Ali
bin Abi Thalib radhiallahu anhu yang menyebutkan macam-macam orang
yang mempunyai ilmu namun mereka tidak layak untuk memilikinya. Mereka
ada empat golongan.
Golongan pertama: yang tidak dapat dipercaya memegang amanah ilmu. Yaitu, orang yang diberi karunia kecerdasan dan hafalan, tapi ia tidak dikaruniai kebersihan hati. Akhirnya ia menjadikan ilmu -yang merupakan alat agama— sebagai alat dunia. Ia mencari dunia dengan ilmu itu. Ia memfungsikan komoditi perdagangan akhirat menjadi alat dagang dunia. Orang seperti ini tidak amanah terhadap ilmu yang ; dimilikinya. Allah subhanahu wata'ala sekali-kali tidak menjadikannya imam bagi ilmu itu. Sebab, orang yang amanah adalah orang yang tidak punya tujuan dan keinginan pribadi selain mengikuti serta mendapatkan kebenaran, sehingga ia tidak memburu kekuasaan dan dunia dengannya. Orang yang telah menjadikan komoditi akhirat sebagai alat dagang dunia telah mengkhianati Allah subhanahu wata'ala, mengkhianati hamba-hamba-Nya, dan mengkhianati agama-Nya. Oleh sebab itu, Imam Ali mengungkapkan orang pertama ini dengan "orang yang tidak amanah atas ilmu."
Perkataan Ali radhiallau anhu selanjutnya, 'ia mengedepankan ilmu -yang merupakan karunia Allah Subhanahu wata'ala- atas kitab-Nya, dan menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba-Nya dengan nikmat-nikmat-Nya'. Ini adalah karakter pengkhianat tersebut. Apabila dikaruniai nikmat, ia sombong di depan manusia. Apabila menguasai ilmu, ia mengedepankan ilmu itu atas Kitabullah dan menjadikannya pegangan. Ini adalah sikap banyak orang yang telah menguasai suatu ilmu. Mereka merasa cukup dengan ilmu itu, mengutamakannya dan menjadikan Kitabullah sebagai pengikut ilmunya. Ini bukanlah sikap para ulama. Karena orang yang benar-benar alim akan mengedepankan Kitabullah atas segala hal yang lain, dan menjadikannya patokan keputusan hukum dan timbangan atas segala hal, sebagaimana Allah SWT telah menjadikan Al-Qur’an sebagai imam. Jadi, orang yang mengedepankan Al-Qur’an itu adalah orang yang mendapat petunjuk dan berbahagia, sedang yang mengutamakan sesuatu yang lain atasnya adalah orang yang sesat dan celaka. Ini adalah ihwal dan sikap orang yang menyibukkan diri dengan sesuatu selain Kitabullah, merasa cukup dengannya, dan mengedepankannya serta mengakhirkan Al-Qur'an.
Golongan kedua: orang yang tunduk, tapi hatinya belum mantap. Pengetahuannya terhadap ilmu itu lemah, tapi dia patuh kepada para ulama. Ini adalah keadaan para pengikut kebenaran, yaitu orang-orang yang taklid. Orang-orang ini, meski berada di jalan keselamatan, bukanlah para penyeru (dai) kepada agama. Mereka hanyalah pada posisi serdadu biasa, bukan panglima dan jenderal.
Perkataan Ali radhiallahu anhu, keraguan tertanam di hatinya begitu menjumpai isu meragukan, karena ilmunya lemah dan pengetahuannya minim. Apabila hatinya dilanda keraguan sekecil apa pun, maka ia goyah. Berbeda dengan orang yang kokoh dalam ilmunya. Apabila ia diterpa badai keraguan sekuat hempasan gelombang laut, keyakinannya tidak berubah dan tidak muncul kebimbangan dalam hatinya. Sebab, ia telah kokoh dalam ilmu sehingga keraguan tidak mempermainkannya. Bahkan, apabila keraguan datang, penjagaan 'bala tentara' ilmu mampu menolaknya.
Keraguan itu datang melanda hati dan menghalangi tersingkapnya kebenaran. Selama hati telah tersentuh dengan hakikat ilmu, maka keraguan tidak akan berpengaruh padanya. Bahkan, dengan mengusirnya dan mengetahui kebatilannya, hati bertambah kuat dan keyakinan makin teguh. Sebaliknya jika hakikat ilmu tentang kebenaran belum menyentuh hati, maka sekali muncul keraguan maka ia akan goyah. Syukur bila cepat disadari. Bila tidak, maka ye ang berikutnya akan beruntun susul-menyusul menimpa hati sehingga orang tersebut akhirnya menjadi orang yang peragu dan bimbang.
Hati dilanda oleh dua macam tentara kebatilan yaitu syahwat dan syubhat (keraguan). Setiap hati yang menerima dan menyambutnya akan merekamnya hingga penuh. Pengaruhnya menjalar sampai ke lisan dan organ-organ tubuhnya. Apabila yang merasuki hati adalah syubhat-syubhat batil, maka meledaklah keraguan melalui lisannya. Sehingga, orang yang bodoh menyangka bahwa hal itu karena ilmunya luas. Padahal, itu terjadi akibat dari dia tidak berilmu dan tidak punya keyakinan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata kepadaku -ketika aku terlalu banyak mengemukakan syubhat dan bantahan-bantahan orang, "Janganlah engkau memenuhi hatimu dengan bantahan dan syubhat seperti bunga karang yang selalu menerima dan penuh dengan benda asing, sehingga akhirnya engkau hanya menyebarkan syubhat-syubhat itu. Tapi, jadikanlah hatimu itu seperti kaca bening. Syubhat boleh lewat di luarnya, tapi tidak berdiam di sana. Ia dapat melihat syubhat itu dengan kejernihannya, dan menolaknya dengan kepadatannya. Jika tidak begitu, dan engkau menghirup semua syubhat yang menimpa hatimu, maka hatimu itu akan menjadi tempat bersemayamnya syubhat-syubhat." Wasiat ini amat bermanfaat bagiku dalam menolak syubhat.
Syubhat dinamai demikian karena mengandung ketidakjelasan kebenaran dengan kebatilan. Syubhat membungkus jasad kebatilan dengan baju kebenaran. Sementara itu, kebanyakan manusia melihat kepada kulit penampilan luar yang baik. Maka, orang yang melihat syubhat itu akan melihat baju yang dikenakannya sehingga beranggapan bahwa ia itu benar. Tapi, ulama -orang yang berilmu dan mempunyai keyakinan teguh—tidak terpedaya dengan hal itu. Pandangannya menembus ke batin syubhat dan apa yang di balik bajunya sehingga hakikatnya terungkap di matanya. Permisalan untuk ini adalah dirham (uang perak) palsu. Orang yang tidak mengerti tentang logam mulia akan tertipu karena melihat lapisan peraknya. Tapi orang yang paham dan jeli, pandangannya melampaui kulit luar sehingga ia dapat mengetahui kepalsuannya. Nah, ucapan yang indah dan fasih bagi syubhat adalah seperti lapisan perak bagi dirham palsu. Dan, makna ucapan itu sendiri seperti perunggu yang dibungkus dengan perak itu tadi.
Kalau orang yang berakal dan cerdas memperhatikan dan merenungkan hal ini, ia melihat kebanyakan manusia menerima mazhab dan pendapat dengan suatu lafal dan menolaknya bila diungkapkan dengan lafal lain. Dalam berbagai buku, aku temukan hal seperti ini yang sangat banyak. Betapa banyak kebenaran ditolak orang karena dijelek-jelekkan dengan bungkusan baju kata-kata yang keji.
Dalam hal semacam ini, para imam Ahli Sunnah, di antaranya Imam Ahmad, menyatakan, "Kami tidak menghilangkan salah satu dari sifat Allah subhanahu wata’ala dikarenakan sebuah kekejian yang dibuat suatu pihak." Contohnya, orang-orang Jahmiyyah menamakan pemberian sifat-sifat kesempurnaan untuk Allah subhanahu wata’ala yang berupa hayat, 'Urn, kalam, soma', bashar dan Iain-lain yang Allah subhanahu wata’ala sebutkan sendiri sebagai tasybih dan tajsim[1], dan menyebut orang yang memberikan sifat itu dengan nama mujassim[2].. Akibat penyebutan yang keji ini, orang-orang yang berpikiran pendek dan pemahamannya dangkal akan menjauhi dan tidak menerima pemberian sifat kesempurnaan kepada Allah subhanahu wata’ala.
Semua penganut suatu kepercayaan atau aliran membungkus aliran dan pendapat mereka dengan lafal-lafal terbaik semampu mereka; dan membungkus pendapat orang yang berseberangan dengan lafal-lafal yang paling buruk. Orang yang dikaruniai oleh Allah subhanahu wata’ala pemahaman yang dalam mampu mengungkap hakikat kebenaran dan kebatilan di balik lafal-lafal itu. Ia tidak terpedaya dengan lafal.
Maka, apabila Anda ingin mengetahui hakikat sebenarnya dari suatu makna, apakah ia hak atau batil, lepaskan ia dari baju lafalnya dan bersihkan hatimu dari kecenderungan dan kebencian, lalu pikirkanlah dengan dalam dan adil. Jangan seperti orang yang menimbang pendapat para sahabatnya dengan sepenuh hatinya. Tapi, giliran ia menimbang pendapat lawan ia seperti memandang kepada percikan api. Karena, orang yang menimbang dengan hati permusuhan akan melihat kebaikan sebagai sesuatu yang buruk, dan orang yang menimbang dengan hati cinta sebaliknya. Hanyalah orang yang Allah subahanhu wata’ala kehendaki dan ridhai untuk menerima kebenaran yang akan selamat dari aib ini. Ada yang berkata,
Golongan pertama: yang tidak dapat dipercaya memegang amanah ilmu. Yaitu, orang yang diberi karunia kecerdasan dan hafalan, tapi ia tidak dikaruniai kebersihan hati. Akhirnya ia menjadikan ilmu -yang merupakan alat agama— sebagai alat dunia. Ia mencari dunia dengan ilmu itu. Ia memfungsikan komoditi perdagangan akhirat menjadi alat dagang dunia. Orang seperti ini tidak amanah terhadap ilmu yang ; dimilikinya. Allah subhanahu wata'ala sekali-kali tidak menjadikannya imam bagi ilmu itu. Sebab, orang yang amanah adalah orang yang tidak punya tujuan dan keinginan pribadi selain mengikuti serta mendapatkan kebenaran, sehingga ia tidak memburu kekuasaan dan dunia dengannya. Orang yang telah menjadikan komoditi akhirat sebagai alat dagang dunia telah mengkhianati Allah subhanahu wata'ala, mengkhianati hamba-hamba-Nya, dan mengkhianati agama-Nya. Oleh sebab itu, Imam Ali mengungkapkan orang pertama ini dengan "orang yang tidak amanah atas ilmu."
Perkataan Ali radhiallau anhu selanjutnya, 'ia mengedepankan ilmu -yang merupakan karunia Allah Subhanahu wata'ala- atas kitab-Nya, dan menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba-Nya dengan nikmat-nikmat-Nya'. Ini adalah karakter pengkhianat tersebut. Apabila dikaruniai nikmat, ia sombong di depan manusia. Apabila menguasai ilmu, ia mengedepankan ilmu itu atas Kitabullah dan menjadikannya pegangan. Ini adalah sikap banyak orang yang telah menguasai suatu ilmu. Mereka merasa cukup dengan ilmu itu, mengutamakannya dan menjadikan Kitabullah sebagai pengikut ilmunya. Ini bukanlah sikap para ulama. Karena orang yang benar-benar alim akan mengedepankan Kitabullah atas segala hal yang lain, dan menjadikannya patokan keputusan hukum dan timbangan atas segala hal, sebagaimana Allah SWT telah menjadikan Al-Qur’an sebagai imam. Jadi, orang yang mengedepankan Al-Qur’an itu adalah orang yang mendapat petunjuk dan berbahagia, sedang yang mengutamakan sesuatu yang lain atasnya adalah orang yang sesat dan celaka. Ini adalah ihwal dan sikap orang yang menyibukkan diri dengan sesuatu selain Kitabullah, merasa cukup dengannya, dan mengedepankannya serta mengakhirkan Al-Qur'an.
Golongan kedua: orang yang tunduk, tapi hatinya belum mantap. Pengetahuannya terhadap ilmu itu lemah, tapi dia patuh kepada para ulama. Ini adalah keadaan para pengikut kebenaran, yaitu orang-orang yang taklid. Orang-orang ini, meski berada di jalan keselamatan, bukanlah para penyeru (dai) kepada agama. Mereka hanyalah pada posisi serdadu biasa, bukan panglima dan jenderal.
Perkataan Ali radhiallahu anhu, keraguan tertanam di hatinya begitu menjumpai isu meragukan, karena ilmunya lemah dan pengetahuannya minim. Apabila hatinya dilanda keraguan sekecil apa pun, maka ia goyah. Berbeda dengan orang yang kokoh dalam ilmunya. Apabila ia diterpa badai keraguan sekuat hempasan gelombang laut, keyakinannya tidak berubah dan tidak muncul kebimbangan dalam hatinya. Sebab, ia telah kokoh dalam ilmu sehingga keraguan tidak mempermainkannya. Bahkan, apabila keraguan datang, penjagaan 'bala tentara' ilmu mampu menolaknya.
Keraguan itu datang melanda hati dan menghalangi tersingkapnya kebenaran. Selama hati telah tersentuh dengan hakikat ilmu, maka keraguan tidak akan berpengaruh padanya. Bahkan, dengan mengusirnya dan mengetahui kebatilannya, hati bertambah kuat dan keyakinan makin teguh. Sebaliknya jika hakikat ilmu tentang kebenaran belum menyentuh hati, maka sekali muncul keraguan maka ia akan goyah. Syukur bila cepat disadari. Bila tidak, maka ye ang berikutnya akan beruntun susul-menyusul menimpa hati sehingga orang tersebut akhirnya menjadi orang yang peragu dan bimbang.
Hati dilanda oleh dua macam tentara kebatilan yaitu syahwat dan syubhat (keraguan). Setiap hati yang menerima dan menyambutnya akan merekamnya hingga penuh. Pengaruhnya menjalar sampai ke lisan dan organ-organ tubuhnya. Apabila yang merasuki hati adalah syubhat-syubhat batil, maka meledaklah keraguan melalui lisannya. Sehingga, orang yang bodoh menyangka bahwa hal itu karena ilmunya luas. Padahal, itu terjadi akibat dari dia tidak berilmu dan tidak punya keyakinan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata kepadaku -ketika aku terlalu banyak mengemukakan syubhat dan bantahan-bantahan orang, "Janganlah engkau memenuhi hatimu dengan bantahan dan syubhat seperti bunga karang yang selalu menerima dan penuh dengan benda asing, sehingga akhirnya engkau hanya menyebarkan syubhat-syubhat itu. Tapi, jadikanlah hatimu itu seperti kaca bening. Syubhat boleh lewat di luarnya, tapi tidak berdiam di sana. Ia dapat melihat syubhat itu dengan kejernihannya, dan menolaknya dengan kepadatannya. Jika tidak begitu, dan engkau menghirup semua syubhat yang menimpa hatimu, maka hatimu itu akan menjadi tempat bersemayamnya syubhat-syubhat." Wasiat ini amat bermanfaat bagiku dalam menolak syubhat.
Syubhat dinamai demikian karena mengandung ketidakjelasan kebenaran dengan kebatilan. Syubhat membungkus jasad kebatilan dengan baju kebenaran. Sementara itu, kebanyakan manusia melihat kepada kulit penampilan luar yang baik. Maka, orang yang melihat syubhat itu akan melihat baju yang dikenakannya sehingga beranggapan bahwa ia itu benar. Tapi, ulama -orang yang berilmu dan mempunyai keyakinan teguh—tidak terpedaya dengan hal itu. Pandangannya menembus ke batin syubhat dan apa yang di balik bajunya sehingga hakikatnya terungkap di matanya. Permisalan untuk ini adalah dirham (uang perak) palsu. Orang yang tidak mengerti tentang logam mulia akan tertipu karena melihat lapisan peraknya. Tapi orang yang paham dan jeli, pandangannya melampaui kulit luar sehingga ia dapat mengetahui kepalsuannya. Nah, ucapan yang indah dan fasih bagi syubhat adalah seperti lapisan perak bagi dirham palsu. Dan, makna ucapan itu sendiri seperti perunggu yang dibungkus dengan perak itu tadi.
Kalau orang yang berakal dan cerdas memperhatikan dan merenungkan hal ini, ia melihat kebanyakan manusia menerima mazhab dan pendapat dengan suatu lafal dan menolaknya bila diungkapkan dengan lafal lain. Dalam berbagai buku, aku temukan hal seperti ini yang sangat banyak. Betapa banyak kebenaran ditolak orang karena dijelek-jelekkan dengan bungkusan baju kata-kata yang keji.
Dalam hal semacam ini, para imam Ahli Sunnah, di antaranya Imam Ahmad, menyatakan, "Kami tidak menghilangkan salah satu dari sifat Allah subhanahu wata’ala dikarenakan sebuah kekejian yang dibuat suatu pihak." Contohnya, orang-orang Jahmiyyah menamakan pemberian sifat-sifat kesempurnaan untuk Allah subhanahu wata’ala yang berupa hayat, 'Urn, kalam, soma', bashar dan Iain-lain yang Allah subhanahu wata’ala sebutkan sendiri sebagai tasybih dan tajsim[1], dan menyebut orang yang memberikan sifat itu dengan nama mujassim[2].. Akibat penyebutan yang keji ini, orang-orang yang berpikiran pendek dan pemahamannya dangkal akan menjauhi dan tidak menerima pemberian sifat kesempurnaan kepada Allah subhanahu wata’ala.
Semua penganut suatu kepercayaan atau aliran membungkus aliran dan pendapat mereka dengan lafal-lafal terbaik semampu mereka; dan membungkus pendapat orang yang berseberangan dengan lafal-lafal yang paling buruk. Orang yang dikaruniai oleh Allah subhanahu wata’ala pemahaman yang dalam mampu mengungkap hakikat kebenaran dan kebatilan di balik lafal-lafal itu. Ia tidak terpedaya dengan lafal.
Maka, apabila Anda ingin mengetahui hakikat sebenarnya dari suatu makna, apakah ia hak atau batil, lepaskan ia dari baju lafalnya dan bersihkan hatimu dari kecenderungan dan kebencian, lalu pikirkanlah dengan dalam dan adil. Jangan seperti orang yang menimbang pendapat para sahabatnya dengan sepenuh hatinya. Tapi, giliran ia menimbang pendapat lawan ia seperti memandang kepada percikan api. Karena, orang yang menimbang dengan hati permusuhan akan melihat kebaikan sebagai sesuatu yang buruk, dan orang yang menimbang dengan hati cinta sebaliknya. Hanyalah orang yang Allah subahanhu wata’ala kehendaki dan ridhai untuk menerima kebenaran yang akan selamat dari aib ini. Ada yang berkata,
"Pandangan ridha mampu menutupi setiap cacat
sebagaimana pandangan benci selalu menampakkan keburukan."
Yang lain berkata,
"Mereka memandang dengan pandangan permusuhan
seandainya dengan pandangan ridha pasti mereka menganggap baik sesuatu yang buruk."
Kalau
ini berkaitan dengan penglihatan mata kasat yang menjangkau hal-hal
kongkrit yang tidak dilebih-lebihkan, apalagi pandangan mata hati yang
menjangkau makna-makna abstrak yang biasanya mudah terkena penyakit
pengingkaran. Hanya kepada Allah subhanahu wata’ala kita meminta
bimbingan untuk mengetahui dan menerima kebenaran dan menolak kebatilan
serta tidak terpedaya dengannya.
Perkataan
Ali radhiallahu anhu, begitu menjumpai syubhat, merupakan bukti
kelemahan akal dan makrifat orang tersebut, karena dia dapat
terpengaruh dan terombang-ambing oleh hal-hal sepele dan kecil. Berbeda
dengan orang yang berakal jernih dan teguh, hal-hal kecil tidak dapat
mengguncang dan mempermainkannya. Pada awalnya, kebatilan mengejutkan,
namun bila hatinya tegar, ia mengusirnya mundur ke belakang.
Allah
subhanahu wata’ala mencintai orang yang mempunyai ilmu dan tidak
tergesa-gesa. Ia tidak bertindak hingga ia mengetahui dan meyakini apa
yang sedang melandanya. Ia tidak terburu-buru mengeluarkan keputusan
atau melakukan tindakan sebelum benar-benar mengetahuinya dengan dalam.
Ingat, tergesa-gesa adalah dari setan. Maka, orang yang tegar
berhadapan dengan guncangan karena hal-hal kecil, ia menghadapi
urusannya dengan ilmunya dan ketegasan. Sedangkan, orang yang tidak
tegar akan menghadapinya dengan tergesa-gesa dan kacau, akibatnya
adalah penyesalan. Orang yang pertama berujung pada keberuntungannya.
Hanya
saja orang pertama menghadapi sebuah kekurangan juga. Tapi, selama
kekurangan itu diiringi dengan keteguhan dan ketegasan, ia akan selamat
darinya. Yaitu, lolosnya godaan tersebut masuk ke dalam hatinya. Tidak
ada yang dikhawatirkan dari sikap teguh selain bahaya ini. Akan
tetapi, bila dibarengi dengan keteguhan dan ketegasan, maka tidak ada
masalah yang timbul. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. berdoa seperti diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa'i,
"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, kemantapan dalam urusanku dan keteguhan dalam kebenaran."
Dua
kata ini (tsabat dan 'azimah) adalah inti keberuntungan. Seseorang
tidak mendapat celaka dan masalah kecuali karena mengabaikan keduanya
atau salah satunya. Seseorang tidak menemui masalah melainkan sebab
tergesa-gesa, kacau, dan mudah dipermainkan oleh hal-hal permukaan
kecil; atau karena menyepelekan dan menyia-nyiakan kesempatan yang
datang. Apabila telah ada kemantapan (tsabat), lalu ada juga keteguhan
('azimah), seseorang tersebut benar-benar beruntung. Wallahu waliyyut
taufiq.
Golongan ketiga:
orang yang keinginannya mencari kesenangan. la tunduk kepada dorongan
nafsu di manapun berada. la tidak dapat memperoleh derajat pewaris para
nabi, karena ilmu tidak diraih melainkan dengan meninggalkan
kesenangan dan menceraikan kemalasan. Imam Muslim berkata dalam
shahihnya bahwa Yahya bin Abi Katsir berkata, "Ilmu tidak didapatkan
dengan bersantai-santai."
Ibrahim
al-Harby berkata, "Para cendekiawan seluruh umat sepakat bahwa
kesenangan tidak dapat diraih dengan kesenangan. Orang yang memilih
santai, maka sesuatu yang nikmat akan terlepas darinya."
Jadi, tidak mungkin orang yang mementingkan kenikmatan dan kesenangannya akan mendapat derajat sebagai pewaris para nabi.
"Tinggalkanlah menulis karena engkau bukan ahlinya walaupun engkau hitamkan wajahmu dengan tinta."
Ini
karena ilmu adalah aktivitas dan pekerjaan hati. Selama hati tidak
mengkonsentrasikan dirinya terhadap aktivitasnya, ia tidak dapat
meraihnya. Dan hati hanya punya satu arah kiblat. Kalau ia mengarahkan
hatinya ke kesenangan dan nafsu syahwat, ia berpaling dari ilmu. Orang
yang tidak memenangkan kenikmatan dan keinginan untuk meraih ilmu, tidak
akan pernah memperoleh ilmu itu. Apabila keinginan terhadap kenikmatan
ilmu telah menguasai seluruh indera dan raganya, ada harapan ia akan
termasuk golongan para ulama.
Kenikmatan
ilmu adalah kenikmatan akal dan ruhani, seperti kenikmatan yang
dirasakan para malaikat. Sedang nikmatnya karena makan, minum, nikah
adalah kenikmatan hewani. Manusia sama dengan hewan dalam masalah itu.
Adapun nikmatnya kejahatan, kezaliman, dan kerusakan adalah kenikmatan
setan. Para pelakunya sama dengan iblis dan tentara-tentaranya. Seluruh
kenikmatan lenyap dengan berpisahnya ruh dari badan, kecuali nikmatnya
ilmu dan iman. Kenikmatan ini justru tambah sempurna setelah
perpisahan ruh dan badan itu, karena badan dan hal-hal yang dulu
menyibukkannya mengurangi, menyedikitkan, dan menghalangi
kenikmatannya. Apabila ruh telah terpisah dari badan, ia mencapai
kenikmatan utuh dengan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh yang ia
kerjakan. Maka, orang yang mencari kenikmatan yang paling besar dan
mengutamakan kenikmatan yang abadi berada di jalan ilmu dan iman yang
menjadi inti sempurnanya kebahagiaan manusia.
Juga,
kenikmatan-kenikmatan hewani itu cepat hilang. Apabila telah habis,
akan diganti dengan perasaan murung dan sedih. Bukankah orang yang
ditimpa musibah seperti itu perlu mengobatinya dengan hal yang
sebanding untuk mengusir rasa sakitnya? Mungkin pengobatan itu
menyakitkannya dan ia benci, namun ia harus menanggungnya untuk
mengobati kesedihannya. Jauh sekali ini dengan kenikmatan ilmu, iman,
cinta kepada Allah, dan merasa nikmat dengan zikir. Inilah kenikmatan
dan kelezatan hakiki itu.
Golongan keempat:
orang yang seluruh keinginannya tercurah pada mengumpulkan,
mengembangkan, dan menyimpan harta. Kesenangan dan kenikmatannya ada
pada hal-hal tersebut. Ia menghabiskan usia untuk semua itu. Ia tidak
melihat adanya sesuatu yang lebih nikmat daripada yang ia senangi itu.
Alangkah jauhnya ia dari derajat orang-orang berilmu.
Keempat
golongan ini bukanlah termasuk dai-dai agama, atau para pemuka ulama,
bukan pula para pencari ilmu. Sebagian dari mereka yang kelihatannya
mempunyai ilmu, hanyalah orang-orang yang berpura-pura menjadi ulama,
mengklaim diri mereka berilmu tapi sebenarnya tidak punya apa-apa.
Bahaya dari orang-orang ini adalah cobaan bagi setiap orang yang lengah.
Manusia akan meniru-niru mereka karena menyangka mereka benar-benar
berilmu dengan berkata, "Kami tidaklah lebih baik dari mereka dan kami
tidak mengutamakan diri kami atas mereka." Jadilah mereka rujukan
orang-orang lengah tersebut. Oleh karena itulah, seorang sahabat
menyindir mereka dengan ucapannya, "Berhati-hatilah terhadap bahaya
orang alim yang berakhlak bejat dan ahli ibadah yang bodoh, karena
bahaya mereka berdua adalah cobaan bagi setiap orang yang lengah."
Perkataan Ali radhiallahu anhu, hewan ternak lebih mirip dengan mereka,
penyamaan ini diambil dari firman-Nya, "Mereka seperti hewan ternak.
Bahkan, mereka lebih buruk lagi." Dalam ayat ini, Allah SWT bukan hanya
menyerupakan mereka dengan hewan ternak, melainkan menyatakan mereka
lebih sesat.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menyerupakan mereka dengan hewan ternak karena keinginan mereka hanya memburu dunia.
Allah
Subhanahu wata’ala menyerupakan orang-orang bodoh dan sesat terkadang
dengan (1) hewan ternak, (2) dengan keledai —ini adalah perumpamaan
bagi orang yang mempelajari ilmu tapi tidak memahaminya dan tidak
mengamalkannya, ia seperti keledai yang membawa buku—, (3) dan terkadang
dengan anjing - ini adalah bagi yang meninggalkan ilmu dan tenggelam
dalam nafsu syahwat.
____________________
Catatan Kaki:
[1] Tasybih adalah menyamaka Allah dengan makhluk, Tajsim adalah menganggap Allah mempunya tubuh seperti manusia.
[2] Mujassim adalah orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai tubuh seperti manusia.
Sumber:
Mukhtasar MIFTAH DAAR AS-SA'ADAH oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (judul
terjemahan: Kunci Kebahagiaan),hal. 266 - 271, Cetakan Pertama,
Penerbit Pustaka Akbar, 2004.