TOLERANSI EKSTRIM
Di era globalisasi
ini toleransi cenderung ekstrim. Manusia tidak begitu memperhatikan
masalah yang bersifat prinsip (menurut agama). Akhirnya dengan alasan
toleransi mereka meruntuhkan al wala’ wal bara’. Padahal masalah cinta
dan benci ini merupakan prinsip dasar agama Islam.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menjelaskan prinsip ini dalam ucapan Beliau (yang artinya): “Barangsiapa
yang cinta karena Allah, benci karena Allah, memberi karena Allah dan
tidak memberi karena Allah, maka ia telah menyempurnakan
keimanannya.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah no. 380)
Juga Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda bahwa siapa yang telah mencintai
Allah dan RasulNya dan tidak cinta kepada siapapun kecuali karena
Allah dan benci untuk kembali kepada kekufuran seperti bencinya dia
untuk dilempar ke dalam api neraka, maka dia akan merasakan kelezatan
iman, sebagaimana hadits berikut (yang artinya): ”Tiga perkara,
jika ada tiga perkara tersebut pada seseorang maka ia akan mendapatkan
kelezatan iman, yaitu : Menjadikan Allah dan RasulNya yang paling
dicintai daripada selain keduanya, dan mencintai seseorang dan tidak
mencintainya kecuali karena Allah, dan benci untuk kembali kepada
kekufuran seperti bencinya dia untuk dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
PERSAUDARAAN ANTAR AGAMA
Dengan toleransi
ekstrim tersebut, mereka bersaudara dengan Yahudi dan Nashrani. Bahkan
bisa bersaudara dengan kaum musyrikin sekalipun.
Dengarlah apa yang dikatakan pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan Al Banna,
tentang orang-orang kafir. Dia berkata: [ “Ikhwanul Muslimin tidaklah
ditegakkan untuk menghadapi akidah-akidah lain, agama-agama lain atau
kelompok-kelompok lain. Karena perasaan yang mendominasi jiwa para
tokoh-tokohnya adalah : Kaidah dasar dalam semua risalah (agama)
sama-sama terancam -pada hari ini- oleh paham atheisme. Maka bagi para
pemeluk yang beriman kepada agamanya, hendaklah saling bahu-membahu dan
saling mengerahkan segenap usahanya untuk menyelamatkan umat manusia
dari bahaya ini. Ikhwanunl Muslimin tidak membenci orang-orang asing
(kafir) yang tinggal di negeri-negeri Islam bahkan Yahudi yang tinggal
menetap di negeri ini. Tidak ada antara kita dan mereka kecuali
hubungan yang baik.” (Qalifatul Ikhwan oleh As Sisi 1/211) ]
(TahafutusySyi’arat, Abdul Aziz bin Sabib, hal. 19 – 20 )
Dalam kesempatan lain, ketika berbicara tentang Palestina, Hasan Al Banna
berkata: [ “Saya menetapkan bahwa pertikaian kami dengan Yahudi
bukanlah pertikaian agama, karena Al Qur’anul Karim menganjurkan kita
untuk bersatu dan berteman dengan mereka. Islam adalah agama
‘kemanusiaan’ sebelum dikatakan ‘kebangsaan’. Al Qur’an telah memuji
mereka dan menjadikan antara kita dan mereka kesepakatan : “Janganlah
kalian membantah ahli kitab kecuali dengan jalan yang lebih baik.” (Al
Ankabut : 46). Dan ketika Al Qur’an akan menghukumi Yahudi dalam satu
masalah, ia menghukuminya dari sisi ekonomi. Allah berfirman : “Karena
suatu kedhaliman dari orang-orang Yahudi, Kami haramkan
kebaikan-kebaikan yang tadinya dihalalkan untuk mereka.” (Ikhwanul
Muslimin Ahdats Shana’atit Tarikh 1/409 ]. ( Mauridul Adzbuz Zallal,
Ahmad An Najmi, hal. 142 )
Demikianlah, tidak heran kalau tokoh-tokoh Ikhwan yang lain pun mengucapkan kalimat yang senada, bahkan lebih berani. Ucapan Dr. Hasan At Turabi,
tokoh Ikhwan, adalah contoh yang paling jelas dalam masalah ini. Ia
mulai mengkampanyekan pemikiran ‘reaktualisasi’-nya dengan mengusulkan
adanya ‘agama dunia’ yang menyeluruh, mencakup tiga agama samawi :
Islam, Kristen, Yahudi. Bahkan ia telah mengadakan berbagai muktamar
dalam upaya kampanyenya. Di antaranya muktamar di Sudan pada bulan
Oktober 1994 di mana ia mengusulkan untuk membuat Hizb Ibrahimi (partai
Ibrahim), dengan alasan tiga agama tersebut sama-sama termasuk milah
Ibrahim (agama Nabi Ibrahim).
Oleh karena itu, Dr. At Turabi
terus mengadakan usaha pendekatan tiga agama tersebut, di antaranya ia
berkata: [ “Sesungguhnya persatuan nasional adalah salah satu dari
program-program penting kita. Sesungguhnya kita dalam garis Islam dapat
mencapai persatuan nasional tersebut melalui dasar-dasar ‘agama
Ibrahim’, yang dapat mengumpulkan kita dengan masihiyyun (orang-orang
Kristen) dengan warisan sejarah yang satu. Dengan pantauan sejarah
keyakinan dan akhlak, kita tidak menginginkan agama ashabiyah / fanatik
dan permusuhan. Tetapi kita menginginkan agama persatuan, persaudaraan
dalam ketuhanan Allah yang satu. “ ( Majalah Al Mujtama’ no. 736 tgl.
8 – 10 – 1985 ] ( Munaqasyah Hadi’ah, Muhammad Ahmad hal. 146 )
Sesungguhnya dakwah seperti ini pernah juga didengungkan oleh Muhammad Abduh
di Mesir, sebagaimana dikatakan oleh Al Ustadz Muhammad Husein : [ “…
Bahwasanyya jalan Muhammad Abduh untuk menegakkan peranannya dalam
memberi semangat dalam pemakmuran adalah ‘membuka pintu ijtihad’ dakwah
ini memberikan dukungan yang besar tehadap perkembangan Islam dan
pendekatan kemajuan dan modernitas Barat. Pendekatan yang dimaksud
adalah : Pendekatan antara Islam dan pemikiran Barat serta kemajuan
mereka. Usaha ini telah mencapai puncaknya ketika Muhammad Abduh masuk
dalam (muwafadhat) bersama pendeta dari Inggris –Ishak Tablur – dalam
mengupayakan pendekatan Islam dan Kristen.” (Tarikh Al Ustadz Al Imam,
2/5698) ] (Ibid)
Jadi Dr. Hasan At Turabi
tidak membawa sesuatu yang baru. Dia hanya taqlid kepada kaum modernis
yang mencita-citakan reaktualisasi hukum-hukum Islam. Al Ahya’ Minhum
Wal Anwat.
Di antara pendahulu kaum modernis adalah Dr. Muhammad Ammarah
seperti yang diceritakan oleh Al Ustadz Jamal Sulthan: [ “… kemudian
Dr. Muhammad mengemukakan pandangannya yang baru. Pandangan yang
sungguh mengerikan. Ide yang dia umumkan di bawah bendera ‘persatuan
agama Tuhan’. Inilah awal penolakan terhadap pembagian manusia menjadi
kafir dan Mukmin di atas dasar yang sesat tadi. Karena pembagian
tersebut – katanya – hanya terkait dengan jaman-jaman pertengahan,
yaitu jaman-jaman kegelapan.” (Muhammad Amarah dan Misi Kebangkitan
Islam, hal. 80 ] (Ibid)
Lihatlah ucapan ini, betapa miripnya istilah-istilah mereka dengan istilah ‘tiga agama satu Tuhan’, dan Abdurrahman Wahid yang mengajak untuk tidak mengkafirkan orang kristen.
Ucapan mereka ini
sudah sangat jauh dari prinsip-prinsip Islam dan kaidah-kaidah Al
Wala’ wal Bara’. Seakan-akan mereka lupa kalau Yahudi dan Nashrani
telah mengucapkan kalimat yang sangat besar, kekafiran yang sangat
dahsyat. Hampir-hampir langit terpecah dan gunung-gunung runtuh serta
bumi terbelah karena ucapan mereka.
“Besar sekali ucapan yang keluar dari mulut-mulut mereka. Mereka tidak mengucapkan kecuali kedustaan.” (Al Kahfi : 5)
“Hampir-hampir
langit terpecah, bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh ketika mereka
menganggap bahwa Allah telah memiliki anak.” (Maryam : 90-91)
Lupakah mereka kalau Yahudi menganggap Uzair anak Allah?
Lupakah mereka kalau Nashrani mengatakan Isa anak Allah?
Lupakah mereka kalau Yahudi dan Nashrani telah menghina Allah Yang Maha Tinggi, Maha Besar?
Apakah pantas
orang-orang seperti mereka dianggap sebagai saudara? Diajak bersatu,
bekerja sama, apalagi mengganggap sebagai satu agama, yaitu agama
Ibrahimiyyah?
Dengarlah nasehat
dan fatwa dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Majmu’
Fatawa-nya : [ “Tidak halal bagi seorang Muslim untuk mensifati
orang-orang kafir –macam apapun kekafirannya, apakah dia Nashrani,
Yahudi, Majusi atau pun Atheis– tidak boleh mensifati mereka dengan
istilah ‘saudara’ sama sekali. Maka hati-hatilah wahai saudaraku
dengan istilah ini. Karena sama sekali tiada persaudaraan antara
orang-orang Mukmin dengan orang-orang kafir. Disebut persaudaraan
ialah persaudaraan iman sebagaimana Allah katakan (yang artinya): “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (Al Hujurat : 10)
Kalau persaudaraan
nasab (keluarga) dapat lenyap karena perbedaan agama, maka bagaimana
mungkin persaudaraan akan terwujud tanpa keIslaman dan kekeluargaan
sekaligus. Allah Azza Wa Jalla berfirman tentang Nabi Nuh ‘Alaihis
Sallam (yang artinya): “Wahai Rabb, sesungguhnya anakku termasuk
keluargaku. Dan sesungguhnya janjimu adalah benar dan Engkau Maha
Bijaksana. Allah berfirman : ‘Wahai Nuh, sesungguhnya ia bukan
keluargamu. Sesungguhnya amalan dia adalah tidak baik.” (Hud : 45-46)
Maka selamanya
tidak akan ada persaudaraan antara mukmin dan kafir. Bahkan, kewajiban
bagi seorang Mukmin adalah tidak mengambil mereka sebagai wali,
sebagaiman firman Allah (yang artinya): “Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian mengambil musuhku dan musuh kalian sebagai
wali-wali yang kalian berikan pada mereka rasa kasih sayang. Padahal
mereka telah kafir dengan kebenaran yang telah datang kepada kalian.” (QS. Mumtahanah : 1)
Siapakah musuh-musuh Allah? Musuh Allah adalah orang-orang kafir. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil Yahudi dan
Nashrani sebagai wali-wali, sebagian kalian menjadi wali sebagian yang
lain. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai wali, maka sesungguhnya ia
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang dhalim.” (Al Maidah : 51)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Barangsiapa
menjadi musuh bagi Allah dan malaikat-malaikatnya, Jibril dan Mikail,
maka Allah adalah musuh bagi orang-orang kafir.” (Al Baqarah : 98) ] (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 3/43)
Demikianlah pernyataan beliau yang melarang mensifati mereka dengan ‘saudara’.
Maka
bagaimana pandangan Anda terhadap orang yang mengatakan tidak kafir,
atau ‘mereka itu orang beriman’ atau istilah yang populer di negeri
kita, ‘semua agama baik’ ? Apalagi yang membebaskan manusia untuk
memilih agamanya, sedangkan yang mengatakan harus Islam dikatakan
ashabiyyah!
Tentang
ucapan yang terakhir ini, Syaikh Utsaimin berfatwa : [ “Sesungguhnya
orang yang membebaskan manusia unntuk meyakini agama yang
dikehendakinya, maka ia telah kafir. Karena barangsiapa mengatakan
bahwa manusia boleh memilih agama selain agama Muhammmad Shalallahu
‘Alaihi Wa Sallam, maka ia telah kafir kepada Allah Azza Wa Jalla.
Karena Allah telah berfirman (yang artinya): “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima dan ia di akhirat menjadi orang-orang yang rugi.” (Ali Imran : 85)
“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam.” (Ali Imran : 19)
Maka dengan ini,
tidak boleh seseorang meyakini bahwa agama selain Islam boleh, yakni
boleh bagi manusia untuk beribadah dengan cara agama tersebut. Bahkan
jika seseorang memang meyakini demikian, para ulama telah menegaskan
bahwa yang demikian adalah kekufuran yang mengeluarkan dari agama.” ]
(Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 3/99)
Maka nasehat yang
perlu kita perhatikan adalah ucapan beliau di halaman 83 juz 3 dalam
buku yang sama : [ “Dengan ini aku mengulangi yang ketiga kalinya agar
orang yang mengucapkan seperti ini bertaubat kepada Allah dan agar
menerangkan kepada manusia seluruhnya bahwa Yahudi dan Nashrani
semuanya kafir, karena hujjah telah ditegakkan atas mereka dan risalah
telah sampai kepada mereka, tetapi mereka menantang terang-terangan.
Dulu orang Yahudi
telah disifati dengan al maghdubi (yang dimurkai) karena mereka
mengetahui yang haq tetapi menyelisihinya. Dan orang-orang Nashrani
telah disifati dengan adh dhalin (yang sesat) karena mereka
menginginkan al haq tetapi tersesat. Sedangkan sekarang semuanya telah
mengetahui kebenaran dan mengenalinya, tetapi menyelisihi kebenaran
tersebut. Maka mereka semuanya berhak untuk disebut sebagai al maghdubi
‘alaihim. Saya mengajak Yahudi dan Nashrani untuk beriman kepada
Allah dan rasulNya seluruhnya serta mengikuti Nabi Muhammad Shalallahu
‘Alaihi Wa Sallam karena memang inilah yang diperintahkan kepada
mereka dalam kitab-kitabnya.” ] Demikian ucapan Syaikh Al Utsaimin.
TOLERANSI ALIRAN
Kita lihat betapa
beraninya mereka mengadakan pendekatan dengan agama-agama lain dan
meruntuhkan prinsip al wala’ wal bara’. Maka, tentunya mereka lebih
berani lagi mengadakan pendekatan dengan aliran-aliran sesat yang
masih mengaku Islam.
Dengan dalih ‘mereka
Muslimin’ mereka menganggap semua aliran baik dan sama-sama mencari
keridhaan Allah. Maka runtuhlah al wala’ wal bara’ dan prinsip amar
ma’ruf nahi munkar.
Sebagai contoh, kita lihat apa yang dikatakan barisan mudzab-dzab tentang Syiah Rafidhah yang secara jelas mereka telah sesat dan keluar dari garis Islam:
Ismail As Syathi
berkata : “Syiah adalah umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam,
sedangkan Syiah Iran adalah memegang bendera Majusi. Maka tidaklah
termasuk al haq kita mendukung umat Majusi dan meninggalkan umat
Muhammad.” (Majalah Al Mujtama’ no. 455)
Jasim Al Muhallil.
Dia adalah seorang tokoh gerakan Islam ketika berbicara tentang
rencana politiknya dalam pemilu dan parlemen : [ “Akan terjadi nanti
penyesuaian yang kuat dengan segala macam kelompok-kelompok Islam yang
ada di medan dakwah. Dan akan terjadi pula beberapa tanazulat
(pengorbanan prinsip) demi tercapainya ‘persatuan’. “ (Jaridatul Anba
no. 6693, tgl. 24-12-1994) ] (Tahafutus Syi’arat, Abdul Aziz bin Syahib,
hal. 35)
Bahkan
dia mengatakan lebih tegas lagi siapa yang dimaksud dengan
golongan-golongan Islam : [ Mengapa tidak diadakan pertemuan-pertemuan
antara gerakan-gerakan Islam dan gerakan-gerakan kemanusiaan?
Demikian pula antara kelompok-kelompok Sunni (Ahlus Sunnah) dengan
kelompok-kelompok Syiah? Pertemuan ini dimaksudkan untuk bekerjasama
dan saling membantu dalam bidang kemanusiaan yang kita sepakat dengan
mereka. Agar dengan ta’awun ini amal lebih meluas, karena gerakan
Islam ini bekerja untuk ‘kebaikan’ dan karena ‘kebaikan’ ” ]. Sampai
kepada ucapan dia selanjutnya, [ “… kalau di antara kita dan mereka
ada beberapa perbedaan seperti masalah Imam Mahdi, wali, pampasan
perang yang 1/5 dan lain-lain dari macam-macam perkara yang sulit
untuk disepakati oleh kedua belah pihak, maka sesungguhnya di antara
kita ada persamaan dan kesepakatan dalam beberapa sisi yang lain.
Seperti fahisyah (dosa-dosa khususnya zina) diharamkan oleh semua
pihak, riba, dan kejahatan dalam masalah harta, yakni memakan harta
manusia dengan kebatilan dan seterusnya, telah disepakati oleh kedua
belah pihak keharamannya. Maka apa yang menghalangi gerakan-gerakan
Islam Sunni untuk mengadakan kerjasama dengan Syiah dalam
masalah-masalah ini.” (Jaridatu Anba’ no. 6707 tgl. 9-1-1995 ].
(Tahafutus Syi’arat, Abdul Aziz bin Syahib, hal. 35-36)
Ini hanyalah satu
contoh ucapan mereka yang menunjukkan prinsip mereka dalam ber –
‘toleransi’. Toleransi ekstrim yang mengutamakan ‘persatuan, ukhuwah,
ikhwaniyah’ lebih daripada aqidah dasar Islam dan prinsip al wala’ wal
bara’ . Adapun bukti pebuatan mereka lebih banyak lagi seperti
pertemuan-pertemuan, acara-acara bersama, perayaan-perayaan bersama,
atau ceramah-ceramah yang diisi oleh kedua belah pihak.
- Apakah mereka tidak menyadari bahwa perbedaan antara kaum Muslimin dengan Syiah sangatlah prinsip?
- Apakah perbedaan kita dengan mereka hanya yang disebut oleh Muhallil di atas?
- Tidakkah kita ingat bahwa mereka merubah-rubah Al Qur’an, menambahnya dengan surat wilayah dan mengurangi surat Al Lahab?
- Bukankah mereka menganggap imam-imamnya mengetahui yang ghaib?
- Bukankah mereka telah mengkafirkan sahabat-sahabat Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam kecuali beberapa orang saja dari mereka?
- Bagaimana dengan laknat mereka terhadap Abu Bakar, Umar, Utsman, Muawiyah dan lain-lain?
- Bagaiman dengan tuduhan mereka terhadap Aisyah dengan tuduhan pezina, pelacur, dan lain-lain?
- Apakah fahisyah diharamkan oleh Syiah? Bukankah mereka membolehkan mut’ah (kawin kontrak), bukankah mereka membolehkan homo dan lesbian?
Lihatlah akibat yang fatal dari ucapan bid’ah yang kelihatannya sederhana : “Kita saling tolong menolong dalam apa yang kita sepakati dan saling memaklumi pada apa yang kita berbeda padanya.”
Akhirnya lahirlah dari prinsip tersebut ucapan-ucapan berikut :
“Kita memaklumi perbedaan kita dengan Syiah agar kita bersatu melawan orang-orang kafir.” Seperti ucapan Ikhwanul Muslimin.
“Kita memaklumi Yahudi dan Nashrani yang sama-sama menyembah Allah untuk melawan orang-orang musyrik.” Seperti ucapan Turabiyyun.
“Kita memaklumi
perbedaan kita dengan semua agama karena mereka sama-sama menyembah
Tuhan untuk bersatu menghadapi bahaya atheisme.” Seperti ucapan Hasan Al Banna.
Berikutnya, tentu
saja memaklumi para atheis juga dalam rangka berta’awun dengan mereka
dalam bidang yang disepakati yaitu : “kemanusiaan”.
Apa sisanya? Kepada apa kalian mengajak? Tidak mengajak kepada agama tertentu, madzhab tertentu, ataupun prinsip tertentu.
Pernah saya baca
di sebuah tanggalan (kalender) yang dikeluarkan oleh salah satu pondok
pesantren terkenal di Ponorogo, “Kami berdiri di atas semua
golongan.” Ucapan ini sama bahanya dengan prinsip Ikhwan di atas.
Seharusnya kita berprinsip : “ta’awun ‘alal birri wat taqwa.”
Jika ada perbedaan kita berprinsip : “Kembalikanlah perselisihan kepada Allah dan RasulNya.”
Dan jangan kita
katakan kita berdiri di atas semua golongan, melainkan : “Berdiri di
atas golongan yang telah dipastikan selamat oleh Allah dan RasulNya
shalallahu ‘alaihi wa sallam dan pasti mendapat keridhaan Allah.”
“Dan
orang-orang yang terdahulu dalam beriman dari kalangan Muhajirin dan
Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka.” (QS. At Taubah : 100)
Sedang dalam hadits (yang artinya): “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang mengikuti mereka dan kemudian yang mengikuti mereka.” (HR. Bukhari)
Dengan ini kami
menasihatkan kepada kaum Muslimin dan seluruhnya untuk meninggalkan
prinsip-prinsip bid’ah dan kembali pada prinsip-prinsip yang pasti
kebenarannya dari Allah dan RasulNya, buang slogan-slogan dan
jargon-jargon bid’ah dan ucapkanlah syiar-syiar Islam :
“Tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan.”
“Apa yang berbeda kita harus saling mengingatkan dengan kebenaran dari Al Qur’an dan As Sunnah.”
“Perintahkanlah kebenaran dan laranglah kemungkaran.”
“Kami berdiri di atas golongan yang selamat yaitu para shahabat.”
Dengan prinsip-prinsip
ini kita ajak yang kafir kepada Islam dan kita ajak yang sesat dan
yang menyimpang kepada jalan sunnah. Wallahuu A’lam Bish Shawab.
(Dikutip dari
Majalah SALAFY Edisi 32/1420 H/1999 M. Judul asli : Toleransi Para
Ekstrimis. Tulisan al Ustadz Muhammad Umar as Sewed)
Sumber: