Oleh : Ustadz Abdullah Taslim
Dalam kitab “Al Ikhwanul Muslimun Ahdaatsun Shana’atit Taarikh”
(cet. Daarud Da’wah, tiga juz) yang ditulis oleh salah seorang pendiri
dan tokoh besar IM yang bernama Mahmud ‘Abdul Halim, pada sub judul “Fii Qadhiyyati Falisthiin (Masalah Palestina)”
(juz 1/hal. 409), ketika penulis berbicara tentang sebuah tim gabungan
Amerika dan Inggris yang berkunjung ke negara-negara Arab untuk
membicarakan masalah Palestina, dalam sebuah pertemuan di Mesir dengan
tim tersebut, Hasan Al Banna (pimpinan IM) hadir sebagai wakil dari
Pergerakan Islam dan menyampaikan sebuah ceramah, yang redaksinya
adalah sebagai berikut (langsung kami terjemahkan):
…Dan
pembahasan yang akan kami sampaikan merupakan sebuah point yang simpel
dari tinjauan agama, (akan tetapi) karena point ini mungkin saja tidak
dipahami di dunia barat, oleh karena itulah saya ingin menjelaskan
point ini dengan ringkas: maka saya ikrarkan bahwa permusuhan
kita terhadap orang-orang Yahudi bukanlah merupakan permusuhan (atas
dasar) agama, karena Al Quran yang mulia menganjurkan (kita) untuk
bersahabat karib dan berteman dekat dengan mereka[1],
dan (syariat) islam (sendiri) adalah syariat yang bersifat kemanusiaan
sebelum menjadi syariat yang bersifat qaumiyyah (untuk kaum/bangsa
tertentu), dan sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji mereka
(orang-orang Yahudi) serta menjadikan adanya kesesuian antara kita dan
mereka, (Allah berfirman):
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik.” (QS. Al ‘Ankabuut: 46)
Dan
ketika Al Quran ingin membicarakan masalah orang-orang Yahudi, Al
Quran membicarakannya dari segi ekonomi dan undang-undang (saja), Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, …” (QS. An Nisaa’: 160)[2]”
Ucapan Hasan Al Banna ini juga dinukil oleh As Siisy sendiri dalam kitabnya yang lain yang berjudul “Fii Qaafilatil Ikhwaanil Muslimin” (1/262, cet. Daaruth Thibaa’ati Wan Nasyri Wash Shautiyyaat juz 1-2 dan Daarul Qabas juz 3-4, 4 juz).
Masih dalam kitab “Hasan Al Banna, Mawaaqifu fiid Da’wati Wat Tarbiyyah”
(hal. 163) penulis menukil ceramah Hasan Al Banna tentang beberapa
kewajiban yang sangat ditekankan bagi media massa islam, di dalam
ceramah tersebut, dia berkata:
“Yang
keempat: menetapkan suatu hakekat yang mulia dan agung yang pura-pura
dilalaikan oleh banyak kalangan yang mempunyai tendensi tertentu dan
mereka berusaha untuk mengaburkan dan menyembunyikan hakekat ini, yaitu:
bahwa (agama) islam yang hanif (lurus) ini tidaklah memusuhi suatu agama (tertentu), atau memerangi ideologi (tertentu),
serta tidak berbuat zhalim terhadap orang-orang yang tidak beriman
(non muslim) sedikit pun, dan tidaklah ajaran islam (dianggap)
membuahkan hasil (yang baik) sampai ajaran tersebut (mampu) menumbuhkan
(dalam diri) suatu masyarakat yang yang setanah air perasaan cinta,
keharmonisan, tolong-menolong dan kedamaian (di antara mereka)
bagaimanapun berbedanya agama (yang) mereka (anut) dan bertentangannya
ideologi (yang) mereka (yakini).”
Dan
masih banyak ucapan dan sikap Hasan Al Banna dan tokoh-tokoh IM secara
umum selain yang kami sebutkan di atas, yang untuk lebih ringkas kami
akan sebutkan kesimpulannya sebagai berikut:
Dalam
sebuah perayaan IM Hasan Al Banna mengundang beberapa tokoh dan
pendeta Nashrani dan menempatkan tempat duduk mereka di antara
orang-orang anggota IM, dan dalam kesempatan tersebut juga
Hasan Al Banna menyampaikan sebuah pidato yang di dalamnya dia
memanggil/menyebut orang-orang Nashrani dengan sebutan “Ikhwaaninaal Masiihiyyiin” (saudara-saudara kami yang beragama Nashrani) (lihat kitab “Hasan Al Banna, Mawaaqifu fiid Da’wati Wat Tarbiyyah”
hal. 120). Dalam kitab yang sama (hal. 264-265), Hasan Al Banna
menyebutkan bahwa (agama) Islam melarang (seorang) muslim untuk
berfanatik terhadap agamanya. Lihat juga surat yang ditulis oleh Hasan
Al Banna kepada orang-orang Yahudi (yang tinggal di Mesir), yang
dinukil oleh ‘Abbas As Siisy dalam kitabnya “Fii Qaafilatil Ikhwaanil Muslimin”
(1/194). Juga surat Hasan Al Banna kepada seorang pembesar agama
Nashrani di Mesir dalam kitab Hasan Al Banna sendiri yang berjudul “Mudzakkiraatid Da’wati Wad Daa’iyah” (hal. 282, cet. Mathaabi’uz Zahraa’ lil I’laamil ‘Araby, thn 1410 H).
Kenyataan di atas juga dipertegas oleh salah seorang tokoh generasi pertama IM yang bernama Jabir Rizq dalam kitabnya “Hasan Al Banna bi Aqlaami Talaamidzatihi wa Mu’aashiriihi”
(hal. 185, cet. Daarul wafaa’, cet. 3, thn 1410 H), yang menukil
ucapan salah seorang tokoh generasi pertama IM lainnya Dr. Hassaan
Hathuut yang menceritakan hubungan mesra Hasan Al Banna dan anggota IM
secara umum dengan orang-orang yang beragama Nashrani, ucapan ini juga
dinukil dalam majalah “Al Ummah” yang terbit di Qathar (hal 188, edisi ke-55, bulan Rajab 1405 H).
Dalam kitab “Tashawwurul Ikhwanil Muslimiin lil Qadhiyyatil Falisthiiniyyah”
(hal.23, cet. Daarut Tauzii’ wan Nasyril Islaamiyyah), penulis Dr.
‘Abdul Fattaah Muhammad Al ‘Uwais menyebutkan bahwa untuk membuktikan
ketidakfanatikan mereka terhadap agama islam, IM menyertakan dua orang
yang beragama Nashrani yang bernama Wuhaib Daus dan Akhnuukh Luwis
Akhnuukh, sebagai anggota sebuah tim di bawah naungan IM yang membidangi
masalah politik (Keterangan ini juga disebutkan dalam majalah “Liwa-ul Islam”
(hal. 39, edisi pertama tahun ke-45, bulan Ramadhan 1410 H). Bahkan
dalam kitab tersebut penulis menegaskan bahwa sikap ini dipegang teguh
dan dipertahankan oleh para mursyid (pimpinan) IM dari dulu sampai
sekarang, dalam bentuk kunjungan pimpinan-pimpinan IM tersebut ke
beberapa tokoh-tokoh Nashrani dan yayasan-yayasan mereka, seperti yang
dilakukan oleh pimpinan-pimpinan IM: Hasan Al Banna, Hasan Al Hudhaiby,
‘Umar At Tilmisaany, dan Muhammad Haamid Abun Nashr.
Dalam kitab “Fii Qaafilatil Ikhwaanil Muslimin”
(2/35) tulisan ‘Abaas As Siisy, penulis mencantumkan sebuah foto
bersama pimpinan umum IM yang didampingi seorang wakil dari pihak
gereja di sebelah kirinya. Juga dalam kitab yang sama (2/46), foto
bersama pada perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Iskandariyyah: pimpinan umum IM di samping kanannya seorang wakil dari pihak gereja.
Kenyataan di atas juga dipertegas oleh pimpinan umum IM yang ke-3 ‘Umar At Tilmisaany dalam sebuah makalahnya yang berjudul: “Wa Aina Nashiibuna Min Haadzal Hubb?” yang dinukil dalam majalah IM yang bernama “Majallatud Da’wah”
(hal. 2-3, edisi ke-14 thn ke-26/388, bln Sya’baan 1397 H). Juga oleh
pimpinan umum IM berikutnya Muhammad Haamid Abun Nashr dalam kitabnya “Haqiiqatul Khilaafi Bainal Ikhwaanil Muslimiin wa ‘Abdun Naashir” (hal. 33, cet. Daarut Tauzii’ wan Nasyril Islaamiyyah, cet ke-2 thn 1408 H).
Berkata salah seorang tokoh besar IM yang terkenal, Yusuf Al Qardhaawy dalam kitabnya “Aulawiyyatul Harakatil Islaamiyyah fiil Marhalatil Qaadimah” (hal. 168, cet. Muassasatur Risaalah, cet. ke-12 thn 1411 H):
“Aku
ingat, beberapa tahun yang lalu aku pernah diundang untuk
berpartisipasi dalam sebuah pertemuan (yang bertajuk) “Ash Shahwatul
Islaamiyyah wa Humuumul Wathanil ‘Araby (kebangkitan islam dan
cita-cita bangsa arab)” yang diselenggarakan oleh “Muntadal Fikril
‘Araby” di ibukota negara Yordania, ‘Amman. Yang diundang untuk
menghadiri pertemuan tersebut adalah orang-orang muslim, Nashrani,
orang-orang yang berpaham komunis, kebangsaan (nasionalis), dari
berbagai macam kelompok dan pemikiran… Dan termasuk hal yang tidak aku
lupakan, apa yang disampaikan kepadaku oleh salah seorang ikhwan peserta
yang beragama Nashrani yang (berpaham) nasionalis, ketika kami sedang
(menyantap) hidangan makan siang, dia berkata kepadaku: ‘Sungguh kami
telah merubah penilaian kami terhadap Anda saat ini juga’, aku
bertanya: ‘Bagaimana penilaian kalian terhadapku (sebelum petemuan
ini)?’, dia menjawab: ‘(Kami menilai) anda adalah orang yang fanatik
(terhadap agama islam) dan ekstrim’, aku bertanya (lagi): ‘Dari mana
timbulnya penilaian kalian tersebut?’, dia menjawab: ‘Aku tidak tahu,
akan tetapi, terus terang itulah pandangan dan penilaian kami terhadap
anda dulunya’, (kemudian) aku bertanya: ‘Sekarang (bagaimana penilaian
kalian)?’, dia menjawab: ‘Kami mengetahui setelah kami mendengar,
menyaksikan, berdialog dan berinteraksi secara langsung, suatu
(kenyataan) yang (membuat) kami (harus) merubah penilaian buruk kami
yang dulu kami tujukan kepada Anda, sungguh kami dapati anda sebagai
seorang yang menghargai pembicaraan, selalu menggunakan pertimbangan
akal, mau mendengarkan berbagai macam sudut pandang yang berbeda, tidak
tegang dan kaku, bahkan melebihi yang lain dalam sikap luwes dan
toleransi …dst.’”
Nukilan-nukilan
yang kami sampaikan di atas sengaja tidak kami komentari, karena
kebatilan dan penyimpangannya terlalu jelas bagi orang yang berakal,
apalagi orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agama islam, seperti jelasnya matahari di siang bolong!
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وعلىِ آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم القيامة, وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Dipublikasikan oleh : ibnuramadan.wordpress.com
Disebarkan di Maktabah Abu Salma al-Atsari atas izin muslim.or.id
Hak cipta berada di tangan penulis dan webmaster muslim.or.id
Risalah ini dapat disebarluaskan dan diprint/dicetak selama tidak untuk komersial dan hanya dibagikan gratis
[1] Silahkan
pembaca menilai sendiri betapa jauhnya ucapan ini menyimpang dari
kebenaran, karena semua orang muslim – bahkan orang awam sekalipun –
mengetahui bahwa inti permusuhan kita terhadap orang-orang yahudi dan
semua orang-orang kafir lainnya adalah permusuhan karena agama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka.” (QS. Al Baqarah: 120)
Allah juga berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An Nisaa’: 101)
Dan masih banyak ayat-ayat yang semakna dengan dua ayat di atas.
[2] Penggalan terakhir ayat ini justru menunjukkan bahwa permusuhan kita dengan orang-orang Yahudi adalah karena agama:
“…dan karena mereka (orang-orang Yahudi) banyak menghalangi (manusia) dari jalan (agama) Allah.” (QS. An Nisaa’: 160)
Ucapan
Hasan Al Banna ini juga dinukil oleh salah seorang tokoh besar IM
lainnya, ‘Abbas As Siisy dalam kitabnya “Hasan Al Banna, Mawaaqifu fiid
Da’wati Wat Tarbiyyah” (hal. 288, cet. Daarul Qabas, cet. ketiga).
Kemudian juga dalam kitab tersebut hal. 319, pada sub judul: Bayaanu
Fadhiilatil Mursyid fiil Mu’tamarish Shahafiy bil Markazil ‘Aam
(Penjelasan yang Mulia Mursyid/Pimpinan IM Dalam Sebuah Konferensi Pers
di Markas Besar IM)”, berkata ‘Abbas As Siisy:
“Dalam
konperensi pers yang diselenggarakan di gedung markas besar (IM) dalam
rangka ulang tahun ke-20 berdirinya kelompok IM, ustadz mursyid IM
(Hasan Al Banna) menyampaikan sebuah ceramah, yang di dalamnya dia
berkata: ‘… Pergerakan IM bukanlah kelompok pergerakan yang ditujukan untuk melawan akidah (ideologi), agama, ataupun kelompok tertentu,
karena sesungguhnya perasan yang menguasai jiwa-jiwa pendiri
pergerakan ini adalah bahwa sesungguhnya kaidah-kaidah pokok yang semua
agama yang dibawa oleh para Rasul ‘alaihi salam saat ini sungguh telah
terancam oleh Al Ilhaadiyyah (pemahaman yang menentang dan mengingkari
agama) dan Al Ibaahiyyah (pemahaman yang menghalalkan/membolehkan
segala sesuatu yang diharamkan dalam agama), maka wajib bagi
orang-orang yang beriman kepada agama-agama ini untuk saling
bahu-membahu dan mengarahkan usaha keras mereka untuk menyelamatkan umat
manusia dari dua bahaya yang sedang menyusup secara perlahan-lahan
ini. Dan IM tidaklah membenci dan menyembunyikan rasa antipati (dalam
hati mereka) terhadap orang-orang asing yang tinggal sementara di
negara-negara arab dan negara-negara Islam, sampai pun
orang-orang Yahudi yang tinggal di negara ini (Mesir) tidak ada yang
lain antara kita dan mereka kecuali hubungan-hubungan yang baik.’”
0 komentar:
Posting Komentar