-->

09 Agustus 2012

Tuntunan Ramadhan Buat Muslimah

PERTANYAAN
Sehubungan dengan bulan Ramadhan yang makin dekat, maka sebagai seorang wanita muslimah yang ingin mengetahui permasalahan-permasalahan agamanya, mohon dijelaskan tentang hukum-hukum yang khusus bagi wanita muslimah di bulan Ramadhan!
JAWABAN
1. Yang Berkaitan dengan Puasa
Puasa pada bulan Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan dan merupakan salah satu rukun Islam dan bangunannya yang agung.
Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian untuk berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” [ Al-Baqarah: 183 ]
Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda,
بُنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
“Islam itu dibangun atas lima perkara: syahadat Laa Ilaaha Illallaah wa Anna Muhammadan ‘Abduhu wa Rasuluhu, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke Al-Bait (Ka’bah) dan puasa Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam menyebutkan puasa Ramadhan sebagai salah satu rukun Islam yang tidak akan tegak agama itu kecuali dengannya.
Berdasarkan hal tersebut, maka seseorang yang telah mencapai masa baligh dan memenuhi syarat-syarat taklif ‘pembebanan syariat’ padanya, wajib untuk melaksanakan perintah puasa Ramadhan ini, baik laki-laki maupun perempuan. Bagi seorang perempuan, kewajibannya untuk melaksanakan puasa Ramadhan, sebagaimana halnya seorang laki-laki, adalah ketika telah mencapai masa baligh, yang di masa ini tidak ditentukan oleh usia semata, melainkan oleh beberapa faktor:
  • Haidh, yaitu keluarnya darah kotor dari kemaluannya. Bila seorang anak perempuan telah mengalami haidh, meskipun baru berumur 10 tahun, maka telah wajib baginya untuk berpuasa Ramadhan.
  • Tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan.
  • Umur 15 tahun sebagai batas maksimal seorang anak digolongkan telah baligh jika dua tanda baligh di atas belum muncul. Berarti seorang anak yang telah berusia 15 tahun, walaupun belum haidh dan belum tumbuh bulu di sekitar kemaluannya, dia telah wajib untuk berpuasa Ramadhan.
Juga termasuk kewajiban orang tua untuk memperhatikan keadaan perkembangan anaknya, sehingga jika anak perempuan mereka telah haidh, walaupun dalam usia sekitar 10 tahun misalnya, mereka segera menyuruh anaknya untuk berpuasa.
Wanita muslimah mukallaf, yang terkena kewajiban puasa jika bulan Ramadhan telah tiba, adalah wanita muslimah yang sehat (tidak sakit) dan muqim (berada di negerinya dan tidak dalam keadaan bersafar). Jika dia dalam keadaan sakit atau musafir (sedang dalam perjalanan) di dalam bulan Ramadhan, boleh baginya berbuka puasa, dan wajib baginya untuk meng-qadha` ‘mengganti’ pada hari-hari yang lain (di luar Ramadhan) sebanyak hari berbukanya.
Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman,
“Barangsiapadi antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” [ Al-Baqarah: 185 ]
Demikian pula halnya, seseorang yang menjumpai (mendapati) bulan Ramadhan sedang usianya telah sangat lanjut dan lemah sehingga tidak kuat lagi untuk berpuasa, atau seseorang yang sakit dan tidak ada harapan lagi untuk sembuh dari penyakitnya pada waktu kapan pun, maka dia boleh berbuka puasa, tetapi untuk setiap hari berbukanya, dia berkewajiban untuk memberi makan seorang miskin. Hal inilah yang dinamakan fidyah. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman,
“Dan wajib, bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa), membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” [ Al-Baqarah: 184 ]
2. Wanita yang Terkena Pengecualian dari Kewajiiban Puasa Ramadhan
Pertama , wanita haidh dan nifas.
Wanita yang sedang mengalami masa haidh dikecualikan dari kewajiban berpuasa, bahkan wajib baginya untuk meninggalkan puasa ketika sedang haidh, dan puasa yang dikerjakan oleh wanita haidh batal dengan datangnya haidh. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا
“Bukankah juga seorang wanita mengalami haidh, dia tidak shalat dan tidak berpuasa. Itulah (bentuk) kurangnya dien ‘agama’nya.” Hadits riwayat Bukhary-Muslim dari shahabat Abu Sa’id Al Khudry radhiyallaahu ‘anhu.
Dan telah ada ijma’ ulama bahwa wanita yang haidh wajib meninggalkan shalat dan puasa, sebagaimana dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab 2/351 bahwa beliau berkata, “Umat telah sepakat bahwasanya diharamkan, atas wanita yang haidh, shalat wajib maupun sunnah, dan mereka (umat) sepakat akan jatuhnya (hilangnya) kewajiban shalat atas wanita haidh tersebut. Maka dia tidak perlu mengganti shalatnya jika telah bersih. Berkata Abu Ja’far Ibnu Jarîr di dalam kitabnya, Ikhtilaaful Fuqahaa` , ‘ Umat telah sepakat bahwa wajib bagi wanita haidh untuk meninggalkan semua shalat, baik yang fardhu (wajib) maupun yang sunnah, dengan (meninggalkan) semua puasa, baik yang fardhu maupun yang sunnah, dan meninggalkan thawaf, baik yang fardhu maupun yang sunnah, dan bahwa jika wanita haidh tersebut mengerjakan shalat atau berpuasa atau thawaf, dia tidak akan mendapatkan pahala dari amalan fardhu maupun sunnahnya sama sekali .’ .” Hal serupa juga dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Minhaaj 1/637.
Wajib bagi wanita tersebut untuk meng-qadha` ‘mengganti’ puasa yang ditinggalkannya di bulan Ramadhan pada hari-hari yang lain, tetapi tidak perlu meng-qadha` shalatnya. Ketika Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa ditanya oleh seorang wanita yang bernama Ma’aadzah, “Kenapa wanita yang haidh meng-qadha` puasanya dan tidak meng-qadha` shalatnya?” Beliau menjawab,
كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
“Kami diperintahkan untuk mengganti puasa dan tidak diperintahkan untuk mengganti shalat.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Beliau radhiyallaahu ‘anhaa menjelaskan bahwa perkara ini termasuk tauqifiyah, yakni harus mengikuti nash-nash yang ada (bukan berdasarkan akal pikiran).
Seorang wanita yang haidh mulai berhenti berpuasa sejak keluarnya darah haidh dan sejak itu pula puasanya batal dan tidak boleh diteruskan, meskipun tersisa beberapa saat waktunya dari waktu tenggelamnya matahari (berbuka puasa).
Jika haidhnya sudah selesai, dia mulai berpuasa dengan ketentuan:
  • Kalau haidhnya berhenti sebelum terbitnya fajar (bukan matahari), dia berniat untuk berpuasa lalu mulai berpuasa, meskipun dia belum sempat mandi bersih sampai terbitnya fajar dan sejak itu puasanya terhitung, sebagaimana hal ini dinukil oleh Al-Haafizh Ibnu Hajar rahimahullaah dalam Fathul Baary 4/192 dari jumhur ahli ilmu, juga Al-Qurthuby rahimahullaah dalam Tafsir -nya ketika menjelaskan firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala,
“Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” [ Al-Baqarah: 187 ]
  • Jika berhentinya haidh pada pertengahan hari puasa, yang harus dilakukan adalah menahan diri dari yang membatalkan puasa sejak waktu berhentinya haidhnya sampai terbenamnya matahari, yang hal ini dilakukan dalam rangka pemuliaan dan penghargaannya terhadap waktu (hari puasa), kemudian dia wajib meng-qadha’ puasanya untuk hari itu.
Tidak dianjurkan bagi wanita untuk mengkonsumsi obat-obatan pencegah dan penahan haidh, sebab haidh adalah sesuatu yang Allah Subhaanahu wa Ta’aala telah tetapkan bagi wanita, dan para wanita pada zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam tidaklah memaksakan diri mereka untuk mencegah/menahan datangnya haidh, bahkan tidak diketahui bahwa ada salah seorang dari mereka yang pernah melakukannya. Akan tetapi, jika ada yang melakukannya dan obat tersebut tidak membahayakan kesehatannya serta dapat benar-benar menghentikan darah haidhnya, puasanya sah dan tidak perlu meng-qadha`-nya. Tetapi jika wanita tersebut ragu apakah darahnya benar-benar berhenti/tertahan atau masih ada yang keluar, berarti wanita tersebut masih dalam keadaan haidh, wajib untuk berbuka dan meng-qadha` puasanya. Berkata Syaikh Shaalih Al-Fauzaan, “Diperbolehkan bagi wanita untuk mengonsumsi tablet yang bisa menghalangi haidh agar dia bisa berpuasa (lengkap) jika tablet (obat-obat) ini tidak membahayakan kesehatannya.” ( Al-Muntaqaa Min Fataawaa Fadhîlah Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan 3/148)
Wanita nifas hukumnya sama dengan wanita haidh, sebagaimana ijma’nya para Ahlul Ilmi bahwa wanita yang sedang nifas tidak halal untuk berpuasa dan wajib baginya untuk berbuka dan meng-qadha` puasanya pada hari-hari yang lain. Berkata Al-Imam An-Nawawy dalam Al-Minhaaj 1/637, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa wanita haidh dan nifas tidak wajib shalat dan puasa atas mereka.”
Beberapa hal yang berkaitan dengan haidh dan nifas sehubungan dengan puasa Ramadhan di antaranya:
  • Wanita yang haidhnya yang telah lengkap (cukup bilangan hari haidhnya menurut kebiasaannya) diwajibkan mandi dan berpuasa. Jika kemudian dia melihat sesuatu dari farji ‘ kemaluan’nya, hal ini tidak menghalanginya untuk terus melaksanakan shalat dan puasa berdasarkan perkataan Ummu ‘Athiyah radhiyallaahu ‘anhumaa,
كُنَّا لاَ نَعُدُّ الصُفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا
“Kami tidak menganggap kekuningan dan keputihan setelah suci sama sekali”. Hadits riwayat Bukhary dan Abu Daud dan ini lafazh Abu Daud.
  • Jika darah haidhnya berhenti sebelum hari-hari kebiasaan haidhnya cukup, kemudian dia mandi, melaksanakan shalat dan puasa, lalu setelah itu dia kembali melihat darah dari kemaluannya, maka darah itu dianggap darah haidh dan dia masih dalam keadaan haidh sampai selesai masanya, dan puasa yang telah dilakukannya, dalam selang waktu antara berhentinya darah yang pertama dengan keluarnya darah untuk kedua kalinya, tidak diperhitungkan dan dia harus meng-qadha` nya.
    • Ada sebagian wanita yang bisa mengalami haidh selagi hamil. Kalau memang itu adalah kebiasaan wanita tersebut, ia dianggap haidh.
    • Demikian pula halnya, jika waktu nifasnya telah genap 40 hari, kemudian dia mandi lalu setelah itu ada lagi darah yang keluar setelah lewat 40 hari tadi, hal ini tidaklah berpengaruh dan tidak dianggap lagi sebagai darah nifas dan sudah boleh melaksanakan shalat dan puasa, kecuali kalau selesainya waktu nifas bersambung dengan waktu haidhnya.
    • Jika belum genap 40 hari darahnya terhenti, sehingga dia mandi, melaksanakan shalat dan puasa, lalu tidak ada lagi darah setelah itu, berarti masa nifasnya tidak genap 40 hari dan hal ini mungkin saja terjadi.
    • Jika ada lagi darah yang keluar setelah mandi, melaksanakan shalat dan puasa, dia harus segera menghentikan shalat dan puasanya dan ia dianggap masih dalam keadaan nifas.
  • Bagaimana dengan darah yang keluar dari seorang wanita setelah keguguran (secara sengaja ataupun tidak), apakah juga mengharuskan dia untuk berbuka (tidak berpuasa)? Jawabannya, jika janin yang keluar dari kandungan itu sudah berusia 4 bulan atau sudah bisa dibedakan anggota-anggota tubuhnya seperti kaki, lengan dan kepalanya, wanita yang keguguran tersebut dianggap mengalami nifas dan padanya berlaku hukum wanita nifas, tidak boleh melaksanakan shalat dan puasa. Tetapi jika janinnya kurang dari 40 hari dan anggota-anggota tubuhnya masih belum berbentuk, maka dia tidaklah dianggap nifas.
Kedua, wanita hamil dan menyusui.
Wanita hamil dan menyusui mendapatkan rukhsah (keringanan) berupa bolehnya berbuka di bulan Ramadhan.
Rasulullah shallallaahu alaihi wa aalihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
“Sesungguhnya Allah Ta’aala meletakkan puasa dan seperdua shalat dari seorang musafir dan (meletakkan) puasa dari wanita yang hamil atau menyusui.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy no. 715, Abu Daud no. 2408, dan Ibnu Maajah no. 1667 dari Anas bin Maalik Al-Ka’by)
Tidak ada khilaaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama tentang bolehnya wanita menyusui dan hamil untuk berbuka jika mengkhawatirkan diri, janin, atau anaknya.
Jika wanita hamil atau menyusui berbuka pada bulan Ramadhan karena mengkhawatirkan diri dan atau anaknya, wajib baginya untuk membayar fidyah berupa memberi makan satu orang miskin setiap harinya, dan tidak meng-qadha` puasanya. Kalau dia tidak khawatir terhadap diri dan atau anaknya, jika ia meng-qadha` puasanya dan sanggup untuk itu, dia boleh meng-qadha`nya dan tidak usah membayar fidyah. Dalilnya adalah pengecualian/penghususan bagi laki-laki dan perempuan tua, orang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya, dan wanita hamil serta menyusui yang mengkhawatirkan diri atau anaknya dalam Firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan bagi orang-orang yang mampu untuk berpuasa (boleh bagi mereka untuk membayar) fidyah (berupa) memberi makan bagi orang miskin.”
Sebab penunjukan makna yang umum yang terdapat pada ayat ini dijelaskan pada ayat lainnya,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa di antara kalian mendapati bulan puasa maka hendaklah ia berpuasa.”
Dan ditetapkan bagi laki-laki/wanita tua yang tidak sanggup lagi untuk berpuasa, orang sakit yang tidak lagi diharapkan bisa sembuh (karena penyakitnya yang berat dan berlangsung lama) demikian pula wanita hamil dan menyusui yang jika keduanya mengkhawatirkan diri dan atau anak-anaknya.
Berkata Ibnu ‘Abbaas radhiyallaahu ‘anhumaa,
“Diberikan rukhsah (keringanan) bagi laki-laki tua dan wanita tua pada masalah (puasa) ini sementara keduanya mampu berpuasa untuk berbuka jika mau, atau untuk memberi makan setiap hari seorang miskin dan tidak wajib qadha` atas mereka, kemudian (hukum tersebut) diganti dengan (hukum) di dalam ayat ini,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa diantara kalian mendapati bulan puasa maka hendaklah ia berpuasa.”
dan ditetapkan bagi laki-laki dan wanita tua jika tidak sanggup berpuasa demikian pula wanita hamil dan wanita menyusui jika khawatir, untuk berbuka dan memberi makan setiap hari seorang miskin.” (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqy 4/230 dan Abu Daud 2318. Berkata Syaikh Salîm Hilaaly dan ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamîd, “Sanadnya shahih.” Lihat Sifat Puasa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam Dalam Ramadhan hal. 80)
3. Peringatan/Catatan Penting Tentang Wanita Mustahaadhah
Wanita yang mengalami istihaadhah adalah wanita yang kedatangan darah yang tidak bisa digolongkan darah haidh. Wanita yang mengalami istihaadhah ini wajib untuk melaksanakan puasa dan tidak boleh baginya meninggalkannya (berbuka) karena sebab darah istihaadhah.
Berkata Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Berbeda dengan istihaadhah. Istihaadhah (bisa) mencakup pada seluruh waktu (artinya bisa terjadi pada setiap waktu) dan tidak ada waktu khusus yang diperintahkan untuk berpuasa (melainkan seluruh waktu), dan tidak mungkin baginya untuk menghindari istihaadhah seperti tidak mungkinnya dia mencegah muntah dan keluarnya darah karena luka dan mimpi dan semisalnya yang tidak ada waktu-waktu yang tertentu sehingga bisa dihindari. Maka istihaadhah ini (seperti juga yang lainnya) tidaklah meniadakan puasa seperti darah haidh.” ( Majmû’ Al- Fataawaa 25/251)
4. Hal-Hal Lain yang Berkaitan dengan Wanita yang Sedang Berpuasa
  • Dibolehkan bagi wanita yang berpuasa mencicipi makanan untuk mengetahui rasa dan suhu makanan yang disuapkan pada bayinya, selama makanan tersebut tidak masuk ke dalam kerongkongannya (ditelan).
Berkata Ibnu ‘Abbaas radhiyallaahu ‘anhu, “Tidak mengapa baginya untuk mencicipi cuka atau sesuatu (makanan) selama tidak masuk kedalam kerongkongannya, meskipun dia dalam keadaan berpuasa.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhary secara mu’allaq ( Fathul Baary 4/154) dan sanadnya disambungkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah di dalam Musnad -nya 3/47.
  • Wanita yang sedang berpuasa diperbolehkan mencium atau untuk dicium oleh suaminya, jika keduanya yakin dapat menguasai diri untuk tidak sampai melakukan jimaa’ (hubungan intim).
Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa, beliau berkata, “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam mencium istrinya dalam keadaan berpuasa dan menyentuh (tanpa hubungan intim) dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menguasai diri (hajat)nya.” Diriwayatkan oleh Imam Bukhary (4/131) dan Muslim (1106).
Berkata Syaikh ‘Abdullah Al-Bassaam, “Berkata penulis Al-Iqna’ (Ibnu Muflih Al-Hambaly-ed.), ‘ Makruh hukumnya mencium karena syahwat semata, dan jika dia memperkirakan (menduga) akan keluarnya mani, maka mencium diharamkan atasnya tanpa ada khilaaf (perbedaan pendapat di kalangan ulama).’.”
  • Jika dengan terjadinya ciuman sampai mengeluarkan mani, berarti dia telah berbuka (batal puasanya) berdasarkan madzhab Imam yang empat, bahkan Ibnul Mundzir dan Al-Muwaffaq Ibnu Qudaamah menukil adanya ijma’ ulama tentang hal tersebut.
  • Jika ciuman itu hanya menyebabkan keluarnya madzi, tidaklah membatalkan/merusak puasanya.
  • Jika dua orang wanita saling bersentuhan (bergesekan) hingga menyebabkan keluarnya mani, puasa keduanya menjadi rusak/batal, wajib untuk di-qadha’ (diganti) dan tidak perlu membayar kaffarah.
  • Jika seorang wanita (yang sedang berpuasa Ramadhan) disetubuhi oleh suaminya dengan paksaan, maka tidak wajib atasnya untuk membayar kaffarah.
5. Yang Berkaitan dengan Shalat Tarawih (Qiyaamu Ramadhaan)
Shalat tarawih secara berjamaah telah disyariatkan di dalam ajaran agama Islam, meliputi laki-laki maupun wanita, dan disyariatkan pula bagi wanita untuk menghadiri shalat jamaah berdasarkan hadits Abu Dzar,
Kami telah berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dan beliau tidak shalat mengimami kami sedikit pun sejak awal bulan, hingga tersisa tujuh hari (dari bulan Ramadhan), beliau shalat mengimami kami (pada shalat lail/tarawih) sampai melewati sepertiga malam, ketika malam ke-6 dari akhir Ramadhan beliau tidak shalat bersama kami, ketika malam ke-5 beliau mengimami kami sampai lewat pertengahan malam. Maka saya (Abu Dzar) berkata, Wahai Rasulullah, seandainya engkau menjadikan shalat (tarawih) pada malam ini sebagai naafilah (sunnah),’ maka Rasulullah bersabda, Sesungguhnya seseorang, jika dia shalat bersama Imam sampai dia (Imam itu) selesai telah dituliskan baginya qiyaam (shalat) sepanjang malam itu.’ Maka ketika tersisa 4 malam beliau tidak shalat (bersama kami) dan ketika tersisa 3 malam beliau mengumpulkan anggota keluarganya , istri-istrinya dan orang-orang, maka shalatlah Nabi mengimami kami sampai-sampai kami takut tidak mendapati (melewatkan) Al-Falah. Berkata seseorang, Apa itu Al-Falah?’ Saya (Abu Dzar) menjawab, As-Sahur (makan sahur).’ Kemudian beliau tidak (keluar lagi) shalat mengimami kami pada hari-hari yang sisa dari bulan Ramadhan.”
Syaahid (sisi pendalilan) dari hadits ini adalah ketika Nabi shallallaahu alaihi wa aalihi wa sallam mengumpulkan istri-istri dan keluarganya untuk shalat lail.
Wanita yang akan hadir di masjid untuk shalat tarawih berjamaah disyaratkan agar aman dari fitnah, dan wajib menjaga hijabnya ketika sedang ke masjid, dalam keadaan tertutup, tidak berhias, tidak memakai minyak wangi, tidak mengeraskan suaranya dan tidak menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya, seperti baju luar dan jilbabnya, sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala,
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” [ An-Nur: 31 ]
Disunnahkan bagi wanita untuk menjauh dari laki-laki dengan cara memulai shaf mereka (para wanita) dari belakang, sebab Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, dalam riwayat Muslim, bersabda,
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُها وَشَرُّهَا آخِرُها وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُها وَشَرُّها أَوَّلُها.
“Sebaik-baik shafnya laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang, dan sebaik-baik shafnya wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan.”
Dan dianjurkan bagi wanita untuk segera keluar dari mesjid ketika selesai salam, dan tidak sampai terlambat kecuali kalau ada udzur. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallaahu ‘anhaa,
“Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam jika beliau selesai dari salamnya beliau diam sejenak ditempatnya sebelum beliau berdiri, saya (Ummu Salamah) menilai -Wallaahu A’lam- bahwa hal tersebut (dilakukan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam) agar para wanita memiliki kesempatan untuk meninggalkan tempat (pulang) sebelum mereka dijumpai oleh para lelaki.” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary)
Dianjurkan untuk tidak membawa anak kecil yang belum bisa membedakan dan berfikir sebab hal ini biasanya akan mengganggu orang lain.
6. Yang Berkaitan dengan I’tikaf
I’tikaf disyariatkan (baca: disunnahkan) juga bagi wanita, sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa,
“Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah Subhaanahu wa Ta’aalamewafatkan beliau, kemudian setelahnya (setelah beliau wafat) istri-istrinya melakukan I’tikaf .” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary no. 2026)
Juga dalam hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa lainnya,
“Seorang wanita yang sedang menjalani istihaadhah dari istri-istri Nabi (dalam sebuah riwayat dia adalah Ummu salamah) melakukan I’tikaf bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, dia (kadang-kadang masih) melihat warna merah dan kuning (dari darah istihaadhahnya) bahkan kadang-kadang kami meletakkan baskom di bawahnya ketika dia sedang shalat.” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary ( Fathul Baary 4/289))
Disyariatkan bagi wanita yang hendak I’tikaf meminta izin suaminya atau walinya dan aman dari fitnah dan aman dari bersunyi-sunyian dengan laki-laki. Selain karena banyaknya dalil yang menunjukkan hal ini, juga karena adanya kaidah fiqih,
دَرْءُ الْمَفْسَدَةِ مَقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصْلَحَةِ
“Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kebaikan.”
Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam menyebut-nyebut bahwa beliau akan melakukan I’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan, lalu ‘Aisyah meminta izin , maka beliau mengizinkan, kemudian Hafshaf meminta ‘Aisyah untuk meminta izinkan baginya (pada Rasulullah) maka ‘Aisyah melakukannya, maka ketika Zainab binti Jahsyin melihat hal itu dia memerintahkan untuk dibangunkan bangunan (kemah di dalam mesjid), maka dibangunkan baginya. ‘Aisyah berkata, “Dan adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam jika selesai shalat beliau beranjak menuju ke bangunannya (kemah), maka (ketika itu) beliau melihat bangunan-bangunan. Beliau bersabda, ‘ Apa ini?’ Maka dijawab, ‘ (ini adalah) bangunan-bangunannya ‘Aisyah, Hafshah dan Zainab,’ maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda, ‘ Apakah mereka (para wanita itu) benar-benar menginginkan kebaikan dengan perbuatan ini? Saya tidak (jadi) melakukan I’tikaf.’ Maka beliau kembali dan tatkala telah selesai berpuasa beliau melakukan I’tikaf 10 hari di bulan Syawal.”
Syaahid (sisi pendalilan) dari hadits di atas adalah bahwa para istri-istri Nabi shallallaahu alaihi wa aalihi wa sallam meminta izin pada beliau untuk melakukan I’tikaf.
Berkata Imam An-Nawawy ( Al-Majmû’ 6/526), “Wanita yang sedang I’tikaf sama hukumnya dengan laki-laki mu’takif, diharamkan baginya berhubungan intim dan menyentuh dengan syahwat dan dalam rusaknya I’tikaf itu dengan keduanya (bersetubuh dan bersentuhan dengan syahwat) dan dibedakan antara wanita yang tahu, ingat dan atas kemauan sendiri dengan wanita yang lupa, tidak tahu dan terpaksa, sebagaimana telah lalu. Wallaahu A’lam.
Diperbolehkan bagi wanita haidh untuk menyisir rambut suaminya yang sedang I’tikaf. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
“Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam menjulurkan kepalanya kepadaku sementara beliau tinggal di masjid, maka aku menyisirnya dalam keadaan hamil.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhary no. 2029)
Wanita yang mengalami istihaadhah diperbolehkan untuk melakukan I’tikaf, sebagaimana hadits yang telah lalu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary yaitu hadits ‘Aisyah tentang I’tikafnya salah seorang dari istri Rasulullah yang sedang mengalami istihaadhah.
Diperbolehkan bagi wanita untuk mengunjungi suaminya yang sedang I’tikaf. ‘Ali bin Al-Husain rahimahullaahu ta’aala berkata bahwa Shafiyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam mengatakan padanya bahwa dia datang kepada Rasulullah shallallaahu alaihi wa aalihi wa sallam untuk menjenguknya di mssjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Dia (Shafiyah) berbincang-bincang dengan Nabi beberapa saat lamanya kemudian dia bangkit untuk kembali (ke kamar/rumahnya), maka bangkitlah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersamanya untuk mengantarkannya sampai ketika tiba di pintu masjid (yaitu) pintu Ummu Salamah lewatlah 2 orang dari kaum Anshar, keduanya memberi salam kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, maka berkata Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, “Pelan-pelanlah (tenanglah) kalian, dia itu adalah Shafiyah binti Huyai,” maka keduanya berkata, “Maha suci Allah, wahai Rasulullah.” Karena keduanya merasa sangat bersalah, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya syaithaan itu bisa masuk ke anak cucu Adam ke dalam darahnya dan aku tahu dia (syaithan) akan melemparkan sesuatu ke dalam hati kalian berdua.”
Juga di perbolehkan untuk melamar seorang wanita yang sedang I’tikaf, bahkan boleh melakukan aqad nikah untuknya, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang.
Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sedang dia dalam keadaan I’tikaf, maka dia berhak untuk meneruskan dan menggenapkan I’tikafnya.
Seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, ketika dia sedang berI’tikaf, maka sebaiknya dia keluar dari I’tikafnya dan menyelesaikan masa ‘iddahnya di rumah suaminya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman,
“Dan bertaqwalah kalian pada Allah Subhaanahu wa Ta’aala,Rabb kalian, dan janganlah kalian mengeluarkan mereka (istri-istri kalian) dari rumah-rumah mereka dan janganlah sekali-kali mereka keluar, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji yang jelas.” [ Ath-Thalaaq: 1 ]
Demikianlah hukum-hukum khusus bagi wanita sehubungan dengan bulan Ramadhan. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.
Wallaahu A’lam.
Disarikan dari mashaadhir (sumber-sumber) berikut ini.
  • Taudhîhul Ahkaam Syarh Bulûghul Maraam , Jilid 3 karya ‘Abdullah Al-Bassaam.
  • Sifat Shaum Nabi Fî Ramadhaan , Salim Al-Hilaly dan ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamid.
  • Jaami’ Ahkaamun Nisaa` , Musthafa Al-‘Adawy / Juz 1 dan 2.
  • Qiyaamu Ramadhaan , Muhammad Naashiruddin Al-Albaany.
  • Tanbihaat ‘Alaa Ahkaamin Takhtassu Bil Mu’minaat , Shaalih bin Fauzaan Al-Fauzaan.
  • Shiyaamu Ramadhaan , Muhammad bin Jamil Zainu.
  • Fataawaa Ramadhan , Majmû’ah Minal ‘Ulama.
  • Al-Muntaqaa Min Fataawaa Fadhîlah Asy-Syaikh Shaalih bin Fauzaan Al-Fauzaan .
  • Fathul Baary Syarh Shahîh Al-Bukhary , Ibnu Hajar Al-Asqalaany.
  • Al-Majmû’ Syarh Al-Muhadzdzab , Al-Imam An-Nawawy.
  • Al-Minhaaj Syarh Shahîh Muslim bin Al-Hajjaaj , An-Nawawy.
  • Jaami’ul Ahkaamil Qur`aan , Al-Imam Al-Qurthuby.

Diberdayakan oleh Blogger.