-->

10 Agustus 2012

Salafi? Istilah apa lagi itu?!


Foto



Bismillah


Saya akan membawakan diskusi menarik antara Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah dg seorang yg bernama Ustadz abdul Halim Abu Syuqqah, Penulis kitab “Tahrir Al-Mar’ah fii Ashr Ar-Risalah”. Saya mengutipnya dari buku “Beda Salafi dengan Hizbi” karya Abdul Qadir Abu Fa’izah Al-Atsari. Dan beliau menukilnya dari kitab Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali As-Salafy (salah seorang murid Syaikh Al-Albani Rahimahullah) berikut nashnya:

Syaikh Al-Albani Rahimahullah berkata, “Jika ditanyakan kepada Anda, apa mazhabmu? Apa jawaban anda?”

Abu Syuqqah menjawab, “muslim”.

Syaikh Al-Albani berkata, “Ini tidak cukup!”

Abu Syuqqah menjawab, “Sungguh Allah telah menamai kita muslim.” Abu Syuqqah membaca firman Allah Ta’ala,

هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ

“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. Al-Hajj: 78)

Syaikh Al-Albani berkata, “Ini adalah jawaban yang benar andaikan kita berada di kurun waktu pertama sebelum tersebarnya kelompok-kelomp
ok sesat. Andaikan kita sekarang bertanya kepada muslim manapun dari kelompok-kelompok sesat ini yang kita telah berbeda dengannya dalam pokok aqidah, maka tidak akan melenceng jawabannya dari kata ini (yaitu “kata muslim”). Semuanya akan menjawab, baik itu orang Syi’ah-Rafidah, Khawarij, Duruz, maupun Nushairi-Alawi, ‘Aku adalah muslim’. Jadi, ini tidak cukup di hari-hari ini.”

Abu Syuqqah berkata, “Kalau begitu aku katakan, aku adalah seorang muslim yang berada di atas al-Qur’an dan As-Sunnah.”

Syaikh Al-Albani berkata, “Ini juga tidak cukup!”

Abu Syuqqah berkata, “Mengapa bisa?”

Syaikh Al-Albani berkata, “Apakah Anda mendapati seseorang di antara mereka yang telah kita contohkan -misalnya- dia berkata, ‘Saya adalah seorang muslim yang tidak berada di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah’. Siapa yang akan mengatakan, ‘Aku tidak berada di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah?’

(Kemudian Syaikh -hafizhahullah- mulai menjelaskan pentingnya landasan Islam yang kita bangun, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih.)

Abu Syuqqah berkata, “Kalau begitu aku katakan, Aku adalah seorang muslim yang berada di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih.”

Syaikh Al-Albani berkata, “Jika ada yang bertanya kepadamu tentang mazhabmu, apakah engkau mengatakan hal itu kepadanya?”

Abu Syuqqah berkata, “Ya.”

Syaikh Al-Albani berkata, “Bagaimana pendapatmu jika kita meringkas kalimat itu menurut bahasa? Karena sebaik-baiknya ucapan adalah yang ringkas, lagi menunjukkan (maksud). Maka kita katakan, “Salafi”.

(Maksudnya Syaikh, daripada kita susah mengucapkan, “Aku seorang muslim yang berada di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih”, lebih baik kita mencari istilah lebih ringkasnya. Ternyata kalimat itu diwakili oleh kalimat “Saya Salafi”. (Pen))

Abu Syuqqah berkata, “Mungkin aku bisa bertoleran denganmu, maka aku katakan kepadamu, ‘Ya’. Akan tetapi keyakinanku sebagaimana yang telah lalu. karena awal kali -ketika orang mendengar bahwa engkau Salafi-, maka pikiran manusia akan lari kepada banyak perkara berupa tindakan-tindakan bermuatan kekerasan sampai pada tingkatan kekerasan yang terkadang terjadi dari salafiyyun”.

Syaikh Al-Albani berkata, “Anggaplah ucapanmu benar. Jika engkau katakan ‘muslim’, tidakkah pikiran orang akan lari kepada orang Syi’ah Rafidhah, atau Duruzi, atau Isma’ili…. dan seterusnya?!”

Abu Syuqqah berkata, “Mungkin saja. Tapi aku telah mengikuti ayat yang mulia ini.” (QS. Al-Hajj 22:78)

Syaikh Al-Albani berkata, “Tidak, wahai saudaraku! Sungguh engkau tidak mengikuti ayat ini, karena ayat ini memaksudkan Islam yang benar (baca: murni). Seyogyanya Anda bicara dengan manusia sesuai tingkatan berpikirnya. Apakah seseorang di antara kalian akan memahami bahwa engkau adalah muslim sesuai makna yang dimaksudkan dalam ayat itu? Perkara-perkara yang terlarang (tercela) yang Anda telah sebutkan, terkadang benar terkadang tidak, karena ucapanmu “keras”, ini terkadang pada sebagian individu, bukan menjadi manhaj dalam aqidah ilmiyyah. Tinggalkan individu-individu itu, karena sekarang kita berbicara tentang manhaj. Karena apabila kita bilang, ‘Syi’ah, Duruzi, Khawarij, Shufi, atau Mu’tazilah’ maka akan muncul perkara-perkara tercela tersebut (berupa sikap keras dan brutal). Jadi, itu bukanlah inti pembicaraan kita. Kita sedang membahas tentang nama yang menunjukkan mazhab seorang manusia yang dia berada kepada Allah dengannya.”

Kemudian Syaikh berkata, “Bukankah semua sahabat muslim?”

Abu Syuqqah berkata, “Tentunya muslim.”

Syaikh Al-Albani berkata, “Tapi diantara mereka ada orang yang mencuri dan berzina. Ini tentunya tidak membolehkan bagi seseorang diantara mereka untuk berkata, ‘Aku bukan muslim’. Bahkan dia adalah muslim dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai suatu prinsip. Akan tetapi terkadang ia menyelisihi prinsipnya, karena dia bukanlah ma’shum. Karenanya, kita -semoga Allah memberkahimu- sekarang bicara tentang sebuah kata yang menunjukkan aqidah kita, pemikiran kita, dan acuan kita dalam kehidupan kita yang berkaitan dengan urusan agama kita yang kita menyembah Allah dengannya. Adapun fulan orangnya mutasyaddid (keras) atau mutasahil (bergampangan), maka ini adalah perkara lain.”

Kemudian Syaikh Al-Albani Rahimahullah berkata lagi, “Aku ingin engkau pikirkan kata yang ringkas ini (kata Salafi) sehingga engkau tidak tetap bersikeras di atas kata muslim, sedang Anda tahu bahwa tidak ada seorang pun di antara kalian yang memahami apa yang Anda inginkan selama-lamanya. Jadi, bicaralah dengan manusia sesuai tingkatan berpikir mereka. Semoga Allah Ta’ala memberkahimu dalam sambutanmu.”

Inilah diskusi Syaikh yang penulis buku Beda Salafi dengan Hizbi nukilkan dari kitab Limadzaa Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy (hal 36-38) karya Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali -hafizhahullah-, cetakan Dar Ibnul Qayyim & Dar Ibnu Affan, 1422 H.

Sumber:http://rizkytulus.wordpress.com/2009/11/13/post-id09/

Diberdayakan oleh Blogger.