Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya.
Sesungguhnya
hari Jum’at adalah hari yang mulia dan terbaik dalam sepekan. Di
dalamnya terdapat amal-amal ibadah yang bernilai tinggi dan berpahala
besar sehingga umat ini bisa memetik pahala yang banyak pada hari
tersebut. Di antaranya, memperbanyak shalawat dan salam untuk Nabi kita shallallahu 'alaihi wasallam,
membaca surat al-Kahfi, mencari waktu mustajab untuk berdoa, mandi
besar, memakai pakaian terindah, menggunakan minyak wangi, lalu
bersegera pergi ke masjid pagi-pagi, shalat sunnah sebanyak yang dia
mampu, kemudian melaksanakan shalat Jum’at dan amal-amal lainnya.
Maka hari Jum’at merupakan anugerah terbesar bagi umat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.
Kedudukannya menjadi hari besar dalam sepekan. Sehingga selayaknya umat
Islam menjadikannya sebagai hari libur supaya mereka bisa menyiapkan
diri untuk mengerjakan amal utama hari ini, yaitu shalat Jum’at. Sesudah
itu ia bisa duduk sesudah Ashar di masjid dengan memperbanyak doa
dengan harapan bertepatan dengan saat istijabah doa.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallah 'anhu, dia bercerita: "Abu Qasim (Rasululah) shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ
"Sesungguhnya
pada hari Jum'at itu terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba
muslim berdiri berdoa memohon kebaikan kepada Allah bertepatan pada saat
itu, melainkan Dia akan mengabulkannya." Lalu beliau mengisyaratkan
dengan tangannya, yang kami pahami, untuk menunjukkan masanya yang tidak
lama (sangat singkat)." (Muttafaq 'Alaih)
Dari hadits Jabir bin Abdillah radliyallah 'anhu, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
يَوْمُ
الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لَا يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ
يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلَّا آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ
سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ
"Hari
Jum'at terdiri dari 12 waktu, di dalamnya terdapat satu waktu yang
tidaklah seorang muslim pada saat itu memohon sesuatu kepada Allah,
melainkan Dia akan mengabulkan permintaannya. Oleh karena itu, carilah saat tersebut pada akhir waktu setelah 'Ashar." (HR. an Nasai dan Abu Dawud. Disahihkan oleh Ibnul Hajar dalam al Fath dan dishahihkan juga oleh al Albani rahimahullah dalam Shahih an Nasai dan Shahih Abu Dawud)
Hari Jum’at merupakan anugerah terbesar bagi umat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. . . . . Sehingga selayaknya umat Islam menjadikannya sebagai hari libur supaya mereka bisa menyiapkan diri untuk mengerjakan amal utama hari ini, yaitu shalat Jum’at.
Sedangkan
tradisi dan budaya yang berasal dari Barat, hari libur jatuh pada hari
Sabtu dan Ahad. Padahal kedua hari tersebut, tidaklah memiliki keutamaan
sebagaimana hari Jum’at. Terlebih kedua hari tersebut diagungkan oleh
Yahudi dan Nasrani sebagai hari besar bagi agama mereka. Maka beralihnya
hari libur umat Islam dari hari Jum’at kepada kedua hari sesudahnya
termasuk bentuk menyerupai mereka, padahal kita diperintahkan untuk
menyelisihi.
Maka
selayaknya umat Islam secara umum, menjadikan hari libur mereka adalah
hari Jum’at. Tujuannya, agar kesempatan yang telah Allah sediakan bagi
mereka untuk meraih pahala besar tidak disia-siakan. Sedangkan bagi
individu atau orang yang harus bekerja tetap dibolehkan (tidak
dilarang). Bahkan melarangnya untuk mengagungkan hari Jum’at termasuk
bentuk tasyabuh dengan orang kafir.
Maka selayaknya umat Islam secara umum, menjadikan hari libur mereka adalah hari Jum’at. Tujuannya, agar kesempatan yang telah Allah sediakan bagi mereka untuk meraih pahala besar tidak disia-siakan.
Abu al-Mundzir al-Sa’idi dalam kitabnya al-Jum’ah: Aadab wa Ahkam,
mengatakan bahwa cara mengagungkan hari Jum’at semacam ini (tidak
bekerja) termasuk bentuk mengikuti sunnah (tradisi) orang kafir. Karena
mereka menjadikan hari besar kelahiran para nabi dan orang shalih mereka
sebagai hari libur yang mereka tidak bekerja pada hari tersebut.
Dikhawatirkan kaum muslimin meyakini bahwa di antara cara mengagungkan
syi’ar-syi’ar Allah adalah dengan menjadikan libur mingguan pada hari
Jum’at sehingga tidak boleh bekerja pada hari tersebut. Padahal
kita, kaum muslimin, telah diperintahkan oleh Allah 'Azza wa Jalla untuk bekerja pada hari Jum’at dan dianjurkan untuk mencari karunia Allah pada hari tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ
اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)
Namun,
beliau (Abu al-Mundzir al-Sa’idi) mengakui, jika meninggalkan bekerja
karena bisa melaksakan amalan-amalan sunnah Jum’at seperti menutup
tokonya pagi-pagi supaya bisa mandi, bersiap-siap shalat Jum’at lebih
awal, dan yang semisalnya, maka ini baik dan dianjurkan. Dengan ini,
Nampak jelas perbedaan dienul Islam -yang Allah ridhai untuk kita dan
yang menjadikan pekerjaan halal yang berpadu dengan dzikrullah sebagai
ibadah yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya- dengan agama-agama
selainnya yang menyimpang dan batil serta tidak sesuai fitrah insani.
Oleh karena itu, para ulama kita menganggap bahwa meninggalkan bekerja
pada hari Jum’at termasuk perkara makruh apabila bertujuan untuk
mengagungkan hari Jum’at.
Telah
diriwayatkan dari Malik dalam Utbiyah, bahwa para sahabat memakruhkan
untuk meninggalkan bekerja pada hari Jum’at seperti pengagungan Yahudi
terhadap hari Sabtu dan pengagungan Nasrani terhadap hari ahad. (Tanwir
al-Hawalik: 122)
Syaikh al-Adawi al-Dardiri mengatakan, “Dan
dimakruhkan meninggalkan amal (bekerja) pada siang harinya (Jum’at)
apabila bertujuan mengagungkan hari tersebut. dan dibolehkan
beristirahat dan disunnahkan untuk sibuk bersiap-siap supaya mendapatkan
apa-apa yang disunnahkan di dalamnya.” (al-Syarh al-Shaghir: 1/613)
Kesimpulan:
Bahwa
mengagungkan hari Jum’at dengan menjadikannya sebagai hari libur dari
bekerja dan tidak melakukan aktifitas di dalamnya adalah seperti orang
Yahudi dan Nasrani yang menjadikan hari sabtu dan Ahad sebagai hari
besar dan hari libur dari bekerja. Kaum muslimin tetap dibolehkan dan
dianjurkan berma’isyah (mencari nafkah) pada hari itu, dengan tetap
memperhatikan amal-amal yang disunnahkan pada hari tersebut.
Namun
bagi siapa yang ingin memperoleh keutamaan lebih pada hari tersebut
dengan menyibukkan diri dalam amal-amal sunnah sejak sebelum berangkat
shalat Jum’at sampai dipenghujung harinya, lalu dia meliburkan diri
dari bekerja maka itu baik-baik saja dan dianjurkan.
Dan
kalau kita perhatikan, banyak amal sunnah pada hari tersebut. Sebelum
shalat Jum’at, ada beberapa amal yang berpahala besar seperti
melaksanakan sunnah fitrah (mencukur rambut dan kumis, mencabut bulu
ketiak, membersihkan bulu kemaluan, bercelak), mandi, membersihkan dari
kotoran dan bau tak sedap, memakai minyak wangi, lalu berangkat ke
masjid lebih pagi dengan berjalan kaki dan selainnya. Selanjutnya
sesudah ‘Ashar dianjurkan bersungguh-sungguh dalam doa hingga
terbenamnya matahari untuk mendapatkan waktu istijabah. Maka kalau
direnungkan, semua itu tidak bisa dijalankan kecuali dengan meliburkan
diri dari bekerja.
Jadi,
meliburkan diri pada hari Jum’at untuk mencari keutamaan di dalamnya
dari amal-amal sunnah yang berpahala besar adalah baik dan dianjurkan.
Yang tidak dibolehkan adalah menjadikan hari Jum’at sebagai hari libur
sebagai bentuk pengagungan terhadapnya. Karena hal ini seperti sunnah
Yahudi dan Nasrani yang menjadikan hari besar keagamaan perpekan mereka
sebagai hari libur dari bekerja. Wallahu Ta’ala A’lam.







0 komentar:
Posting Komentar