-->

03 September 2012

Ahlussunnah Wal Jama’ah, Siapakah Mereka?


Bismillah.


Oleh

Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi

Mengetahui siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah perkara yang sangat penting dan salah satu bekal yang harus ada pada setiap muslim yang menghendaki kebenaran sehingga dalam perjalanannya di muka bumi ia berada di atas pijakan yang benar dan jalan yang lurus dalam menyembah Allah Subhanahu wata’ala sesuai dengan tuntunan syariat yang hakiki yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alai wassallam empat belas abad yang lalu.

 Pengenalan akan siapa sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah ditekankan sejak jauh-jauh hari oleh Rasulullah r kepada para sahabatnya ketika beliau berkata kepada mereka :

 افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

 

“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah”. Hadits shohih dishohihkan oleh oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain -rahimahumullahu-.

 Demikianlah umat ini akan terpecah, dan kebenaran sabda beliau telah kita saksikan pada zaman ini yang mana hal tersebut merupakan suatu ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allah I Yang Maha Kuasa dan merupakan kehendak-Nya yang harus terlaksana dan Allah I Maha Mempunyai Hikmah dibelakang hal tersebut.

 Syaikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan -hafidzahullahu- menjelaskan hikmah terjadinya perpecahan dan perselisihan tersebut dalam kitab Lumhatun ‘Anil Firaq cet. Darus Salaf hal.23-24 beliau berkata : “(Perpecahan dan perselisihan-ed.) merupakan hikmah dari Allah I guna menguji hamba-hambaNya hingga nampaklah siapa yang mencari kebenaran dan siapa yang lebih mementingkan hawa nafsu dan sikap fanatisme.

 

Allah  berfirman :

ألم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُوْلُوْا آمَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُون وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِين َ(العنكبوت 1-3) 

 

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah Maha Mengetahui orang-orang yang benar dan sungguh Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-‘Ankabut : 29 / 1-3).

 

Dan Allah  berfirman  :

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ  (هود : 118-119)

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan : “Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”. (QS. Hud : 10 / 118-119)

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَمَعَهُمْ عَلَى الْهُدَى فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْجَاهِلِينَ (اللأنعام : 35)

“Dan kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil”. (QS. Al-‘An’am : 6 / 35).”

 

Dan Allah ’Azza wa Jalla Maha Bijaksana dan Maha Merahmati hambaNya. Jalan kebenaran telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya sebagaimana dalam sabda Rasululullah r :

 

قَدْْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ

 

“Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas petunjuk yang sangat terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang darinya setelahku kecuali orang yang binasa”. Hadits Shohih dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalul Jannah.

 

Dan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu-  :

 

خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ    يَوْمًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلاَ ] وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ      [

 

“Pada suatu hari Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam menggaris di depan kami satu garisan lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan-jalan, yang di atas setiap jalan ada syaithon menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca (ayat) : “Dan sesungguhnya ini adalah jalanKu maka ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) maka kalian akan terpecah dari jalanNya”.

Dikutip Dari:http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Manhaj&article=63


(Ahlus Sunnah, Bukan Sekedar Pengakuan)
Bagaimanakah ciri-ciri Ahlus Sunnah?!
[1] Bersatu Di Atas Kebenaran
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang suka memecah-belah agama mereka sehingga menjadi bergolong-golongan maka engkau (Muhammad) sama sekali tidak termasuk bagian mereka.” (QS. al-An’am: 159). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah secara bersama-sama dan jangan berpecah-belah.” (QS. Ali ‘Imran: 103). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia! Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena hal itu akan memecah-belah kalian dari jalan-Nya.” (QS. al-An’am: 153).

[2] Kebenaran Yang Harus Kita Ikuti

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menaati Allah dan rasul, maka mereka itulah orang-orang yang akan bersama dengan kaum yang diberikan kenikmatan oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Dan mereka itu adalah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69-70). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul serta ulil amri diantara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya.” (QS. an-Nisaa’: 59).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apa pun yang kalian perselisihkan maka hukumnya adalah kepada Allah.” (QS. asy-Syura: 10). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka. Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai, dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat.” (QS. al-Fatihah: 4-7).


Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun, dengan cara menjalankan syari’at yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan hawa nafsu dan bid’ah-bid’ah.” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 116-117)


[3] Menjunjung Tinggi Tauhid

Jalan yang lurus adalah jalannya orang-orang yang bertauhid. Merekalah orang-orang yang telah merealisasikan kandungan ayat Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in di dalam hidupnya. Adapun orang-orang musyrik adalah kaum yang dimurkai dan tersesat dari jalan Allah (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 54). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36)

Allah ta’ala berfirman memberitakan ucapan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam (yang artinya), “Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan taatilah aku. Sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran: 50-51, lihat juga QS. Az-Zukhruf: 63-64). Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Inilah, yaitu penyembahan kepada Allah, ketakwaan kepada-Nya, serta ketaatan kepada rasul-Nya merupakan ‘jalan lurus’ yang mengantarkan kepada Allah dan menuju surga-Nya, adapun yang selain jalan itu maka itu adalah jalan-jalan yang menjerumuskan ke neraka.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 132)


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Aku telah berpesan kepada kalian, wahai keturunan Adam; Janganlah kalian menyembah setan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian. Dan sembahlah Aku. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Yasin: 60-61). Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud ‘menaati setan’ itu mencakup segala bentuk kekafiran dan kemaksiatan. Adapun jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah, taat kepada-Nya, dan mendurhakai setan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 698)


Sebuah realita yang sangat menyedihkan adalah banyak diantara kaum muslimin di masa kita sekarang ini yang mengucapkan Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in, akan tetapi di sisi lain mereka tidak memperhatikan kandungan maknanya sama sekali. Mereka tidak memurnikan ibadahnya kepada Allah semata. Mereka beribadah kepada selain-Nya. Seperti halnya orang-orang yang berdoa kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, Husain, Abdul Qadir Jailani, Badawi, dan lain sebagainya. Ini semua termasuk perbuatan syirik akbar dan dosa yang tidak akan diampuni pelakunya apabila dia mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19-20)


[4] Memadukan Ilmu dan Amal

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Orang yang diberikan kenikmatan kepada mereka itu adalah orang yang mengambil ilmu dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil amal namun meninggalkan ilmu.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 25)

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat didatangkan seorang lelaki lalu dilemparkan ke dalam neraka. Usus perutnya pun terburai. Dia berputar-putar seperti seekor keledai mengelilingi alat penggilingan. Para penduduk neraka berkumpul mengerumuninya. Mereka pun bertanya kepadanya, “Wahai fulan, apa yang terjadi padamu. Bukankah dulu kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar?”. Dia menjawab, “Benar. Aku dulu memang memerintahkan yang ma’ruf tapi aku tidak melaksanakannya. Aku juga melarang yang mungkar tetapi aku justru melakukannya.”.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” Ibnul Qayyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya.” (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)


[5] Memuliakan Para Sahabat

Allah ta’ala berfirman mengenai para Sahabat dalam ayat-Nya (yang artinya), “Sungguh, Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman yaitu ketika mereka bersumpah setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon itu.” (QS. al-Fath: 18). Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya bahwa jumlah para sahabat yang ikut serta dalam sumpah setia/bai’at di bawah pohon itu -yang dikenal dengan Bai’atur Ridhwan- adalah 1400 orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seorang pun di antara orang-orang [para sahabat] yang ikut berbai’at di bawah pohon itu.” (HR. Muslim) (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 469)

Imam Bukhari membuat sebuah bab dalam Shahih-nya dengan judul ‘Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar’ (lihat Fath al-Bari [1/79]). Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tanda keimanan adalah mencintai Anshar, sedangkan tanda kemunafikan adalah membenci Anshar.” (HR. Bukhari). Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah membenci Anshar seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain lagi disebutkan, “Mencintai Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (HR. Ahmad)


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya ada salah seorang dari kalian yang berinfak emas seberat gunung Uhud, maka tidak akan mengimbangi infak salah seorang di antara mereka, walaupun itu cuma satu mud/dua genggaman tangan, atau bahkan setengahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Adapun hadits yang populer, “Para sahabatku seperti bintang-bintang. Dengan siapa pun di antara mereka kamu meneladani maka kalian akan mendapatkan petunjuk.” Ini merupakan hadits yang lemah. al-Bazzar berkata, “Hadits ini tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pula terdapat dalam kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 468-469)


Imam Abu Zur’ah ar-Razi mengatakan, “Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa kebenaran. Demikian pula, al-Qur’an yang beliau sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah ini adalah para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya mereka -para pencela Sahabat- hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita demi membatalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Maka mereka itu lebih pantas untuk dicela, dan mereka itu adalah orang-orang zindik.” (lihat Qathful Jana ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 161)


[6] Mengikuti Salafus Shalih, Menjauhi Bid’ah

Salafus shalih atau pendahulu yang baik merupakan sebutan bagi tiga generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat (Muhajirin dan Anshar), tabi’in (murid para sahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid para tabi’in). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu kaum Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (QS. at-Taubah: 100).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di jamanku. Kemudian orang-orang yang mengikuti mereka. Kemudian berikutnya yang mengikutinya sesudahnya.” (HR. Bukhari). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang hidup sepeninggalku maka dia akan melihat banyak perselisihan. Oleh sebab itu wajib atas kalian untuk mengikuti Sunnah/ajaranku dan Sunnah/ajaran Khulafa’ ar-Rasyidin yang berpetunjuk. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan. Sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi berkata: hadits hasan sahih).


Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.