-->

12 Agustus 2012

Distorsi Pendapat Ibnu Taimiyah tentang Maulid Nabi


Ada orang yang menyangka bahwa Ibnu Taimiyah membolehkan Maulid lewat nukilan dari tulisan beliau pada Kitab Iqtidha Sirothol Mustaqim.
Saya ajak ikhwan semua untuk meneliti apakah yang dikatakan oleh yang bersangkutan memang benar atau hanya sebuah pengelabuan.
Kitab yang digunakan sebagai sandaran dalam hal ini adalah kitab Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim karya Ibnu Taimiyah terbitan Darl fikr libanon
Adapun terbitan yang saya gunakan sebagai pembanding adalah terbitan Maktabah Ar-Rusyd – Riyadl (terdiri dari dua jilid), tahqiq : Prof. Dr. Naashir bin ‘Abdil-Karim Al-‘Aql hafidhahullah.
halaman cover

Perlu diketahui bahwa pembahasan ini secara khusus untuk mengungkapkan pendapat Ibnu Taimiyah yang sebenarnya tentang Maulid, bukan bid’ah tidaknya Maulid.
Silahkan mendownload kitab Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim agar tidak ada keraguan dan kecurangan dalam Pembahasan ini

Download

Kalimat yang dinukil sebagai alasan bahwa Ibnu Taimiyah membolehkan Maulid adalah sebagai berikut :
فتعظيم المولد ، واتخاذه موسمًا ، قد يفعله بعض الناس ، ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده ، وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وسلم
“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutin, segolongan orang terkadang melakukannya. Dan mereka mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah SAW..”
Mereka mengatakan ini terdapat didalam Kitab Iqtidha sirathal Mustaqim cet. Darul Fikr Lebanon th.1421 H hal 269
Terus terang saya kesulitan untuk mendapatkan cetakan Darul Fikr, Namun dalam cetakan Maktabah Ar-Rusyd tulisan tersebut terdapat dalam halaman 621 baris terakhir dan awal halaman 622 dengan teks yang sama.
Hal 621

Hal 622

Lebih lengkap saya postingkan kalimatnya:
فتعظيم المولد، واتخاذه موسمًا، قد يفعله بعض الناس، ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده، وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وسلم، كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس، ما يستقبح من المؤمن المسدد . ولهذا قيل للإمام أحمد عن بعض الأمراء : إنه أنفق على مصحف ألف دينار ، أو نحو ذلك فقال : دعهم ، فهذا أفضل ما أنفقوا فيه الذهب ، أو كما قال . مع أن مذهبه أن زخرفة المصاحف مكروهة . … إنما قصده أن هذا العمل فيه مصلحة ، وفيه أيضًا مفسدة كره لأجلها . فهؤلاء إن لم يفعلوا هذا ، وإلا اعتاضوا بفساد لا صلاح فيه ، مثل أن ينفقها في كتاب من كتب الفجور
Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutin, segolongan orang terkadang melakukannya. Dan mereka mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah SAW, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwasanya itu baik untuk sebagian orang tapi tidak baik untuk Mukmin yang lurus….
Oleh karena itu, dikatakan kepada imam Ahmad tentang beberapa Umara: Sesungguhnya umara tersebut telah menginfaqkan 1000 dinar untuk sebuah Mushaf. Maka beliau berkata:”biarkan mereka melakukan itu, itulah infaq terbaik yang dapat mereka lakukan dengan emas”, Padahal mazhabnya memakruhkan menghias Mushaf-Mushaf…. Sesungguhnya Qasadnya pada amal ini adalah maslahah, dan sekalipun padanya ada mafsadah yang dibenci.
Jika mereka tidak melakukan itu, maka mereka akan melakukan keburukan lain yang tidak ada kebaikan padanya, seperti menginfakkannya untuk kitab-kitab tak bermoral”.
Ikhwah sekalian
perhatikan dengan jelas kalimat yang saya cetak tebal sebagai nukilan yang tidak ditampilkan oleh orang yang ingin mengambil keuntungan dari tulisan Ibnu Taimiyah.
Kalau kita perhatikan huruf lam yang menyertai lafaz Husni adalah lam ta’lil, jadi pahala itu didapat karena tujuan (Qasad) dan pengagungannya saja, karena inilah illatnya. Ini jelas, karena tujuan baik dan pengagungan merupakan subtansi Ibadah yang manusia akan diberi pahala jika melakukannya.
Kemudian Syaikhul Islam menegaskan Bahwa itu berlaku untuk orang tertentu, tidak untuk orang Mukmin yang musaddad yang tentunya mereka mengetahui dalil-dalil syariat.
Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah juga membawakan Riwayat tentang orang yang bertanya kepada Imam Ahmad tentang penguasa muslim yang berlebihan dengan menginfaqkan harta sebesar 1000 dinar hanya untuk menghias qur’an.
Ini jelas perbuatan yang buruk, namun Imam Ahmad menilai Qasadnya baik dan itulah amalan terbaik dengan emas yang bisa ia lakukan, karena kalau dilarang, niscaya ia akan mengalihkan kepada amalan yang buruk secara Mutlak.
Dalam kitab yang sama halaman 732 ibnu Taimiyah Juga Mengatakan :

من كانت له نية صالحة أثيب على نيته وإن كان الفعل الذي فعله ليس بمشروع إذا لم يتعمد مخالفة الشرع
“Barangsiapa memiliki niat yang soleh, maka ia akan diberi pahala, sekalipun perbuatan yang dilakukannya tidak syar’i, jika ia tidak sengaja menyalahi Syariat”.
Dalam halaman 619 disebutkan
قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد لا على البدع
“Terkadang mereka diberi pahala karena kecintaan dan ijtihadnya bukan atas bid’ahnya”
Dalam halaman yang sama Ibnu Taimiyah kembali menegaskan
وأكثر هؤلاء الذين تجدهم حرَّاصاً على أمثال هذه البدع-مع ما لهم فيها من حُسن القصد والاجتهاد الذي يرجى لهم بهما المثوبة – تجدهم فاترين في أمر الرسول صلى الله عليه وسلم عما أُمروا بالنشاط فيه ، وإنما هم بمنزلة من يزخرف المسجد ولا يصلي فيه ،أو يصلي فيه قليلاً ،وبمنزلة من يتخذ المسابيح والسجادات المزخرفة، وأمثال هذه الزخارف الظاهرة التي لم تُشرع ،ويصحبها من الرياء والكِبْر ،والاشتغال عن المشروع ما يفسد حال صاحبها
“Adapun kebanyakan orang yang gigih dalam melakukan kegiatan bid’ah peringatan Maulid Nabi itu – yang mungkin mereka mempunyai tujuan dan ijtihad yang baik untuk mendapatkan pahala – bukanlah orang-orang yang mematuhi perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan semangat. Mereka adalah seperti kedudukan orang-orang yang memperindah masjid, tetapi tidak shalat di dalamnya, atau hanya melaksanakan shalat malam di dalamnya dengan minim, atau menjadikan tasbih dan sajadah hanya sebagai hiasan yang tidak disyari’atkan. Tujuannya adalah untuk riya’ dan kesombongan serta sibuk dengan syari’at-syari’at yang dapat merusak keadaan pelakunya”.
Jadi jelas Pahala yang didapat adalah pahala Ijtihad dan pahala cinta, bukan pahala melakukan maulid yang merupakan bid’ah
Adapun Merayakan Maulid, sebenarnya telah divonis bid’ah yang buruk Oleh Ibnu Taimiyah dalam Kitab yang sama Halaman 619

وكذلك ما يحدثه بعض الناس: إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى-عليه السلام-،وإما محبة للنبي صلى الله عليه وسلم، والله قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد لا على البدع – من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه وسلم عيداً مع اختلاف الناس في مولده ، فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له ، وعدم المانع فيه لو كان خيراً ، ولو كان خيراً محضاً أو راجحاً لكان السلف – رضي الله عنهم- أحق به منا ،فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيماً له منا ،وهم على الخير أحرص،وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته،وطاعته واتباع أمره، وإحياء سنته باطناً وظاهراً ، ونشر ما بعث به ، والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان ، فإن هذه طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار،والذين اتبعوهم بإحسان،وأكثر هؤلاء الذين تجدهم حرَّاصاً على أمثال هذه البدع-مع ما لهم فيها من حُسن القصد والاجتهاد الذي يرجى لهم بهما المثوبة – تجدهم فاترين في أمر الرسول صلى الله عليه وسلم عما أُمروا بالنشاط فيه ، وإنما هم بمنزلة من يزخرف المسجد ولا يصلي فيه ،أو يصلي فيه قليلاً ،وبمنزلة من يتخذ المسابيح والسجادات المزخرفة، وأمثال هذه الزخارف الظاهرة التي لم تُشرع ،ويصحبها من الرياء والكِبْر ،والاشتغال عن المشروع ما يفسد حال صاحبها
“Begitu pula yang diadakan oleh sebagian manusia, baik yang tujuannya untuk menghormati orang-orang Nashrani atas kelahiran ‘Isa ataupun karena mencintai Nabi. Kecintaan dan ijtihad mereka dalam hal ini tentu akan mendapatkan pahala di sisi Allah, tetapi bukan atas bid’ah – seperti menjadikan kelahiran Nabi sebagai hari raya tertentu – padahal manusia telah berbeda pendapat tentang tanggal kelahiran beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Perayaan seperti ini belum pernah dilakukan oleh para salaf, meski ada tuntutan untuk melakukannya dan tidak ada penghalang tertentu bagi mereka untuk melakukannya. Seandainya perayaan itu baik atau membawa faedah, tentu para salaf lebih dulu melakukannya daripada kita karena mereka adalah orang-orang yang jauh lebih cinta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan lebih mengagungkannya. Mereka lebih tamak kepada kebaikan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan cara mengikutinya, mentaatinya, menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnahnya – baik secara lahir maupun batin – menyebarkan apa yang diwahyukan kepadanya, dan berjihad di dalamnya dengan hati, kekuatan, tangan, dan lisan. Itulah cara yang digunakan oleh para salaf, baik dari golongan Muhajirin, Anshar, maupun orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dalam mencintai dan mengagungkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adapun kebanyakan orang yang gigih dalam melakukan kegiatan bid’ah peringatan Maulid Nabi itu – yang mungkin mereka mempunyai tujuan dan ijtihad yang baik untuk mendapatkan pahala – bukanlah orang-orang yang mematuhi perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan semangat. Mereka adalah seperti kedudukan orang-orang yang memperindah masjid, tetapi tidak shalat di dalamnya, atau hanya melaksanakan shalat malam di dalamnya dengan minim, atau menjadikan tasbih dan sajadah hanya sebagai hiasan yang tidak disyari’atkan. Tujuannya adalah untuk riya’ dan kesombongan serta sibuk dengan syari’at-syari’at yang dapat merusak keadaan pelakunya”.
Mari Saya perjelas
فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له ، وعدم المانع فيه لو كان خيراً ، ولو كان خيراً محضاً أو راجحاً لكان السلف - رضي الله عنهم- أحق به منا ،فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيماً له منا ،وهم على الخير أحرص
Coba anda perhatikan, lafadz خيرا merupakan khobar كان sedangkan isimnya Mustatir (disembunyikan), namun sangat jelas sekali bahwa isim كان dalam hal ini adalah هو yang kembali kepada هذا yang dimaksud adalah Maulid.
Jadi mafhum dari lafadz لو كان خيرا adalah buruknya perayaan Maulid, maka tidak dilakukan oleh Salafussholeh padahal kalau itu baik, maka niscaya mereka adalah yang paling dahulu melakukannya.
Kalau masih tidak percaya, mari kita menukil pendapat Ibnu Taimiyah yang lebih tegas


وأما اتخاذ موسم غير المواسم الشرعية كبعض ليالي شهر ربيع الأول ، التي يقال إنها المولد ، أو بعض ليالي رجب ، أو ثامن عشر ذي الحجة ، أو أول جمعة من رجب ، أو ثامن شوال الذي يسميه الجهال عيد الأبرار ، فإنها من البدع التي لم يستحبها السلف ، ولم يفعلوها ، والله سبحانه وتعالى أعلم
“Adapun menjadikan upacara peribadahan selain yang disyari’atkan, seperti sebagian malam Rabi’ul-Awwal yang sering disebut Maulid (Nabi), atau sebagian malam Rajab, atau tanggal 18 Dzulhijjah , atau Jum’at pertama bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan oleh orang-orang bodoh dengan ‘Iedul-Abraar; semuanya termasuk bid’ah yang tidak disunnahkan salaf dan tidak mereka kerjakan. Wallaahu subhaanahu wa ta’ala a’lam” [Majmu’ Al-Fataawaa, 25/298].
SEmoga Bermanfaat

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.