Secara harfiah (bahasa), al-Walaa’ memiliki banyak pengertian. Ibnul A’raaby rahimahullaah memberikan
gambaran seperti berikut: Jika terjadi pertikaian di antara dua orang,
lantas orang ketiga datang bertugas mendamaikan, namun hawa nafsunya
justru condong untuk membela salah seorang di antara keduanya, maka
orang ketiga tersebut dikatakan memiliki Walaa’ kepada teman yang dibelanya.
Jika dikatakan “Waala Zaidun Muhammadan” (Zaid walaa’ kepada Muhammad), maka maksudnya adalah “Zaid mencintai Muhammad”. Alhasil, kata al-Walaa’ dan kata-kata yang serumpun dengannya seperti; Wali, Muwaalaat, Maulaa, dll, semuanya bermuara pada dua makna inti, yaitu; cinta dan pertolongan . [lih. Lisaanul ‘Arob: 15/409, Ibnu Manzhuur, cet. Daar Shoodir, 1414-H]
Sedangkan al-Baraa’ secara harfiah, adalah lawan dari al-Walaa’ yang mengandung arti: kebencian pada sesuatu, pemisahan (diri), lepas dan jauh dari sesuatu.
Adapun secara istilah, al-Walaa’ wal Baraa’
adalah kecintaan dan loyalitas lahir batin kepada Allah, kepada
Rasul-Nya, kepada Islam dan kaum muslimin, diiringi dengan sikap
permusuhan, berlepas diri, dan benci lahir-batin kepada segala sesuatu
yang dibenci oleh Allah, berupa kekufuran, kesyirikan, syi’ar-syi’ar
kekafiran dan orang-orang kafir.
al-Qur-aan Berbicara Tentang al-Walaa’ & al-Baraa’
Ayat-ayat berikut ini akan menjelaskan makna-makna al-Walaa’ wal Baraa’ secara lebih mendetail:
Pertama: al-Walaa’ adalah saling tolong menolong antar sesama mukmin.
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ
وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ
سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah Auliyaa’ (menjadi penolong bagi sebahagian yang lain).
mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. at-Taubah: 71]
Kedua: al-Walaa’ adalah saling menyayangi sesama mukmin, di sisi lain al-Baraa’ adalah bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir.
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad sebagai utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras (dan tegas) terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka...” [QS.
al-Fath: 29]
Ketiga: al-Baraa’
adalah sikap anti mengangkat orang-orang kafir sebagai wakil atau
penolong (apalagi sebagai pemimpin), serta berhijrah (berlepas diri)
dari komunitas kafir (kesyirikan) menuju komunitas Islam (keimanan).
وَدُّوا
لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلا تَتَّخِذُوا
مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Mereka (orang-orang kafir) ingin
supaya kalian menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu
kalian menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kalian jadikan di
antara mereka Wali (penolong-penolong) kalian, sampai mereka berhijrah pada jalan Allah...” [QS. an-Nisaa’: 89]
Keempat: al-Baraa’ adalah tidak mencintai orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka adalah keluarga kita yang terdekat.
لا
تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ
مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ
أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang
beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang
itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga
mereka...” [QS. al-Mujaadilah: 22]
Kelima: al-Baraa’
adalah membenci dan berlepas diri dari orang-orang kafir, membenci dan
berlepas diri dari sesembahan mereka, termasuk aqidah mereka, ritual,
tradisi dan gaya hidup yang merupakan kosekuensi kesesatan aqidah
mereka.
قَدْ
كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ
مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ
الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan
yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan
dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman (dengan tauhid) kepada Allah saja...” [QS. al-Mumtahanah: 4]
Ayat-ayat yang berbicara tentang prinsip al-Walaa’ wal Baraa’
sangatlah bertebaran di dalam al-Qur-aan. Menunjukkan betapa urgennya
prinsip ini sehingga wajib tertanam di hati-hati kaum muslimin. Syaikh
Hamd bin ‘Atiiq rahimahullah mengatakan:
إنه ليس في كتاب الله تعالى حكم فيه من الأدلة أكثر ولا أبين من هذا الحكم - أي الولاء والبراء - بعد وجوب التوحيد وتحريم ضده
“Sesungguhnya tidak ada dalam
al-Qur-aan, suatu hukum yang dalilnya lebih banyak (dijumpai) dalam
al-Qur-aan dan lebih jelas daripada hukum ini (yakni al-Walaa’ wal Baraa’) setelah hukum tentang kewajiban tauhid dan keharaman dari lawannya (syirik).” [an-Najaatu wal Fikaak hal. 14, dinukil dari al-Walaa’ wal Baraa’ fil Islam hal. 12]
as-Sunnah Berbicara Tentang al-Walaa’ & al-Baraa’
Para ulama menegaskan bahwa al-Walaa’ & al-Baraa’
adalah prinsip yang berdiri di atas dua pondasi yaitu; cinta dan benci.
Cinta pada Allah dan pada segala yang dicintai-Nya, benci pada musuh
Allah dan pada segala yang dibenci-Nya. Inilah jenis kecintaan dan
kebencian yang bernilai ibadah. Atas dasar ini, para ulama sering kali
mengartikan al-Walaa’ & al-Baraa’ dengan ungkapan “cinta dan benci karena Allah”. [lih. al-Walaa’ wal Baraa’ fil Islaam hal. 136]
Maka jelaslah bahwa hadits berikut ini mengandung unsur-unsur terpenting dari prinsip al-Walaa’ wal Baraa’. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
ثَلاَثٌ
مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ
لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْرِ
كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga perkara, jika ketiganya ada pada seseorang, maka (dipastikan) ia akan meraih manisnya iman: (Pertama) bila Allah dan Rasul-Nya, menjadi lebih ia cintai daripada selain keduanya. (Kedua) jika ia mencintai seseorang, maka ia tidak mencintainya melainkan karena Allah semata. (Dan ketiga),
ia benci untuk kembali kepada kekufuran tersebut, sebagaimana dia benci
untuk dilemparkan ke dalam api.” [Bukhari no. 16, 21, Muslim no. 43]
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam juga bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak sempurna keimanan seorang di antara kalian, sampai aku (Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassallam)
menjadi orang yang paling ia cintai melebihi kecintaannya pada ayahnya,
pada anaknya, dan manusia seluruhnya.” [Bukhari no. 15, Muslim no. 44]
Kisah Nyata: al-Walaa’ wal Baraa’ di Mata Sahabat
Rasulullah pernah memerintahkan para Sahabat untuk melakukan boikot atas Ka’ab bin Maalik radhiallahu anhu
karena tidak ikut serta dalam kewajiban Jihad. Dalam masa pemboikotan,
tidak seorang pun diperbolehkan menyapa Ka’ab bin Maalik radhiallahu anhu. Al-Qur-aan menggambarkan betapa dunia terasa sempit dan berat bagi Ka’ab bin Maalik t (lih. QS. at-Taubah: 118). Bahkan istrinya ikut melakukan pemboikotan.
Sampai
pada suatu hari, ia berjalan di pasar Madinah, di tengah-tengah
kesempitan dan kepedihan yang dirasakan Ka’ab ditambah lagi rasa
bersalah kepada Allah dan Rasul-Nya, datanglah seorang petani dari
negeri Syam bertanya-tanya dan mencari Ka’ab bin Maalik radhiallahu anhu. Saat bertemu, orang asing tersebut menyodorkan sebuah surat dari Raja Ghossaan (kafir) kepada Ka’ab bin Maalik radhiallahu anhu. Surat tersebut berisi:
فَإِنَّهُ
قَدْ بَلَغَنِي أَنَّ صَاحِبَكَ قَدْ جَفَاكَ وَلَمْ يَجْعَلْكَ اللَّهُ
بِدَارِ هَوَانٍ، وَلاَ مَضْيَعَةٍ، فَالحَقْ بِنَا نُوَاسِك
“Sesungguhnya telah sampai kabar kepada kami bahwa sahabatmu (Muhammad r)
telah berpaling dan memutuskan hubungan denganmu. Allah tidak akan
menjadikanmu tinggal di suatu negeri dalam keadaan terhina dan
terlantar, maka datanglah pada kami, kami akan menghiburmu.” [Bukhari
no. 4418]
Setelah membaca surat tersebut, Ka’ab bin Maalik radhiallahu anhu berkata:
وَهَذَا أَيْضًا مِنَ البَلاَءِ، فَتَيَمَّمْتُ بِهَا التَّنُّورَ فَسَجَرْتُهُ بِهَا
“Ini juga bagian dari balaa’ (cobaan), maka aku mencari tungku api, lantas surat tersebut aku bakar.” [Bukhari no. 4418]
Inilah praktek nyata al-Walaa’ wal Baraa’
dari seorang Sahabat yang mulia. Di tengah kesempitan dan tekanan yang
ia rasakan akibat pemboikotan dari saudara-saudaranya sesama mukmin, walaa’-nya terhadap Islam dan kaum muslimin, tetap menjulang tinggi mencakar langit. Kemudian renungkan betapa kokoh baraa’-nya kepada orang-orang kafir yang mengiming-iminginya kesenangan dunia.
***
Disusun dibawah bimbingan dan arahan guru kami:
al-Ustadz Zahid Zuhendra, Lc. hafizhahullaah
Penyusun:
Abdussalam (Abu Ziyan)
Sumber Bacaan:
al-Walaa’ wal Baraa’ fil Islaam min Mafaahiimi ‘Aqiidatis Salaf, Muhammad Sa’iid al-Qohthooniy, Cet.-1, Daar ath-Thoyyibah.
al-Hubbu Fillaah, Muhammad Ibrahim al-Madaniy, Cet. Daarul Imaan.