan suatu hal yg pasti bahwa jumlah rakaat qashar adalah dua !”
Dan beliau juga menjelaskan makna niat dari perkataan Imam Baidhawi : “Niat adalah dorongan hati untuk melakukan sesuatu dgn tujuan, baik mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, sedangkan syariat adalah sesuatu yang membawa kepada perbuatan yang diridhai Alloh dan mengamalkan segala perintah-Nya.” [5]
Masalah Bacaan Niat Dalam Shalat
Masalah malafadzkan bacaan niat dalam sholat ini, tidak ada satu orang perawi hadist pun dari 6 orang imam (Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah) yang memuat dalam Kuttubus Sittah, termasuk Imam Ahmad dalam kitab “Musnad Ahmad” dan al-Hakim dalam kitab “Mustadrak”, yang meriwayatkan tentang bacaan niat sholat begini dan begitu, dan seterusnya dengan bermacam-macam bacaan / lafadz sesuai dgn masing-masing jenis sholat.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata dalam kitab ‘Zaadul Ma’ad’ :
“Sesungguhnya Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallambila berdiri untuk bersholat, beliau berdiri dengan tegak ke arah kiblat disertai khusyu’ lalu bertakbir’Allohu Akbar’, tanpa suatu ucapan lain atau melafadzkan niat usholli lillahi, shalat ini dan itu, mustaqbilal qiblati arbaah rakaat imaaman atau makmuman, juga tidak mengucap adhaan atau qadhaan, atau fardhu atau sebagainya.” [6]
Kemudian beliau menambahkan : “Tidak mengucapkan apapun sebelumnya atau melafadkan niatnya dan tidak pula hal tersebut dianjurkan oleh para tabi’in atau imam para madzhab.”
Imam Ahmad bin Hambal mengomentari masalah niat dalam sholat dengan berkata : “Ini (melafadzkan niat usholli) adalah sepuluh macam bid’ah, tidak ada yang meriwayatkan dengan sanad shahih atau dhoif, musnad atau mursal,bahkan tidak ada seorang dari sahabatnya atau dari pada tabi’in yang mengerjakannya.” [7]
Imam An-Nawawi (salah satu imam madzhab Syafi’i) mengatakan di dalam ‘Raudhatu ‘th-Thalibin’ I/224, Al-Maktab Al-Islami : “Niat adalah maksud. Orang yang shalat hendaklah menghadirkan di dalam ingatannya dzat shalat itu sendiri dan sifat-sifatnya yang wajib ia lakukan, seperti Zhuhriyah dan Fardhiyah dan lain-lain. Kemudian, ia memasukkan pengetahuan-pengetahuan ini secara sengaja dan menghubungkan dengan awal takbir.” [8]
Muhammad Nashruddin Al-Albani;
Niat ,yaitu : menyengaja untuk shalat menghambakan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, serta menguatkannya dalam hati sekaligus. Dan tidaklah disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan atau mengucapkan : “Usholli fardhu … rak’ah Lillahi Ta’ala” atau ucapan sejenisnya.
Berkata : “Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallam membuka sholat dengan kata-kata’Allohu Akbar’ (HR. Muslim dan Ibnu Majah). Di dalam hadist ini terdapat sebuah isyarat bahwasannya ia belum pernah membuka sholat dengan ucapan seperti yang mereka ucapkan ‘Nawaitu an usholli…’ (aku berniat sholat).
Bahkan telah disepakati bahwa hal ini adalah bid’ah. Dan mereka hanya berselisih apakah bid’ah seperti itu baik atau buruk. Sedangkan kami mengatakan bahwa setiap bid’ah di dalam ibadah itu adalah merupakan suatu kesesatan.berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :”Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap sesat neraka tempatnya.” [8]
Dishahihkan pula oleh Sayyid Sabiq dalam ‘Fiqqus Sunnah’ bahwa : “Dan ungkapan-ungkapan yang dibuat-buat dan diucapkan pada permulaan bersuci dan sholat ini, telah dijadikan oleh syaitan sebagai arena pertarungan bagi orang-orang yang diliputi was-was, yang menahan dan menyiksa mereka dalam lingkaran tersebut, dan menuntut mereka untuk menyempurnakannya. Maka anda lihat masing-masing mereka mengulang-ulanginya dan bersusah payah untuk melafadzkannya, pada hal demikian itu sama sekali tidak termasuk dalam upacara sholat.” [9]
Al-Qadhi Jamaludin Abu Rabi Sulaiman bin Umar As-Syafi’I (seorang pembesar ulama mazhab Syafi’i), ia berkata : “Mengeraskan dan membaca niat bagi makmum tidak termasuk sunnah, bahkan makruh. Jika hal itu menimbulkan gangguan (membuat bising) kepada jama’ah sholat, maka hukumnya haram.
Barangsiapa yang mengatakan bahwa mengeraskan niat adalah sunnah, maka ia keliru. Haram baginya dan lainnya berbicara dalam agama Alloh subhanahu wa ta’ala tanpa didasari ilmu. [Al A'lam 3/194 [10]
Syaikh ‘Alauddin Al ‘Athhor , belau berkata : meninggikan (niat) suara hingga menimbulkan kebisingan / gangguan kepada jam’ah sholat adalah haram secara ijma’, apabila tidak demikian (tidak menimbulkan gangguan) maka bid’ah yang keji.Jika dimaksudkan dalam melafadzkan niat itu riya’ , adalah haram dari 2 sisi yakni dosa besar dari dosa-dosa besar.
Adalah benar mengingkari orang yang mengatakan bahwa melafadzkan niat itu dari sunnah.Membenarkan (niat dengan lafadz) adalah kekeliruan, dan menisbahkan keyakinan demikian pada agama ini adalah kekufuran!!….dst. lih. Majmu Ar Rosail al Kubro 1/254 [10]
Abu Abdillah Muhammad bin Qasim at-Tunisi al-Maliki, ia berkata : “Niat termasuk amalan hati. Maka mengeraskannya adalah bid’ah dan perbuatan itu juga menganggu orang lain.”[1]
Imam Abu Dawud pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, : “Apakah seorang yang hendak shalat ada membaca sesuatu sebelum takbir ?” Beliau menjawab, “Tidak ada !” [1]
Imam As-Suyuthi (salah seorang imam madzhab Syafi’i) berkata, : “Juga termasuk perbuatan bid’ah, adalah was-was di dalam niat shalat. Perbuatan ini tidak dilakukan Rasululloh dan para sahabatnya. Mereka tidak mengucapkan niat ketika shalat, melainkan hanya takbir.” [1]
Imam Asy-SYAFI’I berkata : “Was-was dalam niat shalat termasuk kejahilan tentang syariat atau kebodohan akal.” [1]
Ibnu Jauzy berkata : “Diantara tipu daya iblis adalah menipu mereka dalam niat shalat. Diantara mereka ada yang berkata, ‘Sengaja aku shalat ini dan ini,’ kemudian ia mengulanginya lagi karena ia mengira niatnya telah batal, padahal niatnya tidak gugur walaupun ia melafalkan apa yang tidak dimaksudkannya.”
______________
Referensi:
1.Secara ringkas dari Qaulul Mubin Fi Akhtahil Mushollin :Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman: edisi indonesia :Koreksi Total Ritual Shalat ,terbitan Pustaka Azzam 98-101
2.”Silsilah Al-Fatawa Asy-Syar’iyah” (edisi Indonesia) Bunga Rampai Fatwa-Fatwa Syar’iyah oleh Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail As-Sulaiman Al-Mishri, terbitan Pustaka At-Tibyan, Penerjemah Abu Ihsan
3. “Ighasatul Lahfan”, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
4. “Tazkiyatun Nufus : penulis : Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Rajab, dan Imam Al-Ghazali, pengumpul : Dr. Ahmad Farid ; pentahqiq : Majid ibnu Abi Laila, hal 18 & 20.
5. “Fathul Baari bi Syarh Shahih al-Bukhari”,(edisi Indonesia) Penjelasan Kitab Shahih Bukhari oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, peneliti Syaihk Abdul Aziz Abdullah bin Baz
6. “Zaadul Ma’ad”, hal 7, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, cet. ke-1, (edisi Indonesia) Duta Ilmu
7. “Syahdzaratil Balatin min Thayyibati Kalimati Salafinash Shalihin – Betulkah Sholat Anda”, hal 98, Imam Ahmad bin Hambal, cet. ke-X, (edisi Indonesia) Bulan Bintang
8. “Shifatu Sholati Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam , hal 85 & 86, Muhammad Nashruddin Al-Albani, Maktabah Al Ma’arif Riyadh
9. “Fiqqus Sunnah”, Jilid I – Bab Fardhu Shalat, hal 286, cet. ke-V, Al- Ma’arif
10. Qawaid wal Fawaid minal Arbaina An Nawawiyah , Fati’ Muhammad Sulthan , hal 31 , cet. II/1410 H , Darul Hijroh Linnasyr wa Attazi’ Riyadh.
11. “Sifat Puasa Nabi”, oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, (edisi Indonesia)Pustaka Al-Haura
12. “Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia”, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, (edisi Indonesia) terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, hal 98 – 104, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc99
13. Al Umm – Imam Syafi’i – 121- 1 Maktabah Syamilah
http://