-->

31 Agustus 2012

TAFSIR SURAH LUQMAN AYAT 6




Allah Ta'ala berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُوْلَئِكَلَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ



"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan."
(QS. Luqman : 6)

"Lahwal hadits" yang diterjemahkan sebagai perkataan yang tidak berguna ditafsirkan sebagai:

Ibnu Jarir Ath-Thabari menyebutkan:

Ibnu Mas'ud (Sahabat): "Nyanyian, demi Yang tidak ada yang berhak disembah selain Dia" beliau sampai mengulangnya tiga kali.


Ibnu 'Abbas (Sahabat): "Nyanyian dan yang sejenisnya dan mendengarkannya"


Jabir (Sahabat): "Nyanyian dan mendengarkannya"


Mujahid (Tab'in): "Nyanyian dan semua permainan yang melalaikan" dalam kesempatan lain beliau mengatakan "Genderang (rebana)"


'Ikrimah (Tabi'in): "Nyanyian"


Adh-Dhahak: "Syirik (menyekutukan ALLAH)"


Ibnu Jarir Ath-Thabari sendiri mengomentari:


Pendapat yang betul adalah: Yang dimaksud dengannya (perkataan yang tidak berguna) adalah semua perkataan yang melalaikan dari jalan ALLAH dari apa-apa yang dilarang ALLAH dari mendengarkannya atau apa-apa yang dilarang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (dari mendengarkannya), karena ALLAH menjadikan firmannya (perkataan tidak berguna) umum dan tidak mengkhususkan sebagian yang satu dari sebagian yang lain. Oleh karena itu tetap berlaku umum sehingga datang dalil yang mengkhususkannya. Nyanyian dan syirik termasuk dari itu (perkataan tidak berguna).

(Lihat Tafsir Ath-Thabari tentang ayat tersebut)
Wallahu a'lam...

MAKNA AL-MASIH DAN MAKNA AD-DAJJAL




Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA




MAKNA AL-MASIH
Abu Abdillah Al-Qurthubi menyebutkan dua puluh tiga variasi bentuk kata dari lafal Al-Masih ini. (At-Tadzkiroh: 679). Dan pengarang Al-Qamus memecahnya menjadi lima puluh bentuk kata. [Vide: Tartibul Qamus 4: 239. Penyusun kamus ini mengatakan bahwa dia menguraikan variasi bentuk kata ini dalam kitabnya Syarhu Masyariqil anwar dan lainnya].

Lafal Al-Masih dapat berarti Ash-shiddiq (yang benar /suka kepada kebenaran) dan adhalil Al-Kadzdzab (yang sesat lagi pembohong). Maka Al-Masih Isa 'alaihissalam adalah Ash-Shiddiq, sedang Al-Masih Ad-Dajjal Adalah Adh-dhalil Al-Kadzdzab.

Allah menciptakan dua Al-Masih yang kontradiktif. Isa 'alaihissalam adalah Al-Masih pembawa petunjuk. yang dapat menyembuhkan tuna netra dan penyakit sopak (penyakit kulit yang tidak memiliki zat warna). dan dapat menghidupkan orang mati dengan izin Allah. Sedang Dajjal adalah Al-Masih kesesatan yang menyebarkan fitnah kepada manusia dengan kejadian-kejadian luar biasanya seperti menurunkan hujan. menghidupkan bumi dengan tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Dajjal disebut masih karena salah satu matanya terhapus (buta), atau karena ia menghapus bumi selama empat puluh hari. [Periksa: An-Nihayah Fi Gharibil Hadits 4: 326- 327; dan Li-sanul Arab 3: 594-595]

Dan pendapat yang pertama (bahwa Dajjal buta sebelah matanya) adalah pendapat yang lebih kuat berdasarkan hadits "Bahwasanya Dajjal terhapus (buta) sebelah matanya. " [Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrothis Sa 'ah, Bab Dzikrid Dajjal 18: 61]

MAKNA AD-DAJJAL
Adapun kata Ad-Dajjal ini diambil dari perkataan mereka: "Dajala Al-ba'iiro idzaa tholaahu bi Al-qothiron waghoththoo bihi" (Seseorang itu mendajjal unta bila melumurinya dangan ter/aspal dan menutupnya dengannya). " [Periksa: Lisanul Arab11: 236, dan Tartibul Qamus 2: 152]

Dan asal makna "Dajjal" ialah "Al-Kholath" (mencampur, mengacaukan, membingungkan). Dikatakan bahwa "seseorang itu berbuat Dajjal bila ia menyamarkan dan memanipulasi." dan "Ad-Dajjal" ialah manipulator dan pembohong yang luar biasa. Lafal ini termasuk bentuk mubalaghah (menyangatkan/intensitas) mengikuti wazan "fa'aal", artinya banyak menelurkan kebohongan dan kepalsuan.[Periksa: An-Nihayah Fi Gharibil Hadits 2: 102].

Dan bentuk jamaknya ialah "dajjaaluun", sedang Imam Malik menjamakkannya dengan bentuk "dajaajilah" sebagai jamak taksir (Lisanul Arab 11: 236). Al-Qurthubi mengatakan bahwa lafal "dajjal" menurut lughat dapat diucapkan dalam sepuluh bentuk. [At-Tadzkirak: 658].

Lafal Dajjal sudah menjadi isim alam (kata nama) bagi Al-Masih sang pendusta dan buta sebelah matanya, sehingga kalau disebutkan kata "Dajjal" maka yang segera ditangkap pengertiannya ialah si pembohong tersebut.

Dan "Dajjal" itu dinamakan "Dajjal" karena ia menutup kebenaran dengan kebatilan atau karena ia menutupi kekafirannya terhadap orang lain dengan kebohongan.kepalsuan. dan penipuannya atas mereka.

Dan ada yang mengatakan karena ia menutupi bumi dengan banyaknya ke-lompoknya. [Lisanul Arab 11: 236-237, dan Tartibul Qamus 2: 152].

Wallahu a'lam.

[Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq]

Kupas Tuntas Bid'ah


(PEMBAGIAN BID'AH)

A.(Macam-macam Bid'ah)

Bid'ah dalam Ad-Dien (Islam) ada dua macam :
Bid'ah qauliyah 'itiqadiyah
: Bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.
Bid'ah fil ibadah
:Bid'ah dalam ibadah seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidakdisyari'atkan oleh Allah : dan bid'ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :
A. Bid'ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadahyang tidak ada dasarnya dalam syari'at Allah Ta'ala, seperti mengerjakan shalat yang tidakdisyari'atkan, shiyam yang tidak disyari'atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidakdisyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.
B. Bid'ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, sepertimenambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.
C. Bid'ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yangsifatnya tidak disyari'atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan caraberjama'ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalamibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
D. Bid'ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari'atkan, tapi tidakdikhususkan oleh syari'at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya'ban(tanggal 15 bulan Sya'ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam danqiyamullail itu di syari'atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil (Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang harus Dicintai & Harus Dimusuhi oleh Orang Islam,oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan Solo)

Pembagian bid'ah dari segi pengambilan dalil ada dua :
Telah dijelaskan bahwa bid’ah seluruhnya adalah sesat, dan adalah tidak benar menganggapbid’ah ada yang hasanah, dengan hujjah dan alasan yang telah disebutkan diatas . Paraulama’ membagi bid’ah menjadi dua.(‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 147-148)yakni :
1. Bid’ah Haqiqiyah : Suatu macam bid’ah yang tidak ditunjukkan sedikitpun suatu dalil syar'idari segala sisi, baik secara ijmal (global), apalagi secara tafshil (terperinci). Contoh :Peringatan Maulid Nabi
(Masalah ini tidak syak lagi termasuk bid’ah yang nyata, dan tidak khilaf para ulama’ Salaf tentangnya. Telahbanyak pula bantahan para ulama’ baik Salaf dan kholaf tentang peringatan Maulid Nabi yang bid’ah ini. SyaikhulIslam menerangkan bahwa bid’ah ini pertama kali dihembuskan oleh para zanadiqah (munafiqin) Syi'ah ketikamereka berkuasa pada era bani Fathimiyyah. Syi'ah dan Shufi merupakan dedengkot utama tersebarnya bid’ah,syirik dan khurofat di tengah-tengah ummat Islam. Namun, sangat menyedihkan, ketika sebagian harokah da’wahyang merebak saat ini, mereka terjebak dengan bid’ah semacam ini. Termasuk juga peringatan-peringatan haribesar Islam lainnya.)

Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, Tahlilan
Tahlilan atau peringatan kematian telah banyak dijelaskan oleh para ulama’ akan bid’ah dan bahayanya.Budaya di Indonesia dengan 40 hari, 100 hari, 1000 hari, dan seterusnya adalah adat yang berangkat darikeyakinan syirik dan khurafat bid’ah, peninggalan dari sisa-sisa I’tiqad agama Hindhu yang paganis dan berhalais
__________________________________
Demonstrasi
(Tidak syak lagi, demonstrasi atau Mudhoharoh, yang seolah-olah telah menjadi wasilah dalam amar ma’rufnahi munkar terutama terhadap penguasa dan memperjuangkan penegakan syari'at Islam, adalah bid’ah baruyang berasal dari sistem kufur yang tak dikenal di dalam Islam, yaitu Demokrasi. Menegakkan demonstrasi padahakikatnya adalah tasyabbuh ‘alal kuffar (meniru golongan kafir) dalam metode dan cara. Padanya terdapatkerusakan-kerusakan seperti ikhtilat, keluarnya wanita-wanita ke jalan, khuruj terhadap pemerintah, dan lainsebagainya.
dan lain-lain.

2. Bid’ah Idhafiyah : Suatu macam bid’ah yang jika ditinjau dari satu sisi ia memiliki dalil/hujjah,namun jika ditinjau dari sisi lain, tak ada tuntunan syariatnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwa Salam. Dengan cara, memutlakkan ibadah muqoyyad ataupun sebaliknya,memuqoyyadkan ibadah mutlak, tanpa ada keterangannya dari Rasulullah. Contoh : Dzikir jama’i.(Dzikir Jama’i yang sekarang lagi digandrungi masyarakat, dan laku bak kacang goreng, adalah metodeibadah yang bid’ah. Karena Islam tak pernah mengajarkan berdzikir secara jama’ah dan dipimpin oleh seorangImam. Hal ini menunjukan bahwa metode da’wah ala dzikir jama’i, Dikatakan bid’ah, karena pada satu sisi,memang ada dalil yang menunjukkan anjuran berdzikir, namun pada sisi kaifiyat pelaksanaan, sesungguhnya takada satupun dalil yang warid dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menerangkan akan metode berdzikirdemikian. Sehingga dikatakan termasuk sebagai bid’ah idhafi).membasuh kaki hingga lutut ketika berwudhu’, membaca yasin tiap malam jum’at Pada hakikatnya, membaca Al-Qur’an adalah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam,namun yang menjadi permasalahan adalah jika kita mengkhusukan suatu surat atau ayat dari Al-Qur’an, dan jugamengkhusukan waktu tertentu, seperti membaca surat Yasin setiap malam Jum’at, tanpa didasarkan dari dalil,atau tidak beranjak dari hujjah. Maka amalan ibadah ini, disebabkan oleh pengkhususan waktu dan jenis ayatyang tak pernah dituntunkan oleh Nabi, maka amalam tersebut menjadi amalan bid’ah.dan lain-lain.Termasuk dalam kerangka cemburu kepada Allah, Rasul-Nya dan agama-Nya, adalahmenafikan hal baru yang disandarkan kepada agama, menjauhinya dan mentahdzirnya(memperingatkan ummat dari bahayanya). Sebab praktek bid’ah akan menimbulkan beberapakerusakan sebagai berikut:
1. Orangorang awam akan menganggap dan meyakininya sebagai suatu yang benar atau baik.
2. Menimbulkan kesesatan bagi ummat dan menolong mereka untuk mengerjakan yangsalah.
3. Jika yang melakukan bid’ah itu orang yang alim, dapat menimbulkan khayalakmendustakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Karena mereka menganggap ini sunnahdari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam takpernah menuntunkannya.
4. Sunnah menjadi samar dengan bid’ah, akibatnya seluruh sendi agama menjadi samarpula, sehingga kesyirikan, khurofat dan takahayul menjadi samar.
5. Padamnya cahaya agama Allah, karena kebid’ahan merupakan sumber perpecahan danpenghalang turunnya pertolongan Allah, akibatnya ummat Islam selalu terlingkupi kehinaandan kekalahan.
____________________________________
(LATAR BELAKANG YANG MENYEBABKAN MUNCULNYA BID'AH).

(dinukil dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang Harus Dicintai dan Harus Dimusuhi oleh Orang Islam,oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan hal. 59 - 65)

Tidak diragukan lagi bahwa berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah adalah kuncikeselamatan dari terjerumusnya kepada bid'ah dan kesesatan ; Allah Subhanahu wa Ta'alaberfirman.

"Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia,dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya". [Al-An'am : 153].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu dalam suatu hadits yangdiriwayatkan sahabat Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, berkata :

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat satu garis untuk kita, lalu bersabda : "Ini adalah jalan Allah", kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah kanannya dan disebelah kirinya, lalu bersabda : "Dan ini adalah beberapa jalan di atas setiap jalan tersebut ada syetan yang senantiasa mengajak (manusia) kepada jalan tersebut" kemudian beliau membaca ayat : Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),( HR imam ahmad, nasai , ad dharimi & ibnu abi hatim & hakim belaiu menshahehkannya) .Maka barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah ; pasti akan selalu terbenturoleh jalan-jalan yang sesat dan bid'ah.Jadi latar belakang yang menyebabkan kepada munculnya bid'ah-bid'ah, secara ringkasadalah sebagai berikut : bodoh terhadap hukum-hukum Ad-Dien, mengikuti hawa nafsu,ashabiyah terhadap berbagai pendapat dan orang-orang tertentu, menyerupai dan taqlidterhadap orang-orang kafir.
___________________________________________
Perinciannya sebagai berikut.

1. Bodoh Terhadap Hukum-hukum Ad-Dien
Semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjauhi atsar-atsar risalah Islam : semakinsedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh RasulullahShallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya :

"Artinya : Barangsiapa dari kamu sekalian yang masih hidup setelahku, pasti akan melihat banyak perselisihan".
[Hadits Riwayat Abdu Daud, At-Tirmidzi, beliau berkata hadits ini hasanshahih].Dan dalam sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam juga :

"Artinya : Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak mengambil (mencabut) ilmu dengan mencabutnyadari semua hamba-Nya akan tetapi mengambilnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak ada (tersisa) seorang ulamapun, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, mereka ditanya (permasalahan) lalu berfatwa tanpa dibarengi ilmu, akhirnyamereka sesat dan menyesatkan"
.( HR bukhari bab 34 ,: bagimana di cabutnya ilmu agama)Tidak akan ada yang bisa meluruskan bid'ah kecuali ilmu dan para ulama ; maka apabila ilmudan para ulama telah hilang terbukalah pintu untuk muncul dan tersebarnya bagi parapenganut dan yang melestarikannya.
2. Mengikuti Hawa Nafsu
Barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah pasti dia mengikuti hawa nafsunya,sebagaimana firman Allah :

"Artinya : Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnyamereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun".
[Al-Qashshash : 50].
Dan Allah Ta'ala berfirman:"Artinya :
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesuadh Allah (membiarkannya sesat)".
[Al-Jatsiyah : 23].Dan bid'ah itu hanyalah merupakan bentuk nyata hawa nafsu yang diikuti.
3. Ashabiyah Terhadap Pendapat Orang-orang Tertentu.
Ashabiyah terhadap pendapat orang-orang tertentu dapat memisahkan antara dari mengikutidalil dan mengatakan yang haq.Allah Ta'ala berfirman:Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah'.Mereka menjawab : '(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti ap yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami'. '(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk
". [Al-Baqarah : 170].Inilah keadaan orang-orang ashabiyah pada saat ini dari sebagian pengikut-pengikut madzhab,aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur. Apabila mereka diajak untuk mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah serta membuang jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Kitab danAs-Sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang mereka.
4. Menyerupai Orang-Orang Kafir
Hal ini merupakan penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan kepada bid'ah,sebagaimana disebutkan dalam hadits Abi Waqid Al-Laitsy berkata:

"Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menuju Hunain dan kamibaru saja masuk Islam (pada waktu itu orang-orang musyrik mempunyai sebuah pohon bidara)sebagai tempat peristirahatan dan tempat menyimpan senjata-senjata mereka yang disebutdzatu anwath. Kami melewati tempat tersebut, lalu kami berkata :" Ya Rasulullah buatkanlahuntuk kami dzatu anwath sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath, lalu RasulullahShallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :Allahu Akbar ! Sungguh ini adalah kebiasaan buruk mereka, dan demi yang jiwaku di tangannya, ucapan kalian itu sebagaimana ucapan Bani Israil kepada Musa 'Alaihi Sallam :"Artinya : Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana merekamempunyai beberapa ilah (berhala)". [Al-A'raf : 138]Lalu beliau bersabda : "Sungguh kamu sekalian mengikuti kebiasaan-kebiasaan sebelum kamu
".(HR. Turmudzi, dan dinyatakanshoheh olehnya)Di dalam hadits ini disebutkan bahwa menyerupai orang-orang kafir itulah yang menyebabkanBani Israil dan sebagian para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menuntut sesuatuyang buruk, yakni agar mereka dibuatkan tuhan-tuhan yang akan mereka sembah dan dimintaiberkatnya selain Allah Ta'ala. Hal ini jugalah yang menjadi realita saat ini. Sungguhkebanyakan kaum muslimin telah mengikuti orang-orang kafir dalam amalan-amalan bid'ahdan syirik, seperti merayakan hari-hari kelahiran, mengkhususkan beberapa hari ataubeberapa minggu (pekan) untuk amalan-amalan tertentu, upacara keagamaan dan peringatan-peringatan, melukis gambar-gambar dan patung-patung sebagai pengingat, mengadakanperkumpulan hari suka dan duka, bid'ah terhadap jenasah, membuat bangunan di ataskuburan dan lain sebagainya
_______________________________________
(Muamalah)

Pembicaraan tentang muamalah maka kaidah yang ada :

"Hukum asal muamalah itu boleh/halal untuk dikerjakan (selama tidak ada dalil yang melarangnya dan mengharamkannya").
Adapun perkara-perkara yang dilarang dan diharamkan dalam muamalah ini bisa kitasebutkan sebagai berikut :
1. Bermuamalah untuk mengganti aturan syariat
Maka perkara ini tidak diragukan lagi kebatilannya dengan contoh mengganti hukum rajambagi orang yang berzina dengan tebusan berupa benda. Hal ini pernah terjadi di zamanRasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, seorang pemuda yang belum menikah berzina denganistri orang lain. Ayah si pemuda menyangka hukum yang harus ditimpakan pada putranyaadalah rajam maka ia ingin mengganti hukum itu dengan memberi tebusan kepada suami siwanita tersebut berupa seratus ekor kambing berikut seorang budak perempuan. Lalu ia dansuami si wanita mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengadukan haltersebut dan meminta diputuskan perkara mereka dengan apa yang ada dalam kitabullah.Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab permintaan mereka.
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku akan memutuskan perkara di antara kalian berdua dengan kitabullah. Kambing dan budak perempuan yang ingin kau jadikan tebusan itu ambil kembali, sedangkan hukum yang ditimpakan kepada putramu adalah dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun".
Lalu beliau shallallahu 'alaihiwasallam memerintahkan kepada salah seorang dari shahabatnya untuk mendatangi wanitayang diajak berzina oleh pemuda tersebut untuk meminta pengakuannya. Dan ternyata wanitaitu mengakui perbuatan zina yang dilakukannya hingga ditimpakan padanya hukum rajam.(Sebagaimana disebutkan riwayatnya dalam hadits yang dikeluarkan Imam Bukhari dalamshahihnya, pada Kitabul Hudud no. 2695, 2696, demikian pula Imam Muslim dalam shahihnyano. 1697, 1698)2. Bermuamalah dengan membuat akad/perjanjian yang dilarang oleh syariat.• Akad yang tidak layak untuk diputuskan. Seperti melakukan akad nikah dengan wanita yangharam untuk dinikahi karena sepersusuan atau mengumpulkan dua wanita yang bersaudarasebagai istri.• Akad yang hilang darinya satu syarat di mana syarat tersebut tidak bisa gugur denganridhanya kedua belah pihak . Seperti menikahi wanita yang sedang menjalani masa `iddah,nikah tanpa wali atau menikahi istri yang masih dalam naungan suaminya.• Melakukan akad jual beli yang diharamkan Allah subhanahu wa ta`ala, seperti jual belidengan cara riba, jual beli minuman keras, bangkai, babi dan sebagainya.• Akad yang berakibat terdzaliminya salah satu dari dua belah pihak. Seperti seorang ayahmenikahkan putrinya yang dewasa tanpa minta izin kepadanya. Maka akad ini tertolak ketikaanak itu tidak ridha dan menuntut haknya namun bila ia ridha akad tersebut sah.
__________________________________________
(Kaidah-Kaidah dalam menyatakan suatu amalan sebagai bid’ah).

Imam Al-Muhaddits Al-Ashr Al-Allaamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albanirahimahullah didalam Kitab Ahkamul Jana-iz wa Bid’uha hal. 241-242.Beliau menjelaskan delapan perkara yang dapat dikategorikan sebagai bid’ah :1. Setiap perkara yang menyelisihi sunnah baik ucapan, amalan, I’tiqod maupun dari hasilijtihad.
2. Setiap sarana yang dijadikan wasilah untuk bertaqarrub kepada Allah, namun RasulullahShallallahu ‘alaihi wa Salam melarangnya atau tidak menuntunkannya.3. Setiap perkara yang tidak mungkin di syariatkan kecuali dengan nash (tauqifiyah) namuntak ada nashnya, maka ia adalah bid’ah, kecuali amalan sahabat.4. Sesuatu yang dimasukkan dalam ibadah dari adat-adat dan tradisi orang kafir.5. Apa-apa yang dinyatakan ulama’ kontemporer sebagai amalan mustahab tanpa ada dalilyang mendukungnya.6. Setiap tata cara ibadah yang dijelaskan melalui hadits dho’if atau maudhu’7. Berlebihan (ghuluw) dalam beribadah.8. Setiap peribadatan yang dimutlakkan syari'at, kemudian dibatasi oleh manusia sepertitempat, waktu, kaifiyat dan bilangan tanpa ada dalil khususnya.Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa segala hal yang diada-adakan dalam permasalahanagama adalah tercela dan jelek sekali. Karena sebagaimana perkataan Imam Fudhail binIyadh, bahwa

“Sesungguhnya bid’ah itu lebih dicintai syaithan ketimbang maksiat”, dikarenakan, pelakumaksiat diharapkan sadar akan kesalahannya, karena ia mengetahui bahwa maksiat itu adalahkeharaman yang nyata, sedangkan pelaku bid’ah yang mengamalkan suatu bid’ahmenganggapnya sebagai suatu sunnah.Ibnu '''Umar Radhiallahu ‘anhu juga berkata :

“Setiap bid’ah adalah sesat meskipun manusia menganggapnya baik.(Diriwayatkan oleh Al-Lalikai (no 126), Ibnu bathah (205), Baihaqi dalam Al-Madkhal ila sunan (191), IbnuNashir dalam As-Sunnah (no 70) dengan tahqiqnya. Sanadnya shahih. Dinukil dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 92).Maka janganlah tertipu dengan banyaknya bid’ah di hadapan mata dan manusia menganggapnya sebagaikebajikan, karena sesungguhnya Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu berkata :
“Ittiba’lah jangan berbuat bid’ah karena kau telah dicukupi.”(Diriwayatkan oleh Ibnu Khaitsamah dalam Al-Ilmu (no 14) dari jalan An-Nakha'i. Sanadnya shahih. Dinukil dari‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 20)
__________________________________________
(DALIL-DALIL AL QUR'AN & HADIST SERTA ATSYAR YANGMENJELASKAN BETAPA SESAT & TERCELANYA BID'AH DALAM AGAMA).

Larangan dari melakukan bid'ah adalah larangan dari pembuat syari'at karana larangantersebut disertai dengan berbagai-bagai ancaman oleh Allah dan Rasul-Nya. Diantara yangpaling tegas ialah larangan akan berlaku kesesatan dan pelanggaran batas hukum (hudud)yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam syari'at yang akhirnya membawa kepada kefasikandan mengkufuri agama serta ayat-ayat Allah. Hal ini telah dijelaskan oleh allah & RasulNyasallallahu 'alaihi wa sallam diantaranya.
___________________________________________
(A. DALIL DARI AL QUR'AN):
Dalil dari al qur'an:

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." ( QS Al-Imran : 31)
dalam ayat ini di perintahkan bagi kitauntuk mengikuti ( itiba') Rasulullah salallahu 'alaihi wasalam.

“Dan ikutilah Dia ( muhammad ) supaya kamu mendapat petunjuk".( QS Al-A'raf : 158 )

“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” ( QS alahzab:21 )

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,maka tinggalkanlah.”
(QS Al-Hasyr : 7).

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Qs As-Syura' : 21 )

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.QS Al-An'am (6) : 153

Diriwayatkan dari Abul Hujjaj bin Jubair Al-Makky(Beliau adalah Sa'id bin Jubair, ulama’ Tabi'in yang ahli tafsir dan pakar di zamannya)
menafsirkan(dan janganlahkamu mengikuti jalan-jalan yang lain), beliau berkata yang dimaksud dengan jalan-jalanyang lain) adalah bid’ah dan syubuhat.
___________________________________________
B. (DALIL DARI AS SUNNAH)

"Aku berwasiat kepada kamu sekalian supaya bertakwa kepada Allah, mendengar dan taatsekalipun diperintah oleh seorang hamba Habsyi. Sesungguhnya siapa saja yang hidup(selepas ini) di antara kamu sekalian selepasku akan melihat perselisihan yang banyak, makakembalilah (berpeganglah) kamu kepada sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidinselepas peninggalanku, berpegang teguhlah dengannya, maka gigitlah dengan gigi geraham,kemudian berhati-hatilah dengan hal yang baru (dicipta dalam agama) sesungguhnya setiapciptaan yang baru itu adalah bid'ah dan setiap yang bid'ah itu sesat". (Hadis Riwayat Ahmad(1653). At-Tirmizi (2600). Musnad Abu Daud (3991). As-Sunnan Ibn Majah (42)"Setiap yang diada-adakan itu bid'ah, setiap yang bid'ah itu sesat dan setiap yang sesat ituadalah ke dalam neraka". (Hadis Riwayat Muslim).

"Dalam khutbah Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam baginda bersabda: Kemudian dari itu,sesungguhnya sebaik-baik perkataan itu kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjukMuhammad sallallahu 'alaihi wa sallam dan sekeji-keji perkara (perbuatan) ialah mengada-adakan yang baru dan setiap bid'ah (yang baru itu) adalah sesat dan setiap yang sesat keneraka". (Hadis Riwayat Muslim, Abu Daud dan Ibn Majah).
Dari hadits di atas, dinyatakan bahwa

(Tiap bid’ah itu sesat), yakni hal inimenunjukkan secara terang dan nyata bahwa tidak ada bid’ah hasanah, karena RasulullahShallallahu ‘alaihi wa Salam telah menjelaskan secara gamblang bahwa

(Tiapbid’ah itu sesat). Para ulama’ sepakat bahwa kata

(Kullu) yang diikuti oleh ismnaaqirah (obyek indefinitif) bukan ‘ism ma’rifat (obyek definitif) tanpa adanya istitsna’ (pengecualian), maka ia terkena keumuman dari kata (Kullu) tersebut.Sehingga bermakna, bahwa semua bid’ah tanpa terkecuali adalah sesat!!! Maka batallahpernyataan sebagian kaum muslimin yang menyatakan bahwa bid’ah itu ada yang hasanah.

"Dari Huzaifah radhiallahu 'anhu baginda berkata: Allah tidak akan menerima dari pembuatbid'ah puasa, sembahyang, haji, umrah, jihad, kebaikan dan keadilan (yang dikerjakannya). Diaakan keluar dari Islam sebagaimana keluarnya rambut dari tepung". (Hadis Riwayat Ibn Majah.Lihat:

jld. 17. hlm. 10. Hadis ini lemah dan sebahagian ulama hadis mendapati hadisini adalah hadis mungkar)

"Allah tidak akan menerima amalan pelaku (pembuat) bid'ah hingga ditinggalkan bid'ahtersebut". (Hadis Riwayat Ibn Majah (49) Muqaddimah)

"Tidak akan (dibiarkan) berlaku bid'ah pada satu-satu kaum, kecuali akan dicabut (oleh Allah)satu sunnah dari mereka yang sepertinya. Maka berpegang kepada sunnah lebih baik darimelakukan (mencipta) satu bid'ah". (Hadis Riwayat Ahmad (16356))

"Siapa yang mencipta (mengada-adakan) yang baru dalam urusan (agama) Kami ini, maka itutertolak". (Hadis Riwayat Ahmad (24840). Bukhari (2499) as-Soleh. Muslim (3242) al-Aqdhiah.Abu Daud (3990) as-Sunnan. Ibn Majah (14) Muqaddimah)Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini merupakan kaidah yang agung dari kaidah-kaidah Islam". Beliau menambahkan lagi: "Hadits ini termasuk hadits yang sepatutnyadihafalkan dan digunakan dalam membatilkan seluruh kemungkaran dan seharusnya hadits inidisebarluaskan untuk diambil sebagai dalil". ( Syarah Shahih Muslim)

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani rahimahullah setelah membawakan hadits ini dalamsyarahnya terhadap kitab Shahih Bukhari, beliau berkomentar : "Hadits ini terhitung sebagaipokok dari pokok-pokok Islam dan satu kaidah dari kaidah-kaidah agama". (Fathul Bari)Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah dalam kitabnya Jami`ul Ulum wal Hikam jugamemuji kedudukan hadits ini, beliau berkata : "Hadits ini merupakan pokok yang agung daripokok-pokok Islam. Dia seperti timbangan bagi amalan-amalan dalam dzahirnya sebagaimanahadits: (amal itu tergantung pada niatnya) merupakan timbangan bagi amalan-amalan dalambatinnya. Maka setiap amalan yang tidak diniatkan untuk mendapatkan wajah Allah tidaklahbagi pelakunya mendapatkan pahala atas amalannya itu, demikian pula setiap amalan yangtidak ada padanya perintah dari Allah dan rasulnya maka amalan itu tidak diterima daripelakunya. (Jami`ul Ulum wal Hikam, 1/176)

"Siapa yang melakukan (mengerjakan) satu amal yang bukan dari perintah Kami, maka(amalan itu) tertolak". (Maksud tertolak ialah bermakna “bid'ah”"Ia dinamakanbid'ah". Lihat:hlm. 29. Ali Hasan)Kata Imam Nawawi rahimahullah : "Hadits ini jelas sekali dalam membantah setiap bid`ah danperkara yang diada-adakan dalam agama". (Syarah Muslim, 12/16)Namun bila ada pelaku bid`ah dihadapkan padanya hadits ini, kemudian dia mengatakanbahwa bid`ah tersebut bukanlah dia yang mengada-adakan akan tetapi dia hanya melakukanapa yang telah diperbuat oleh orang-orang sebelumnya sehingga ancaman hadits di atas tidakmengenai pada dirinya. Maka terhadap orang seperti ini disampaikan padanya hadits :"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itutertolak". Dengan hadits ini akan membantah apa yang ada pada orang tersebut dan akanmenolak setiap amalan yang diada-adakan tanpa dasar syar`i. Sama saja apakah pelakunyayang membuat bid`ah tersebut adalah dia atau dia hanya sekedar melakukan bid`ah yang telahdilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Demikian penerangan ini juga disebutkan oleh ImamNawawi dengan maknanya dalam kitab beliau Syarah Muslim (12/16) ketika menjelaskanhadits ini.Al Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata : "Dalam sabda Nabi shallallahu alaihiwasallam :

ada isyarat bahwasanya amalan-amalan yang dilakukan seharusnya di bawah hukum syariahdi mana hukum syariah menjadi pemutus baginya apakah amalan itu diperintahkan ataudilarang. Sehingga siapa yang amalannya berjalan di bawah hukum syar`i, cocok denganhukum syar`i maka amalan itu diterima, sebaliknya bila amalan itu keluar dari hukum syar`imaka amalan itu tertolak. ("Jami`ul Ulum wal Hikam", 1/177)

Bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam: Barangsiapa yang berbuat sesuatu urusanyang bukan dari perintah kami, maka ia tertolak". (Hadis Riwayat Ibn Majah)

"Bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam: Maka barangsiapa yang menyimpang dariSunnahku, maka bukanlah dia dari golonganku". Muttafaq 'Alaih.

"Dari Aisyah radhiallahu 'anha berkata: Bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam: siapayang memuliakan aktivis/pelaku bid'ah, maka dia telah menolong untuk menghancurkan Islam"(Hadis Riwayat Ahmad. Lihat:

. Hlm. 14. Menurut Syeikh Ali Hasan: Hadis ini adalahhadist hasan isnadnya. Lihat:

hlm. 37. Dikeluarkan oleh Al-Lalikaii dalam

(1/139)) Hadis Marfu'. (Ibn Asakir dalam

"Sesungguhnya pada setiap amal terdapat kegiatan, dan pada amal ada fitrahnya.Barangsiapa yang fitrahnya terlibat dengan bid'ah maka dia telah sesat dan barangsiapa yangfitrahnya terlibat dengan sunnah maka dia telah mendapat petunjuk". (Hadis Riwayat Ahmad(22376), Musnad. Hadis sahih. Lihat:(23521)
Faidah hadits
Faidah yang bisa kita ambil dari hadits ini, di antaranya :
• Batilnya perkara yang diada-adakan dalam agama
• Larangan terhadap satu perkara menunjukkan jeleknya perkara tersebut..
• Islam merupakan agama yang sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya dan tidak butuhkoreksi dan protes terhadapnya.
• Perkara yang diada-adakan dalam agama ini adalah bid`ah dan setiap bid`ah itu sesat.
• Dengan hadits ini tertolaklah pembagian bid`ah menjadi bid`ah hasanah (bid`ah yang baik)dan bid`ah sayyiah (bid`ah yang jelek).Seluruh akad yang dilarang oleh syariat adalah batil, demikian pula hasilnya karena apa yangdibangun di atas kebatilan maka ia batil pula...Allahul Musta'an...
(dinukil:download ebook dari maktabah abu syeikha bin imam al-magety).

Adzan di Telinga Kanan dan Iqomat di Telinga Kiri Pada Saat Kelahiran si Bayi



Adzan di telinga bayi di saat ia baru lahir, hampir termasuk perkara yang disepakati. Fenomena seperti ini, nampak tersebar di Negeri kita yang jauh dari Ulama rabbaniyyin yang mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shohih dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sehingga membantu pesatnya perkembangan masalah yang satu ini. Selain itu, banyak da’i yang berpangku tangan dan tidak mau meneliti masalah ini lebih detail lagi dari segi keakuratan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini, masalah disyari’atkannya adzan ditelinga bayi di hari kelahirannya. Apalagi setelah tersebarnya kitab-kitab Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- di dalamnya beliau menjelaskan bahwa derajat hadits adzan di telinga bayi adalah “hasan”, tanpa mau lagi berusaha mengetahui dan meneliti derajat hadits-hadits itu.
Sebagai beban dan amanah ilmiah, kami turunkan takhrij hadits adzan di telinga bayi, sekaligus menyebutkan rujuknya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- dari meng-hasan-kan hadits tersebut, setelah nyata bagi beliau bahwa semua jalur periwayatannya lemah, tidak bisa saling menguatkan satu dengan lainnya agar para pembaca yang budiman mengetahuinya dan bisa meralat segala kekeliruan yang ia yakini dan lakukan sebelumnya, berupa adzan di telinga bayi saat baru dilahirkan ke dunia.
Menurut pemeriksaan para ulama terhadap riwayat-riwayat dan jalur-jalur hadits adzan di telinga bayi, cuma ada tiga jalur atau empat:
Hadits Pertama
Hadits ini berasal dari Abu Rofi’, bekas budak Rasulullah, ia berkata: “Saya melihat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- adzan, seperti adzan sholat, di telinga Al-Hasan bin Ali, ketika Fathimah -radhiyallahu ‘anha- melahirkannya”.
HR. Abu Dawud (5105), At-Tirmidziy (4/1514), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (9/300), dan dalam Asy-Syu’ab (6/389-390), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (931-2578), dan dalam Ad-Du’a (2/944), Ahmad (6/9-391-392), Abdur-Razzaq (7986), Ath-Thoyalisiy (970), Al-Hakim (3/179), dan Al-Baghowiy dalam Syarh As-Sunnah (11/273).
Al-Hakim berkata, “Shohih sanadnya sekalipun keduanya (Al-Bukhoriy dan Muslim) tidak mengeluarkannya”. Akan tetapi, ia disanggah oleh Adz-Dzahabi seraya berkata : “Ashim dho’if (lemah)”. At-Tirmidzi berkata, “Semua meriwayatkannya dari jalur Sufyan Ats-Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rofi’ dari bapaknya”.
Ini juga merupakan HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (926,2579), dan dibawakan hadits ini oleh Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa’id (4/60) dari jalur Hammad bin Syu’aib dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin Al-Husain dari Abi Rofi’ dengan sedikit tambahan, “Beliau adzan di telinga Al-Hasan dan Al-Husain”. Dia berkata di akhirnya, “Beliau memerintahkan hal itu kepada mereka”.
Di dalam sanad hadits ini terdapat Hammad bin Syu’aib. Ibnu Ma’in telah men-dho’if-kannya. Al-Bukhoriy berkata, “Mungkar haditsnya”. Pada tempat lain, ia berkata: “Mereka meninggalkan haditsnya”. Al-Haitsami berkata dalam Al-Majma’ (4/60), “Di dalamnya terdapat Hammad bin Syu’aib, sedang ia itu lemah sekali”.
Di dalamnya juga terdapat Ashim bin Ubaidillah, seorang yang dho’if (lemah). Selain itu, Hammad telah menyelisihi Sufyan Ats-Tsaury, baik dalam hal sanad maupun redaksi hadits, sebab ia telah meriwayatkannya dari Ashim dari Ali bin Al-Husain dari Abi Rofi’. Dia menggantikan Ubaidullah bin Abi Rofi’ dengan Ali bin Al-Husain, dan ia juga menambahkan lafazh pada redaksi hadits, “…Al-Husain”, dan perintah beradzan. Hammad yang ini termasuk orang yang tidak diterima haditsnya, jika menyendiri dalam meriwayatkan hadits, karena kelemahan pada dirinya yang telah anda ketahui. Apalagi ia menyelisihi orang yang lebih tsiqoh (terpercaya) dan teliti daripada dirinya seperti Ats-Tsaury. Dengan ini, hadits Hammad menjadi mungkar karena kelemahannya pertama, dan kedua, penyelisihannya terhadap orang yang lebih tsiqoh.
Adapun jalur kedua dari Sufyan, terdapat seorang yang bernama Ashim bin Ubaidillah. Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata dalam At-Taqrib, “Dia lemah”. Al-Hafizh juga menyebutkan dalam At-Tahdzib (5/42), Syu’bah berkata, “Andaikan Ashim ditanya, “Siapakah yang membangun Masjid Bashrah, niscaya ia akan menjawab, “Fulan dari fulan dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau telah membangunnya”. Ini untuk menggambarkan rowi ini mudah meriwayatkan hadits, tanpa memperhatikan hadits yang ia riwayatkan sehingga ia banyak menyelisihi orang yang lebih tsiqoh.
Adz-Dzahaby berkata dalam Al-Mizan (2/354), “Abu Zur’ah dan Abu Hatim berkata: Ashim adalah haditsnya mungkar . Ad-Daruquthny berkata: Ia ditinggalkan, orangnya lalai”. Lalu ia membawakan hadits hadits Abu Rofi’, “Bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengadzani telinga Al-Hasan dan Al-Husain”. Ringkasnya, hadits ini dho’if (lemah) karena masalahnya ada pada Ashim, sedang Anda telah tahu keadaan dirinya.
Ibnul Qoyyim menyebutkan dalam dalam kitabnya Tuhfah Al-Wadud (hal.17) hadits Abu Rofi’, lalu membawakan dua hadits :satunya dari Ibnu Abbas, dan lainnya lagi dari Al-Husain bin Ali . Beliau menjadikan kedua hadits ini sebagai penguat bagi hadits Abu Rofi’ dan membuatkan judul, “Bab: Dianjurkannya adzan ditelinga bayi”. Hal ini sebenarnya kurang tepat sesuai dengan pembahasan yang akan anda ketahui sebentar, Insya Allah Ta’ala.
Hadits Kedua
Adapun hadits kedua dari Ibnu Abbas , diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman (6/8620) dari Muhammad bin Yunus dari Al-Hasan bin Amer bin Saif As-Sadusy, ia berkata, Al-Qosim bin Muthoyyib Telah menceritakan kami dari Manshur bin Shofiyyah dari Abu Ma’bad dari Ibnu Abbas: ”Bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- adzan di telinga Al-Hasan bin Ali pada hari ia dilahirkan, di telinga kanannya. Beliau melakukan iqomat pada telinga kirinya”.
Setelah itu, Al-Baihaqi berkata: “Pada sanadnya terdapat kelemahan”. Kami katakan, “Bahkan hadits ini palsu”. Penyakitnya ada pada Al-Hasan bin Amer . Al-Hafizh berkata dalam At-Taqrib, “Orangnya matruk/ditinggalkan”. Ibnu Abi Hatim berkata dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (1/2/26), biografi (no.109), “Saya pernah mendengarkan bapakku berkata:[Kami pernah melihat Al-Hasan bin Amer di Bashrah, dan kami tak menulis hadits darinya, sedang dia itu ditinggalkan haditsnya]”. Adz-Dzahaby berkata dalam Al-Mizan, “Al-Hasan bin Amer dikatakan pendusta oleh Ibnul Madiny. Al-Bukhory berkata, “Dia pendusta”. Ar-Rozy berkata, “Dia ditinggalkan”.”.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, diantara kaedah-kaedah Ilmu Mushtholah Hadits bahwa hadits dho’if (lemah) tak akan bisa meningkat menjadi hadits shohih atau hasan, kecuali ia datang dari jalur periwayatan yang lain, dengan syarat: Tak ada orang yang parah ke-dho’if-annya/kelemahannya dalam jalur tersebut, apalagi sampai ada pendusta. Jadi, hadits kedua dari Ibnu Abbas ini -sedang kondisinya begini- tetap kedudukannya sebagai hadits dho’if dan tidak bisa dijadikan hujjah. Di antara konsekuensi ilmu hadits, hadits Ibnu Abbas tersebut tidak bisa dijadikan sebagai penguat bagi hadits Abu Rofi’. Jadi, hadits Abu Rofi’ tetap kedudukannya sebagai hadits dho’if, sedang hadits Ibnu Abbas adalah palsu!!
Hadits Ketiga
Adapun hadits Al-Hasan bin Ali, hadits ini diriwayatkan oleh Yahya ibnul Ala’ dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin Ubaidillah dari Al-Hasan bin Ali, ia berkata: Bersabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Barang siapa yang dikaruniai seorang anak, lalu ia mengadzani pada telinga kanannya dan beriqomat pada telinga kirinya, niscaya anak itu tak akan dimudhorotkan/dibahayakan oleh Ummu Shibyan”. [HR. Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (6/390) , Ibnus Sunni dalam Amal Al-Yaum wa Al-Lailah (623). Hadits ini dibawakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma’’ (4/59) seraya berkata, “HR.Abu Ya’la(6780), di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama Marwan bin Salim Al-Ghifary, sedang ia itu matruk /ditinggalkan”.
Bahkan hadits Al-Husain bin Ali di atas adalah palsu, di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama Yahya Ibnul Ala’ dan Marwan bin Salim, keduanya memalsukan hadits sebagaimana hal ini disebutkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (321). Nah, Hadits Abu Rofi’ tetap kondisinya sebagai hadits dho’if sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafizh dalam At-Talkhish (4/149): “Inti permasalahannya pada Ashim bin Ubaidillah, sedang ia itu dho’if.
Dulu Syaikh Al-Albany meng-hasan-kan hadits ini dalam Shohih Sunan At-Tirmidzy (1224), Shohih Sunan Abu Dawud (4258), Al-Irwa’ (4/401), dan Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (1/493).
Namun belakangan Syaikh Al-Albany meralat peng-hasan-an beliau terhadap hadits Abu Rofi’ (hadits pertama) dalam Adh-Dho’ifah pada cetakan terakhir yang diterbitkan oleh Maktabah Al-Ma’arif (1/494/no.321), “Sekarang saya tegaskan –sekalipun kitab Asy-Syu’ab telah dicetak-, bahwa hadits Ibnu Abbas tidak cocok untuk dijadikan penguat (bagi hadits Abu Rofi’-pent.), karena di dalamnya terdapat rawi pendusta dan matruk (ditinggalkan). Saya amat heran terhadap Al-Baihaqy dan Ibnul Qoyyim, bagaimana keduanya cuma men-dho’if-kan hadits tersebut sehingga saya hampir memastikan cocoknya hadits itu dijadikan sebagai penguat. Makanya, sekarang aku pandang diantara kewajiban saya untuk mengingatkan hal itu dan mentakhrijnya pada pembahasan akan datang (no.6121)”.
Disana ada sebuah hadits yang diriwayatkan di dalam kitab “Manaqib Al-Imam Ali” (113) dari Ibnu Umar secara marfu’. Cuma sayangnya hadits ini lagi-lagi tidak bisa dijadikan penguat karena di dalamnya ada pendusta. Abu Ishaq Al-Huwainy berkata dalam Al-Insyirah (hal.96), “Kesimpulannya, tak ada satu haditspun menjadi penguat bagi hadits ini menurut yang saya ketahui, Wallahu a’lam”.
Jadi, tiga hadits di atas tidak boleh dijadikan hujjah dalam menetapkan sunnahnya meng-adzan-i, dan meng-iqomat-i telinga bayi yang baru lahir, karena kelemahan dan kepalsuannya.
Dikutip dari http://almakassari.com dari Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 02 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp). Judul asli: Adzan ditelinga bayi.

Beberapa Hadits-hadits Dho’if yang Terkenal (Masyur) di Masyarakat Kita



Hadits-hadits lemah (Dho’if) yang tersebar di kalangan kaum muslimin banyak sekali, namun mereka tak sadar bahwa hadits-hadits Dho’if bukanlah berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, oleh karena itu kita tidak boleh berhujjah dan beramal dengan hadits dhoif tersebut.
Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina
Hadits dho’if (lemah), apalagi palsu, tidak boleh dijadikan dalil, dan hujjah dalam menetapkan suatu aqidah, dan hukum syar’i di dalam Islam. Demikian pula, tidak boleh diyakini hadits tersebut sebagai sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
Diantara hadits-hadits dho’if ‘lemah’, hadits yang masyhur digunakan oleh para khatib, dan da’ii dalam mendorong manusia untuk menuntut ilmu dimana pun tempatnya, sekalipun jauhnya sampai ke negeri Tirai Bambu, Cina.
Hadits ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda,
اطلبوا العلم ولو بالصين
Tuntutlah ilmu, walaupun di negeri Cina”. [HR. Ibnu Addi dalam Al-Kamil (207/2), Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbihan (2/106), Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (9/364), Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhol (241/324), Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ (1/7-8), dan lainnya, semuanya dari jalur Al-Hasan bin ‘Athiyah, ia berkata, Abu ‘Atikah Thorif bin Sulaiman telah menceritakan kami dari Anas secara marfu’]
Ini adalah hadits dhaif jiddan (lemah sekali), bahkan sebagian ahli hadits menghukuminya sebagai hadits batil, tidak ada asalnya. Ibnul Jauziy –rahimahullah- berkata dalam Al-Maudhu’at (1/215) berkata, ‘’Ibnu Hibban berkata, hadits ini batil, tidak ada asalnya’’. Oleh karena ini, Syaikh Al-Albaniy –rahimahullah- menilai hadits ini sebagai hadits batil dan lemah dalam Adh-Dhaifah (416).
As-Suyuthiy dalam Al-La’ali’ Al-Mashnu’ah (1/193) menyebutkan dua jalur lain bagi hadits ini, barangkali bisa menguatkan hadits di atas. Ternyata, kedua jalur tersebut sama nasibnya dengan hadits di atas, bahkan lebih parah. Jalur yang pertama, terdapat seorang rawi pendusta, yaitu Ya’qub bin Ishaq Al-Asqalaniy. Jalur yang kedua, terdapat rawi yang suka memalsukan hadits, yaitu Al-Juwaibariy. Ringkasnya, hadits ini batil, tidak boleh diamalkan, dijadikan hujjah, dan diyakini sebagai sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Tuntutlah Duniamu
اِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا, وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا
Beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup akan selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”.
Ini bukanlah sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, walaupun masyhur di lisan kebanyakan muballigh di zaman ini. Mereka menyangka bahwa ini adalah sabda beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Sangkaan seperti ini tidaklah muncul dari mereka, kecuali karena kebodohan mereka tentang hadits. Di samping itu, mereka hanya “mencuri dengar” dari kebanyakan manusia, tanpa melihat sisi keabsahannya.
Hadits ini diriwayatkan dua sahabat. Namun kedua hadits tersebut lemah, karena di dalamnya terdapat inqitho’ (keterputusan) antara rawi dari sahabat dengan sahabat Abdullah bin Amer. Satunya lagi, Cuma disebutkan oleh Al-Qurthubiy, tanpa sanad. Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy men-dho’if-kan (melemahkan) hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (no. 8).
Surat Yasin Hatinya Al-Qur’an
Banyak hadits-hadits yang tersebar di kalangan masyarakat menjelaskan keutamaan-keutamaan sebagian surat-surat Al-Qur’an. Namun sayangnya, banyak di antara hadits itu yang lemah, bahkan palsu. Maka cobalah perhatikan hadits berikut:
إن لكل شيء قلبا, وإن قلب القرآن (يس) , من قرأها فكأنما قرأ القرآن عشر مرات
Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati, sedang hatinya Al-Qur’an adalah Surat Yasin. Barang siapa yang membacanya, maka seakan-akan ia telah membaca Al-Qua’an sebanyak 10 kali“. [HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (4/46), dan Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (2/456)]
Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat dua rawi hadits yang tertuduh dusta, yaitu: Harun Abu Muhammad, dan Muqotil bin Sulaiman. Karenanya, Ahli Hadits zaman ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- menggolongkannya sebagai hadits palsu dalam kitabnya As-Silsilah Adh-Dho’ifah (no.169).
Perselisihan Umatku adalah Rahmat
Sudah menjadi takdir Allah -Azza wa Jalla-, adanya perpecahan di dalam Islam dan memang hal tersebut telah disampaikan oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . Di negara kita sendiri, sekte-sekte dan aliran sesat yang menyandarkan diri kepada Islam sudah terlalu banyak. Apabila kita memperingatkan dan membantah kesesatan aliran-aliran tersebut, maka sebagian kaum muslimin membela aliran-aliran tersebut. Mereka berdalil dengan hadits berikut,
إِخْتِلَافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
Padahal hadits ini dho’if (palsu), bahkan tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits. Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata, “Hadits ini tak ada asalnya. Para ahli hadits telah mengerahkan tenaga untuk mendapatkan sanadnya, namun tak mampu”.
Dari segi makna, haditsjugabatil. Ibnu Hazm -rahimahullah- dalam Al-Ihkam (5/64) berkata, “Ini merupakan ucapan yang paling batil, karena andaikan ikhtilaf (perselisihan)itu rahmat, maka kesepakatan adalah kemurkaan. Karena, disana tak ada sesuatu, kecuali kesepakatan, dan perselihan; tak ada, kecuali rahmat atau kemurkaan“.
Barangsiapa Mengenal Dirinya, Dia Akan Mengenal Rabb-Nya
Di sani ada sebuah hadits yang palsu, dan tidak ada asalnya, namun sering digunakan oleh sebagian orang sufi untuk menguatkan kesesatan mereka. Hadits itu berbunyi,
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبّـَهُ
Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka sungguh dia akan mengenal Rabb (Tuhan)-Nya”.
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- dalam Adh-Dha’ifah (1/165) berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya” [Adh-Dha’ifah (1/165)]. An-Nawawiy berkata, “Hadits ini tidak tsabit (tidak shahih)” [Al-Maqashid (198) oleh As-Sakhowiy].
As-Suyuthiy berkata, “Hadits ini tidak shahih” [Lihat Al-Qoul Asybah (2/351 Al-Hawi)].
Ringkasnya, hadits ini merupakan hadits palsu yang tidak ada asalnya. Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh mengamalkannya, dan meyakininya sebagai sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Keutamaan Menamatkan Al-Quran
Membaca Al-Qur’an, apalagi menamatkannya merupakan keutamaan besar bagi seorang hamba, karena setiap hurufnya diberi pahala oleh Allah -Ta’ala- . keutamaan tersebut telah dijelaskan dalam beberapa hadits, tapi bukan hadits berikut, karena haditsnya palsu. Bunyi hadits palsu ini:
إِذَا خَتَمَ الْعَبْدُ الْقُرْآنَ صَلَّى عَلَيْهِ عِنْدَ خَتْمِهِ سِتُّوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ
Jika seorang hamba telah menamatkan Al Qur’an, maka akan bershalawat kepadanya 60.000 malaikat ketika ia menamatkannya” . [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/112)].
Hadits ini palsu disebabkan oleh rawi yang bernama Al-Hasan bin Ali bin Zakariyya, dan Abdullah bin Sam’an. Kedua orang ini adalah pendusta, biasa memalsukan hadits. Syaikh Al-Albaniy menyatakan kepalsuan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2550).
Macam-macam Wanita
Di dunia ini wanita ini bermacam-macam jenisnya. Ada yang seperti kantong plastik, setelah dimamfaatkan dibuang. Ada juga yang sama sekali tidak ada mamfaatnya, bahkan merusak yang lain. Namun yang terbaik adalah wanita yang banyak memberi mamfaat bagi dirinya, dan orang lain, terutama suami. Dia membantu diri dan suaminya di atas ketaatan. Konon kabarnya nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
النِّسَاءُ عَلَى ثَََََلَاثَةِ أَصْنَافٍ صِنْفٍ كاَلْوِعَاءِ تَحْمِلُ وَتَضَعُ وَصِنْفٍ كَالْعَرِّ وَهُوَ الْجَرَبُ وَصِنْفٍ وَدُوْدٍ وَلُوْدٍ تُعِيْنُ زَوْجَهَا عَلَى إِيْمَانِهِ فَهِيَ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الْكَنْزِ
Wanita-wanita itu ada tiga macam: kelompok wanita seperti bejana, ia hamil dan melahirkan; kelompok wanita seperti koreng – yaitu kudis- ; kelompok wanita yang amat penyayang, dan banyak melahirkan, serta membantu suaminya di atas keimanannya. Wanita ini lebih baik bagi suaminya dibandingkan harta simpanan“. [HR.Tamam Ar-Raziy dalam Al-Fawa’id (206/2)].
Namun sayangnya hadits ini adalah hadits dho’if mungkar, karena ada seorang rawi yang bernama Abdullah bin Dinar. Dia adalah seorang rawi yang mungkar haditsnya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu abi Hatim dalam Al-Ilal (2/310). Jadi, hadits ini tidak boleh dianggap sebagai sabda nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . karenanya, Syaikh Al-Albaniy memasukkan hadits ini dalam silsilah hadits dhoi’f dalam Adh-Dho’ifah (714).
Memandang Wanita Cantik
Dan mungkin juga ada di antara kaum muslimin yang sering sekali memandang setiap wanita yang cantik dengan tujuan mempertajam penglihatannya, beramal dengan hadits berikut;
النََّظَرُ إِلىَ وَجْهِ المَرْأَةِ الحَسْنَاءِ وَالخُضْرَةِ يَزِيْدَانِ فِيْ البَصَرِ
Memandang wajah wanita cantik dan yang hijau-hijau menambah ketajaman penglihatan” .[HR. Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Auliya’ (3/201-202), dan Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (4/106)]
Memiliki pandangan yang tajam dan penglihatan yang jernih merupakan nikmat yang besar dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga terkadang seseorang menempuh berbagai cara untuk memperoleh penglihatan yang tajam. Dan mungkin juga ada di antara kaum muslimin yang sering sekali memandang setiap wanita yang cantik dengan tujuan mempertajam penglihatannya, beramal dengan hadits berikut;
النََّظَرُ إِلىَ وَجْهِ المَرْأَةِ الحَسْنَاءِ وَالخُضْرَةِ يَزِيْدَانِ فِيْ البَصَرِ
Memandang wajah wanita cantik dan yang hijau-hijau menambah ketajaman penglihatan” .[HR. Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Auliya’ (3/201-202), dan Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (4/106)]
Hadits ini maudhu’ (palsu), karena dalamnya ada rawi yang dho’if, dan tidak ditemukan ada seorang ahli hadits yang menyebutkan biografinya. Rawi itu ialah Ibrahim bin Habib bin Sallam Al-Makkiy. Karenanya, Adz-Dzahabiy berkata, “Hadits batil”. Ibnul Qoyyim dalam Al-Manar Al-Munif berkata, “Hadits ini dan semisalnya adalah buatan orang-orang zindiq (munafiq)” [Lihat Adh-Dho’ifah (133)]
Menjaga Mata ketika Jima’ (Bersetubuh)
Melihat kemaluan istri ketika berhubungan adalah boleh berdasarkan hadits-hadits shahih. Adapun hadits yang berbunyi:
إِذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ زَوْجَتَهُ أَوْ جَاِريَتَهُ فَلَا يَنْظُرْ إِلَى فَرْجِهَا فَإِنَّ ذَلِكَ يُوْرِثُ الْعَمَى
Apabila seorang diantara kalian berhubungan dengan istrinya atau budaknya, maka janganlah ia melihat kepada kemaluannya, karena hal itu akan mewariskan kebutaan“. [HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil (2/75)].
Maka hadits ini adalah palsu karena dalam sanadnya terdapat Baqiyah ibnul Walid. Dia adalah seorang mudallis yang biasa meriwayatkan dari orang-orang pendusta sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Hibban. Lihat Adh-Dho’ifah (195)
Merayu Istri
Bercumbu dan merayu istri adalah perkara yang dianjurkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Namun jangan kalian tertipu dengan hadits palsu berikut ini:
زينوا مجالس نسائكم بالمغزل
Hiasilah majelis istri-istri kalian dengan rayuan“. [HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil fi Adh-Dhu’afaa’ (6/130), dan Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (5/280)]
Hadits ini palsu, karena dalam rawi hadits ini terdapat Muhammad bin Ziyad Al-Yasykuriy. Dia seorang pendusta lagi suka memalsukan hadits. Lihat Adh-Dho’ifah (1/72/no.19) karya Al-Albaniy -rahimahullah-.
Perbanyak Dzikir Sampai Dianggap Gila
Di antara kebiasaan orang-orang sufi, mereka berdzikir dengan cara melampaui batas syariat Islam, yaitu berdzikir dengan bilangan yang memberatkan diri seperti berdzikir sebanyak 70 ribu kali, 100 ribu kali. Padahal, maksimal dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sebanyak 100 kali dalam dzikir-dzikir tertentu, bukan pada semua jenis dzikir.
Mereka membebani diri seperti ini, karena mendengar hadits berikut:
أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِاللهِ حَتى يَقُوْلُوْا مَجْنُوْنٌ
Perbanyaklah dzikir sehingga orang-orang berkata, engkau gila”. [HR. Ahmad (3/68), Al-Hakim (1/499), dan Ibnu Asakir (6/29/2)]
Hadits ini lemah karena diriwayatkan oleh Darraj Abu Samhi. Dia lemah riwayatnya yang berasal dari Abul Haitsam. Di-dho’if-kan oleh syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (no. 517) (2/9).
Barang Siapa Dunia adalah Cita-Citanya
Banyak hadits lemah dan palsu yang tersebar di masyarakat melalui lisan para khatib yang memiliki ilmu agama (khususnya ilmu hadits) sehingga banyak di antara masyarakat tertipu dan menyangkanya sebagai sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- .
Dia ntara hadits tersebut :
مَنْ أَصْبَحَ وَالدُّنْيِا أَكْثَرُ هَمِّهِ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فَيْ شَيْءٍ وَمَنْ لَمْ يَتَّقِ اللهَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِيْ شَيْءٍ وَمَنْ لَمْ يَهْتَمَّ لِلْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً فَلَيْسَ مِنْهُمْ
Barang siapa yang berada di waktu pagi, sedang dunia adalah cita-citanya yang terbesar, maka ia tidak akan berada dalam suatu (jaminan) dari Allah sedikit pun. Barang siapa yang tidak bertaqwa kepada Allah, maka ia tidak akan berada dalam suatu (jaminan) dari Allah sedikit pun. Barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin seluruhnya, maka ia bukan termasuk di antara mereka“. [HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/317) Al-Khatib dengan penggalan pertama dari hadits ini dalam Tarikh Bagdad (9/373)].
Hadits ini palsu, karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang tertuduh dusta, yaitu Ishaq bin Bisya. Hadits ini memiliki jalur periwayatan lain, namun ia tidak bisa menguatkan hadits di atas, karena kelemahannya tidak jauh beda dengannya. Oleh karenanya, Al-Albany menyatakan hadits ini palsu dalam Adh-Dha’ifah (309)
Sebab Kacaunya Bacaan Imam
Seorang imam terkadang salah dalam bacaannya. Jika ia salah, maka muncullah beberapa persangkaan yang buruk. Ada diantara mereka berpendapat bahwa kacaunya bacaan imam disebabkan adanya diantara jama’ah yang tak beres melaksanakan wudhu’ atau mandi junub. Ini didasari oleh hadits palsu yang bukan hujjah,seperti hadits yang berbunyi:
إِذَا صَلَّيْتُمْ خَلْفَ أَئِمَّتِكُمْ فَأَحْسِنُوْا
طُهُوْرَكُمْ فَإِنَّمَا يَرْتَجُّ عَلَى الْقَارِىءِ قِرَاءَتُهُ
بِسُوْءِ طُهْرِ الْمُصَلِّي خَلْفَهُ
Jika kalian sholat di belakang imam kalian, perbaikilah wudhu’ kalian, karena kacaunya bacaan imam bagi imam disebabkan oleh jeleknya wudhu’ orang yang ada di belakang imam“. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/63)]
Hadits ini palsu, sebab di dalamnya terdapat rowi yang majhul, seperti Abdullah bin Aun bin Mihroz, Abdullah bin Maimun. Rowi lain, Muhammad bin Al-Furrukhon, ia seorang yang tak tsiqoh. Dari sisi lain, sudah dimaklumi bahwa jika Ad-Dailamiy bersendirian dalam meriwayatkan hadits dalam kitabnya Musnad Al-Firdaus, maka hadits itu palsu. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy menyatakan palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2629).
Mengusap Kedua Kelopak Mata dengan Kedua Ibu Jari
Ada di antara kaum muslimin, biasa melakukan amalan yang terkadang tidak diketahui dasarnya. Setelah mengadakan pemeriksaan terhadap kitab-kitab hadits, ternyata berdasarkan hadits lemah, palsu, bahkan terkadang tidak ada dalilnya!!
Di antara amalan mereka ini yang tidak berdasar, yaitu mengusap kedua kelopak mata dengan kedua ibu jari. Mereka hanya berdasarkan hadits palsu yang dinisbahkan kepada Nabi Khidir.
Konon kabarnya Nabi Khidir -‘alaihis salam- berkata, “Barangsiapa yang mengucapkan selamat datang kekasihku dan penyejuk mataku, Muhammad bin Abdullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, kemudia ia mencium kedua ibu jarinya, dan meletakkannya pada kedua matanya, ketika ia mendengar muadzdzin berkata,
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً رَسُوْلُ اللهِ
Maka ia tidak sakit mata selamanya” [HR. Abul Abbas Ahmad bin Abu Bakr Ar-Raddad Al-Yamaniy dalam Mujibat Ar-Rahmah wa ‘Aza’im Al-Maghfirah dengan sanad yang terdapat di dalamnya beberapa orang majhul (tidak dikenal), disamping terputus sanadnya. Karenanya Syaikh Al-Albaniy melemahkan hadits ini dalam Adh-Dha’ifah (1/173) dari riwayat Ad-Dailamy dan Syaikh Masyhur Alu Salman dalam Al-Qoul Al-Mubin (hal.182)]
Keutamaan Memakai Sorban Ketika Sholat
Memakai sorban adalah sunnah dan ciri khas kaum muslimin, baik dalam sholat maupun di luar sholat, sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa hadits. Namun, tak ada satu hadits pun yang menjelaskan keutamaan tertentu memakai sorban saat sholat, kecuali haditsnya lemah atau palsu, seperti hadits berikut:
رَكْعَتَانِِ بِعِمَامَةٍ خَيْرٌ مِنْ سَبْعِيْنَ رَكْعَةً بَلَا عِمَامَةٍ
Sholat dua raka’at dengan memakai sorban lebih baik dibandingkan sholat 70 raka’at, tanpa sorban“. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus sebagaimana yang disebutkan oleh As-Suyuthiy dalam Al-Jami’ Ash-Shoghir ()]
Hadits ini maudhu’ (palsu), sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (128), “Hadits ini palsu”. Selanjutnya, beliau juga komentari ulang hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (5699).
Sujud Menyentuh Tanah
Seorang ketika sujud dalam sholat, boleh ia memakai alas. Menyentuhkan telapak tangan, dahi, dan anggota sujud lainnya ke tanah, ini tak ada keutamaan tertentu baginya. Adapun hadits berikut:
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيُبَاشِرْ بِكَفَّيْهِ الْأَرْضَ عَسَى اللهُ أَنْ يَفُكَّ عَنْهُ الْغُلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Jika seorang diantara kalian bersujud, maka hendaknya ia menyentuhkan kedua telapak tangannya ke tanah, semoga Allah melepaskan belenggu darinya pada hari kiamat“. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (6/58), cet. Dar Al-Haromain]
Hadits ini adalah dho’if (lemah), tak bisa dijadikan hujjah, karena di dalamnya ada rowi bermasalah: Ubaid bin Muhammad, seorang rowi yang memiliki hadits-hadits munkar [Lihat Al-Majma’ (2/311/no.2764)].Sebab inilah, Syaikh Al-Albaniy menggolongkan hadits ini lemah dalam Adh-Dho’ifah (2624)
Jangan Shalat, Jangan Bicara
Jika khatib telah berada di atas mimbar dan muadzin berkumandang, maka seorang yang melaksanakan shalat tahiyyatul masjid atau shalat sunat muthlaq, ia terus dalam shalatnya, tanpa harus membatalkan shalatnya berdasarkan hadits-hadits yang shahih. Bahkan ia boleh berbicara dengan temannya dalam kondisi itu, jika ada hajat mendesak. Adapun hadits di bawah ini yang menjelaskan tentang tidak bolehnya shalat dan bicara dalam kondisi tersebut maka hadits ini batil. Berikut perinciannya:
إِذَا صَعِدَ الْخَطِيْبُ الْمِنْبَرَ ؛ فَلاَ صَلَاةَ وَلَا كَلاَمَ
Apabila khatib sudah naik mimbar, maka tidak ada lagi shalat dan tidak ada lagi ucapan.”
Hadits ini batil karena tidak ada asalnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (87). Namun perlu diketahui bahwa jika adzan sudah selesai ketika khatib berada di atas mimbar siap untuk berkhutbah, maka seorang tidak boleh lagi berbicara dan melakukan aktifitas apapun selain shalat tahiyatul masjid agar seluruh jama’ah memfokuskan diri untuk mendengarkan khutbah.
Berdzikir dengan Tasbih
Sebaik-baik pengingat adalah alat tasbih. Sesungguhnya sesuatu yang paling afdhol untuk ditempati bersujud adalah tanah dan sesuatu yang ditumbuhkan oleh tanah“. [HR.Ad-Dailamiy (4/98- sebagaimana dalam Mukhtashar-nya)]
Berdzikir adalah ibadah yang harus didasari dengan keikhlasan dan mutaba’ah (keteladanan) kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . karenanya seorang tidak dianjurkan menggunakan alat tasbih ketika ia berdzikir sebab tidak ada contohnya dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berdzikir dengannya, tapi beliau hanya berdzikir dengan jari-jemarinya. Adapun hadits berikut, maka ia adalah hadits palsu, tidak boleh dijadikan hujjah dalam menetapkan sunnahnya berdzikir dengan alat tasbih
نِعْمَ الْمُذَكِّرُ السُّبْحَةُ وَإِنَّ
أَفْضَلَ مَا يُسْجَدُ عَلَيْهِ الْأَرْضُ وَمَا أَنْبَتَتْهُ الْأَرْضُ
Sebaik-baik pengingat adalah alat tasbih. Sesungguhnya sesuatu yang paling afdhol untuk ditempati bersujud adalah tanah dan sesuatu yang ditumbuhkan oleh tanah“. [HR.Ad-Dailamiy (4/98- sebagaimana dalam Mukhtashar-nya)]
Hadits ini adalah hadits yang palsu sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (83), karena adanya rawi-rawi yang majhul. Selain itu hadits ini secara makna adalah batil, sebab tasbih tidak ada di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Menuntut Ilmu di Masa Muda
Keutamaan menuntut ilmu sangat banyak disebutkan dalam ayat-ayat maupun hadits-hadits shahih. Bahkan sampai di dalam hadits yang dho’if dan palsu, seperti berikut,
أَيُّمَا نَاشِئٍ نَشَأَ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ وَالْعِبَادَةِ حَتَّى يَكْبُرَ وَهُوَ عَلَى ذَلِكَ أَعْطَاهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوَابَ اثْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ صِدِّيْقًا
Anak muda mana pun yang tumbuh dalam menuntut ilmu, dan ibadah sampai ia menjadi tua, sedangkan dia masih tetap di atas hal itu, maka Allah akan memberikannya pada hari kiamat pahala 72 orang shiddiqin“. [HR.Tamam Ar-Raziy dalam Al-Fawaid (2428), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Al-Ilm (1/82)].
Namun hadits ini derajatnya adalah dho’if jiddan (lemah sekali), bahkan boleh jadi hadits ini palsu, karena di dalamnya ada rawi yang bernama Yusuf bin Athiyyah. Dia adalah seorang yang mungkarul hadits. Bahkan An-Nasa’iy menilainya matruk (ditinggalkan karena biasa berdusta atas nama manusia). Karenanya Syaikh Al-Albaniy menghukumi hadits ini dho’if jiddan dalam Adh-Dho’ifah (700).
Bersedihlah Ketika Membaca Al-Qur’an!
Ketika membaca Al-Qur’an memang kita dianjurkan untuk bersedih sebagai hasil renungan dan tadabbur makna-makna ayat sebagaimana yang dijelaskan dalam sunnah. Adapun hadits di bawah ini, sekalipun sebagian maknanya benar, namun ia bukan hujjah dalam hal ini, karena kelemahan hadits ini. Nash haditsnya:
اِقْرَؤُوْا الْقُرْآنَ بِحُزْنٍ فَإِنَّهُ نَزَلَ بِالْحُزْنِ
Bacalah Al-Qur’an dengan perasaan sedih, karena dia turun dengan kesedihan“. [HR. Al-Khollal dalam Al-Amr Bil Ma’ruf (20/2) dan Abu Sa’id Al-A’robiy dalam Mu’jam-nya (124/1)].
Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Uwain bin Amr Al-Qoisiy, dia adalah seorang yang mungkarul hadits lagi majhul menurut Al-Bukhariy. Selain itu juga ada rawi yang bernama Ismail bin Saif, dia adalah seorang yang biasa mencuri hadits, dan meriwatkan hadits yang lemah dari orang-orang yang tsiqoh. Tak heran jika Al-Albaniy menyatakan hadits ini dho’if jiddan (lemah sekali) dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (2523).
Kekasih Allah
Orang yang bertaubat dari dosa-dosanya adalah orang yang terpuji di sisi Allah berdasarkan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun hadits berikut ini, maka dia adalah hadits yang palsu, tidak ada asalnya:
التَّائِبُ حَبِيْبُ اللهِ
Orang yang bertaubat adalah kekasih Allah.”
Hadits ini adalah hadits yang bukan berasal dari nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . tak ada seorang imam ahlul hadits yang meriwayatkan hadits ini dalam kitab-kitab mereka. Hadits ini hanyalah disebutkan oleh Al-Ghazaliy dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin (4/434) dengan menyandarkannya kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , padahal hadits ini adalah hadits palsu, tidak ada asalnya! Lihat penjelasan palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (95) karya Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy
Ikhlas 40 Hari
Ikhlash adalah sifat orang mukmin. Keutamaan ikhlash telah dimaklumi baik dalam hadits yang shohih, maupun hadits yang lemah. Namun kita tak butuh kepada hadits dho’if seperti di bawah ini, karena itu bukan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Konon kabarnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
من أخلص لله أريعين يوما ظهرت ينابيع الحكمة على لسانه
Barang siapa yang ikhlash karena Allah selama 40 hari, niscaya akan muncul mata air hikmah pada lisannya“. [HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/189)]
Hadits ini dho’if (lemah), karena terdapat inqitho’ (keterputusan) antara Makhul dengan Abu Ayyub Al-Anshoriy. Selain itu, Hajjaj bin Arthoh, rawi dari Makhul adalah seorang mudallis, dan ia meriwayatkannya secara mu’an’anah. Sedang seorang mudallis jika meriwayatkan hadits secara mu’an’anah (dengan memakai kata “dari”), maka haditsnya dho’if (lemah). Tak heran jika Syaikh Al-Albaniy melemahkannya dalam Adh-Dho’ifah (38)
Dunia dan Hakikatnya
Banyak sekali hadits-hadits palsu yang beredar di masyarakat. Ada yang keliru maknanya, dan ada yang bagus maknanya, seperti hadits ini:
أََََوْحَى اللهُ إِلَى الدُّنْيَا أَنِ اخْدِمِيْ مَنْ خَدَمَنِيْ وَأَتْعِبِيْ مَنْ خَدَمَكِ
Allah wahyukan kepada dunia, “Layanilah orang yang melayani-Ku, dan capekkanlah orang yang melayanimu“. [HR. Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (8/44), dan Al-Hakim dalam Ma’rifah Ulum Al-Hadits (hal.101)]
Hadits ini palsu, karena Al-Husain bin DawudAl-Balkhiy yang banyak meriwayatkan naskah hadits palsu dari Yazid bin Harun. Karena itu, Al-Albaniy menyebutkan hadits ini dalam deretan hadits-hadits palsu dalam Adh-Dho’ifah
Hak Anak atas Orang Tua
Seyogyanya orang tua memilihkan nama yang baik untuk anaknya, dan mendidik akhlaknya sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi -Shollallahu‘alaihi wasallam- danpara sahabatnya. Adapun hadits yang berbunyi :
حَقُّ الْوَلَدِ عَلَى الْوَالِدِ أَنْ يُحَسِّنَ اسْمَهَ وَيُحَسِّنَ أَدَبَهُ
Hak seorang anak atas orang tuanya, orang tua memperbaiki nama anaknya, dan akhlaknya“. [HR. Abu Muhammad As-Siroj Al-Qoriy dalam Al-Fawaid (5/32/1-kumpulan 98), dan lainnya].
Maka hadits ini palsu, karena ada dua orang rawi : Muhammad Al-Fadhl adalah seorang pendusta, dan Muhammad bin Isa adalah orangnya matruk (ditinggalkan). Karenanya Al-Albaniy mencantumkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (199)
Jum’at Hajinya Orang Fakir
Ibadah haji adalah ibadah yang dicita-citakan oleh setiap orang sehingga setiap orang berusaha mengumpulkan harta demi ibadah itu. Namun sebagian diantara manusia ada yang tidak sempat melaksanakannya sehingga ia bersedih. Tapi kesedihan itu hilang karena ia mendengarkan sebuah hadits berikut :
الدَّجَاجُ غَنَمُ فٌقَرَاءِ أُمَّتِيْ وَاْلجُمُعَةُ حَجُّ فُقَرَائِهَا
Ayam adalah kambingnya orang fakir dari kalangan umatku, dan shalat jum’at hajinya orang fakir mereka” .[HR. Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin (3/90)]
Tapi ternyata sayangnya hadits ini palsu sehingga seorang muslim tidak boleh meyakini dan mengamalkannya. Dia palsu karena ada seorang rawi yang bernama Abdullah bin Zaid An-Naisaburiy. Dia adalah seorang pendusta yang suka memalsukan hadits. Lihat Adh-Dho’ifah (192)
Nabi Ilyas dan Khidir Bersaudara Kandung
Ketika seseorang membaca kisah para nabi di luar Al-Qur’an, maka seorang harus berhati-hati, karena di sana banyak hadits-hadits yang lemah, bahkan palsu yang berbicara tentang kehidupan para nabi. Oleh karena itu seorang harus yakin betul bahwa hadits ini shahih berdasarkan keterangan para ulama, baru setelah itu dia yakini. Diantara hadits lemah yang menyebutkan kisah para nabi, hadits berikut ini:
إِلْيَاسُ وَالخَضِرُ أَخَوَانِ أَبُوْهُمَا مِنَ الفُرْسِ وَأُمُّهُمَا مِنَ الرُّوْمَ
Nabi Ilyas dan Khidir adalah dua orang bersaudara. Bapak mereka dari Persia, dan ibunya dari Romawi“. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/2/124)]
Hadits ini palsu, karena ada dua orang rawi bermasalah dalam memalsukan hadits, yaitu Ahmad bin Ghalib, dan Abdur Rahman bin Muhammad Al-Yahmadiy. Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy menyatakan hadits ini palsu dalam Adh-Dho’ifah (2257).
Penduduk Surga
Banyak sekali hadits-hadits palsu yang beredar di masyarakat. Terkadang maknanya lurus, namun terkadang juga menggelitik orang seperti hadits palsu berikut:
أَهْلُ الْجَنَّةِ جَرَدٌ إِلَّا مُوْسَى بْنَ عِمْرَانَ فَإِنَّ لَهُ لِحْيَةً إِلَى سُرَّتِهِ
Penduduk surga adalah belalang, kecuali Musa bin Imron, karena dia memiliki jenggot sampai ke pusarnya“.[HR.Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu’afaa’ (185), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (4/48), dan Ar-Raziy dalam Al-Fawa’id (6/111/1)].
Hadits ini adalah hadits batil yang palsu. Dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang suka memalsukan hadits, yaitu Syaikhnya Ibnu Abi Kholid Al-Bashriy. Maka tak heran apabila syaikh Al-Albaniy mencantumkan hadits ini dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (704).
Amalan Sedikit, tapi Bermanfaat
Bermalas malasan dalam beribadah sudah menjadi kebiasaan sebagian kaum muslimin. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut diantaranya rasa takutnya kepada Allah masih kurang, keimanan terhadap Hari Pembalasan masih minim, dan ada juga yang malas karena mungkin beramal dengan hadits di bawah ini.
قَلِيْلُ العَمَلِ ينَْفَعُ مَعَ العِلْمِ، وَكَثيِْرُ العَمَلِ لَايَنْفَعُ مَعَ الجَهْلِ
Amalan yang sedikit akan bermanfaat, jika disertai oleh ilmu; dan amalan yang banyak tidak akan bermanfaat, jika disertai kejahilan“. [HR. Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al-’Ilm wa Fadhlih (1/145)]
Hadits ini dhoif, bahkan palsu, disebabkan adanya 3 rawi: [1] Muhammad bin Rauh bin ‘Imran Al-Qutairiy (orangnya lemah), [2] Mu’ammal bin Abdur Rahman Ats-Tsaqofiy (orang dho’if). Ibnu Adi berkata,”Dominan haditsnya tidak terpelihara”; [3] Abbad bin Abdush Shomad. Ibnu Hibban berkata, “…Abbad bin Abdush Shomad menceritakan kami dari Anas tentang suatu naskah hadits, seluruhnya maudhu’ (palsu)”.Al-Albaniy berkata, “Hadits ini Palsu” [lihat Adh-Dho’ifah (369)]
Kencing di Lubang
Kencing di lubang adalah perkara yang boleh, kecuali jika di dalamnya ada makhluk seperti semut, maka hendaknya kita jangan kencing di tempat itu demi menyayangi makhluk Allah yang kecil ini. Adapun hadits yang berikut, maka haditsnya dho’if:
Abdullah bin Sarjis -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِيْ الْجُحْرِ
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melarang kencing di lubang“. [HR. Abu Dawud (29), dan An-Nasa’iy (34)].
Hadits ini adalah hadits yang lemah, karena adanya keterputusan antara Qotadah dan Abdullah bin Sarjis -radhiyallahu ‘anhu- . selain itu, Qotadah juga adalah seorang yang mudallis. Tak heran jika Syaikh Al-Albaniy men-dho’ifkan hadits ini dalam Al-Irwa’ (55)
Solusi Terakhir ….
Talaq adalah solusi terakhir ketika terjadi cekcok yang parah antara suami-istri setelah melalui proses yang panjang berupa nasihat, dan usaha perbaikan lainnya. Jadi talaq adalah perkara yang halal yang tidak dibenci oleh Allah, jika dilakukan pada tempatnya. Adapun hadits yang menjelaskan bahwa talaq adalah perkara yang dibenci dalam segala hal, maka haditsnya dho’if sebagaimana perinciannya berikut ini:
أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ الطَّلَاقُ
Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah -Azza wa Jalla- adalah talaq“. [HR. Abu Dawud (2178) dan Ibnu Majah (2018)]
Hadits ini adalah hadits yang mudhtharib (goncang) sanadnya sebagaimana yang anda bisa lihat penjelasannya dalam Al-Irwa’ (2040) karya Syaikh Al-Albaniy.
Do’a Keluar WC
Ada sebuah hadits yang menyebutkan do’a keluar WC. Do’a ini banyak disebarkan dan dimasyurkan di TPA dan TQA. Ternyata haditsnya lemah sebagaimana dalam penjelasan berikut ini:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَذْهَبَ عَنِّيَ الْأَذَى وَعَافَانِيْ
Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dariku gangguan (kotoran) ini, dan telah menyehatkan aku”. [HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (301)]
Hadits ini adalah hadits yang dho’if, karena dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Ismail bin Muslim Al-Makkiy. Dia adalah seorang yang lemah haditsnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Hafizh dalam At-Taqrib. Hadits ini memiliki syahid dari riwayat Ibnu Sunniy dalam Amal Al-Yaum wal Lailah (29). Namun hadits ini juga lemah, karena ada seorang yang majhul dalam sanadnya, yaitu Al-Faidh. Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa’ (53).
Ketentuan dan Taqdir Allah
Ketentuan dan taqdir Allah adalah perkara ghaib yang tidak boleh ditetapkan dengan hadits lemah, apalagi palsu, seperti hadits ini:
إِذَا أَرَادَ اللهُ إِنْفَاذَ قَضَائِهِ وَقَدَرِهِ ؛ سَلَبَ ذَوَيْ الْعُقُوْلِ عُقُوْلَهُمْ حَتَّى يُنْفِذَ فِيْهِمْ قَضَاءَهُ وَقَدَرَهُ
Apabila Allah ingin melaksanakan ketentuan, dan taqdir-Nya, maka Allah akan menarik (menghilangkan) akalnya orang-orang yang memiliki pikiran sehingga Allah melaksanakan ketentuan, dan taqdir-Nya pada mereka“. [HR. Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (14/99), Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/100), dari jalur Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbihan (2/332)]
Hadits ini lemah, bahkan boleh jadi palsu , karena rowi yang bernama Lahiq bin Al-Husain. Sebagian ahlul hadits menuduhnya pendusta, dan suka memalsukan hadits. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy memasukkannya dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (2215)
Taubat yang Benar
Seorang ketika telah bertaubat dari suatu dosa, hendaknya ia berusaha dengan sekuat tenaga meninggalkan dosa itu sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama’ kita. Adapun hadits berikut, maka ia adalah hadits dho’if (lemah):
التَّوْبَةُ مِنَ الذَّنْبِ أَنْ لَا تَعُوْدَ إِلَيْهِ أَبَدًا
Taubat dari dosa, engkau tidak kembali kepadanya selama-lamanya“. [HR. Abul Qosim Al-Hurfiy dalam Asyr Majalis min Al-Amali (230), dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (7036)]
Hadits ini lemah , karena dalam sanadnya terdapat rowi yang bernama Ibrahim bin Muslim Al-Hijriy; dia adalah seorang yang layyinul hadits (lembek haditsnya). Selain itu, juga ada Bakr bin Khunais, seorang yang shoduq (jujur), tapi memiliki beberapa kesalahan. Karenanya Syaikh Al-Albaniy melemahkannya dalam Adh-Dho’ifah (2233)
Adam Turun di India
Dalam kisah-kisah para naib dan rasul, disebutkan kisah masyhur bahwa Adam turun di negeri India, berdasarkan hadits yang lemah berikut ini,
نَزَلَ آدَمُ بِالْهِنْدِ وَاسْتَوْحَشَ فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ فَنَادَى بِالْأَذَانِ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مَرَّتَيْنِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ مَرَّتَيْنِ قَالَ آدَمُ مَنْ مُحَمَّدٌ قَالَ آخِرُ وَلَدِكَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ
Nabi Adam turun di India, dan beliau merasa asing. Maka turunlah Jibril seraya mengumandangkan adzan, “Allahu Akbar, Asyhadu Alla Ilaha illallah (dua kali), asyhadu anna Muhammdan rasulullah (dua kali). Adam bertanya, “Siapakah Muhammad itu?” Jibril menjawab, “Cucumu yang paling terakhir dari kalangan nabi“.”. [HR.Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (2/323/2)]
Hadits ini dho’if (lemah), atau palsu, karena ada seorang rawi dalam sanadnya yang bernama Muhammad bin Abdillah bin Sulaiman. Orang yang bernama seperti ini ada dua; yang pertama dipanggil Al-Kufiy, orangnya majhul (tidak dikenal), sedang orang yang seperti ini haditsnya lemah. Yang satunya lagi, dikenal dengan Al-Khurasaniy. Orang ini tertuduh dusta. Jika dia yang terdapat dalam sanad ini, maka hadits ini palsu. Hadits ini di-dho’if-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (403).
Bagi-bagi Kejelekan
Mengangkat dan merendahkan derajat suatu bangsa harus didasari oleh dalil dari Al-Qur’an dan sunnah. Adapun hadits di bawah, maka tidak boleh dijadikan dalil dalam merendahkan suku Barbar, karena kelemahan hadits ini:
الْخُبْثُ سَبْعُوْنَ جُزْءًا فَجُزْءٌُ فِيْ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَتِسْعٌ وَسِتُّوْنَ فِيْ الْبَرْبَرِ
Kejelekan ada 70 bagian; satu bagian pada jin dan manusia, dan 69 bagian pada orang-orang Barbar” . [HR. Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (2/489), Ath-Thobraniy dalam Al-Ausath (8672), dan Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah].
Mengangkat dan merendahkan derajat suatu bangsa harus didasari oleh dalil dari Al-Qur’an dan
Hadits ini adalah hadits yang lemah menurut penilaian Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam As-SilsilahAdh-Dho’ifah (2535), karena dalam hadits ini terdapat dua penyakit: Inqitho’ (keterputusan) antara Yazid bin Abi Habib dengan Abu Qois, dan terjadinya idhthirob (kesimpangsiuran) dari sisi sanad akibat kelemahan seorang rawi yang bernama Abu Sholih (dikenal dengan Katib Al-Laits).
Kisah Nabi Idris bersama Malaikat Maut
Disana ada sebuah kisah palsu yang dinisbahkan secara dusta kepada Nabi Idris -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . Saking masyhurnya kisah ini, banyak penulis, dan majalah yang menukilnya, seperti kami pernah temukan dalam Majalah “Anak Shaleh”. Bunyi hadits itu:
إِنَّ إِدْرِيْسَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ صَدِيْقًا لِمَلَكِ الْمَوْتِ. فَسَأَلَهُ أَن يُرِيَهُ الْجَنَّةَ وَ النَّارَ, فَصَعَدَ إِدْرِيْسُ فَأَرَاهُ النَّارَ فَفَزِعَ مِنْهَا وَكَادَ يُغْشَى عَلَيْهِ, فَالْتَفَّ عَلَيْهِ مَلَكُ الْمَوْتِ بِجَنَاحِهِ, فَقَالَ مَلَكُ الْمَوْتِ: أَلَيْسَ قَدْ رَأَيْتَهَا؟ قَالَ: بَلىَ, وَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ قَطُّ. ثُمَّ انْطَلَقَ بِهِ حَتَّى أَرَاهُ الْجَنَّةَ, فَدَخَلَهَا, فَقَالَ مَلَكُ الْمَوْتِ: انْطَلِقْ قَدْ رَأَيْتَهَا. قَالَ إِلَى أَيْنَ؟ قَالَ مَلَكُ الْمَوْتِ: حَيْثُ كُنْتَ. قَالَ إِدْرِيْسُ: لَا وَاللهِ ! لَا أَخْرُجُ مِنْهَا بَعْدَ أَنْ دَخَلْتُهَا. فَقِيْلَ لِمَلَكِ الْمَوْتِ: أَلَيْسَ أَنْتَ قَدْ أَدْخَلْتَهُ إِيَّاهَا؟ وَإِنَّهُ لَيْسَ لِأَحَدٍ دَخَلَهَا أَنْ يَخْرُجَ مِنْهَا
Sesungguhnya Nabi Idris -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dulu berteman dengan Malaikat Maut. Lalu ia pun meminta kepadanya agar diperlihatkan surga dan neraka. Maka idris pun naik (ke langit), lalu Malaikat Maut memperlihatkan neraka kepadanya. Lalu Idris kaget sehingga hampir pinsang. Maka Malaikat Maut mengelilingkan sayapnya pada Idris seraya berkata, “Bukankah engkau telah melihatnya?” Idris berkata, “Ya, sama sekali aku belum pernah melihatnya seperti hari ini”. Kemudian, Malaikat Maut membawanya sampai ia memperlihatkan surga kepada Nabi Idris seraya masuk ke dalamnya. Malaikat Maut berkata, “Pergilah, sesungguhnya engkau telah melihatnya”. “Kemana?”, tanya Idris. “Ke tempatmu semula”, jawab Malaikat Maut. “Tidak ! Demi Allah, aku tak akan keluar setelah aku memasukinya”, tukas Idris. Lalu dikatakanlah kepada Malaikat Maut, “Bukankah engkau yang telah memasukkannya? Sesungguhnya seorang yang telah memasukinya tidak boleh keluar darinya“. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Mu’jam Al-Ausath (2/177/1/7406)]
Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat rawi yang tertuduh dusta, yaitu Ibrahim bin Abdullah bin Khalid Al-Mishshishiy. Sebab itu, hadits ini dicantumkan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam kumpulan hadits-hadits palsu di dalam kitabnyaAdh-Dho’ifah (339).
Empat Berkah dari Langit
Diantara hadits palsu yang beredar di masyarakat adalah berikut ini. Konon kabarnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ أَرْبَعَ بَرَكَاتٍ مِنَ السَمَاءِ إِلَى اْلأَرْضِ فَأَنْزَلَ الْحَدِيْدَ وَالنَّارَ وَالْمَاءَ وَالْمِلْحَ
Sesungguhnya Allah telah menurunkan empat berkah dari langit ke bumi; maka Allah menurunkan besi, api, air, dan garam“. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/2/221)]
Hadits ini palsu , tak benar datangnya dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Dalam sanadnya terdapat Saif bin Muhammad, seorang pendusta !! Karenanya, Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy -rahimahullah- menyatakan hadits ini palsu dalam Adh-Dho’ifah (3053).
Fadhilah Mendatangi Sholat Jama’ah
Fadhilah sholat berjama’ah banyak disebutkan dalam hadits-hadits shohih. Adapun hadits berikut adalah hadits lemah, tak boleh diamalkan, dan diyakini sebagai sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-:
اَلْمَشَّاؤُوْنَ إِلَى الْمَسَاجِدِ فِي الظُّلَمِ أُوْلَئِكَ الْخَوَّاضُوْنَ فِيْ رَحْمَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Orang yang sering berjalan menuju masjid dalam kondisi gelap, mereka itu adalah orang yang berada dalam rahmat Allah –Azza wa Jalla-”. [HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (779), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (1/281), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (17/456) & (52/18)]
Hadits ini adalah dho’if (lemah), karena ada dua rowi yang bermasalah dalam sanadnya: Muhammad bin Rofi’, dan Isma’il bin Iyasy. Walau Isma’il tsiqoh, namun jika ia meriwayatkan hadits dari selain orang-orang Syam, maka haditsnya lemah!! Hadits ini ia riwayatkan dari Muhammad bin Rofi’, seorang penduduk Madinah. Ke-dho’if-an hadits ini telah ditegaskan oleh Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam Adh-Dho’ifah (3059)
Padamkan Neraka dengan Sholat
Jika kita mau mengoleksi hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan sholat, maka terlalu banyak. Namun disini kami mau ingatkan bahwa ada hadits lemah dalam hal ini, yaitu hadits yang berbunyi:
إِنَّ لِلّهِ تَعَالَى مَلَكًا يُنَادِيْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ : يَا بَنِيْ آدَمَ قُوْمُوْا إِلَى نِيْرَانِكُمْ الَّتِيْ أَوْقَدْتُمُوْهَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَأَطْفِئُوْهَا بِالصَّلاَةِ
Sesungguhnya Allah -Ta’ala- memiliki seorang malaikat yang memanggil setiap kali sholat, “Wahai anak Adam, bangkitlah menuju api (neraka) kalian yang telah kalian nyalakan bagi diri kalian, maka padamkanlah api itu dengan sholat“. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (9452) dan Ash-Shoghir (1135), Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (3/42-43), dan lainnya]
Hadits ini lemah , karena ada seorang rawi bernama Yahya bin Zuhair Al-Qurosyiy. Dia adalah seorang majhul (tak dikenal). Olehnya, Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- melemahkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (3057)
Orang Baik dibutuhkan Orang
Di antara hadits palsu yang biasa diucapkan oleh sebagian da’i-da’i adalah hadits berikut:
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا ؛ صَيَّرَ حَوَائِجَ النَّاسِ إِلَيْهِ
Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka Allah akan menjadikan kebutuhan-kebutuhan manusia kepadanya“. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/95)]
Hadits ini palsu disebabkan oleh adanya rowi dalam sanadnya yang bernama Yahya bin Syabib; dia seorang pemalsu hadits. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy meletakkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2224)
Manusia yang Terburuk Kedudukannya
Banyak sekali hadits-hadits lemah yang tersebar di kalangan kaum muslimin, namun mereka tak sadar bahwa itu bukanlah sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, seperti hadits:
إِنَّ مِنْ أَسْوَأِ النَّاسِ مَنْزِلَةً مَنْ أَذْهَبَ آخِرَتَهُ بِدُنْيَا غَيْرِهِ
“Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya, orang yang menghilangkan (menghancurkan) akhiratnya dengan dunia orang lain“. [HR. Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (2398), dan Al-Baihaqiy dalam Syu'abul Iman (6938)]
Hadits ini adalah hadits dho’if (lemah), karena rowi yang bernama Syahr bin Hausyab, seorang jelek hafalannya dan banyak me-mursal-kan hadits, dan Al-Hakam bin Dzakwan, seorang yang maqbul. Intinya, hadits ini lemah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (2229)
Ketentuan dan Taqdir Allah
Ketentuan dan taqdir Allah adalah perkara ghaib yang tidak boleh ditetapkan dengan hadits lemah, apalagi palsu, seperti hadits ini:
إِذَا أَرَادَ اللهُ إِنْفَاذَ قَضَائِهِ وَقَدَرِهِ ؛ سَلَبَ ذَوَيْ الْعُقُوْلِ عُقُوْلَهُمْ حَتَّى يُنْفِذَ فِيْهِمْ قَضَاءَهُ وَقَدَرَهُ
Apabila Allah ingin melaksanakan ketentuan, dan taqdir-Nya, maka Allah akan menarik (menghilangkan) akalnya orang-orang yang memiliki pikiran sehingga Allah melaksanakan ketentuan, dan taqdir-Nya pada mereka“. [HR. Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (14/99), Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/100), dari jalur Abu Nu'aim dalam Tarikh Ashbihan (2/332)]
Hadits ini lemah, bahkan boleh jadi palsu , karena rowi yang bernama Lahiq bin Al-Husain. Sebagian ahlul hadits menuduhnya pendusta, dan suka memalsukan hadits. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy memasukkannya dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (2215)
Bertaqwa di Masa Tua
Bertaqwa kepada Allah bukan hanya di masa tua, bahkan juga harus di masa muda. Namun tentunya ketaqwaan lebih ditingkatkan lagi di masa tua berdasarkan hadits-hadits shohih !! Bukan berdasarkan hadits palsu ini:
إِذَا أَتَى عَلَى الْعَبْدِ أَرْبَعُوْنَ سَنَةً يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَخَافَ اللهَ تَعَالَى وَيَحْذَرَهُ
Jika telah datang (lewat) 40 tahun pada diri seorang hamba, maka wajib baginya untuk takut dan khawatir kepada Allah -Ta’ala- “. [HR. Ad-Dailamiy dalam Al-Firdaus (1/89)]
Hadits ini palsu, karena ada rowi dalam sanadnya yang bernama Ahmad bin Nashr bin Abdillah yang dikenal dengan Adz-Dari’. Dia adalah seorang pemalsu hadits, pendusta, dan dajjal. Karenanya, Al-Albaniy Al-Atsariy menyatakannya palsu dalam Adh-Dho’ifah (2200)
Memulai dengan Hamdalah
Ada sebuah hadits yang masyhur dalam kitab-kitab dan lisan manusia yang menjelaskan harusnya seseorang memulai segala urusan yang penting dengan membaca Alhamdulillah. Tapi hadits ini lemah sebagaimana berikut ini perinciannya:
كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِالْحَمْدِ فَهُوَ أَقْطَعُ
Segala urusan penting yang tidak dimulai di dalamnya dengan alhamdulillah, maka urusan itu akan terputus“. [HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1894)]
Hadits ini lemah, karena ke-mursal-an yang terjadi pada sanadnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (2/677), dan Syaikh Al-Albaniy. Karenanya, Al-Albaniy melemahkan hadits ini dalam Al-Irwa’ (2).
Tanda Tawadhu’
Tawadhu’ adalah perkara yang dianjurkan karena dia adalah akhlak yang mulia. Saking mulianya sampai dalam hadits yang palsu pun disebutkan kemuliannya, seperti hadits berikut:
مِنَ التَّوَاضُعِ أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ مِنْ سُؤْرِ أَخِيْهِ وَمَنْ شَرِبَ مِنْ سُؤْرِ أَخِيْهِ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى رُفِعَتْ لَهُ سَبْعُوْنَ دَرَجَةً وَمُحِيَتْ عَنْهُ سَبْعُوْنَ خَطِيْئَةً وَكُتِبَ لَهُ سَبْعُوْنَ دَرَجَةً
Di antara bentuk ketawadhu’an, seorang mau meminum sisa minuman saudaranya. Barangsiapa yang meminum sisa minum saudaranya, karena mencari wajah Allah -Ta’ala-, maka akan diangkat derajatnya sebanyak 70 derajat, dan akan dihapuskan 70 kesalahan darinya, serta dituliskan baginya 70 derajat.” [HR.Ad-Dauqutniy sebagaimana dalam Al-Maudhu'at (3/40) karya Ibnul Juaziy]
hadits ini adalah hadits yang palsu karena ada seorang rawi yang bernama Nuh bin Abi Maryam, dia adalah seorang yang tertuduh dusta. Selain itu hadits ini semakin lemah karena Ibnu Juraij (seorang rawi dalam hadits ini) adalah seorang yang mudallis, sedangkan ia meriwayatkannya secara mu’an’anah (menggunakan lafadz dari). Demikia penjelasan Syaikh Al-Albaniy secara ringkas dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (79).
Orang-Orang yang Beruntung
Orang-orang yang beruntung banyak disinggung dalam Al-Qur’an dan sunnah yang shahihah. Bahkan dalam hadits yang dho’if pun, seperti hadits berikut:
أَفْلَحَ مَنْ كَانَ سُكُوْتُهُ تَفَكُّرًا وَنَظَرُهُ اِعْتِبَارًا أَفْلَحَ مَنْ وَجَدَ فِيْ صَحِيْفَتِهِ اِسْتِغْفَارًا كَثِيْرًا
Beruntunglah orang yang diamnya adalah tafakkur, pandangannya adalah ibroh, beruntunglah orang yang mendapatkan istighfar yang banyak dalam catatan amalannya” . [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/123)].
Hadits ini adalah dho’if, karena dalam sanadnya terdapat dua orang yang majhul (tidak dikenal), yaitu Abul Khushaib Ziyad bin Abdurrahman, dan Husain bin Mansur Al-Asadiy Al-Kufiy dan juga seorang yang lemah (Hibban ibnu Ali Al-Anaziy). Syaikh Al-Albaniy menghukumi hadits ini dho’if (lemah) dalam Adh-Dho’ifah (2519).
Makanan Dunia dan Akhirat
Banyak sekali hadits dho’if yang tersebar di masyarakat. Utamanya hadits-hadits yang berkaitan dengan janji-janji dan keutamaan, seperti hadits ini:
أَفْضَلُ طَعَامِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ اللَّحْمُ
Seutama-utamanya makanan dunia dan akhirat adalah daging” . [HR. Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu'afa' (1264)].
Hadits ini dihukumi dho’if jiddan oleh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy Al-Atsariy dalam Adh-Dho’ifah (2518), karena ada seorang rawi yang bernama Amr bin Bakr As-Saksakiy. Hadits-haditsnya menyerupai hadits palsu. Sebab itu Al-Hafizh menggelarinya dengan matruk (ditinggalkan karena biasa berdusta atas nama manusia). Selain itu, anaknya (Ibrahim bin Amr As-Saksakiy) yang meriwayatkan darinya senasib dengan ayahnya.
Berdzikir Setiap Saat
Berdzikir setiap saat merupakan perkara yang dianjurkan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits-hadits shohih, bahkan dalam hadits-hadits dho’if , seperti hadits ini:
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ اللهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ فَإِنَّهُ لَيْسَ عَمَلٌ أَحَبُّ إِلَى اللهِ تَعَالىَ وَلَا أَنْجَى لِعَبْدٍ مِنْ كُلِّ سَيِّئَةٍ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى
Perbanyaklah dzikir kepada Allah dalam segala kondisi, karena tak ada suatu amalan yang lebih dicintai oleh Allah -Ta’ala- , dan lebih menyelamatkan seorang hamba dari segala kejelekan di dunia, dan akhirat dibandingkan dzikir kepada Allah“. [HR. Adh-Dhiya' Al-Maqdisiy dalam Al-Mukhtaroh (7/112/1)]
Hadits ini palsu, karena Abu Abdir Rahman Asy-Syamiy. Dia adalah seorang pendusta seperti yang dinyatakan oleh Al-Azdiy -rahimahullah-. Ada penguat bagi hadits ini dari riwayat Al-Baihaqiy , oh sayang hadits ini juga palsu, karena ada rowinya bernama Marwan bin Salim Al-Ghifariy Al-Jazariy; dia adalah pendusta. Lihat rincian palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2617)
Hati-hati dengan Dunia
Seorang manusia di dunia ibaratnya seorang musafir; ia singgah mengambil bekal menuju akhirat berupa amal sholih. Namun dunia terkadang memperdaya kebanyakan manusia :
إحذروا الدنيا فإنها أسحر من هاروت وماروت
Waspadalah terhadap dunia, karena ia lebih memperdaya dibandingkan Harut dan Marut“.
Namun sayang hadits ini adalah palsu, tak ada asalnya. Hadits ini disebutkan oleh Al-Ghozaliy dalam Ihya’ Ulumuddin, padahal ia palsu !! Al-Iroqiy dalam Takhrij Al-Ihya’ (3/177) menukil dari Adz-Dzahabiy bahwa hadits ini mungkar, tak ada asalnya. Sebab itu, Al-Albaniy menempatkannya dalam Adh-Dho’ifah (34) sebagai tempat bagi hadits palsu dan dho’if.
Siapa yang Adzan, itu yang Iqamat
Barangsiapa yang adzan, maka dialah yang iqamat”. [HR. Abud Dawud (514), At-Tirmidziy (199), dan lainnya]
Hadits ini lemah karena berasal dari Abdurrahman bin Ziyad Al-Afriqiy. Dia lemah hafalannya. Sebab itu Al-Albaniy melemahkannya dalam Adh-Dha’ifah (no. 35) dan Al-Irwa’ (237).
Syaikh Al-Albaniy berkata dalam Adh-Dha’ifah (1/110), “Di antara dampak negatif hadits ini, dia merupakan sebab timbul perselisihan di antara orang-orang yang mau shalat, sebagaimana hal itu sering terjadi. Yaitu ketika tukang adzan terlambat masuk mesjid karena ada udzur, sebagian orang yang hadir ingin meng-iqamati shalat, maka tak ada seorang pun di antara mereka kecuali ia menghalanginya seraya berhujjah dengan hadits ini. Orang miskin ini tidaklah tahu kalau haditsnya lemah, tidak boleh mengasalkannya kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, terlebih lagi melarang orang bersegera menuju ketaatan kepada Allah, yaitu meng-iqamati shalat”.
Barang Siapa yang tidak Mengenal Imamnya…
Ketaatan kepada penguasa merupakan perkara asasi di kalangan Ahlus Sunnah. Sebaliknya, mendurhakai mereka merupakan perkara yang diharamkan, apalagi jika sampai menghina, merendahkan mereka, dan mencabut tangan darinya, karena hal ini akan menimbulkan kerusakan di kalangan hamba-hamba Allah.
Banyak sekali dalil-dalil baik dalam Al-Kitab, maupun sunnah yang memerintahkan kita untuk taat kepada pemerintah muslim, dan mengharamkan durhaka kepada mereka.
Namun ada satu hal yang kami perlu ingatkan disini bahwa disana ada sebuah hadits yang dho’if dalam masalah ini,
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَعْرِفْ إِمَامَ زَمَانِـهِ مَاتَ مِيـْتَةً جَاهِلِيَّةً.
Barangsiapa yang tidak mengenal imam (penguasa) di zamannya, maka ia mati seperti matinya orang-orang jahiliyah”.
Ahmad bin Abdul Halim Al-Harraniy berkata, “Demi Allah, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidaklah pernah mengatakan demikian . . .”. [Lihat Adh-Dho’ifah (1/525)]
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata setelah menyatakan bahwa hadits ini tidak ada asal-muasalnya, “Hadits ini pernah aku lihat dalam sebagian kitab-kitab orang-orang Syi’ah dan sebagian kitab orang-orang Qodiyaniyyah (Ahmadiyyah). Mereka menjadikannya sebagai dalil tentang wajibnya berimam kepada si Pendusta mereka yang Mirza Ghulam Ahmad, si Nabi gadungan. Andaikan hadits ini shahih, niscaya tidak ada isyarat sedikit pun tentang sesuatu yang mereka sangka, paling tidak intinya kaum muslimin wajib mengangkat seorang pemerintah yang akan dibai’at”. [Lihat As-Silsilah Adh-Dho’ifah (no. 350).
Agama Adalah Akal
Dalam ensiklopedia ini kami petikkan sebuah hadits yang biasa digunakan orang dan masyhur menunjukkan keutamaan akal dan pikiran. Namun, kebanyakan orang tidak mengenal kepalsuan hadits tersebut.
Adapun hadits yang dimaksud, lafazhnya sebagai berikut:
اَلدِّيْنُ هُوَ الْعَقْلُ, وَمَنْ لاَدِيْنَ لَهُ لاَ عَقْلَ لَهُ
Agama adalah akal pikiran, Barangsiapa yang tidak ada agamanya, maka tidak ada akal pikirannya”. [HR. An-Nasa`iy dalam Al-Kuna dari jalurnya Ad-Daulabiy dalam Al-Kuna wa Al-Asma’ (2/104) dari Abu Malik Bisyr bin Ghalib dan Az-Zuhri dari Majma’ bin Jariyah dari pamannya]
Hadits ini adalah hadits lemah yang batil karena ada rawinya yang majhul, yaitu Bisyr bin Gholib. Bahkan Ibnu Qayyim -rahimahullah- berkata dalam Al-Manar Al-Munif (hal. 25), “Hadits yang berbicara tentang akal seluruhnya palsu”.
Oleh karena itu Syaikh Al-Albaniy berkata, “Diantara hal yang perlu diingatkan bahwa semua hadits yang datang menyebutkan keutamaan akal adalah tidak shahih sedikit pun. Hadits-hadits tersebut berkisar antara lemah dan palsu. Sungguh aku telah memeriksa, diantaranya hadits yang dibawakan oleh Abu Bakr Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya Al-Aql wa Fadhluh, maka aku menemukannya sebagaimana yang telah aku utarakan, tidak ada yang shahih sama sekali”. [Lihat Adh-Dhi’ifah (1/54)]
Mengusap Tengkuk Ketika Wudhu’
Sebagian kaum muslimin, ketika dia berwudhu’, maka ia mengusap tengkuknya. Benarkah hal ini ada haditsnya yang bisa dijadikan hujjah?
Jawabannya: hadits ada namun ia merupakan hadits palsu.
مَسْحُ الرَقَبََةِ أَمَانٌ مِنَ الْغِلِّ
Mengusap tengkuk merupakan pelindung dari penyakit dengki”.
An-Nawawiy berkata dalam Al-Majmu’ (1/45), “Ini adalah hadits palsu, bukan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-”.
Syaikh Al-Albaniy berkata, “Hadits ini palsu”. [Lihat Adh-Dho’ifah (1/167)]
Dari sini, kita mengetahui tentang tidak disyari’atkannya mengusap tengkuk ketika berwudhu’, karena tidak ada hadits yang shahih menetapkannya. Adapun hadits ini – sebagaimana yang anda lihat- merupakan hadits palsu. Jadi, tidak boleh diamalkan dan dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu hukum.
<<<<<<< “Nasihat bagi Para Da’I” >>>>>>>>>
Jika kalian memberikan nasihat dan wejangan kepada para jama’ah, maka janganlah kalian menghiasi ceramah kalian dengan hadits-hadits dho’if, dan palsu. Sayangilah diri kalian sebelum kalian terkena sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأَ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka“. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya(110), dan Muslim dalam Shohih-nya (3)]
Periksalah hadits-hadits yang kalian sampaikan dalam ceramah-ceramah kalian. Jika tidak tahu, maka belajarlah, dan tanya kepada orang-orang yang berilmu. Janganlah perasaan malu dan sombong membuat dirimu malu bertanya dan belajar sehingga engkau sendiri yang menggelincirkan dirimu dalam neraka, wal’iyadzu billah !!
Dikutip dari http:///almakasari.com Kumpulan Hadits-hadits Dho’if, dari Buletin Jum’at Al-Atsariyyah. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp)

Diberdayakan oleh Blogger.