Salah seorang teman -semoga Allah menambahkan kepadanya ilmu yang bermanfaat-
pernah menulis sebuah artikel dengan judul yang kurang lebih sama
dengan judul tulisan ini. Namun, pada kesempatan ini saya hanya akan
sedikit menyampaikan beberapa keterangan dan sedikit mengkaji realita
yang ada di sekitar kita demi mengingatkan diri kami sendiri dan segenap
ikhwah...
Pertama; Masalah Niat
Kita semua mengetahui bahwa amalan yang kita lakukan akan sangat
tergantung pada niat pelakunya. Oleh sebab itu kami mengingatkan kepada
segenap ikhwah untuk senantiasa menjaga niat dalam beramal karena Allah, bukan karena mencari tujuan-tujuan yang rendah dan hina. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal dinilai berdasarkan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: Allah ta'ala berfirman, “Aku
adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang
mengerjakan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan diri-Ku
dengan selain-Ku maka akan Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya.” (HR. Muslim).
Maka keikhlasan adalah perkara yang sangat penting dan tidak boleh
dilupakan oleh setiap kita, dalam setiap amalan yang kita lakukan, di
mana pun dan kapan pun...
Kedua; Masalah Prioritas
Kita semua mengetahui bahwa keutamaan amalan itu bertingkat-tingkat,
ada yang wajib dan ada yang sunnah, ada yang utama dan ada yang lebih
utama, ada yang penting dan ada yang lebih penting. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Allah ta'ala berfirman, “Tidaklah
hamba-Ku mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Aku
cintai daripada mengerjakan hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya...” (HR. Bukhari)
Oleh sebab itu hendaknya kita lebih mendahulukan sesuatu yang memiliki
urgensi dan keutamaan yang lebih daripada sesuatu yang kurang penting
dan kurang utama, terlebih lagi di saat-saat kebanyakan manusia
tenggelam dalam kelalaian dan penyimpangan-penyimpangan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ibadah di saat fitnah berkecamuk laksana berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR. Muslim)
Ketiga; Masalah Ilmu
Kita semua mengetahui bahwa ilmu merupakan pintu menuju kebahagiaan, keselamatan, dan kemuliaan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah maka akan dipahamkan oleh-Nya dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Beliau juga bersabda, “Barangsiapa
yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu [agama] niscaya
Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Oleh sebab itu hendaknya kita bersemangat dalam menuntut ilmu ini. Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan, “Barangsiapa
yang menuntut ilmu dalam rangka menghidupkan ajaran Islam, maka dia
termasuk Shiddiqin dan derajatnya adalah sesudah derajat kenabian.” Imam Ahmad rahimahullah juga berkata, “Manusia
lebih membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman. Karena makanan
dan minuman hanya dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali.
Adapun ilmu, ia dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.”
Keempat; Masalah Hidayah
Kita semua mengetahui betapa butuhnya kita terhadap hidayah dan bimbingan dari Allah ta'ala.
Sehingga setiap hari kita memohon kepada-Nya untuk ditunjuki jalan
yang lurus. Hidayah ini mencakup petunjuk berupa ilmu dan amalan.
Karena orang yang berjalan di atas jalan yang lurus adalah yang
memadukan antara ilmu dan amalan. Bukan sekedar berilmu tapi tidak
beramal. Bukan juga beramal namun tanpa ilmu.
Oleh sebab itu kita harus menjaga nikmat hidayah ini dengan baik.
Jangan sampai Allah mencabut hidayah ini dari dalam diri kita akibat
kelalaian dan kesalahan kita sendiri. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Tatkala mereka menyimpang maka Allah pun simpangkan hati mereka.” (QS. ash-Shaff: 5). Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa
yang berpaling dari peringatan-Ku, maka dia akan mendapatkan
penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya di hari kiamat
dalam keadaan buta. Dia berkata: Wahai Rabbku, mengapa Engkau kumpulkan
aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku bisa melihat. Allah
menjawab; Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami akan tetapi
kamu justru melupakannya, maka demikian pula pada hari ini kamu
dilupakan.” (QS. Thaha: 124-125)
Kelima; Masalah Dakwah
Kita semua juga mengetahui bahwa dakwah merupakan tugas agung para pengikut setia Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dakwah memiliki keutamaan dan urgensi yang sangat besar. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah:
Inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah di atas ilmu yang nyata, aku
dan orang-orang yang mengikutiku, dan aku bukanlah termasuk
orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)
Oleh sebab itu ilmu yang telah kita dapatkan tidak boleh disembunyikan.
Hendaknya kita ikut berpartisipasi dalam menyebarluaskannya. Terlebih
lagi di masa seperti masa kita sekarang ini tatkala kebatilan dan
kemaksiatan begitu gencarnya dipromosikan melalui segala sarana, baik di
kota maupun di desa, di kalangan orang tua maupun anak muda. Imam
Ahmad rahimahullah pernah berkata, “Ilmu itu tidak bisa ditandingi oleh apapun, yaitu bagi orang yang niatnya benar.” Ketika ditanya apa maksud niat yang benar itu, beliau menjawab, “Yaitu belajar dalam rangka menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri dan dari orang lain.”
Keenam; Masalah Sabar
Kita semua mengetahui bahwa untuk menuntut ilmu, mengamalkannya dan
mendakwahkannya tentu saja dibutuhkan kesabaran. Demikian juga untuk
menjauhi larangan-larangan, menjalankan perintah, serta tatkala
mengalami musibah. Maka hendaknya setiap kita menggembleng diri dengan
kesabaran. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dengan bekal kesabaran dan keyakinan, maka akan diraih kepemimpinan dalam urusan agama.”
Para ulama kita juga menegaskan, bahwa sabar laksana kepala bagi
anggota badan. Apabila kesabaran itu hilang maka hilanglah keimanan.
Sabar ini sangat dibutuhkan. Lihatlah kesabaran para ulama kita dalam
menuntut ilmu hingga harus merasakan haus dan lapar, jauh dari sanak
famili, harus meninggalkan tanah kelahiran mereka, bahkan ada di antara
mereka yang rela menjual pakaian dan bahkan rumahnya demi menuntut
ilmu.
Demikian juga lihatlah kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai ujian
dan tekanan yang datang dari musuh-musuh dakwahnya. Tidaklah itu semua
mereka lakukan kecuali karena keyakinan mereka akan kebenaran janji
Allah ta'ala kepada orang-orang yang sabar. Allah tidak akan
menyia-nyiakan jerih payah mereka, Allah tidak akan menyia-nyiakan
keimanan dan kesabaran mereka selama hidup di dunia... Karena Allah akan
membalasnya dengan surga yang kenikmatannya belum pernah dilihat oleh
mata, belum pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah terlintas
dalam hati manusia... Sebuah kenikmatan yang sekali celupan di dalamnya
bisa melupakan segala kesusahan dan kerepotan yang pernah dialaminya
selama hidup di dunia...
Ketujuh; Masalah Akidah
Kita semua telah mengetahui keutamaan dan urgensi akidah bagi individu
dan masyarakat. Sebab akidah yang benar merupakan kunci keselamatan
pada hari pembalasan. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Pada
hari itu [hari kiamat] tidaklah berguna harta dan keturunan kecuali
bagi orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu'ara': 88-89). Allah pun menjadikan dakwah kepada akidah yang benar sebagai pondasi dan ruh dakwah para nabi dan rasul. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36)
Oleh sebab itu selayaknya setiap pribadi muslim dan muslimah memiliki
perhatian yang besar terhadap masalah akidah, memahaminya dengan benar
dan berusaha mendakwahkannya kepada umat setelah berusaha menanamkannya
di dalam dirinya sendiri. Janganlah kita meremehkan masalah akidah,
karena ia adalah pondasi dan ruh agama ini. Akidah tidak hanya
dibutuhkan di permulaan, di tengah-tengah, ataupun di akhir saja, namun
dia dibutuhkan di semua waktu dan di segala kondisi. Inilah ibadah hati
yang tidak boleh terlepas barang sedetik pun dari hati setiap insan.
Kita harus ingat, bahwa bodoh dan lalai terhadap akidah adalah gerbang kehancuran. Allah ta'ala berfirman tentang bahaya penyimpangan akidah ini (yang artinya), “Sesungguhnya
barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan
atasnya surga, dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada bagi
orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. al-Ma'idah: 72). Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa
lain yang berada di bawah tingkatan itu bagi siapa saja yang Dia
kehendaki.” (QS. an-Nisaa': 48)
Kedelapan; Masalah Bahasa Arab
Kita semua juga telah mengetahui bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits
ditulis dalam bahasa arab, demikian juga kitab-kitab para ulama kita.
Maka menjadi kebutuhan bagi kita semua untuk bisa memahami ayat-ayat,
hadits-hadits serta keterangan para ulama dengan benar. Oleh sebab itu
alangkah pentingnya bagi setiap penuntut ilmu untuk mempelajari bahasa
ini. Umar bin Khattab radhiyallahu'anhu berkata, “Pelajarilah bahasa arab, karena ia adalah bagian penting dari agama kalian.” Dengan
memahami bahasa arab, maka seorang penuntut ilmu akan dapat membaca
kitab-kitab tafsir, hadits dan fikih serta kitab-kitab ushul yang akan
sangat berguna bagi pembentukan pribadi muslim yang cerdas dan
bermanfaat bagi umat manusia.
Kesembilan; Masalah Waktu
Kita semua mengetahui bahwa waktu, umur dan kesempatan merupakan kenikmatan yang tidak ternilai harganya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua nikmat yang banyak orang tertipu olehnya; yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari). Oleh sebab itu, Allah ta'ala juga bersumpah dengan waktu. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Demi
waktu. Sesungguhnya semua orang benar-benar berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam
kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.” (QS. al-'Ashr: 1-3)
Oleh sebab itu semestinya kita gunakan waktu ini sebaik-baiknya demi
kebahagiaan hidup kita di dunia maupun di akhirat. Sebab kita juga tidak
tahu kapan kita akan mati dan dalam keadaan apa kita mati. Yang bisa
kita lakukan adalah beramal dan beramal. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu adalah kumpulan hari. Apabila berlalu hari itu, maka hilanglah sebagian dari dirimu.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpesan, “Bersegeralah
dalam beramal sebelum datangnya fitnah-fitnah seperti potongan malam
yang gelap gulita. Pada waktu pagi seorang beriman namun di sore hari
menjadi kafir, atau pada sore hari dia beriman dan esok harinya kafir,
dia menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia.” (HR. Muslim)
Penutup
Mungkin ini saja sebagian catatan yang rasanya perlu kami sampaikan
sebagai pengingat bagi diri kami dan pembaca sekalian, mengingat
pentingnya hal ini untuk disampaikan dan demikian banyaknya perkara
yang menjauhkan kaum muslimin dari agama mereka.
Tulisan ini terutama kami tujukan kepada segenap generasi muda yang
telah diberikan kenikmatan oleh Allah berupa akal pikiran dan
kesempatan serta kekuatan, agar mereka tidak menyia-nyiakan berbagai
kesempatan baik yang telah dibukakan untuk mereka.
Semoga yang singkat ini bermanfaat, wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil 'alamin.
* Tulisan ini disusun dengan saran dari salah seorang teman -semoga Allah senantiasa menjaganya-
________________
Sumber: Artikel facebook Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi
0 komentar:
Posting Komentar