Antara Laa-ilaaha illallaah & Perayaan Tahun Baru
AL-WALA’ WAL BARA’, KONSEKUENSI KALIMAT TAUHID YANG AGUNG
al-Wala’
adalah aqidah seorang mukmin yang mengharuskannya untuk bersikap loyal
dan cinta terhadap Islam dan kaum muslimin, cinta pada syi’ar-syi’ar
agama, cinta pada segenap sarana yang bisa menghantarkan menuju cinta
Allah dan ridha-Nya. Singkat kata, al-Wala’ adalah loyal dan cinta pada
segenap apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Sebaliknya, al-Bara’ adalah
aqidah mukmin yang mengharuskannya untuk membenci, berlepas diri, dan
(bahkan) memusuhi segala yang dimusuhi dan dibenci oleh Allah dan
Rasul-Nya.
Para ulama telah menegaskan
(berdasarkan dalil-dalil al-Qur-an dan al-Hadits), bahwasanya aqidah
al-Wala’ wal Bara’ (baca: cinta dan benci karena Allah) merupakan salah
satu konsekuensi kalimat tauhid “laa ilaaha illallaah” yang teragung. Ini dikarenakan “laa ilaaha illallaah” punya dua rukun yang harus bergandengan selamanya, yaitu;
- an-Nafyu (peniadaan) adanya sesembahan yang berhak diibadahi dengan haq, dan
- al-Itsbaat (penetapan) bahwa Allah adalah pengecualian dari an-Nafyu di atas. Dia adalah satu-satunya Dzat yang berhak menerima peribadatan yang haq dari makhluk.
Jadi pada kalimat “laa ilaaha...” (yang berarti: tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar) mengandung makna an-Nafyu. Sedangkan makna al-Itsbaat terdapat pada kalimat setelahnya yaitu “...illallaah” (yang berarti: kecuali hanya Allah semata).
Dua rukun tersebut dipetik dari banyak ayat al-Qur-an, di antaranya firman Allah (yang artinya):
فَمَنْ
يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Barangsiapa ingkar kepada
thagut (segala sesuatu yang diibadahi selain Allah) dan beriman kepada
Allah semata (dengan memurnikan ibadah hanya kepada-Nya saja), sungguh
ia telah berpegang pada tali yang sangat kuat.” [QS. al-Baqarah: 256]
an-Nafyu pada ayat di atas terdapat pada kalimat: “...ingkar kepada thagut”, sedangkan al-Itsbaat dipetik dari kalimat: “...beriman pada Allah semata”.
Dua rukun kalimat tauhid di
atas, mengharuskan adanya sikap al-Wala’ dan al-Bara’ dalam diri seorang
mukmin. Itulah sebabnya mengapa Allah memuji Ibrahim ‘alaihissalam
dalam al-Qur-an sebagai uswah (teladan), dikarenakan beliau telah
menegakkan konsekuensi kalimat tauhid, yaitu mencintai simbol-simbol
keimanan (al-Wala’) dan memusuhi simbol-simbol kekufuran (al-Bara’).
Allah berfirman dalam al-Qur-an tentang sikap Ibrahim terhadap
kekufuran, yang sekaligus menjadi dalil atas dua rukun tauhid di atas:
قَدْ
كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ
مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ
الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
Artinya: “Sungguh telah ada
suri teladan yang baik dari Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya
tatkala mereka berkata kepada kaum mereka (yang kafir): ‘sungguh kami
telah bara’ (berlepas diri) dari kalian dan dari apa-apa yang kalian
sembah selain Allah (an-Nafyu). Kami ingkar pada kalian, dan telah jelas
permusuhan dan kebencian antara kami dengan kalian selamanya sampai
kalian mentauhidkan hanya Allah semata (al-Itsbaat).” [QS. al-Mumtahanah: 4]
Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka jelaslah sudah bahwa ikrar kita akan kalimat tauhid laa ilaaha illallaah, tidak akan pernah sempurna sampai kita mampu membuktikannya dengan menegakkan al-Wala’ dan al-Bara’.
Kemudian, al-Wala’ dan al-Bara’ pun harus selamanya bergandengan dalam diri seorang mukmin sebagaimana al-Itsbaat dan an-Nafyu tidak terpisahkan dari rukun laa ilaaha illallaah. Maka “cinta” semata, tidak cukup jika tidak dibarengi oleh “benci” demi yang dicintai.
Betapa indahnya ungkapan Ibnu
Taimiyyah rahimahullah yang menunjukkan kedalaman pemahaman beliau akan
al-Wala’ dan al-Bara’ sebagai dua unsur yang tidak terpisahkan dari
konsekuensi laa ilaaha illallaah:
لَيْسَ
لِلْقُلُوْبِ سُرُوْرٌ وَلاَ لَذَّةٌ تَامَّةٌ إلاَّ فِي مَحَبَّةِ اللهِ،
وَالتَّقَرُّبِ إلَيْهِ بِمَا يُحِبُّهُ، وَلاَ تُمْكِنُ مَحَبَّتُهُ
إلاَّ بِالإعْرَاضِ عَنْ كُلِّ مَحْبُوْبٍ سِـوَاهُ، وَهَذَا حَقِيْقَةُ
(لا إله إلا الله) وَهِيَ مِلَّةُ إبْرَاهِيْمَ الْخَلِيْلِ عَلَيْهِ
السَّلاَمُ وَسَائِرِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ
“Hati tidak akan mungkin
merasakan kebahagiaan dan kelezatan yang sempurna, kecuali dengan
mencintai Allah dan taqarrub pada-Nya melalui segala yang dicintai-Nya.
Dan mencintai-Nya tidak akan mungkin terwujud kecuali dengan berpaling
dari segenap kecintaan pada selain-Nya. Inilah hakikat laa ilaaha illallaah, dan inilah (inti) agama Ibrahim ‘alaihissalam (kekasih Allah) beserta segenap Nabi dan Rasul.” [Majmu’ al-Fatawa: 28/32]
KEUTAMAAN MENEGAKKAN AL-WALA’ & AL-BARA’
Rasulullah bersabda:
أَوْثَقُ عُرَى الإيْمَانِ الْمُوَالاَةُ فِـي اللهِ وَالْمُعَادَةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
“Tali iman yang paling kokoh adalah; loyalitas karena Allah (sekaligus juga) memusuhi karena Allah, dan cinta karena Allah (sekaligus) membenci karena Allah.” [Hadits Hasan, Shahihul Jami’ush Shagir: 2/343]
Semoga Allah merahmati Ibnu ‘Abbas radhiallaahu’anhu yang telah berkata:
مَنْ
أَحَبَّ فِي اللهِ وَأَبْغَـضَ فِي اللهِ، وَوَالَى فِي اللهِ، وَعَادَى
فِي اللهِ فَإنَّمَا تُنَالُ وِلاَيَةُ اللهِ بِذَلِكَ، وَلَنْ يَجِدَ
عَبْدٌ طَعْمَ الإيْمَانِ وَإنْ كَثُرَتْ صَلاَتُهُ وَصَوْمُهُ حَتَّى
يَكُوْنَ كَذَلِكَ...
”Barangsiapa mencintai
karena Allah, membenci karena Allah, bersikap loyal karena Allah,
memusuhi karena Allah, maka sungguh (derajat) Wali Allah hanya bisa
diraih dengan sifat-sifat tersebut. Dan seorang hamba tidak akan pernah
mendapati lezatnya iman, betapapun banyak shalat dan puasanya, sampai
hal tersebut terwujud pada dirinya...” [Hilyatul Auliyaa’: 1/312, lih. Al-Walaa’ wal Baraa’ fil Islaam hal. 42]
Syari’at Allah dan Rasul-Nya
menghendaki adanya tembok pemisah antara keimanan dan kekufuran, antara
orang-orang mukmin dan orang-orang kafir. Jika tembok pemisah ini
runtuh, maka kebatilan akan menjadi samar karena diselubungi oleh
pakaian al-haq, demikian sebaliknya. Lambat laun, manusia akan kembali
pada era jahiliyyah, di mana kebatilan dianggap haq, dan yang haq
dianggap batil. Jika ini terjadi, maka manusia akan kehilangan
kemanusiaannya. Tatanan moral dan sosial akan hancur. Kerusakan di muka
bumi pun tidak terelakkan lagi. Allah berfirman:
إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
Artinya: “...Jika kalian
tidak mewujudkannya (yakni al-Wala’ dan al-Bara’), niscaya akan terjadi
fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” [QS. al-Anfaal: 73]
PERAYAAN TAHUN BARU DARI PERSPEKTIF AL-WALA’ & AL-BARA’
Jika ditilik dari sisi sejarah, perayaan tahun baru masehi sangat kental dengan nuansa kekufuran. Dalam The World Book Encyclopedia tahun 1984, vol. 14, hal. 237, tercata (yang artinya):
“Penguasa
Romawi Julius Caesar menetapkan 1 Januari sebagai hari permulaan tahun
baru semenjak abad ke 46 SM. Orang Romawi mempersembahkan hari ini (1
Januari) kepada Janus, dewa segala gerbang, pintu-pintu, dan permulaan
(waktu). Bulan Januari diambil dari nama Janus sendiri, dewa yang
(dikhayalkan-red) punya dua wajah, satu mengahadap ke (masa) depan, dan satu lagi menghadap ke (masa) belakang.”
Bulan Januari (bulannya Dewa
Janus) juga ditetapkan setelah Desember, dikarenakan Desember adalah
pusat Winter Soltice (musim dingin) yaitu hari-hari di mana kaum Paganis
(musyrik-red) menyembah matahari.
Bagi orang-orang Persia
(sekarang Iran-red) yang beragama Majusi (penyembah api), tanggal 1
Januari dijadikan hari raya mereka yang dikenal dengan sebutan Nairuz
atau Nurus. Kaum Majusi meyakini bahwa pada tahun baru itulah Tuhan
menciptakan cahaya sehingga memiliki kedudukan tinggi. Kisah perayaan
mereka ini direkam oleh Imam Nawawi dalam kitab Nihaayatul ‘Arob.
Dalam perayaan Nairuz tersebut, kaum Majusi menyalakan api dan
mengagungkannya. Kemudian orang-orang berkumpul di jalan-jalan, halaman
dan pantai, mereka bercampur antara pria dan wanita, saling mengguyur
antara mereka dengan air dan khamr (miras). Mereka berteriak dan
menari-nari sepanjang malam. Orang-orang yang tidak turut serta dalam
perayaan Nairuz ini disiram dengan air bercampur kotoran. [sumber: answering.wordpress.com, dengan sedikit perubahan]
Sekarang, teka-teki dari mana
asalnya tradisi kembang api di malam pergantian tahun, terjawab sudah.
Tidak lain dan tidak bukan ia adalah virus Majusi (penyembah api) yang
diam-diam telah merasuki sendi-sendi budaya kita kaum muslimin tanpa
kita sadari.
BAGAIMANA SIKAP MUKMIN SEJATI?
Bisa disimpulkan bahwa seorang muslim yang masih meyakini kalimat laa ilaaha illallaah,
maka dia harus menjalankan segenap konsekuensi kalimat tersebut, di
mana al-Bara’ termasuk di dalamnya. Seorang muslim tidak selayaknya ikut
serta dalam perayaan tahun baru, apapun bentuk dan ragamnya, termasuk
sekedar mengucapkan; “Selamat Tahun Baru”. Hal ini terlarang (baca:
haram) berdasarkan ikrar kalimat tauhid yang senantiasa kita ucapkan
sendiri, belum lagi dalil-dalil al-Qur-an dan Hadits serta keterangan
para ulama salaf yang terlalu banyak untuk disebutkan di sini.
Aqidah al-Wala’ dan al-Bara’
mengharuskan seorang muslim mempertahankan jati dirinya, tidak mudah
goyah dan latah pada budaya-budaya non-muslim yang bertentangan dengan
kemurnian budaya Islam yang telah dirasakan kejayaannya oleh Salafush
Shalih. Rasulullah bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia telah menjadi bagian dari kaum tersebut.” [Hadits Shahih, Shahiihul Jaami’: 5/270]
Penting untuk dicatat, bahwa
aqidah al-Wala’ dan al-Bara’ tidak sah jika hanya diyakini dalam hati
dan lisan semata, namun juga harus dibuktikan dengan sikap. Maka sangat
jelas kekeliruan orang-orang yang mengatakan: “Tidak mengapa mengucapkan selamat atas hari raya orang-orang kafir, selama tidak diniatkan dalam hati.”
Ini sama saja dengan klaim palsu orang-orang yang mengatakan: “Selamat atas perayaan kekafiran kalian pada Allah”, kemudian dalam hati dia berkata: “Saya tetap mencintai Allah dan Rasul-Nya”. Sungguh ungkapan kontradiktif yang tidak bisa dicerna dan diterima fitrah yang lurus.
Cukuplah kalimat emas berikut (yang konon diucapkan oleh Imam Syafi’I, lihat Fathullaah al-Hamiid hal. 348, asy-Syaamilah), menjadi jawaban bagi orang-orang semacam ini:
تَعْصِي الإلَهَ وَأَنْتَ تَزْعُمُ حُبَّهُ ** هَذَا وَرَبِّيْ فِي الْقِيَاسِ شَنِيْعُ
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَعْتَهُ ** إنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ
Engkau durhakai sesembahanmu, sementara engkau mendakwa cinta pada-Nya
Sungguh ini--demi Tuhanku--adalah perbandingan yang buruk
Andai dakwaan cintamu tulus, niscaya engkau ‘kan taat pada-Nya
Karena sejatinya, seorang pecinta akan taat pada yang dicinta.
***
Referensi Utama: al-Wala’ wal Bara’ fil Islaam, Syaikh Muhammad Sa’ad al-Qohthooniy, Cet.-1 Daar ath-Thoyyibah