Ini adalah sebuah kisah nyata yang ana alami sendiri bersama jamaah tabligh selama 6 tahun, dulu ana merupakan salah satu pengikut dan pembela mati2an jamaah tabligh. sebuah jamaah baru dari india yg didirikan oleh syaikh Maulana Ilyas Al kandahlawi bersama teman dan keluarganya.yang sudah tidak asing lagi bagi kita semua. jamaah tabligh memang sangat handal dalam mempengaruhi orang2 awam, kyai, ustadz, dan tentu dalam tanda petik "tidak semua". mereka dulu sangat menyejukkan hati dan pikiran ana, namun setelah ana masuk lebih dalam secara kritis ternyata ana temukan penyimpangan2 yg luar biasa. sebenarnya ana sudah merasakan ketidak beresan dengan jamaah ini, 3 tahun setelah ana ikut dengan aktifitas mereka, namun ana coba utk berhusnudzon kepada mereka, karena mereka juga mengamalkan sunnah, dan mendakwahkan sunnah ( sunnah2 tertentu yg lazim, itupun sudah terkotori oleh bid'ah ).Mengapa saya Keluar dari JT...???
ini berawal ketika ana berinteraksi dengan empat manhaj ( manhaj tabligh, manhaj NU , manhaj ikhwani/hizbi dan manhaj Salaf),keberadaan ana dalam interaksi ketat antara keempat manhaj inilah yg membuat ana terpacu utk mencari kebenaran yg lebih rojih diantara 4 itu, silih berganti ana masuk kepada keempatnya, karena ana sejak dulu berkeyakinan, kebenaran hanya satu, dan golongan yg selamat pasti hanya satu( berdalil dari hadits iftiroqul ummah), dan ana harus mencari satu kebenaran itu, satu golongan itu... ibaratnya ana seperti musafir yg mencari satu berlian yg langka di zaman ini. di NU ana dilahirkan dan dibesarkan, keluarga ana dari umi dan abah adalah NU tulen dari generasi ke generasi, saya sangat terwarnai pada waktu itu, namun al hamdulillah meskipun demikian, saya berangkat dari pemikiran NU yg hanif, dimana abah tidak mau bertaklid dengan ke NU an meskipun beliau berpemahaman NU( asy'ariyah), beliau menolak sufiyah, dan tabaruk di kuburan. alhamdulillah sejak awal ana sudah ber basic seperti ini. walaupun pemahaman abah sedemikian itu, namun ana juga pernah ziarah kekuburan wali(yg dianggap wali oleh mereka), namun ana langsung timbul pertanyaan, masa orang yg sudah meninggal bisa ngasih bantuan, menghubungkan dengan Alloh? itu yg langsung terbesit dari benak ana. sampai pada titik klimaksnya ana kenal dengan Ikhwanul Muslimin di sekolah SMA ana dulu, dan mulailah perbandingan pemahaman ana lakukan, melalui dialog dengan mereka dan berdiskusi dengan mereka, dan tibalah pada klimaksnya ana berittikad utk keluar dari keyakinan NU dan beralih pada pemahaman Ikhwanul Muslimin yg pada waktu itu mendirikan PK (Partai Keadilan), mulailah ana dengan interaksi, aktfitas PK ana sering ikuti, mulai dari kajian liqo' sampai turun kejalan utk kampanye, setelah ana mengenal PK lebih jauh, ana berfikir kenapa begitu militan sekali mereka ini, sampai bikin sistem partai, padahal secara logika umat islam akan semakin terkotak2, maka dari sinilah ana mengenal jamaah tabligh di masjid kampung ana. dan melaui diskusi panjang lebar otomatis dengan basic pemahaman ikhwani dan NU yg masih merwarnai ana, sampai titik akhir ana merasa kalah dengan bujukan JT, pada waktu itu ana melihat JT lebih simpel, sifatnya menyatukan umat baik dari NU, Muhammadiyah, dll bisa masuk tanpa susah payah...inilah yg membuat ana tertarik pada JT. dan disinilah ana berlama2 sampai 6 tahun bergabung dengan mereka... suatu hari ana keluar 3 hari dengan karkun di daerah bawen bersama Orang tua halaqoh bawen (ungaran-semarang) saat itu ana sudah bergabung selama 3 tahun dengan JT, dan ana sudah menikah, ana mencari kontrakan rumah dan ana di tawari di rumah karkun juga yg sudah belasan tahun ikut JT bahkan sudah pernah ke IP (IP= india pakistan, pada waktu itu tertib khuruj belum sampai ke bangladesh tapi ke India dan pakistan, sekarang ada tertib keluar 4 bulan IPB, india, pakistan dan bangladesh), ana putuskan mengajak istri ana tinggal di rumah karkun itu, dan alangkah terkejutnya ana ketika ana, ketika karkun pemilik rumah itu menyodorkan secarik kertas yg berisi amalan wirid agar di baca sebelum mendiami rumahnya. amalan itu adalah membaca Allohumma anzilni mubarokan wa anta khoirun munzilin sebanyak 4444 kali, tentu ana terima saja walaupun keyakinan ana berseberangan dengan dia, bahkan ana tidak mengamalkan amalan tersebut setelahnya, dan semakin terkejut lagi ketika di rumahnya yg super besar itu terdapat rajah2, jimat, hizib dan tulisan2 tanpa terbaca di setiap pintu, jendela, dan kamar yg intinya sebagai tolak kebakaran, tolak maling, tolak jin dll. istighfar ana tak habis2 saat itu, dan lebih anehnya lagi ketika itu ana sampaikan pada senior lain mereka justru tersenyum dan berkata... "satu hati saja...ga masalah", dari sinilah ana mulai ragu... dan ana sampaikan pada teman2 karkun sehingga merekapun menyuruh ana keluar lebih lama yaitu 40 hari, dan akhirnya terwujud di jogja, ana bergabung dengan beberapa karkun senior yg beristri wanita salafy( murid ja'far umar tholib) yg menjadi dosen di UAD jogja, dari sana ana yakin bahwa JT lebih bagus dari salafy, buktinya istri karkun itu seorang salafy, pada waktu itu ana terus bertanya2, kok bisa ya??? padahal salafy kan kuat2 dalam berdalil dan menyesatkan JT, (pada waktu itu ana juga sudah kenal Laskar Jihad ja'far umar tholib) dan juga sering berdebat dengan mereka dalam masalah agama dan membela JT, semua yg dituduhkan JT kepada salafy ana koreksi dan telusuri kebenarannya, demikian juga dengan tuduhan salafy pada JT juga ana telusuri kebenaranya, saat ana dapat selebaran fatwa sesat JT dari ulama timur tengah, ana langsung ambil bantahan dari buku yg juga merupakan bantahan dari JT atas fatwa tersebut, yaitu sebuah buku karangan Abdul Kholiq pirzada dari mesir yg diterjemahkan oleh Ust. Masrohan Ahmad dari semarang(ust.JT)yg berjudul " MAULANA ILYAS DIANTARA PENENTANG DAN PARA PENGIKUTNYA"(sekarang buku itu masih ada) berisi tentang fatwa terbaru dari ulama kibar timur tengah, disana juga disertakan ulama2 penentang dan pendukungnya, ana tidak merasa puas dengan buku itu karena masih rancu dan simpang siur, maka ana tanya kepada salah satu salafy, namanya Abu Umar cilacap( semoga Alloh memberkahi kehidupannya) dari beliau ana belajar tentang manhaj salaf, belajar tauhid, belajar hadits shohih dan belajar tentang iftiroqul ummah, termasuk belajar amalan2 sunnah dan mengenali bid'ah. ketika ana sampai pada masalah bid'ah dan sunnah/ tentang manhaj 4 imam, luar biasa detailnya pembahasan ilmu ini sehingga dibutuhkan kematangan akidah, kelurusan akidah dan pelepasan baju fanatik golongan, ana pada waktu itu terus membuktikan ilmu yg ana dapatkan pada kajian salaf, kepada aktifitas JT selama ini dan ana mulai ragu dan ragu, semakina lama ana keluar khuruj dengan JT, semakin terbukti apa yg ada dalam ilmu salaf itu... bahkan ana sering ngajak karkun ngaji salaf dan banyak dari mereka menolaknya, dengan congkak mereka berkata" saya tidak mau ngaji salaf karena bikin orang suka hujat dan membid'ahkan" diantara mereka juga ada yg ngaji salaf namun berada pada kondisi seperti saya..yaitu ragu2 terhadap JT, suatu hari ana berdebat dengan seorang amir tentang masalah penyamaan Rosululloh dengan kodok, dan ana terkejut ketika mereka bilang yg penting niatnya bagus, berikut nukilan tulisan ana atas kejengkelan ana pada penyamaan itu yg juga ana tulis di comment blog JT dan salafi :
"ana punya banyak pengalaman di JT yg sangat membuat saya naik darah dan naik pitam, walaupun ana dulu belum keluar dari JT, yaitu ketika amir shof bayan maghrib amir itu menyamakan Nabi Shollallohu’alaihi wasallam dengan kodok(na’udzubillah) mereka bilang” Nabi muhammad ibarat kodok yg hidup pada dua alam yg memperingatkan ikan2 agar tidak mau terpancing kail manusia ( keduniaan), begitu juga Nabi juga memperingatkan manusia karena ia pernah melihat neraka dan syurga,sekaligus hidup didunia bercakap dengan manusia memberi nasehat pada manusia yg lain.” alangkah murkanya saya ketika amir itu setelah ana luruskan malah bilang yg penting niatnya baik, dia bilang innamal a’malu biniyyat” bahkan saya dituduh membuat tidak satu hatinya jamaah yg ikut khurj karena mendebat amir. ini pengalaman ana ketika ana khurj di wilayah ungaran jawa tengah.
Orang
tua halaqoh bawen (senior tabligh di bawen jateng semarang), pernah
memberi ana amalan membaca Allohumma anzilni munzalan mubarokan wanta
khoirul munzilin sebanyak 4444, karena ana baru mau menempati rumah
kontrakan miliknya. dan ana juga mendapati di jendela2 pintu2, ada
azimat dan rajah/hizib serta macam2 lafadz tak terbaca yg katanya untuk
tolak balak. ini ana alami sendiri, jadi jika mereka menyangkal mereka
tidak melakukan kebid’ahan dan kesyirikan dan bahkan pernah ngaku bukan
sufi, itu karena mereka tidak tahu menahu dengan JT itu sendiri.
bagaimana mungkin Jamaah yg mengaku menghidupkan sunnah mengajarkan
wirid bid’ah, amalan kencing berdehem dan berjingkat, menjilati jari ala
mereka dengan membaca doa tertentu setelah makan, katanya supaya
tangannya bisa kuat saaat menghadapi lawan (pukulan brojo musti) ini ana
dengar dan ana alami sendiri bahkan ana dulu ikut mendakwahkannya.
ketika ditanya ilmu jawabanya ngawur
*ana pernah bertanya pada mereka tentang islam, maka mereka menjawab islam itu : syariat, hakikat,ma’rifat. (sama dengan kitab bathil al hikam sufiyah) dan bahkan dalam takrir yg diulang ulang dalam tertib dan buku panduan tabligh mereka mengatakan ahli thoriqoh(sufi) bagi mereka adalah termasuk tiang / pilar agama islam yg jika tidak ada maka akan robohlah islam,(na’udzubillah).nah anehnya ketika saya tanyakan apakah mereka sufiyah mereka bilang tidak, kami hanya belajar dari thoriqohnya sufi.(bingung kan?) dilain tempat ana tanya karkun jogja, apa antum tau bahwa kita harus menghormati orang sufi, mereka menjawab saya bukan sufi tapi orang islam. tiudak ada kaidah yg baku karena mereka berkata tanpa kesatuan hati dan fikir sebagaimana yg mereka gembar gemborkan, kalolah dia sehati dan sefikir itu apabila dalam tertib2 tabligh aja sedangkan masalah tauhid mereka menyerahkan pada masing2 yg diyakininya, ini kan repot dan bahaya…ya ana langsung mengadakan studi kritis dengan keluar 4o hari dan hasilnya ana semakin kuat untuk segera keluar dari JT, dan sampai sekarang ana sudah bertaubat dari pemikiran dan aktifitas JT(ini saya nukil dari perjalanan kisah saya bersama JT )"
*ana pernah bertanya pada mereka tentang islam, maka mereka menjawab islam itu : syariat, hakikat,ma’rifat. (sama dengan kitab bathil al hikam sufiyah) dan bahkan dalam takrir yg diulang ulang dalam tertib dan buku panduan tabligh mereka mengatakan ahli thoriqoh(sufi) bagi mereka adalah termasuk tiang / pilar agama islam yg jika tidak ada maka akan robohlah islam,(na’udzubillah).nah anehnya ketika saya tanyakan apakah mereka sufiyah mereka bilang tidak, kami hanya belajar dari thoriqohnya sufi.(bingung kan?) dilain tempat ana tanya karkun jogja, apa antum tau bahwa kita harus menghormati orang sufi, mereka menjawab saya bukan sufi tapi orang islam. tiudak ada kaidah yg baku karena mereka berkata tanpa kesatuan hati dan fikir sebagaimana yg mereka gembar gemborkan, kalolah dia sehati dan sefikir itu apabila dalam tertib2 tabligh aja sedangkan masalah tauhid mereka menyerahkan pada masing2 yg diyakininya, ini kan repot dan bahaya…ya ana langsung mengadakan studi kritis dengan keluar 4o hari dan hasilnya ana semakin kuat untuk segera keluar dari JT, dan sampai sekarang ana sudah bertaubat dari pemikiran dan aktifitas JT(ini saya nukil dari perjalanan kisah saya bersama JT )"
Demikian Sebagaimana yang saya kutip dari : www.mantanjt.blogspot.com
Berbicara Tentang Jamaah Tabligh... [1]
Jama’ah Tabligh Mengamalkan Hadits-Hadits Dha’if dan Palsu
Hal
ini, salah satu hal berbahaya yang dimiliki oleh Jama’atut Tabligh.
Mereka meriwayatkan segala hadits atau kabar yang ada, walaupun tanpa
kendali dan tali kekang. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Barang siapa yang berkata atasku apa-apa yang tidak
pernah aku katakan, maka tempatkanlah tempat duduknya di neraka” [2].
Dalam
hadits yang lain : “Sesungguhnya kedustaan atasku tidak seperti
kedustaan atas orang lain. Maka barang siapa yang berdusta atasku
dengan sengaja, tempatkanlah tempat duduknya di neraka” [3].
Dan
dalam hadits yang keempat, beliau bersabda : “Barang siapa yang
mengatakan sebuah hadits dariku dia mengira (menyangka) hadits tersebut
dusta, maka ia salah satu diantara dua pendusta” [4].
“Yura”
artinya “yudzon”, yaitu “diperkirakan”. Maka, perhatikanlah! Sekedar
penyangka/mengira saja (sudah dianggap dusta), apalagi orang yang
jahil (tidak tahu menahu) terhadap hadits tersebut. Orang yang berkata
: “Saya belum yakin, apakah hadits ini shahih atau tidak shahih ?”.
Hanya sekedar mengira saja, dan belum pasti dalam mengetahui apakah
hadits tersebut shahih atau tidak shahih, hal ini telah memasukan
pelakunya ke dalam golongan orang-orang yang tertuduh berdusta atas
Nabi,
Oleh
karena itu imam Ibnu Hibban menyebutkan hadis ini dalam muqodimah
kitabnya al-majruhin dan muqaddimah kitab ash-shahih-nya, beliau
berkata : “Maka orang yang ragu-ragu terhadap apa yang
diriwayatkannya sama seperti orang yang berdusta atas Rasulullah”.
Dalam
hal ini, Jama’attut-Tabligh memiliki keajaiban-keajaiban dan
keanehan-keanehan yang luar biasa hadits yang meraka sebutkan jika
seandainya pun shahih kadang mereka tidak bisa mengucapkan lafazh-nya
dan tidak memahami makna nya dengan baik dan benar. Dan hadits yang
tidak shahih berupa hadits dha’ifun jiddan (lemah sekali), maudhu’
(palsu), dan yang tidak ada asal-usulnya sama sekali; pada mereka sangat
banyak dan saya, bersana mereka dalam hal ini memiliki beberapa kisah
dan khabar.
Suatu
saat salah seorang diantara mereka (jama’atut Tablihg) menyebutkan
sebuah hadits yang tidak ada asal usulnya sama sekali. Maka, saya
katakan kepadanya: “Hadits ini tidak ada asl-usulnya”.
Dia
pun dengan kebodohannya menjawab :”Akan tetapi hadits dha’if boleh
digunakan dalam fadha’ilul a’mal (keutamaan-keutamaan dalam beramal,
pent)”.
Lihatlah
,dia berkata haditsnya dha ,if …,padahal Saya katakan-tadi-“ tidak
ada asal – asulnya…” yakni , hadits tersebut dusta (palsu). Dia tidak
bisa membedakan. Dia mengira bahwa kalimat “ haditsnya dho’if” itu
berlaku pula pada hadits palsu, hadits yang tidak ada asal usulnya
sama sekali, dan yang lemah sekali. Dia tidak mengetahui bahwa syarat
pertama dari sekian syarat bolehnya berdalil dengan hadits dha’if
adalah tidak boleh terlalu parah ke dha’f-annya.
Pada
saat yang lain, salah seorang di antara mereka, membaca hadits dari
kitab Riyadhush-shalihin. Kalian tahu bahwa kitab Riyadhush-shalihin,
tulisan (pada hadits-haditsnya) ber-harakat sempurna. Dia membacanya
dengan tanpa kaidah sama sekali. Yang marfu’ (ber-harakat dhammah) dia
baca manshub (ber-harakat fa-hah), yang manshub dibaca majrur
(ber-harakat kasrah), dan begitu seterusnya. Sampai akhirnya, ia sampai
pada penyebutan sebuah hadits. Saya masih tetap diam memperhatikan. Ia
pun menyebutkan hadits [5] dan berkata :
(para
malaikat akan bershalawat mendoakan kebaikan kepada salah seorang di
antara kalian selama ia berada di mashlaahu..), sedangkan, lafazh
hadits tersebut (seharusnya) : “fimushallahu”. Yakni. Di tempat
shalatnya (masjidnya).
Kalian tahu perbedaan arti mashla dan mushalla ?
Apa
arti al-mashla ? al-masla artinya baitun-nar, yakni rumah api, atau
tempat pembakaran. Itulah makna al-mashla secara bahasa.
Saya
pun tidak bisa diam dan lantas berteriak : “Wahai saudaraku!
Mushallahu.. bukan mashlahu!”. Akhirnya, setelah shalat ia menghampiri
saya dan beralasan: “Demi Allah, sebenarnya saya sedang sakit,” saya
pun berkata: “Wahai Saudaraku! Kamu sakit? Mengapa tadi duduk di depan
(berceramah)? Jangan duduk disana berdusta atas Nabi!” [6].
Imam
Ibnu Hibban telah menukil dalam muqaddimah kitabnya Raudhatul-‘Uqala,
beliau betkata: “Orang yang salah (keliru) dalam membaca hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sama seperti orang yang
berdusta atasnya, karena Rasululah tidak pernah mengucapkan hadits
dengan keliru”, Apa yang dimaksud dengan keliru dalam pembacaan hadits?
Yakni, ia merubah i’rab-nya (struktur bahasa) dan susunan katanya.
Lihatlah, Rasulillah berkata “fii mushallahu”, sedangkan dia berkata
“fii mashlahu’!.
Sebenarnya,
saya masih banyak memiliki bermacam pengalaman bersama mereka. Sampai
dalam masalah akidah sekalipun (mereka memiliki keanehan dan
keajaiban). Dan tidak mengapa jika saya sebutkan lagi satu pengalaman
saya bersama sebagian ikhwan saya, di salah satu masjid yang imam-nya
salah seorang dari mereka (Jama’atut-Tabligh).
Kawan-kawan
kami, seperti biasa sering melakukan diskusi bersama imam masjid
tersebut. Namun, ia pun sering menghindar dari kawan-kawan kami itu,
dan tidak mau duduk-duduk bersama mereka. Sampai akhirnya datanglah
sekelompok Jama’atut-Tabligh dari Pakistan ke Masjid tersebut. Sang
imam pun termotivasi oleh kedatangan mereka. Hingga akhirnya ia sendiri
yang mendatangi sekelompok kawan-kawan kami para pemuda salafiyyin
seraya berkata: “Saya adalah seorang ‘alim dari para ulama dakwah”.
Kemudian,
datanglah seorang dari kawan kami dan berkata: “Saya ingin bertanya
sebuah pertanyaan saja”. Sang imam pun menjawab: “Silahkan”. Pemuda
tadi melanjutkan dan berkata: “Dimanakah Allah?”
Sang
imam terhenyak sejenak, ia melihat-lihat dan terdiam. Lalu tiba-tiba
menjawab: “Silahkan kamu tanya kepada para masyayikh (ulama) negeri
kalian!”
Pemuda itu pun langsung berkata: “Apakah Allah di negeri kalian berbeda dengan Allah dinegeri kami?”
Allah
Maha Esa.. Allah itu satu! Allah berfirman : “Apakah kamu merasa aman
terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa dia akan menjungkir
balikan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu
berguncang?. (Qs. Al-Mulk/67:16).
Jama’ah Tabligh dan Bid’ah
Pada
mereka terdapat bid’ah yang banyak. Bahkan dakwah mereka terbangun di
atas bid’ah-bid’ah. Karena tiang penyangga utama dakwah mereka adalah
al-Khuruj (keluar), dengan aturan-aturan sebagai berikut. Yakni,
dalam setiap bulan (keluar) tiga hari. Dalam setahun, empat puluh
hari. Dalam seumur hidup, empat bulan. Dan dalam satu pekan terdapat
dua jaulah (perjalanan). Yang pertama, dilakukan di masjid yang
dilakukan shalat didalamnya, dan yang kedua pindah-pindah. Dan dalam
setiap hari terdapat dua halaqah semacam perjalanan) [7]
Yang pertama, dilakukan dimasjid yang dilakukan shalat di dalamnya,
dan yang kedua dilakukan di rumah. Dan mereka tidak akan ridha dengan
seseorang, kecuali jika orang tersebut berpegang teguh dengan
aturan-aturan seperti ini. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa hal ini
merupakan bid’ah dalam agama yang sama sekali tidak diizinkan oleh
Allah.
Selain
keterangan di atas, sebenarnya masih banyak bentuk bid’ah pada
mereka. Akan tetapi aturan-aturan seperti di atas telah menjerumuskan
dalam sebuah bahaya besar. Yaitu, mewajibkan apa-apa yang semestinya
tidak wajib. Maksudnya, mereka mengharuskan orang agar konsisten
dengan aturan-aturan seperti ini. Bahkan mereka menjadikan hal ini
sebagai simbol dan standar kebaikan dan keburukan seseorang.
Jadi
jika anda berpegang teguh dengan aturan-aturan mereka berupa khuruj
selama empat bulan, tiga hari, atau empat puluh hari, maka kamu tidak
demikan, maka kamu orang yang lalai dan lemah menurut mereka.
Sampai-sampai, pernah suatu saat ketika kami berada di luar negeri
(dalam rangka berdakwah, pent), dan berjumpa dengan sekelompok dari
mereka. Lalu mereka berkata kepada kami: “Khuruj-lah (keluar-lah)
kalian!”. Kami pun menjawab: “Ya kami sekarang sedang khuruj (keluar).
Kami dari Yordania, dan kini kami di Eropa. Kami sedang khuruj fi
sabilillah (keluar di jalan Allah)!”.
Ataukah
khuruj yang mereka maksud harus dengan urutan-urutan dan
batasan-batasan Jama’atut-Tabligh? Demikianlah, yang ternyata mereka
inginkan.
Sekarang
kami di sini (indonesia), meninggalkan negeri kami arab dan datang ke
sini. Ini disebut khuruj (keluar) atau dukhul (masuk)? Ini khuruj!
Tapi khuruj kami adalah khuruj yang berdasarkan ilmu, khuruj yang
sesuai dengan manhaj, dan khuruj yang sesuai dengan aqidah. Namun
sayangnya, mereka (Jama’atut Tablig) tetap tidak menganggapnya sama
sekali.
Begitulah, bid’ah jam’atut tabligh sangat banyak.
Diantara
bid’ah mereka ialah bid’ah tashawwuf. Jama’atut tabligh membai’at
pengikut mereka yang sudah lama dan konsisten dengan mereka dalam empat
thariqat shufiyah, sebagaimana yang tertulis dengan tulisan syaikh dan
tokoh besar mereka (yang bernama) In’am al Hasan. Saya memiliki
sebuah surat yang ia tulis langsung, yang ditujukan kepada syaikh saat
Al-Husyayyin. Didalam surat tersebut, In’am hasan berkata:”Kami
membaiat orang-orang lama dari para pengikut kami dalam berdakwah, atas
empat tariqat shufiyah ; asy-syahrawardiyyah, an-naqsyabandiyyah,
al-jisytiyyah, al-qodiriyyah”.
Selain
itu, merekapun memiliki kebiasaan mengusap-usap kuburan, bertabbaruk
dengan orang-orang shaleh, dan al-murabathah (berdiam diri sambil
menghadap ke satu arah tertentu, pent).
Saya
teringat peristiwa yang saya alami pada tahun 1982. Pada saat itu
saya masih remaja. Saya pergi ke negeri al-haramain asy-syarifain
(Saudi arabia), dan itulah ziarah pertama saya ke negeri tersebut.
Disana saya mencari sebagian masyayikh untuk mengambil ijazat hadits
dari mereka. Sebagaimana sayapun mengambil faidah dari sebagian
mereka. Saya bertanya : “Dimana syaikh Muhammad zakaria al-kandahlawi
?”.
Dia
berkata : “Di sana, di Darul- ‘Ulumisy-Syar’iyyah”. Dahulu dekat
dengan al-Haram, dan kini dipindahkan ke al_masjidun-Nabawi.
Maka
saya pun pergi menuju ke tempat tersebut. Saya mengetuk pintu. Lalu
keluarlah seseorang. Saya berkata kepadanya: “Saya ingin bertemu dengan
syaikh Muhammad Zakariya, saya dari Yordania, saya seorang penuntut
ilmu”.
Orang itu berkata: “Syaikh tidak bisa bertemu denganmu!”
Saya bertanya: “Mengapa?.
Ia menjawab: “Syaikh sedang ber-muabathah menghadap kuburan!
Begitulah!
Ternyata dia sedang duduk di dalam ruangannya yang dekat dengan
al-Haram sambil menghadap ke kuburan. Itulah yang disebut dengan
al-murabathah.
Inilah
kenyataannya! Ia (Muhammad Zakariya Al Kandahlawi) memiliki karya
tulis dengan judul Fadha-ilul A’mal dan juga disebut dengan Tablghi
Nishab. Adapun oleh saya, maka saya namakan Yablighi Nashshab, karena
dipenuhi oleh hadits-hadits dha’if, khurafat, bid’ah-bid’ah, dan
kesesatan-kesesatan lainnya. Wal ‘iyaadzu billaah. Demikian keadaan
Jama’atut-Tabligh dalam segala perkaranya.
Jama’ah Tabligh dan Tauhid Uluhiyyah
Mereka
tidak pernah berbicara masalah tauhid, terutama tauhid al-Uluhiyyah
dan al-Asma’ washshifat. Mereka tidak berbicara masalah tauhid,
melainkan hanya tauhid ar-Rububiyyah. Yakni, tentang siapakah Yang Maha
Pencipta? Allah. Yang Memberi Rizki? Yang Maha Menghidupkan? Yang
Maha Mematikan? Allah. Inilah yang yang menjadi kebiasaan dan
dengungan mereka. Padahal, tauhid ini tidak pernah diingkari sama
sekali oleh orang-orang kafir dahulu. Allah berfirman : “Dan
sesungguhnya jika kamu yanyakan kepada mereka Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi?”, tentu mereka akan menjawabL Allah..” (Qs.
Luqman/31:25). [8]
Akan
tetapi, mereka (orang-orang kafir dan musyrik dahulu) tidak
mendapatkan manfaat dari keimanan mereka terhadap tauhid rububiyyah belum
mengantaskannya dari lingkkaran kekufuran. Sebab, mereka hanya
beriman terhadap tauhid ar-Rububiyyah, akan tetapi keliru dalam
ber-tauhid al-Uluhiyyah (peribadatan kepada Allah dengan segala macam
bentuknya yang disyariatkan, pent), sebagaimana yang mereka ucapkan
dalam firman Allah berikut : “..Kami tidak menyembah mereka
(sesembahan-sesembahan selain Allah) melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya… (Qs.
Az-Zumar/39:3)
Lalu
datanglah Jama’atut-Tabligh dan berkata: “Tidak! Ini (tauhid) membuat
umat lari. Ini membuat umat menjauh (dari dakwah)”.
Oleh
karena itu sekali lagi mereka tidak pernah menyinggung masalah tauhid
ini. Mereka hanya berbicara masalah fadha-ilul a’mal.
Jama’ah Tabligh menganggap bid’ah lebih baik dari pada sunnah
Amir
(pemimpin) mereka yang berada di al-Hudaidah pernah berkata: “Bid’ah
yang menyatukan imat lebih baik daripada sunnah yang memecah-belah
umat”!
Seorang
yang ‘alim dan pandai dalam permasalahan agama seharusnya tidak
berkata dengan sesuatu yang batil. Dia malah berkata: “(Bid’ah yang
menyatukan umat lebih baik daripada Sunnah yang memecah-belah umat)”.
Na’uzubillah!
Sesungguhnya satu perkataan ini saja sudah cukup sebagai bukti
tentang kebodohan mereka. Bagaimana mungkin sebuah bid’ah sapat
mempersatukan umat? Lalu, apakah bid’ah memang dapat menyatukan umat?
Seandainya pun sebuah bid’ah itu mampu menyatukan umat, sesungguhnya
hal itu seperti firmanAllah tentang Bani Israil (baca: kaum Yahudi,
pent) berikut : “…kamu kira mereka itu bersatu, padahal hati mereka
berpecah belah…(Qs. Al-Hasyr/59:14).
Sehingga
seandainya pun sebuah bid’ah mampu menyatukan umat tetapi hal itu
pada zhahir-nya saja. Adapun pada batinnya, justru memecah belah
mereka. Ini berbeda halnya dengan Sunnah, seandainya pun secara
zhahir, terlihat memecah-belah umat, maka sungguh, pada hakikatnya
justru menyatukan mereka.
Bukanlah
kalian tahu bahwa di antara nama-nama Al-Qur’an ialah al-Furqan
(pembeda)? Lalu mengapa (disebut) al-Furqan? Karena Al-Qur’an
membedakan antara yang haq dan yang batil.
Dalam shahih al-Bulhari :”.. dan Muhammad memcah-belah antara manusia.” [9].
Beliau
memecah-belah manusia dengan al-haq atau dengan kebatilan? Tentu
dengan al-haq, dan beliau pun memerangi kebatilan. Demikian pula dengan
para pengikut beliau. Mereka memcah-belah umat dengan al-haq; karena
dengan al-haq, jelaslah semua yang batil dan para pelakunya. Sedangkan
bid’ah, jika pun menyatukan umat, maka sesungguhnya menyatukan di atas
kebatilan. Dan hakikat persatuan tersebut adalah persatuan di atas
kerusakan dan kebinasaan.
Jama’ah Tabligh dan Ahlus-Sunnah
Saya
pernah mendengarkan ucapan salah seorang dari mereka, tatkala ia
melihat sebuah kitab yang sedang saya baca yang membahas tentang
jama’ah-jama’ah. Dalam kitab tersebut terdapat pembahasan tentang
Jama’atut-Tabligh. Dia berkata: “Kitab ini lebih berbahaya dari pada
Yahudi dan Nasrani!.
Saya
yakin, orang itu belum membaca kitab tersebut; karena memang
Jama’atut –Tabligh tidak suka membaca. Mereka tidak suka menuntut ilmu!
Ilmu mereka hanya terbatas pada Riyadhush-Shalihin, Fadha-ilul A’mal
atau Tablighi Nashshab. Selain itu, tidak ada.
Seandainya
pun ada, maka sesungguhnya hal itu berasal dari kesungguhan usaha
pribadi tertentu saja. Sungguh indah perkataan Imam Abu Hatim ar-Razi :
“Tanda ahlul-bida’ ialah mencela ahlul-atsar (Ahlus-Sunnah)” [10].
Sebagian
ulama salaf berkata: “Tidaklah engkau melihat ulama salaf berkata:
“Tidaklah engkau melihat mubtadi’ (ahlul-bid’ah), melainkan pasti ia
membenci ahlul-hadits (Ahlus-Sunnah)”. [11]
Tidak
syak lagi, tatkala kita mengingkari dan menentang Jama’atut-Tabligh,
baik tentang kegiatan khuruj mereka, aturan-aturan mereka, maupu
pemikiran-pemikiran mereka, dan segala penyimpangan mereka, maka
pastilah mereka tidak akan ridha dengan kita. Mereka membenci kita.
Mereka pun membenci apa yang kita dakwahkan kepada kaum muslimin.
Padahal, tidaklah kita berdakwah, melainkan berdakwah supaya orang
menuju Sunnah.
Tatkala
mereka mendakwahkan dan mengajak orang lain menuju golongan dan
kelompoknya, kita senantiasa mengajak dan mendakwahkan manusia menuju
Sunnah Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang penyair
berkata: “Maka cukuplah bagi kalian perbedaan ini di antara kita
Dan setiap bangunan akan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya
Pandangan Jama’ah Tabligh Tentang Belajar Ilmu Syar’i
Dalam
pokok-pokok dakwah mereka yang enam, mereka menyatakan tentang
“ilmu”. Akan tetapi , ilmu mereka hanya sebatas Riyadhush-Shalihin,
Hayatush-Shahabah, dan Fada-ilil A’mal.
Hayatush-Shahabah
untuk kalangan orang-orang arab, sedangkan Fada-ilil A’mal atau
Tablighi Nashshab untuk orang-orang selain arab.
Kitab
Hayatush-Shahabah terdiri dari empat jilid besar. Kemudian sebagian
kawan kami –para penuntut ilmu- mentahqiq dan menyaring kembali isi
kitab itu. Sehingga jadilah kini, kitab tersebut hanya dalam satu jilid
saja. Hadits-hadits yang shahih ternyata hanya dalam satu jilid,
adapun tiga jilid lainnya berisi hadits-hadits dah’if, palsu, sangat
lemah dan munkar.
Kemudian,
sebagian orang yang menginginkan kebaikan untuk kaum muslimin dengan
mencetak ulang kitab yang sudah merupakan intisari dari hadits-hadits
yang shahih saja dalam satu jilid tersebut. Dalam jilid tersebut.
Dalam jilid kitab tersebut –sengaja- ditulis “Cetakan umum untuk
seluruh kaum muslimin, terkhusus untuk Jama’atut Tabligh”. Mengapa
ditulis demikian? Dengan tujuan pendekatan kepada mereka.
Akhirnya
dicetaklah dengan jumlah yang sangat banyak, dan dikirimkan ke salah
satu markaz terbesar Jama’atut Tabligh di Yordania sebanyak seribu
kitab. Ternyata, apa yang mereka lakukan? Mereka membakar seluruh
kitab.
Salah
satu Amir mereka berdiri sambil memegang kitab itu dan berkata:
“Kitab ini telah dipalsukan dengan mengatasnamakan Jama’atut-Tabligh!”
Padahal. Seluruh yang ada dalam satu jilid kitab tersebut,
hadits-haditsnya sudah disaring dan dipilih dalam keadaan shahih
seluruhnya. Namun, ternyata warisan leluhur mereka jauh lebih mereka
cintai daripada al-haq dan ahlul-haq, dan daripada Sunnah-nya
Ahlul-Sunnah. Sungguh amat disesalkan!
Kemudian,
salah satu bentuk kebencian mereka terhadap ilmu, jika kamu bertanya
kepada salah satu tokoh ulama atau pembesar mereka dalam masalah fikih
–misalnya-, lalu kamu berkata kepadanya: “Terjadi pada diri saya
begini dan begitu, bagaimana hukumnya?” Maka ia akan berkata kepadamu:
“Kami tidak membicarakan masa’il (permasalahan fiqih), kami hanya
berbicara masalah fadha’il (keutamaan-keutamaan)!”
Saya
memiliki bantahan terhadap jawaban mereka itu, bukankah fadha’il
(keutamaan-keutamaan) itu ada dengan sebab masa’il (permasalah fiqih)?
Keutamaan segala sesuatu dapat kita ketahui dari kesimpulan
pembahasan-pembahasan (fikih) yang ada.
Tatkala
kita membicarakan –misalnya- seseorang yang hafal dan faham benar
tentang fadha’ilush-shalah (keutamaan-keutamaan shalat), apakah orang
tersebut hanya sekedar hafal dan faham benar tentang fadha’ilush-shalah, dan ia tidak pernah melakukan shalat?
Maka
saya katakan disini, al-Fadha’il (keutamaan-keutamaan dalam beramal),
jika dibandingkan dengan al-masa’il (permasalahan fiqih), seperti
wudhu’ jika dibandingkan dengan shalat; yakni, apakah ada seseorang yang
selalu berwudhu’ tetapi sama sekali tidak pernah melakukan shalat?
Kalau begitu, apa faidah dia berwudhu? Bahkan wudhu’ tersebut bisa
menjadi penghujatnya kelak!
Jadi
apa fungsi seseorang mengetahui dan memahami al-Fadha’il
(keutamaan-keutamaan dalam beramal), jika ia tidak mau mengetahui,
menerapkan dan mempraktekkan al-masa-il (permasalahan fikih)? Sedang
Nabi bersabda: “ Barang siapa yang Alla kehendaki kebaikan padanya,
Allah akan jadikan ia pandai dalam agama..”. [12]
Berarti,
jika mereka (Jama;atut-Tabligh) tidak mau mengetahui al-haq, dan
tidak mau perhatikan terhadap al-haq, maka keadaan mereka yang jauh
dari ilmu; merupakan salah satu tanda bahwa Allah tidak memberikan
taufiq-Nya kepada mereka. Anggapan mereka, bahwa saat ini bukan waktu
untuk menuntut ilmu! Mereka menyangka saat ini adalah waktu untuk
berdakwah.
Apakah ada sebuah dakwah yang dilakukan tanpa dasar ilmu? Apakah boleh berdakwah tanpa ilmu?
Pandangan Jama’ah Tabligh Terhadap Golongan Lain
Mereka
beranggapan, tidak ada keselamatan bagi manusia kecuali dengan
menempuh jalan mereka. Mereka mengumpamakannya seperti kapal Nabu Nuh.
Orang yang menaikinya selamat, dan oarang yang tidak mau menaikinya
binasa.
Mereka
berkata: “Sesungguhnya dakwah kami seperti kapal Nabi Nuh”. Hal ini
telah kami dengar sendiri dari mereka di Yordania dan di Yaman.
Jama’atut-Tabligh,
bukan jama’ah sunnah. Dan sebenarnya, kalimat “safinatu Nuh” “Kapal
Nabi Nuh”, kutipan dari Imam Malik, saat beliau membicarakan nilai
penting Sunnah bagi seorang muslim. Kata beliau: “(As-Sunnah bagaikan
kapal Nabi Nuh. Barang siapa menungganginya, ia selamat. Dan
barang-siapa yang tertinggal darinya, ia binasa)”. [13]
Ternyata,
mereka (Jama’atut-Tabligh) menukilkan kalimat yang haq, untuk
kemudian mereka letakkan pada sesuatu yang tidak haq. Sedangkan Allah
berfirman: “Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.
(Qs. ’Ali Imran/3:132)
Jadi,
taat kepada Allah dan Rasul-Nya itulah Sunnah, yang jika seseorang
tertinggal darinya, ia akan binasa, dan yang mengikutinya akan selamat.
Bukan Jama’atut-Tabligh, yang tidak memahami al-haq dan tidak
membersihkan hak yang semestinya kepada ahlul-haq.
Pandangan Jama’ah Tabligh Terhadap Penuntut Ilmu Syar’I
Mereka
tidak siap untuk menuntut ilmu. Mereka beranggapan bahwa waktu yang
digunakan untuk menuntut ilmu adalah sia-sia. Padahal Allah telah
berfiman, yang artinya: Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan
orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) menuju Allah dengan hujjah
yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang
musyrik:. (Qs. Yusuf/12:108).
Yang dimaksud dengan al-bashirah, ialah hujjah dengan ilmu dan pengetahuan. Oleh karena itu, Allah pun berfirman:
“Maka
tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperhatikan
kepadamu..” Qs. Hud/11 ayat 112- dan perintah Allah tidak mungkin
dipraktekan dan dilaksanakan tanpa ilmu.
Sehingga
bagaimanakah mereka berdakwah menuju Allah, dan mengira bahwa mereka
berada di atas kebenaran dan petunjuk, sementara itu mereka tidak
menuntut dan tidak menghormati ilmu sama sekali?
Saya
pernah mendengar salah satu senior mereka memberikan perumpamaan
untuk membuat orang tidak sedang terhadap ilm. Kurang lebih dia
berkata: “Perumpamaan orang-orang yang menuntut ilmu dan tidak
berdakwah, bagaikan seseorang yang mempelajari buku tentang teori
belajar berenang. Dia mempelajarinya sampai samapi benar-benar hafal
dan menguasainya. Kemudian suatu saat, dia sedang berjalan di tepi
pantai, lalu menjumpai seseorang yang sedang hampir tenggelam sambil
berteriak-teriak meminta pertolongan. Tapi orang tadi (yang hafal buku
teori berenang) justru berkata: “Tunggulah sebentar, Saya buka dulu
buku teori belajar berenang. Saya akan baca cara menolong orang yang
tenggelam”.
Lihatlah perumpamaan batil yang buruk ini wal’iyadzu billah!
Di
manakah letak persamaan antara ilmu dan perumpamaan ini? Lagipula,
apakah semua orang hanya sibuk dengan membaca dan belajar buku teori
belajar berenang saja? Mereka mendapatkan perumpamaan seperti ini dari
waswasatusy-syaithan (bisikan setan), sehinga membuat orang-orang tidak
suka ilmu, dan akhirnya mereka pun jauh dari ilmu, dan akhirnya
mereka pun jatuh dari ilmu dan para ulama.
Peringatan
Salah satu hal yang berbahaya pula pada Jama’atut Tabligh adalah merubah-ubah makna
hadits dari makna yang sesungguhnya. Contohnya hadits yang berbunyi:
“Dari (tanda-tanda) kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan
apa-apa yang tidak bermanfaat baginya”. [14]
Apa
yang mereka artikan dari makna hadits ini? Mereka berkata: “Jika kamu
melihat apapun yang terjadi di masjid, maka jangan kamu ingkari;
karena Rasul telah bersabda.., “mereka pun membawakan hadits tadi.
Lihatlah!
Dengan pemahaman seperti itu, mereka membatalkan amar ma’ruf dan nahi
minkar dengan hujjah hadits di atas. Ini adalah kebatilan!
Lalu,
apakah amar ma’ruf dan nahi munkar tidak bermanfaat bagi kita? Hingga
bisa-bisanya mereka berhujjah dengan hadits di atas? Inilah substansi
kebatilan.
Demikianlah, sebagian bid’ah mereka Wal ‘iyadzu Tabaraka wa Ta’ala.
Dipublikasikan oleh : ibnuramadan.wordpress.com
Nasehat Untuk Jamaah Tabligh... [15]
Agama Adalah Nasehat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Agama
adalah nasehat, kami (para sahabat) bertanya : Untuk siapa wahai
Rasulullah ? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Untuk
Allah, Kitab-Naya, Rasul-Nya, dan untuk para pemimpin kaum muslimin dan
orang-orang muslim”. (HR.Muslim).
Sabagai aplikasi sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, maka saya ingin menyampaikan
nasehat kepada seluruh kelompok dakwah islam, agar senantiasa berpegang
teguh dengan al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih berdasarkan
pemahaman para ulama salaf, seperti : para sahabat, tabi’in, pata imam
mujtahidin dan orang-orang yang senantiasa meniti jejak mereka.
Kepada Jama’ah Tabligh
1. Nasehat
saya kepada mereka, agar perpegang teguh dalam dakwahnya dengan
al-Qur’an dan sunnah yang shahih, dan hendaklah mereka belajar
al-Qur’an, tafsir, dan hadits. Sehingga dakwah mereka benar-benar
berdasarkan ilmu, sebagaimana firman Allah ta’ala : “Katakanlah :
“Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (QS.Yusuf : 108).
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya ilmu (bisa diperoleh) hanya dengan belajar.” (Hadits hasan, lihat shahihul jami)
2. Mereka
harus berpegang teguh dengan hadits-hadits yang shahih dan menjauhi
hadits-kadits yang dhaif (lemah) dan maudu’ (palsu), sehingga mereka
tidak masuk pada yang disinyalir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”Cukup seseorang dikatakan berdusta jika menceritakan semua apa yang didengarnya.” (HR.Muslim).
3. Kepada
al-Ahbab (orang-orang yang saya cintai) agar tidak memisahkan antara
amar ma’ruf dan nahi munkar, karena Allah banyak menyebutkan secara
bersamaan dalam ayat-ayat al-Qur’an, seperti firman Allah ta’ala : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma’ ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran : 104).
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam juga punya perhatian serius dan memerintahkan kamum
muslimin untuk merubah kemungkaran, sebagaimana sabdanya Shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Barang siapa di antara kalian yang melihat
kemungkaran hendaklah merubah dengan lisannya, dan apabila tidak mampu,
maka hendaklah merubah dengan lisannya, dan apabila tidak mampu, maka
dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR.Muslim)
4. Hendaklah
mereka memperhatikan dakwah kepada tauhid dengan serius, dan
mendahulukannya atas yang lainnya, demi mengamalkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jadikanlah
per tama kali yang kalian dakwahkan kepada mereka adalah syahadat
(kalimat tauhid) la ilaha illallah.” (HR.Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lainnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sampai mereka (benar-benar) mentauhidkan Allah.” (HR.Bukhari).
“Mentauhidkan
Allah”, maksudnya adalah : mengesakan Allah dalam semua jenis ibada,
lebih-lebih dalam hal Do’a, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Do’a adalah Ibadah,” (HR.Tirmidzi. Beliau berkata : Hadits ini hasan shahih).
Nasihat umum kepada seluruh kelompok
Saya
sekarang sudah tua renta, umur saya sekarang telah mencapai 70 tahun,
dan saya mengharapkan kebaikan bagi semua kelompok, oleh karena itu
untuk mengamalkan hadits nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Agama itu
nasehat”, saya ingin menyampaikan bebrapa nasehat ini :
1. Agar
semua kelompok berpegang teguh dengan al-Qur’an dan sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk ketaatan terhadap firman
Allah : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan jangan kamu bercerai-berai..”(QS.Ali Imran : 103). Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Telah
saya tinggalkan kepada kalian dua perkara, selama kalian berpegang
teguh dengan kedudukannya, maka tidak akan tersesat, yaitu (kitabullah
al-Qur’an dan sunnah Nabinya Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (HR.Malik dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami).
2. Apabila
jama’ah-jama’ah yang ada berselisih, hendaknya mereka kembali kepada
al-Qur’an fan hadits serta amalan para sahabat, Allah ta’ala berfirman
: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kemu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya,”(QS.An-Nisa : 59). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wajib
bagi kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnahnya para
Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah
dengannya.” (Hadits shohih riwayat Imam Ahmad).
3. Hendaklah
mereka memperhatikan dakwah tauhid yang menjadi prioritas dan pusat
perhatian al-Qur’an. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memulai dakwahnya kepada tauhid dan memerintahkan para sahabatnya agar
memulai dengannya.
4. Sesungguhnya
saya telah masuk dan bergaul dengan kelompok-kelompok dakwah islam,
dan saya lihat bahwa dakwah salafiyahlah yang konsisten dengan
al-Qur’an dan sunnah menurut pemahaman salafus shaleh, yaitu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam para sahabatnya dan para tabiin.
Dengan sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi
isyarat tentang kelompok tang satu ini dalam sabdanya : “Ketahuilah
bahwasanya orang-orang sebelum kamu dari ahlikitab berpecah belah
menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umat ini akan berpecah belah
menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua di dalam neraka dan
yang satu di surga yaitu al-Jama’ah.” (HR.Ahmad dan dinyatakan holeh al-Hafidz Ibnu Hajar). “Semua di dalam neraka kecuali satu yaitu apa yang saya dan para sahabatku ada diatasnya.”
(HR.Tirmidzi dan dihasankan oleh al-Albani). Dalam hadits diatas
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada kita,
bahwasanya orang yahudi dan nasrani berpecah belah menjadi lebih banyak
dari mereka, dan kelompok-kelompok yang banyak ini terancap masuk
neraka, karena menyimpangnya dan jatuhnya dari kitab Allah dan sunnah
Nabi-Nya. Dan bawasanya hanya satu kelompok yang selamat dari neraka dan
masuk surga, yaitu al-Jama’ah (kelompok yang berpegang teguh dengan
al-Qur’an dan sunnah serta amalan para sahabat). Keistimewaan
dakwah salafiyah adalah dakwah kepada tauhid, memerangi syirik,
mengetahui hadits-hadits yang shahih dan memperingatkan umat dari
hadits yang dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu), serta memahami
hokum-hukum syariat dengan dalil-dalilnya. Dan ini sungguh sangat
penting bagi setiap muslim. Oleh karena itu, saya menasehati seluruh
saudara-saudaraku kaum muslimin, agar senantiasa konsisten dengan dakwah
salafiyah, karena dakwah tersebut adalah dakwah yang selamat dan
kelompok yang mendapat pertolongan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Akan
senantiasa ada dari umatku satu kelompok yang tanpak diatas
kebenaran, tidak memudharatkan mereka orang yang menghinakan mereka
sampai dating urusan Allah.” (HR.Muslim). Midah-midahan Allah menjadikan kit ate rmasuk kelompok yang selamat dan mendapat pertolongan.
Footnote :
[1]
Naskah ini merupakan ringkasan dari keterangan Syaikh ‘Ali Hasan
al-Halabi terhadap kitab Hadzihi D’watuna Wa ‘Aqidatuna (Inikah Dakwah
dan Aqidah Kami), karya Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’I pada point
ke-16 tentang Jama’ah Tabligh. Penjelasan ini disampaikan Syaikh ‘Ali
bin al-Halabi pada acara Daurah Syar’iyyah VIII, di Trawas, Mojokerto,
yang berlangsung pada 29 Muharram – 6 Shafar 1429 H atau 7-13 Februari
2008. Diterjemahkan oleh Ustadz Abu “abdillah Arief Budiman bin Usman
Rozali dengan beberapa tambahan subjudul dan footnote dari
penterjemah. Yang dimuat pada Majalah As-Sunnah
Edisi 01/THN.XII/1429H/2008M. Peringkasan dilakukan karena
keterbatasan halaman. Mohon Maaf.
[2] HR al-Bukhari (1/52 no. 109), dan lain-lain dari Salmah bin Al ‘Akwa
[3] HR al-Bakhari (1/434 no. 1229), Muslim (1/10 no.4), dan lain-lain, dari al-Mughiirah bin Syu’bah
[4] Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya (1/8), dari al-Mughirah bin Syu’bah
[5]
HR al-Bukhari (1/171 no. 434), Muslim (1/459 no. 649), dan lain-lain,
dari Abu Hurairah. Dan lafazh hadits Nabi di atas dalam shahih
al-Bakhari
[6]
Apa hubungan antara penyakitnya dengan kesalahan dalam membaca
harakat pada hadits Nabi di atas? Sungguh sebuah alasan yang secara
zhahirnya mengada-ada dan tidak tepat pula. Wallahul-Musta’an
[7]
Orang mungkin memahami; bukanlah ini hanya aturan untuk ketertiban
seperti jam dan jadwal sekolaj? Jawabannya: Tidak demikian, sebab
aturan yang mereka buat sebagai disiplin beragama, sedangkan jam dan
jadwal hanya aturan administrasi dan tidak terkait dengan disiplin
beragama.
[8] Lihat pula ayat-ayat serupa dalam Surat al-Ankabut/29 ayat 61, az-Zumar/39 ayat 38, dan az-Zukhruf/43 ayat 9. (pent)
[9] HR. al-Bukhari (6/2655 no.6852) dari hadits Jabir bin Abdillah
[10]
Lihat Syarhu Usull I’tiqadi Ahlis-Sunnati wal-Jama’ah (1/200), karya
al-Imam Abul-Qasim Hibatullah bin al-Hasan bin Manshur ath-Thabari
al-Lalika’I (418 H)
[11] Lihat Szammul-Kalami wa ahlihi (2/72 no.229), karya Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Anshari al-Harawi (396-481 H)
[12] HR al-Bukhari (1/39 no.71), Muslim (2/718 no. 1073), dan lain-lain, dari hadits Mu’awiyyah bin Abi Sufyan
[13] Lihat Dzammul-Kalami wa Ahlihi (5/80-81 no. 872).
[14]
HR at-Tirmidzi (4/558 no. 2317), Ibnu Majah (2/1315 no. 376), dan
lain-lain, dari Abu Hurairah. Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh
al-Albani dan Shahih Sunan at-Tarmidzi (2/530-531 no. 2317), Shahih
Sunan Ibnu Majah (3/302 no.3226), dan kitab-kitab beliau lainnya.
[15] Dialihbahasakan oleh Abdurrahman Hadi Lc. Dari kitab “Kaifa Ihtadaitu ila at-Tauhid wa ash-Shiratil Mustaqim” Oleh : Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Vol.6 No.6 Edisi 38 - 1429H]
Sumber Artikel: