Para ulama berbeda pendapat tentang seorang anak yang telah tamyiiz (namun belum baligh) menempati shaff pertama (di belakang imam).
Pendapat pertama : Membolehkannya dan dilarang memindahkannya dari tempatnya semula di shaff pertama.
Ini merupakan pendapat dari kalangan Syaafi’iyyah dan Al-Majd bin Taimiyyah rahimahullah. Mereka berdalil dengan :
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ
نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ
مِنْ مَجْلِسِهِ، ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ "
Telah
menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Abdillah, ia berkata : telah
menceritakan kepadaku Maalik, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Janganlah seseorang menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya, lalu ia duduk di tempat itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6269].
Sisi pendalilannya : Larangan dalam hadits tersebut bersifat umum, baik anak kecil ataupun orang dewasa.
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ
أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سَلَمَةَ، قَالَ: ...."
كُنَّا بِمَاءٍ مَمَرَّ النَّاسِ، وَكَانَ يَمُرُّ بِنَا الرُّكْبَانُ،
فَنَسْأَلُهُمْ: مَا لِلنَّاسِ، مَا لِلنَّاسِ، مَا هَذَا الرَّجُلُ؟
فَيَقُولُونَ: يَزْعُمُ أَنَّ اللَّهَ أَرْسَلَهُ أَوْحَى إِلَيْهِ، أَوْ
أَوْحَى اللَّهُ بِكَذَا، فَكُنْتُ أَحْفَظُ ذَلِكَ الْكَلَامَ
وَكَأَنَّمَا يُقَرُّ فِي صَدْرِي، وَكَانَتْ الْعَرَبُ تَلَوَّمُ
بِإِسْلَامِهِمُ الْفَتْحَ، فَيَقُولُونَ: اتْرُكُوهُ وَقَوْمَهُ،
فَإِنَّهُ إِنْ ظَهَرَ عَلَيْهِمْ فَهُوَ نَبِيٌّ صَادِقٌ، فَلَمَّا
كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ،
وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ، فَلَمَّا قَدِمَ، قَالَ:
جِئْتُكُمْ وَاللَّهِ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ حَقًّا، فَقَالَ: " صَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا،
وَصَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ،
فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا "،
فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ قُرْآنًا مِنِّي لِمَا كُنْتُ
أَتَلَقَّى مِنَ الرُّكْبَانِ، فَقَدَّمُونِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَأَنَا
ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ، وَكَانَتْ عَلَيَّ بُرْدَةٌ كُنْتُ إِذَا
سَجَدْتُ تَقَلَّصَتْ عَنِّي، فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنَ الْحَيِّ: أَلَا
تُغَطُّوا عَنَّا اسْتَ قَارِئِكُمْ؟ فَاشْتَرَوْا، فَقَطَعُوا لِي
قَمِيصًا فَمَا فَرِحْتُ بِشَيْءٍ فَرَحِي بِذَلِكَ الْقَمِيصِ "
Telah
menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Harb : Telah menceritakan kepada
kami Hammaad bin Zaid, dari Ayyuub, dari Abu Qilaabah, dari ‘Amru bin
Salamah, ia berkata : “…. Kami
pernah berada di sumber air yang dilewati banyak orang. Waktu itu para
pengendara dalam perjalanan melewati sumber air kami. Kami bertanya pada
mereka : ‘Ada apa dengan orang banyak ? Ada apa dengan orang banyak ? Siapakah laki-laki itu (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) ?’. Mereka menjawab : ‘Ia adalah seorang laki-laki yang mengaku diutus sebagai seorang Rasul dan mendapat wahyu begini dan begini’.
Aku lalu menghafal betul ucapan tersebut sehingga seolah-olah terpatri
dalam dadaku. Dan orang-orang Arab menunggu untuk masuk Islam bila
terjadi penaklukkan kota Makkah. Mereka berkata : ‘Tinggalkan saja dia dan kaumnya. Kalau dia berhasil menaklukkan mereka, berarti dia seorang Nabi yang sebenarnya’.
Ketika terjadi penaklukkan kota Makkah, mereka berlomba-lomba masuk
Islam. Ayahku sendiri mendahului kaumnya masuk Islam. Ketika dia
(ayahku) datang dari kota Makkah, dia berkata : ‘Sungguh kami datang dari sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Lakukanlah
shalat ini di waktu ini, lakukanlah shalat itu di waktu itu. Bila
datang waktu shalat, hendaknya salah seorang di antara kalian menjadi
muadzin, dan yang menjadi imam adalah orang yang terbanyak hafalan
Al-Qur’annya’.
Lalu mereka saling meneliti. Ternyata, tidak ada seorang pun yang
banyak hafalan Al-Qur’annya lebih banyak dariku, karena sudah banyak
mendapatkan hafalan dari para pengendara dahulu. Mereka pun mengajukan
diriku sebagai imam bagi mereka, padahal aku berumur enam atau tujuh
tahun. Dan aku di waktu itu mengenakan burdah (semacam pakaian), yang bila aku sujud, kain burdahku itu tertarik ke atas. Ada seorang wanita dusun berkata kepadaku : ‘Kenapa kalian tidak menutupi pantat imam kalian itu ?’.
Mereka pun membeli bahan pakaian sebagai gamis untukku. Belum pernah
aku bergembira lebih dari kegembiraanku ketika mendapatkan gamis itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4302].
Sisi pendalilannya : Seandainya seorang anak mumayyiz boleh menjadi imam, maka lebih layak dikatakan boleh jika ia berdiri di shaff pertama (di belakang imam).
Pendapat kedua : Mengakhirkannya dan boleh memindahkannya dari tempatnya semula di shaff pertama untuk digantikan orang yang lebih utama darinya dari kalangan dewasa dan berakal.
Ini adalah dhahir perkataan Ahmad, dan dirajihkan oleh Ibnu Qudaamah [Al-Mughniy, 2/218] dan Ibnu Rajab [Al-Qawaaid, hal. 193] rahimahumullah. Dalil mereka adalah :
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
إِدْرِيسَ، وَأَبُو مُعَاوِيَةَ، وَوَكِيعٌ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ
عُمَارَةَ بْنِ عُمَيْرٍ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي مَعْمَرٍ، عَنْ أَبِي
مَسْعُودٍ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلَاةِ، وَيَقُولُ: اسْتَوُوا، وَلَا
تَخْتَلِفُوا، فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ، لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو
الأَحْلَامِ وَالنُّهَى، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdullah bin Idriis, Abu Mu’aawiyyah, dan Waaki’, dari
Al-A’masy, dari ‘Umaarah bin ‘Umair At-Taimiy, dari Abu Ma’mar, dari Abu
Mas’uud, ia berkata : Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengusap pundak-pundak kami dalam shalat dan bersabda : “Luruskanlah
(shaff) dan janganlah kalian berselisih hingga berselisih hati-hati
kalian. Hendaklah yang ada di belakangku adalah orang-orang dewasa yang
cerdas dan berakal di antara kalian, kemudian orang yang setelah mereka,
kemudian orang yang setelah mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 432].
حَدَّثَنَا
مُعْتَمِرٌ، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسٍ، قال: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يَلِيَهُ الْمُهَاجِرُونَ،
وَالْأَنْصَارُ فِي الصَّلَاةِ "
Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, dari Humaid, dari Anas, ia berkata : “Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam senang
menempatkan di belakang beliau orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar
ketika shalat” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/100; shahih].
Sisi pendalilannya : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang yang shalat berjama’ah bersama beliau agar menempatkan orang-orang baligh, berakal, faqih, dan bagus hapalan serta bacaannya berada di belakang beliau pada shaff
pertama. Dan urutan kedekatan dengan imam berdasarkan hal tersebut,
sebagaimana imam shalat pun dipilih dengan pertimbangan demikian.[1]
Salah satu faedahnya adalah jika imam keliru atau batal/tidak bisa
melanjutkan shalat, maka makmum yang di belakangnya dapat membenarkannya
atau menggantikannya[2].
Ubay bin Ka’b pernah menarik Qais bin ‘Ubaad – yang saat itu masih kecil – saat ia menempati posisi shaff paling depan :
أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ بْنِ عَلِيِّ بْنِ مُقَدَّمٍ، قال: حَدَّثَنَا
يُوسُفُ بْنُ يَعْقُوبَ، قال: أَخْبَرَنِي التَّيْمِيُّ، عَنْ أَبِي
مِجْلَزٍ، عَنْ قَيْسِ بنِ عُبَادٍ، قال: بَيْنَا أَنَا فِي الْمَسْجِدِ
فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ فَجَبَذَنِي رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي جَبْذَةً
فَنَحَّانِي وَقَامَ مَقَامِي فَوَاللَّهِ مَا عَقَلْتُ صَلَاتِي فَلَمَّا
انْصَرَفَ فَإِذَا هُوَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ فَقَالَ: " يَا فَتَى لَا
يَسُؤْكَ اللَّهُ إِنَّ هَذَا عَهْدٌ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ إِلَيْنَا أَنْ نَلِيَهُ "، ثُمَّ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ
فَقَالَ: " هَلَكَ أَهْلُ الْعُقَدِ " وَرَبِّ الْكَعْبَةِ ثَلَاثًا، ثُمَّ
قَالَ: " وَاللَّهِ مَا عَلَيْهِمْ آسَى وَلَكِنْ آسَى عَلَى مَنْ
أَضَلُّوا " قُلْتُ: يَا أَبَا يَعْقُوبَ مَا يَعْنِي بِأَهْلِ الْعُقَدِ
قَالَ: الْأُمَرَاءُ
Telah
mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Umar bin ‘Aliy bin Muqaddam, ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Yuusuf bin Ya’quub, ia berkata
: Telah mengkhabarkan kepada kami At-Taimiy, dari Abu Mijlaz, dari Qais
bin ‘Ubaad, ia berkata : “Ketika aku shalat di masjid pada shaff paling
depan, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari belakangku menarikku ke belakang dan kemudian berdiri di tempat aku berdiri tadi.
Maka demi Allah, tidakkah aku mengerti tentang shalatku. Ketika telah
shalat telah usai, ternyata laki-laki itu adalah Ubay bin Ka’b. Ia
berkata : “Wahai anak muda, semoga Allah melindungimu dari kejelekan.
Sesungguhnya tempat ini di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah tempat kami untuk berdiri di belakang beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
Kemudian ia (Ubay) menghadap kiblat dan berkata : “Binasalah
orang-orang ‘Uqaad. Demi Rabb Ka’bah”. Ia mengucapkannya tiga kali. Ia
melanjutkan : “Demi Allah, tidaklah aku sedih pada mereka, namun aku
sedih atas orang yang mereka sesatkan”. Aku bertanya : “Wahai Abu
Ya’quub, siapakah yang dimaksud dengan ahlul-‘uqdah itu ?”. Ia menjawab : Para penguasa” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 799; shahih].
Tidak ternukil pengingkaran dari shahabat lain dari apa yang dilakukan Ubay bin Ka’b radliyallaahu ‘anhu.
Dalil yang lain :
حَدَّثَنَا
إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ:
أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي عَمْرٌو، أَنَّ أَبَا
مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ، أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ، " أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ
يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ "، وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: كُنْتُ
أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
Telah
menceritakan kepada kami Ishaaq bin Nashr, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, ia berkata : Telah mengkhabarkan
kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku
‘Amru : Bahwasannya Abu Ma’bad maulaa Ibnu ‘Abbaas telah
mengkhabarkannya : Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu
telah mengkhabarkannya : Bahwasannya mengeraskan suara ketika
orang-orang selesai sholat wajib berjama’ah, itu telah ada di masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan
Ibnu ‘Abbaas berkata berkata : “Dulu aku tahu selesainya shalat mereka
itu, jika aku mendengar suara tersebut” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 841].
Sisi pendalilannya : Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa –
yang saat itu masih kecil – tahu bahwa shalat telah selesai ketika ia
mendengar suara dzikir para jama’ah. Ini menandakan posisi Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa saat
itu tidak berada di shaff pertama. Jika ia berada di shaff pertama,
niscaya ia mengetahui shalat telah usai dengan suara salam imam (yaitu
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).
Tarjih :
Jika kita cermati hadits-hadits tentang pengajuan imam dan makmum, maka nampak bahwa ‘illat-nya adalah keberadaan akal, ilmu, dan pemahaman. Oleh karena itu, jika seorang anak yang telah mumayyiz
mempunyai pemahaman dan ilmu tentang agama – terutama dalam hal bacaan
Al-Qur’an - , maka ia tidak boleh diakhirkan dan dipindahkan dari tempat
duduknya. Apalagi jika keadaannya adalah bahwa anak tersebut merupakan
anak yang paling bagus bacaannya setelah imam dibandingkan yang lainnya.
Namun
jika si anak tidak dalam keadaan yang disebutkan, sementara banyak
orang dewasa yang lebih berilmu dan baik bacaan Al-Qur’annya, maka boleh
ia diakhirkan dan dipindahkan sebagaimana yang dilakukan oleh Ubay bin
Ka’b radliyallaahu ‘anhu.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – sardonoharjo, ngaglik, sleman, 1432 H].
[1] Dasarnya adalah hadits :
وحَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَأَبُو سَعِيدٍ الأَشَجُّ كِلَاهُمَا،
عَنْ أَبِي خَالِدٍ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ
الأَحْمَرُ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ إِسْمَاعِيل بْنِ رَجَاءٍ، عَنْ أَوْسِ
بْنِ ضَمْعَجٍ، عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الأَنْصَارِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: " يَؤُمُّ الْقَوْمَ،
أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ، فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً،
فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً،
فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً،
فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي
سُلْطَانِهِ، وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ، إِلَّا
بِإِذْنِهِ "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Abu Sa’iid
Al-Asyaj, keduanya dari Abu Khaalid – Abu Bakr berkata : Telah
menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar - , dari Al-A’masy, dari
Ismaa’iil bin Rajaa’, dari Aus bin Dlam’ah, dari Abu Mas’uud
Al-Anshaariy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Yang
berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling
banyak hafalan Al-Qur’annya. Kalau dalam Al-Qur’an kemampuannya sama,
dipilih yang paling mengerti tentang As-Sunnah. Kalau dalam hal
As-Sunnah juga sama, maka dipilih yang lebih dahulu berhijrah. Kalau
dalam berhijrah sama, dipilih yang lebih dahulu masuk Islam. Janganlah
seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasannya, dan janganlah
ia duduk di rumah orang lain di tempat duduk khusus/kehormatan untuk
tuan rumah tersebut tanpa ijin darinya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 673].
Baca juga artikel : Yang Paling Berhak Menjadi Imam & Imam Bacaannya Kurang Bagus.
[2] Sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Amru bin Maimuun rahimahullah :
إني
لقائم ما بيني بينه (عمر بن الخطاب) إلا عبد الله بن عباس غداة أصيب
،...... فما هو إلا أن كبَّر فسمعته يقول: قتلني أو أكلني الكلب حين
طعنه،.... وتناول عمر يد عبد الرحمن بن عوف فقدَّمه،..... فصلى بهم عبد
الرحمن صلاة خفيفة
”Aku
ketika itu sedang berdiri, sementara antara aku dengannya (yaitu ’Umar
bin Al-Khaththab) hanya ada ’Abdullah bin ’Abbas - pada hari ketika
beliau tertikam. Saat itu ’Umar hanya bertakbir dan aku mendengarnya
berkata : ”Aku dibunuh atau aku dimakan oleh anjing” ; yaitu ketika
beliau tertikam. ’Umar segera memegang tangan ’Abdurrahman bin ’Auf dan
mengajukannya sebagai imam. ’Abdurrahman langsung shalat mengimami
jama’ah secara ringkas” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3497 dengan peringkasan].
Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan
: ”Dalam hal itu ada indikasi yang membolehkan seorang imam mengambil
pengganti ketika ia berhalangan sehingga tindakan itu harus diambil.
Karena para shahabat membenarkan tindakan ’Umar dan tidak ada yang
menyalahkannya, sehingga menjadi ijma’. Demikian juga tindakan serupa
dilakukan oleh ’Aliy dan para shahabat juga membenarkannya” [Nailul-Authaar 2/416].
0 komentar:
Posting Komentar