-->

11 Agustus 2012

Hukum-hukum Seputar I'tikaf


Dalam sepuluh hari terakhir ini, kaum muslimin dianjurkan (disunnahkan) untuk melakukan i’tikaf. Sebagaimana Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada setiap Ramadhan selama 10 hari dan pada akhir hayat, beliau melakukan i’tikaf selama 20 hari. (HR. Bukhari).
Dalam tulisan singkat ini, kami akan membahas i'tikafnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, apakah i'tikaf boleh di masjid mana saja, dan seputar hukum i'tikaf lainnya.
Apa yang dimaksud dengan i’tikaf? Dalam kitab lisanul arab, i’tikaf bermaknamerutinkan (menjaga) sesuatu. Sehingga orang yang mengharuskan dirinya untuk berdiam di masjid dan mengerjakan ibadah di dalamya disebut mu’takifun atau ‘akifun. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/150)
Dan paling utama adalah beri’tikaf pada hari terakhir di bulan Ramadhan. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah ‘azza wa jalla mewafatkan beliau. (HR. Bukhari & Muslim) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah beri’tikaf di 10 hari terakhir dari bulan Syawal sebagai qadha’ karena tidak beri’tikaf di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari & Muslim)

I’tikaf Harus di Masjid dan Boleh di Masjid Mana Saja
I’tikaf disyari’atkan dilaksanakan di masjid berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah [2] : 187)
Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”. Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan,”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid”, hadits ini masih dipersilisihkan apakah statusnya marfu’ atau mauquf. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/151)

Wanita juga boleh beri’tikaf
Dibolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri tercinta beliau untuk beri’tikaf. (HR. Bukhari & Muslim) Namun wanita boleh beri’tikaf di sini harus memenuhi 2 syarat : [1] Diizinkan oleh suami dan [2] Tidak menimbulkan fitnah (masalah bagi laki-laki). (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/151-152)

Waktu Minimal Lamanya I’tikaf
I’tikaf tidak disyaratkan dengan puasa. Karena Umar pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,”Ya Rasulullah, aku dulu pernah bernazar di masa jahiliyah untuk beri’tikaf semalam di Masjidil Haram?” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,”Tunaikan nadzarmu.” Kemudian Umar beri’tikaf semalam. (HR. Bukhari dan Muslim). Dan jika beri’tikaf pada malam hari, tentu tidak puasa. Jadi puasa bukanlah syarat untuk i’tikaf. Maka dari hadits ini boleh bagi seseorang beri’tikaf hanya semalam, wallahu a’lam.

Yang Membatalkan I’tikaf
Beberapa hal yang membatalkan i’tikaf adalah : [1] Keluar dari masjid tanpa alasan syar’i atau tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak (misalnya untuk mencari makan, mandi junub , yang hanya bisa dilakukan di luar masjid), [2] Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah : 187 di atas. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/155-156)

Perbanyaklah dan sibukkanlah diri dengan melakukan ketaatan tatkala beri’tikaf seperti berdo’a, dzikir, dan membaca Al Qur’an. Semoga Allah memudahkan kita untuk mengisi hari-hari kita di bulan Ramadhan dengan amalan sholih yang ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Sumber rujukan : Shohih Fiqh Sunnah, jilid kedua

***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Diberdayakan oleh Blogger.