-->

25 Agustus 2012

PERTANYAAN BUAT KALANGAN SYI'AH YANG SAMPAI SAAT INI BELUM ADA YANG BISA MENJAWAB..!!!



oleh Abdullah Agil

Ali menikahkan putrinya dengan Umar bin Khatab, apakah Ali rela anaknya diserahkan kepada Umar yang kafir –menurut Syi’ah-???







Syi’ah meyakini bahwa Ali Radhiyallahu ‘Anhu adalah imam yang ma’shum, lalu kami jumpai –Menurut pengakuan Syi’ah- bahwa ia menikahkan puterinya, Ummu Kultsum, saudara perempuan sekandung al-Hasan dan al-Husain, dengan Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu. (Pernikahan ini disebutkan oleh para ulama’ Syi’ah diantaranya: al-Kulaini dalam Furu’ al-Kafi (6/115); ath-Thusi dalam Tahdzib al-Ahkam, Bab ‘Adad an-Nisa’ (8/148) dan (2/380), dan dalam kitabnya, al-Istibshar (3/356); al-Mazandarani dalam Manaqib Aal Abi Thalib (3/162); al-Amili dalam Masalik al-Afham (1/Kitab an-Nikah) dan Murthada ‘Alam al-Huda dalam asy-Syafi, hal. 166; Ibnu Abi al-Hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah (3/124); al-Ardabili dalam Hadiqah asy-Syi’ah, hal. 277; asy-Syustari dalam Majalis al-Mu’minin, hal. 76, 82; dan al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar hal. 621)








Ini berkonsekwensi salah satu dari dua hal bagi syi’ah yang paling manis dari keduanya terasa pahit, yaitu:








Pertama, Ali tidak ma’shum, karena menikahkan puterinya dengan orang kafir (menurut keyakinan Syi’ah, yaitu Umar bin Khatab). Padahala, hal ini bertentangan dengan dasar-dasar madzhab, bahkan ini berkonsekwensi bahwa para imam selain Ali tidak ma’shum pula. Karena jika Imam sekelas Ali saja melakukan kesalahan dengan menikahkan puterinya dengan orang kafir yang menunjukkan ketidak ma’shuman beliau, bagaimana dengan imam-imam yang lain yang tidak mencapai selevel dengan Ali???








Kedua, Umar Radhiyallahu ‘Anhu adalah Muslim. Ali Radhiyallahu ‘Anhu ridha menjadikannya sebagai menantu.








Yang manakah jawaban syi’ah terhadap dua kemungkinan tersebut????




















Ali Menamakan Anak-anaknya dengan Nama Para Sahabat








Setelah wafatnya Fatimah Radhiyallahu ‘Anha, Ali Radhiyallahu ‘Anhu menikah dengan sejumlah wanita yang melahirkan beberapa anak, diantaranya: Abbas bin Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Ali bin Abi Thalib, Ja’far bin Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Ali bin Abi Thalib. Ibu mereka adalah Umm al-Banin binti Hizam bin Darim. (Lihat: Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifah al-A’immah, Ali al-Arbili (2/66))








Juga Ubaidullah bin Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar bin Ali bin Abi Thalib. Ibu keduanya adalah Laila binti Mas’ud ad-Darimiyah. (Lihat: Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifah al-A’immah, Ali al-Arbili (2/66))








Juga Yahya bin Ali bin Abi Thalib, Muhammad al-Ashgar bin Ali bin Abi Thalib, ‘Aun bin Ali bin Abi Thalib. Ibu mereka adalah Asma’ binti Umais. (Lihat: Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifah al-A’immah, Ali al-Arbili (2/66))












Juga Ruqayyah binti Ali bin Abi Thalib, Umar bin ali bin abi Thalib-yang meninggal dunia pada usia 35 tahun. Ibu mereka adalah Ummu Habib binti Rabi’ah. (Lihat: Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifah al-A’immah, Ali al-Arbili (2/66))








Juga Umm al-Hasan binti Ali bin abi Thalib, Ramlah al-Kubra binti Ali bin Abi Thalib. Ibu keduanya adalah Ummu Mas’ud bin Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi. (Lihat: Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifah al-A’immah, Ali al-Arbili (2/66))








Pertanyaan untuk kaum Syi’ah: Apakah mungkin seorang ayah menamakan buah hatinya dengan musuh bebuyutannya??? Lalu bagaimana jika sang ayah ini adalah Ali bin Abi Thalib????








Bagaimana mungkin Ali menamakan anak-anaknya dengan nama orang-orang yang kalian anggap bahwa mereka adalah musuh-musuhnya?! Apakah seorang yang berakal menamakan anak-anak yang dicintainya dengan nama musuh-musuhnya???!!












Dimana Ali Pada Saat Fatimah Dizhalimi Abu Bakar???








Syi’ah menyangka bahwa Fatimah Radhiyallahu ‘Anha, darah daging Nabi terpilih, telah dihinakan pada zaman Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu, dipatahkan tulang rusuknya, rumahnya hendak dibakar, dan janinnya yang Syi’ah namakan al-Muhsin digugurkan!








Pertanyaan untuk kaum Syi’ah: Dimanakah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu dari semua ini??? Mengapa ia tidak membela dan menuntut hak-hak istrinya, padahal Ali adalah seorang yang pemberani lagi kuat??!!












Dimana Ali Pada Saat Fatimah Dizhalimi Abu Bakar???








Syi’ah menyangka bahwa Fatimah Radhiyallahu ‘Anha, darah daging Nabi terpilih, telah dihinakan pada zaman Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu, dipatahkan tulang rusuknya, rumahnya hendak dibakar, dan janinnya yang Syi’ah namakan al-Muhsin digugurkan!








Pertanyaan untuk kaum Syi’ah: Dimanakah Ali bin abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu dari semua ini??? Mengapa ia tidak membela dan menuntut hak-hak istrinya, padahal Ali adalah seorang yang pemberani lagi kuat??!!












Masalah Kekhalifahan dan Kema’shuman serta Wasiat Ali dan Imam-Imam Syi’ah












Ali Rela Dengan Kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman








Syi’ah menuduh, Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘Anhuma adalah Kafir. Padahal kami dapati bahwa ali, seorang imam yang ma’shum menurut Syi’ah, telah ridha dengan kekhalifahan keduanya, membaiat masing-masing dari keduanya, tidak memberontak terhadap keduanya. Ini berkonsekwensi bahwa Ali Radhiyallahu ‘Anhu tidak ma’shum, karena ia membaiat orang kafir, zhalim lagi membenci ahli bait, sebagai bentuk persetujuan kepada keduanya. Ini merusak kema’shuman dan menolong orang zhalim atas kezhalimannya. Ini tidak mungkin dilakukan oleh orang yang ma’shum sama sekali. Atau apa yang dilakukannya adalah kebenaran; karena keduanya adalah khalifah yang beriman, jujur dan adil. Dengan demikian, kaum syi’ah telah menyelisihi imam mereka, karena mengkafirkan, mencaci maki, melaknat, dan tidak ridha dengan kekhalifahan keduanya. Maka dari itu kita-pun bertanya, mengikuti jalan imam Ali yang ma’shum-menutut syi’ah-?? Atau kita mengikuti jalan kaum Syi’ah yang bermaksiat dengan menyelisihi Imam mereka ????
















Apakah Ali Hilang Keberaniannya Setelah Kematian Rasulullah???








Jika Ali Radhiyallahu ‘Anhu mengetahui bahwa ia khalifah dari Allah yang telah dinash-kan, lalu nmengapa ia membaiat Abu Bakar, Umar dan Utsman???!!!








Jika kalian mengatakan bahwa ia (Ali) lemah, maka orang yang lemah itu tidak layak menjadi imam, karena keimaman itu hanya layak untuk orang yang mampu memikul tampuk kepemimpinan.








Jika kalian mengatakan bahwa ia mampu tetapi tidak melakukannya, maka ini adalah pengkhianatan. Sedangkan pengkhiat itu tidak patut sebagai imam..!!!! dan tidak bias dipercaya untuk memimpin rakyat..!!! padahal, tidak mungkin Ali seperti itu.








Lantas apa jawaban kalian jika kalian mempunyai jawaban nyang benar..???!!!!
















Ketika Ali Menjadi Khalifah, Ali Tidak Menyelisih para Sahabat..!!!








Ketika Ali menjadi Khalifah, kami tidak mendapatinya menyelisih Khulafaur Rasyidin sebelumnya. Ia tidak mengeluarkan kepada manusia Qur’an selain Qur’an yang ada pada Khulafaur Rasyidin yang sebelumnya yakni Abu bakar, Umar dan Utsman, dan bahkan Ali tidak mengingkari seorangpun dari mereka sedikitpun. Bahkan diriwayatkan secara mutawatir perkataannya diatas mimbar, “Sebaik-baik umat ini setelah Nabi mereka adalah Abu Bakar dan Umar.” Ia (Ali) tidak mensyariatkan kawin mut’ah, tidak mewajibkan haji Tamattu’ kepada manusia, tidak memaklumatkan “Hayya ‘Ala Khairi al-‘Amal” dalam adzan, dan tidak pula menghapus Ash-Shalatu Khair min an-Naum.”








Seandainya Abu Bakar dan Umar adalah kafir –sebagaimana keyakinan anda (Syi’ah) yang juga telah merampas khalifah dari Ali- lalu mengapa ia tidak menerangkan hal itu, padahal tampuk kekuasaan berada ditangannya?! Justeru kita dapati sebaliknya, yaitu pujian dan sanjungan terhadap keduanya.








Kalian leluasa atau kalian harus mengatakan, ia telah mengkhianati umat dan tidak menjelaskan hal itu kepada mereka. Tidak mungkin Ali demikian.












Ali Menolak Menjadi Khalifah








Penulis Kitab Nahj al-Balaghah -Suatu kitab pegangan di kalangan syi’ah- meriwayatkan, Ali Radhiyallahu ‘Anhu menolak menjadi khalifah dan mengatakan, “Tinggalkanlah aku, dan carilah orang selainku.” (Lihat: Nahj al-Balaghah, hal. 136. Lihat pula hal. 366-367, dan hal. 322). Ini jelas menunjukkan kebatilan Syi’ah. Sebab bagaimana mungkin ia menolak menjadi khalifah, padahal pengangkatannya sebagai imam dan khalifah adalah perintah fardhu dari Allah –menurut kalian (syi’ah)- yang harus dituntut dari Abu Bakar seperti yang kalian duga???!!!












Mengapa Ali tidak Berbicara Kepada Rasulullah untuk Dituliskan wasiat???








Mengapa Ali tidak berbicara , ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjelang wafatnya meminta agar dituliskan untuk mereka suatu wasiat yang mereka tidak akan tersesat setelah itu selamanya, padahal ia seorang pemberani yang tidak takut kecuali kepada Allah?! Dia juga tahu, orang yang diam dari kebenaran adalah setan bisu!!












Menurut Syi’ah, Ali Radhiyallahu ‘Anhu adalah penerima wasiat sebagai khalifah sepeninggal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun beliau membaiat Abu Bakar ash-shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu!!.




Apakah keberanian Ali terhenti setelah wafat Nabi sehingga Ali tidak berani menuntut haknya??!!!












Peristiwa Ghadir Khum








Jika syi’ah menyangka bahwa mereka yang hadir di Ghadir Khum itu ribuan sahabat yang semuanya telah mendengar wasiat tentang tampuk kekhalifahan untuk Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu begitu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat, mengapa tidak satu-pun dari ribuan sahabat itu datang dan marah karena Ali bin Abi Thalib, bahkan tidak pula Ammar bin Yasar, al-Miqdad bin aswad atau Salman al-Farisi seraya mengatakan, “Wahai Abu Bakar, mengapa anda merampas kekhalifahan dari Ali, sedangkan engkau mengetahui apa yang disampaikan Rasulullah di Ghadir Khum?!”












Antara Sikap al-Hasan dan al-Husain








Al-Hasan bin ali Radhiyallahu ‘Anhu turun dari tampuk kepemimpinan dan berdamai dengan Mu’awiyah Radhiyallahu ‘Anhu, ketika para pembela dan pasukan berkumpul disisinya yang memungkinkan untuk meneruskan peperangan. Sebaliknya, saudaranya, al-Husain memberontak terhadap Yazid bersama para sahabatnya dalam jumlah yang sedikit, ketika yang memungkinkannya untuk berdamai.








Tentunya tidak luput bahwa salah satu dari keduanya berada diatas kebenaran dan yang lainnya diatas kebatilan; karena jika al-Hasan turun dari tampuk kekuasaan padahal mampu berperang adalah kebenaran, berarti pemberontakan al-Husain dengan tanpa kekuatan dan memungkinkannya untuk berdamai adalah kebatilan. Sebaliknya, jika pemberontakan al-Husain tanpa kekuatan adalah kebenaran, berarti turunnya al-Hasan dari tampuk kekuasaan padahal memiliki kekuatan adalah kebatilan.








Inilah yang menempatkan Syi’ah dalam posisi yang membingungkan. Karena jika mereka mengatakan: keduanya diatas kebenaran, berarti mereka menggabungkan dua hal yang kontradiksi. Pendapat ini merobohkan prinsip-prinsip Syi’ah. Jika Syi’ah mengatakan bahwa perbuatan al-Hasan itu batil, konsekwensinya mereka harus mengatakan, keimamannya batil. Dengan membatalkan keimamannya akan membatalkan keimaman dan kema’shuman ayahnya; karena ia berwasiat kepadanya. Imam yang ma’shum itu tidak berwasiat kecuali kepada imam yang ma’shum.








Jika Syi’ah mengatakan, perbuatan al-Husain itu batil, maka konsekwensinya mereka mengatakan, keimaman dan kema’shumannya itu batil. Dengan membatalkan keimaman dan kema’shumannya akan membatalkan keimaman dan kema’shuman semua anak keturunannya; karena ia adalah pokok keimaman mereka, dan silsilah imamah berasal dari jalurnya. Jika pokoknya batal, maka batal pula yang bercabang darinya.












Sikap al-Hasan Kepada Mu’awiyah. Al-Hasan tidak Ma’shum atau Mu’awiyah Muslim..??








Syi’ah menyangka bahwa Mu’awiyah Radhiyallahu ‘Anhu adalah kafir. Kemudian kami dapati bahwa al-Hasan bin Ali turun dari tampuk kekhalifahan untuknya –padahal al-Hasan adalah imam yang ma’shum menurut syi’ah- maka konsekwensinya Syi’ah harus mengakui bahwa al-Hasan telah turun dari tampuk khalifah untuk diserahkan kepada orang kafir. Ini menyelisihi kema’shumannya, atau berarti Mu’awiyah itu muslim.












Allah Menolong dan Merahmati 3 Khalifah (Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu ‘Anhum) dengan tersebarnya islam dimasa mereka








Syi’ah menuduh bahwa khulafaur Rasyidin adalah kafir, lalu mengapa Allah menolong dan menaklukan negeri-negeri lewat tangan mereka. Islam jaya dan berwibawa ditangan mereka, dimana kaum muslimin tidak pernah melihat satu masa dimana Allah lebih memuliakan islam dibandingkan pada masa mereka.








Apakah ini sejalan dengan sunnah Allah yang telah ditetapkan untuk menghinakan kaum kafir dan munafik??!! Sebaliknya kami melihat pada masa “al-Ma’shum” (Ali) yang kepemimpinannya dijadikan Allah sebagai rahmat bagi manusia-seperti yang syi’ah katakana- umat berpecah belah dan saling memerangi, sehingga musuh memangsa islam dan pemeluknya. Adalah rahmat yang diraih umat ini dari kepemimpinan “al-Ma’shum”?? jika kalian berakal.
















Apakah Sahabat Murtad Dari Syi’ah Ke Ahlus Sunnah???








Syi’ah mengklaim, para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah murtad setelah kematian beliau dan berbalik kepada agama semula.




Pertanyaan: apakah para sahabat Rasulullah –sebelum kematian beliau- adalah Syi’ah itsna Asyariyah, lalu mereka murtad menjadi Ahlus Sunnah?? Ataukah mereka dahulu –sebelum kematian Nabi- adalah ahlus Sunnah, kemudian berbalik menjadi Syi’ah itsna asyariyah??








Karena berbalik adalah berpindah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain.
















Mengapa Tidak Ada Imam dari Keturunan al-Hasan???








Sebagaimana diketahui bahwa al-Hasan Radhiyallahu ‘anhu adalah putra Ali dan Ibunya adalah Fatimah Radhiyallahu ‘Anhuma. Ia termasuk Ahl al-Kisa’, menurut Syi’ah, dan termasuk imam yang ma’shum. Kedudukannya sama dengan kedudukan saudaranya al-Husain. Lantas mengapa imamah terputus dari anak-anak keturunannya dan berlanjut pada anak-anak keturunan al-Husain? Padahal ayah ibu keduanya sama, dan masing-masing dari keduanya adalah sayyid. Bahkan al-Hasan lebih unggul satu hal dari al-Husain, yaitu ia anak sulung dan lebih tua usianya, karena ia anak bungsu ayahnya.








Sayangnya, kita tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan dari kaum syi’ah terutama dari ulama-ulama’ mereka terlebih dari ucapan orang yang baru masuk syi’ah 20 tahun yang lalu..):
















Mengapa Ali Tidak Mengimami Orang-orang Shalat???








Mengapa Ali tidak mengimami orang-orang shalat sekalipun saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sakit yang membawanya kepada kematiannya. Selagi ia adalah imam sepeninggalnya –sebagaimana yang kalian sangka?! Imamah Sughra (kepemimpinan kecil, dalam hal ini shalat) adalah bukti atas imamah kubra (Kepemimpinan besar, dalam hal ini khilafah)?
















Imam Mati Diracun atau Bunuh diri???








Al-Kulaini menyebutkan dalam kitab al-Kafi, “Bahwa para imam mengetahui kapan mereka akan mati, dan mereka tidak mati kecuali dengan pilihan dari mereka.” (Lihat dalam Ushul al-Kafi, karya al-Kulaini, (1/258); lihat juga al-Fushul al-Muhimmah, karya al-Hurr al-Amili, hal. 155)




Al-Majlisi menyebutkan dalam kitabnya, Bihar al-anwar, sebuah hadits yang menyatakan, “Seorang imam tidak mati kecuali dalam keadaan terbunuh atau diracuni.” (Lihat Bihar al-anwar, karya al-Majlisi (43/364).




Jika seorang imam mengetahui hal perkara yang ghaib sebagaimana disebutkan al-Kulaini dan al-Hurr al- Amili, maka ia akan mengetahui makanan dan minuman yang dihidangkan kepadanya. Jika makanan atau minuman itu beracun, maka ia mengetahui racun yang terdapat didalamnya dan ia menjauhinya. Jika tidak menjauhinya, berarti ia mati dalam keadaan bunuh diri; karena ia tahu bahwa makanan itu beracun. Dengan demikian, ia membunuh dirinya sendiri. Padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabarkan bahwa orang yang bunuh diri itu akan masuk neraka. Apakah Syi’ah ridha para imam mereka masuk neraka??!!




























Apakah Rasulullah tahu tentang Mushaf Fatimah??








Al-Kulaini menyebutkan dalam kitabnya al-Kafi (1/239):”Sejumlah pengikut madzhab kami menuturkan kepada kami dari Ahmad bin Muhammad, dari Abdullah bin al-Hajjal, dari Ahmad bin Umar al-Halabi, dari Abu Bashir, ia mengatakan, “Aku menemui Abu Abdillah lalu aku katakana kepadanya, ‘Aku dijadikan sebagai tebusanmu. Sesungguhnya aku bertanya kepadamu tentang masalah disini yang seseorang akan mendengar ucapanku.’ Maka Abu Abdillah membuka tirai yang menghalangi antara dirinya dengan rumah lainnya. Lalu ia melihat padanya, lalu bertanya, ‘Wahai Abu Muhammad, bertanyalah tentang apa yang terbetik di hatimu.’ Aku katakana, ‘Aku dijadikan sebagai tebusanmu.’…..lalu ia diam sesaat, kemudian mengatakan, ‘ Sesungguhnya kita benar-benar memiliki Mushaf Fatimah. Tahukah mereka apa Mushaf Fatimah itu?’ aku bertanya, ‘Apakah Mushaf fatimah itu?’ Ia menjawab, ‘Yaitu Mushaf yang didalamnya seperti Qur’an kalian ini tiga kali lipatnya. Demi Allah, didalamnya tidak ada satu huruf pun dari Qur’an kalian.’ Aku katakana, ‘Demi Allah, ini adalah ilmu, sedangkan ia (al-Qur’an kalian) tidaklah demikian.”








Apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengetahui Mushaf Fatimah?! Jika beliau tidak mengetahuinya, maka bagaimana ahli baitnya mengetahuinya tanpa sepengetahuan beliau, padahal beliau adalah utusan Allah?! Jika beliau mengetahuinya, mengapa beliau menyembunyikan dari umatnya? Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:








يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ








“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Ma’idah: 67)
















Mertatap Pada Perayaan karbala








Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:




وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ (155)وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ








( 156) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ








( 157) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ












“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-Baqarah: 155-157)








Allah Subhanahu wa Ta’ala Berfirman:












وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ




“Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan” (Q.S. Al-Baqarah: 177)








Disebutkan dalam Nahj al-Balaghah, “Setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Ali Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan yang ditujukan pada beliau, ‘seandainya engkau tidak melarang berkeluh kesah dan memerintahkan bersabar, niscaya telah aku limpahkan atasmu air duka.” (Lihat Nahj al-Balaghah, hal. 576. Lihat pula Mustadrak al-Wasa’il, (2/445)








Disebutkan juga bahwa Ali Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan, “Barangsiapa memukulkan tangannya ke pipinya saat terjadi musibah, maka sungguh telah batal amalnya.” (Lihat Al-Kishal, karya ash-Shaduq, hal. 621; dan Wasa’il asy-Syi’ah, (3/270))








Al-Husain mengatakan kepada saudara perempuannya, Zainab, di Karbala, sebagaimana dinukil penulis Muntaha al-Amal (1/248): “Wahai Saudariku, aku memintamu bersumpah dengan nama Allah, engkau harus memelihara sumpah ini. Jika aku terbunuh, janganlah engkau merobek saku bajumu karena (meratapi) aku, jangan mencakar wajahmu dengan kuku-kukumu, dan jangan pula mengucapkan kata-kata celaka atau kutukan saat aku gugur sebagai syahid.”








Abu Ja’far al-Qummi menukil bahwa Amirul Mukminin mengatakan sebagaimana yang diketahui oleh para sahabatnya, “Janganlah memakai pakaian hitam, karena itu adalah pakaian Fir’aun.” (Lihat Man la Yadhuruhu al-Faqih, karya Abu Ja’far Muhammad bin Babuwaih al-Qummi, (1/232). Ini juga diriwayatkan oleh al-Hurr al-Amili dalam Wasa’il asy-Syi’ah, (2/916)








Dalam Tafsir ash-Shafi, disebutkan tafsir ayat:








وَلا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ








“Dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik” (Q.S. Al-Mumtahanah: 12)




Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaiat para wanita untuk tidak menghitamkan pakaian, tidak merobek baju, dan berseru dengan kata-kata celaka.








Dalam Furu’ al-Kafi, karya al-Kulaini (5/527), Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berwasiat kepada Fatimah dengan sabdanya, “Jika aku mati, janganlah mencakar wajah, jangan mengurai rambutmu, jangan berseru dengan kata-kata celaka, dan jangan mengadakan ratapan atasku.”












Berikut ini syaikh Syi’ah, Muhammad bin al-Husain bin Babuwaih al-Qummi, yang dijuluki dikalangan Syi’ah dengan ash-Shaduq berkata, “ Diantara kata-kata Rasulullah yang belum pernah diucapkan sebelumnya, “Ratapan termasuk perbuatan Jahiliyah.” (Diriwayatkan oleh ash-Shaduq dalam Man la Yadhuruhu al-Faqih (4/271-272). Juga diriwayatkan al-Hurr al-Amili dalam Wasa’il asy-Syi’ah (2/915); Yusuf al-Bahrani dalam al-Hada’iq an-Nadhirah (4/149); al-Hajj Husain al-Burujardi dalam Jami’ Ahadits asy-Syi’ah (3/488); dan diriwayatkan oleh Muhammad Baqir al-Majlisi dengan lafal: an-nihayah ‘amal al-jahiliyah, dalam Bihar al-Anwar (82/103).












Demikian pula ulama Syi’ah: al-Majlisi, an-Nuri, dan al-Burujardi meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Ada dua suara terlaknat yang dibenci oleh Allah: menangis ketika terjadi musibah dan suara bersenandung, yaitu ratapan dan nyanyian.” (Diriwayatkan oleh al-Majlisi dalam bihar al-Anwar, (82/103); Mustadrak al-Wasa’il, (1/143-144); Jami Ahadits asy-Syi’ah, (3/488). Dan Man la Yadhuruhu al-Faqih, (2/271)








Ada pertanyaan setelah memaparkan semua riwayat Syi’ah ini:








Mengapa Syi’ah menyelisihi kebenaran yang disebutkan didalamnya?! Siapa yang kami percaya: Rasul dan Ahli Bait ataukan tokoh-tokoh dan kaum syi’ah??!!












Jika Tathbir (melukai kepala hingga berdarah yang dilakukan Syi’ah pada Tanggal 10 Muharram (Asyura). Lihat Shirath an-Najah, karya at-Tabrizi (1/432), ratapan dan memukul dada itu BERPAHALA seperti yang kaum Syi’ah klaim (Lihat Irsyad as-Sa’il, hal. 184), mengapa Rasulullah, para Ahli baitnya, bahkan para imam-imam Syi’ah TIDAK MELAKUKANNYA???




































Al-Khafi Dhaif lalu Kenapa Dipakai untuk Menafsirkan Al-Qur’an???








Syah Mengatakan bahwa sebagian besar riwayat dalam al-Kafi adalah dhaif?! Dan kami tidak mempunyai yang shahih kecuali al-Qur’an.








Lantas, bagaimana mungkin setelah itu mereka mengklaim –dengan kedustaan- bahwa tafsir Ilahi untuk al-Qur’an itu terdapat dalam kitab yang sebagian besar riwayatnya adalah dhaif berdasarkan pengakuan mereka?!
















Beribadah Hanya Kepada Allah dan Penyimpangan Syi’ah dalam Memberikan Nama








Ubudiyah (peribadatan) itu hanya milik Allah semata. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:








بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ








“Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah” (Q.S. Az-Zumar: 66)








Lantas mengapa Syi’ah memakai nama Abdul Husain, Abdul Ali, Abduz Zahra’, dan Abdul Imam? Mengapa pula para imam tidak menamakan anak-anak mereka dengan nama Abdul Ali dan Abduz zahra’? Apakah dibenarkan memakai Abdul Husain dengan “Pelayan al-Husain” setelah Syahidnya al-Husain? Apakah bias diterima akal menghidangkan makanan dan minuman untuknya serta menuangkan air wudhu untuknya di kuburnya, sehingga ia menjadi pelayan baginya?
















Sujud Dengan Turbah (Tanah dari Karbala)








Apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah sujud di atas tanah Husainiyah dimana kaum Syi’ah bersujud?








Juka mereka mengatakan “ya”, maka kami katakan bahwa ini adalah dusta, demi Rabb Pemilik Ka’bah.








Jika mereka mengatakan tidak bersujud, kami katakana: “Jika memang demikian apakah kalian lebih lurus jalannya daripada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam?”








Padahal sebagaimana diketahui, riwayat-riwayat mereka (Syi’ah) menyebutkan bahwa Jibril Alaihis Salam datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan membawa sewadah tanah karbala.




















Ghaibnya Imam Mahdi Syi’ah, Mengapa Sampai Saat ini Belum Keluar????








Syi’ah mengatakan, sebab ghaibnya imam mereka yang kedua belas di tempat persembunyiannnya adalah karena takut dizhalimi. Namun, mengapa keghaiban ini terus berlanjut meskipun kekhawatiran tersebut telah sirna dengan berdirinya negara-negara Syi’ah sepanjang sejarah, seperti al-‘Ubaidiyyun, al-Buwaihiyyun, ash-Shafawiyyun, dan terakhir negara Iran sekarang?








Mengapa ia tidak keluar sekarang, padahal Syi’ah mampu membela dan melindunginya di negeri mereka? Jumlah mereka juta’an dan akan menebusnya dengan jiwa mereka diwaktu pagi dan petang.
















Saat Nabi Hijrah, Ali Dalam Posisi Kebinasaan??!!








Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta ash-Shiddiq Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu untuk menemani dalam hijrahnya dan mengharapkan-nya tetap hidup. Sebaliknya, beliau menghadapkan Ali Radhiyallahu ‘Anhu pada kematian dan kebinasaan diatas tempat tidurnya. Seandainya Ali adalah imam yang diwasiatkan dan khalifah yang dipersiapkan, apakah mungkin ia dihadapkan pada kebinasaan, sementara Abu Bakar diharapkan tetap hidup, padahal seandainya is mati, maka imamah atau silsilah imamah tidak terganggu karena kematiannya. Disini ada pertanyaan, manakah yang lebih utama, ia tetap hidup tanpa tersentuh sedikit duripun ataukah dicampakkan di ranjang kematian dan kebinasaan?








Jika Syi’ah mengatakan, Ali mengetahui perkara ghaib, maka apa kelebihan untuknya ditempat tidur?


0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.