Oleh : Ustadz Abdullah Taslim
Kita
sering mendengar dan membaca seruan yang sering digembar-gemborkan
oleh orang-orang-orang IM, yaitu tuntutan penerapan syariat/hukum Islam
dalam undang-undang kenegaraan. Akan tetapi kalau kita cermati dengan
seksama kenyataan dalam sikap dan ucapan tokoh-tokoh IM dalam
menjelaskan masalah hukum Islam, kita akan dapati bukti nyata bahwa
hukum Islam yang mereka inginkan bukanlah hukum Islam yang sebenarnya, dalam
masalah pemerintahan misalnya, mereka memuji-muji dan sangat mendukung
sistem demokrasi dan keparlemenan (yang sangat berseberangan dengan
syariat islam), kemudian dalam masalah ekonomi mereka justru mendukung
paham Isytiraakiyyah (sosialisme) yang diterapkan oleh
negara-negara yang berpaham komunis, juga dalam masalah peradilan,
mereka memuji-muji sistem peradilan di Mesir yang notabene tidak
berdasarkan syariat islam. Nukilan-nukilan berikut akan memperjelas kenyataan di atas:
1.
Banyak tokoh IM yang berprofesi sebagai Qadhi (hakim) dan pengacara
pada peradilan Mesir yang tidak berdasarkan syariat islam, misalnya
Hasan Al Hudhaiby Mursyid umum ke-2 IM adalah seorang penasehat
konsultan perundangan (undang-undang buatan), sebagaimana yang
disebutkan oleh ‘Umar At Tilmisaany dalam kitabnya “Dzikrayaat laa Mudzakkiraat”
(hal. 180). ‘Umar At Tilmisaany mursyid ke-3 IM sendiri adalah seorang
pengacara hukum, yang ketika Hasan Al Banna menawarkan kepadanya untuk
menjadi salah seorang hakim di Mesir, At Tilmisaany menolak tawaran
tersebut dengan tetap mengakui kemulian jabatan sebagai Hakim di Mesir
(?) dan merasa bangga dengan profesinya sebagai pengacara, lihat kitab “Al Mudzakkiraat” (hal. 261) tulisan At Tilmisaany. Dalam kitab yang sama (hal. 263) At Tilmisaany berkata:
“Jika
mereka bertanya kepadaku tentang hawa nafsu, maka aku adalah hawa
nafsu, anak hawa nafsu, bapak hawa nafsu dan saudara hawa nafsu.” (!?)
Demikian
juga salah seorang petinggi IM, ‘Abdul Qaadir ‘Audah adalah seorang
hakim di Mesir yang sangat dibanggakan oleh orang-orang IM, seperti
yang disebutkan oleh At Tilmisaany dalam kitab yang sama (hal. 281).
2.
Adapun pujian IM terhadap undang-undang/hukum yang berlaku di
peradilan Mesir, maka terlalu panjang untuk kami sebutkan, sebagai
contoh, bisa pembaca lihat ucapan Hasan Al Banna yang dinukil dalam
kitab “Hasan Al Banna, Mabaadi-u wa Ushulun fii Mu’tamaraatin Khaashshah”
(hal. 43, cet. Al Muassasatul Islaamiyyah lith Thiba’ati wash
Shahaafati wan Nasyr, cet. pertama). Demikian pula ucapan Mahmud ‘Abdul
Halim, salah seorang tokoh pendiri IM dalam kitabnya “Al Ikhwanul Muslimun Ahdaatsun Shana’atit Taarikh”
(1/267), juga dalam kitab yang sama (2/283-284). Juga ucapan salah
seorang tokoh IM di Yordania, ‘Auni Jaduu’ Al ‘Ubaidy dalam kitabnya “Jama’atul Ikhwaanil Muslimiin fiil Urdun wa Falisthiin” (hal. 145):
“Sejarah
dan kejayaan peradilan Mesir menjadi bukti kuat bahwa peradilan Mesir
adalah benteng yang kokoh dan kuat dalam menjaga keadilan sepanjang
masa.” (?!)
3. Salah seorang tokoh pendiri dan generasi pertama IM, Jaabir Rizq dalam kitabnya “Hasan Al Hudhaiby, al Imaamul Mumtahan” (hal. 226, cet. Daarul Liwaa’) berkata:
“Hukuman
potong tangan dan kondisi kaum muslimin (saat ini): ketika pemerintah
kaum muslimin lalai untuk mempersiapkan bagi masyrakatnya kehidupan
sosial yang bersih dan mulia, mereka mendapati bahwa hukuman potong
tangan tidak sesuai (lagi) dengan kondisi kaum muslimin (saat ini),
sehingga mereka melarang (diterapkannya) hukuman ini, dan (sikap)
mereka benar dalam melarang (diterapkannya) hukuman ini.” (?!)
4.
Adapun pujian dan dukungan IM terhadap penerapan sistem demokrasi,
maka misalnya terlihat jelas dalam ucapan salah seorang petinggi IM,
Fariid ‘Abdul Khaaliq, yang dinukil oleh Mahmud ‘Abdul Haliim dalam
kitabnya “Al Ikhwanul Muslimun Ahdaatsun Shana’atit Taarikh” (3/27), Farid berkata:
“Sesungguhnya kami (IM) ingin merealisasikan sistem demokrasi dan mengembalikan kehidupan (sistem) keparlemenan.”
Dalam kitab dan halaman yang sama, ketika Farid berdialog dengan Jamal ‘Abdun Naashir, dia berkata:
“Sistem demokrasi, tidak ada pengganti baginya.” (?!)
Kemudian dalam kitab yang sama (3/28), Farid berkata:
“Sesungguhnya
merubah arah hidup masyarakat tidak mungkin akan (berhasil dengan)
sempurna kecuali dalam iklim kebebasan dan demokrasi yang membolehkan
berkembangnya pemikiran-pemikiran yang benar.”
5. Dalam kitab “Hasan Al Banna, Mabaadi-u wa Ushulun fii Mu’tamaraatin Khaashshah”
(hal. 60), ucapan Hasan Al Banna yang mengatakan bahwa sistem
demokrasi adalah sistem yang sangat sesuai dengan syariat Islam. Oleh karena itulah Hasan Al Banna dua kali mencalonkan dirinya sebagai wakil IM dalam parlemen Mesir, sebagaimana yang disebutkan oleh Jaabir Rizq dalam kitabnya “Hasan Al Banna Biaqlaami Talaamidzatihi wa Mu’aashiriihi” (hal. 23-24).
6.
Lihat juga surat yang ditulis oleh mursyid ke-2 IM, Hasan Al Hudhaiby
kepada Jamaal ‘Abdun Nashir, yang dinukil oleh Jabir Rizq dalam
kitabnya “Hasan Al Hudhaiby, al Imaamul Mumtahan” (hal. 206), Al Hudhaiby berkata:
“Tidak
diragukan lagi bahwa kehidupan (dengan sistem) parlemen (demokrasi)
adalah (satu-satunya) landasan yang suci bagi semua hukum di jaman
sekarang ini…”
7. Dalam kitabnya “Al Ikhwanul muslimun Ahdaatsun Shana’atit Taarikh” (3/119-120), Mahmud ‘Abdul Haliim menukil tuntutan IM kepada pemerintah Mesir:
“Yang
ketiga: Perbaikan dalam sistem perundang-undangan: …, maka kalau
demikian, tidak ada cara lain (kecuali) memikirkan (upaya) untuk
mengembalikan bangunan kehidupan (sistem) parlemen dan undang-undang
pemilihan umum berdasarkan pokok-pokok yang suci, sehingga sistem ini
mampu menunaikan tugasnya seperti yang dicita-citakan.”
8. Berkata Yusuf Al Qardhawy dalam kitabnya “Aulawiyyatul Harakatil Islaamiyyah fiil Marhalatil Qaadimah” (hal. 156-159):
“Wajib
bagi pergerakan Islam pada tahapan mendatang untuk berdiri (tegak)
menentang hukum diktator yang individualis dan kesewenang-wenangan dalam
berpolitik serta penindasan terhadap hak-hak masyarakat, dan hendaknya
pergerakan Islam selalu berada di barisan (yang mendukung) kebebasan
berpolitik yang terwujud dalam sistem demokrasi yang murni dan bukan
yang palsu …”
9. Mahmud ‘Abdul Haliim dalam kitabnya “Al Ikhwanul Muslimun Ahdaatsun Shana’atit Taarikh”
(3/83) juga menukil tuntutan IM kepada pemerintah Mesir dalam
perbaikan di bidang ekonomi, yaitu penerapan sistem ekonomi sosialisme
yang sangat bertentangan dengan syariat Islam.
Kemudian dalam kitab yang sama (3/84-85) Mahmud ‘Abdul Halim menukil pernyataan IM:
“Pada
akhirnya, pemerintah Mesir telah melakukan suatu langkah besar dalam
upaya perbaikan di bidang ekonomi dan sosial dengan pemerintah
menetapkan dasar (sistem) pembatasan kepemilikan (yang bertujuan) untuk
menghilangkan perbedaan (taraf hidup) pada semua tingkatan dalam
masyarakat, …”
10.
Dalam kitab yang sama (3/110) Mahmud ‘Abdul Haliim juga menukil
pertanyaan Al Hudhaiby yang tidak keberatan dengan keberadaan sebuah
partai komunis di Mesir.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وعلىِ آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم القيامة, وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
_____________________________________________________________________________________________________________
Dipublikasikan oleh : ibnuramadan.wordpress.com
Disebarkan di Maktabah Abu Salma al-Atsari atas izin muslim.or.id
Hak cipta berada di tangan penulis dan webmaster muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar