-->

19 Oktober 2012

Apakah Pembagian Tauhid Adalah Bid’ah ?

Kenapa tauhid dibagi menjadi tiga

Para Pembenci dakwah tauhid menebarkan tuduhan bahwa pembagian tauhid menjadi Tauhid Rubbubiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma’ wa sifat adalah bid’ah.  Mereka hanya ingin menjauhkan umat dari dakwah tauhid. mereka tidak sadar atau pura-pura tidak tahu bahwa sesungguhnya merekapun mengakui adanya 3 tauhid ini.
Kita katakan :
1. Apakah anda mengakui bahwa Allahlah satu-satunya yang Menciptakan, yang memberi rizqi, yang mengatur alam ini ? Jika ya, maka anda telah mentauhidkan Rubbubiyah Allah.
2. Apakah anda meyakini bahwa hanya Allah lah yang berhak untuk diibadahi? jika ya, maka anda telah mengakui Tauhid ulluhiyah, yaitu mentauhidkan Allah dlm ibadah.
3. Apakah anda meyakini bahwa Allah mempunyai Nama dan sifat Yang Maha Sempurna dan Maha Agung ? jika ya, maka anda telah mengakui Tauhid ‘Asma wa  sifat.
Namun jika anda tidak mengimani satu saja dari ketiga tauhid tsb diatas, maka anda telah rusak tauhidnya, naudzubillah.
maka dari jalan manakah kita menolak ketiga tauhid ini ??
Kita katakan : banyak pembagian istilah dalam Islam oleh para ulama yang tujuannya untuk memperjelas agar umat islam lebih mudah memahami.
Sebagai contoh :
  • pembagian hukum : Wajib, sunnah, mubah, makruh, haram
  • Istilah nama-nama shalat : shalat tarawaih, tahiyatul masjid, sukrul wudhu’ dsb..
  • syarat wajib, syarat sah, dan rukun.
  • Jenis-jenis najis : mukhafafah, mutawasithah, mugholadhoh.
  • dsb..
yang lebih aneh bin ajaib, mereka yg menolak pembagian tauhid ini -padahal itu diambil dari ayat Al-Qur’an- , mereka malah membela pembagian / istilah yang sama sekali tidak dikenal,
seperti sifat 20. dari mana mereka membatasi sifat Allah hanya 20 saja ?!! Contoh lain, Pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyiah – yang sejatinya, mereka membela pembagian ini hanya untuk melegalkan perbuatan bid’ah mereka, tidak seperti apa yang dimaui oleh ulama yang mengatakan bid’ah hasanah. dengan memanfaatkan istilah bid’ah hasanah, Semua ritual yg mereka ada-adakan mereka masukkan ke dalam bid’ah hasanah.
Contoh yang lain, membagi ilmu agama ini menjadi : syariat, hakikat dan ma’rifat. atau dibagi menjadi 2 : kulit dan isi. ini semua pembagian batil yang tidak saja tanpa dalil yang shohih tapi juga menyelisihi pemahaman salafussholih.
Berikut penjelasan lengkap tentang pembagian tauhid :
Tauhid terbagi menjadi 3 ( Tauhid rububiyyah, uluhiyyah, dan Asma’ wa sifat ) berdasarkan istiqra’ ( penelitian menyeluruh ) terhadap dalil-dalil yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah, sebagaimana ulama nahwu membagi kalimat di dalam bahasa arab menjadi 3 : Isim, fi’il, dan huruf, berdasarkan penelitian menyeluruh terhadap kalimat-kalimat yang ada di dalam bahasa arab.
Betapa tepatnya perkataan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam risalahnya “At-Tahdzir” halaman 30 berkisar pembagian tauhid. Kata beliau : “Pembagian ini adalah hasil istiqra (telaah) para ulama Salaf terdahulu seperti yang diisyaratakan oleh Ibnu Mandah dan Ibnu Jarir Ath-Thabari serta yang lainnya. Hal ini pun diakui oleh Ibnul Qayim. Begitu pula Syaikh Zabidi dalam “Taaj Al-Aruus” dan Syaikh Syanqithi dalam “Adhwa Al-Bayaan” dan yang lainnya. Semoga Allah merahmati semuanya( Lihat Kitab At-Tahdzir min Mukhtasharat Muhammad Ash-Shabuny fii At-Tafsir karangan Syeikh Bakr Abu Zaid hal: 30, cet. Darur Rayah- Riyadh ) .
BENARKAH PEMBAGIAN TAUHID INI TIDAK DIKENAL ULAMA SALAF ?
Kami sebutkan disini diantara ulama-ulama yang menyebutkan pembagian ini baik secara jelas maupun dengan isyarat.
Berkata Syaikh Al-Baijuri dalam “Syarh Jauharah At-Tauhid” halaman 97. Firman Allah ; ‘Alhamdulillahir rabbil ‘alamiin’, mengisyaratkan pada pengakuan ‘Tauhid Rububiyah, yang konsekwensinya adalah pengakuan terhadap Tauhid Uluhiyah. Adapun konsekwensi Tauhid Uluhiyah adalah terlaksananya Ubudiyah. Hal ini menjadi kewajiban pertama bagi seorang hamba untuk mengenal Allah Yang Maha Suci. Kata beliau selanjutnya : “Kebanyakan surat-surat Al-Qur’an dan ayat-ayatnya mengandung macam-macam tauhid ini, bahkan Al-Qur’an dari awal hingga akhir menerangkan dan mengejawantahkan (menjelaskan).
Kemudian berkata Imam Ibnu Athiyah (wafat ; 546H) dalam kitabnya Al-Muharrar Al-Wajiiz, juz I, hal.75. Firman-Nya : ‘Iyaaka Na’budu’ adalah ucapan seorang yang beriman kepada-Nya yang menunjukkan pengakuan terhadap ke-rububiyah-an Allah, mengingat kebanyakan manusia beribadah kepada selain-Nya yang berupa berhala-berhala dan lain sebagainya”.
1. Imam Abu Ja’far Ath-Thahawy ( wafat th. 321 ) , di dalam muqaddimah kitab beliau Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah . Beliau berkata :
نقول في توحيد الله معتقدين بتوفيق الله إن الله واحد لا شريك له ، و لا شيء مثله ، و لا شيء يعجزه ، و لا إله غيره
Artinya: Kami mengatakan di dalam pengesaan kepada Allah dengan meyakini : bahwa Allah satu tidak ada sekutu bagiNya, tidak ada yang serupa denganNya, tidak ada yang melemahkanNya, dan tidak ada tuhan yang berhak disembah selainNya.
Perkataan beliau ” tidak ada yang serupa denganNya ” : ini termasuk tauhid Asma’ dan Sifat .
Perkataan beliau ” tidak ada yang melemahkanNya ” : ini termasuk tauhid Rububiyyah.
Perkataan beliau ” dan tidak ada tuhan yang berhak disembah selainNya.” : ini termasuk tauhid Uluhiyyah.
2. Ibnu Abi Zaid Al-Qairawany Al-Maliky ( wafat th. 386 H ) , di dalam muqaddimah kitab beliau Ar-Risalah Al-Fiqhiyyah hal. 75 ( cet. Darul Gharb Al-Islamy ) . Beliau mengatakan :
من ذلك : الإيمان بالقلب و النطق باللسان بأن الله إله واحد لا إله غيره ، و لا شبيه له و لا نظير، … ، خالقا لكل شيء ، ألا هو رب العباد و رب أعمالهم والمقدر لحركاتهم و آجالهم .
Artinya : Termasuk diantaranya adalah beriman dengan hati dan mengucapkan dengan lisan bahwasanya Allah adalah sesembahan yang satu, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, tidak ada yang serupa denganNya dan tidak ada tandinganNya…Pencipta segala sesuatu, ketahuilah bahwa Dia adalah pencipta hamba-hambaNya dan pencipta amalan-amalan mereka, dan yang menakdirkan gerakan-gerakan mereka dan ajal-ajal mereka .
Perkataan beliau ” sesembahan yang satu, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia ” : ini termasuk tauhid Uluhiyyah .
Perkataan beliau ” tidak ada yang serupa denganNya dan tidak ada tandinganNya ” : ini termasuk tauhid Asma’ wa Sifat.
Perkataan beliau ” Pencipta segala sesuatu, ketahuilah bahwa Dia adalah pencipta hamba-hambaNya dan pencipta amalan-amalan mereka, dan yang menakdirkan gerakan-gerakan mereka dan ajal-ajal mereka ” : ini termasuk tauhid Rubiyyah.
3. Ibnu Baththah Al-’Akbary ( wafat th. 387 H ), di dalam kitab beliau Al-Ibanah ‘an Syariatil Firqatin Najiyyah wa Mujanabatil Firaq Al-Madzmumah ( 5 / 475 )
وذلك أن أصل الإيمان بالله الذي يجب على الخلق اعتقاده في إثبات الإيمان به ثلاثة أشياء : أحدها : أن يعتقد العبد ربانيته ليكون بذلك مباينا لمذهب أهل التعطيل الذين لا يثبتون صانعا . الثاني : أن يعتقد وحدانيته ، ليكون مباينا بذلك مذاهب أهل الشرك الذين أقروا بالصانع وأشركوا معه في العبادة غيره . والثالث : أن يعتقده موصوفا بالصفات التي لا يجوز إلا أن يكون موصوفا بها من العلم والقدرة والحكمة وسائر ما وصف به نفسه في كتابه
Artinya : Dan yang demikian itu karena pokok keimanan kepada Allah yang wajib atas para makhluk untuk meyakininya di dalam menetapkan keimanan kepadaNya ada 3 perkara :
Pertama : Hendaklah seorang hamba meyakini rabbaniyyah Allah ( kekuasaan Allah ) supaya dia membedakan diri dari jalan orang-orang atheisme yang mereka tidak menetapkan adanya pencipta.
Kedua : Hendaklah meyakini wahdaniyyah Allah ( keesaan Allah dalam peribadatan ) supaya dia membedakan diri dari jalan orang-orang musyrik yang mereka mengakui adanya pencipta alam kemudian mereka menyekutukanNya dengan selainNya.
Ketiga : Hendaklah meyakini bahwasanya Dia bersifat dengan sifat-sifat yang memang harus Dia miliki, seperti ilmu, qudrah ( kekuasaan ), hikmah ( kebijaksanaan ) , dan sifat-sifat yang lain yang Dia tetapkan di dalam kitabNya.
4. Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusyi ( wafat th. 520 H ), di dalam muqaddimah kitab beliau Sirajul Muluk ( 1 / 1 ) , beliau berkata :
وأشهد له بالربوبية والوحدانية. وبما شهد به لنفسه من الأسماء الحسنى. والصفات العلى. والنعت الأوفى
Artinya : Dan aku bersaksi atas rububiyyahNya dan uluhiyyahNya, dan atas apa-apa yang Dia bersaksi atasnya untuk dirinya berupa nama-nama yang paling baik dan sifat-sifat yang tinggi dan sempurna.
5. Al-Qurthuby ( wafat th. 671 H ) , di dalam tafsir beliau (1/ 102) , beliau berkata ketika menafsirkan lafdzul jalalah ( الله) di dalam Al-Fatihah:
فالله اسم للموجود الحق الجامع لصفات الإلهية، المنعوت بنعوت الربوبية، المنفرد بالوجود الحقيقي، لا إله إلا هو سبحانه.
Artinya : Maka ( الله ) adalah nama untuk sesuatu yang benar-benar ada, yang mengumpulkan sifat-sifat ilahiyyah ( sifat-sifat sesuatu yang berhak disembah ) , yang bersifat dengan sifat-sifat rububiyyah ( sifat-sifat sesuatu yang berkuasa ) , yang sendiri dengan keberadaan yang sebenarnya, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selainNya.
6. Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy ( wafat th. 1393 H ) di dalam Adhwaul Bayan (3 / 111-112), ketika menafsirkan ayat:
)إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْراً كَبِيراً) (الاسراء:9)
7. Syeikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, diantaranya dalam kitab beliau Kaifa Nuhaqqiqu At-Tauhid ( hal. 18-28 ) .
8. Syeikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, diantaranya dalam Fatawa Arkanil Islam ( hal. 9-17 )
9. Syeikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-’Abbad Al-Badr ( pengajar di Masjid Nabawy ), diantaranya dalam muqaddimah ta’liq beliau terhadap kitab Tathhir ul I’tiqad ‘an Adranil Ilhad karangan Ash-Shan’any dan kitab Syarhush Shudur fi Tahrim Raf’il Qubur karangan Asy-Syaukany (hal . 12-20.)
10 Syeikh Abdul Aziz Ar-Rasyid, di dalam kitab beliau At-Tanbihat As-Saniyyah ‘ala Al-Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 14) .
11. Syeikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, di dalam kitab beliau Al-Mukhtashar Al-Mufid fi Bayani Dalaili Aqsamit Tauhid. Kitab ini adalah bantahan atas orang yang mengingkari pembagian tauhid.
12. Dan lain-lain.
Jadi pembagian tauhid menjadi tiga tersebut adalah pembagian secara ilmu dan merupakan hasil tela’ah seperti yang dikenal dalam kaidah keilmuan. Barangsiapa yang mengingkarinya berarti tidak ber-tafaquh terhadap Kitab Allah, tidak mengetahui kedudukan Allah, mengetahui sebagian dan tidak mengetahui sebagian yang lainnya. Allah pemberi petunjuk ke jalan nan lurus kepada siapa yang Dia kehendaki.
DALIL-DALIL TENTANG MACAM-MACAM TAUHID :
Sesungguhnya pembagian tauhid menjadi tiga ini, dikandung dalam banyak surat di dalam Al-Qur’an Al-Karim. Yang paling tampak serta paling jelas adalah dalam dua surat, yaitu Al-Fatihah dan An-Naas, dimana keduanya adalah pembuka dan penutup Al-qur’an.
‘Alhamdulillahir rabbil ‘alamiin’, : mengandung pengukuhan akan ke-rububiyah-an Allah Jalla wa Alaa terhadap seluruh makhluk-Nya,
‘Ar-Rahmanir Rahiim Maliki Yaumid Diin’ di disini mengandung pengukuhan terhadap sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi dan nama-nama-Nya Yang Maha Mulia,
‘Iyaaka Na’budu Wa Iyaaka Nasta’iin’ : di sana mengandung pengukuhan ke-ubudiyah-an seluruh makhluk kepada-Nya dan ke-uluhiyah-an Allah atas mereka.
demikian didalam surat An-Naas :
Artinya :
“Katakanlah : “Aku berlindung kepada Rabb manusia”
“Raja Manusia”
“Sembahan manusia”
Kesemuanya memberikan penjelasan tentang Tauhid Rubbubiyah, ulluhiyah dan tauhid Asma’ wa sifat.
berikut dalil-dalil lain tentang 3 tauhid tsb :
Tauhid Rububiyyah

Tauhid Rububiyyah adalah : Suatu keyakinan yang pasti bahwa Allah subhaanahu wa ta’ala satu-satunya pencipta, pemberi rizki, menghidupkan dan mematikan, serta mengatur semua urusan makhluk-makhluk-Nya tanpa ada sekutu bagi-Nya. Dalil-dalil yang menunjukkan Tauhid Rububiyyah ini diantaranya firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
”Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” [QS. Al-Fatihah : 2].
Juga firman-Nya :
أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
”Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam” [QS. Al-A’raf : 54].
Dalam ayat di atas Allah menjelaskan kepada hamba-Nya bahwa Dia-lah satu-satunya pencipta dan pemilik seluruh alam semesta ini serta Dia pulalah yang mengaturnya secara mutlak, tidak ada pengecualian (yang luput) dari-Nya sesuatupun.
Di samping dua ayat di atas, Allah juga menjelaskan tentang Rububiyyah-Nya dengan firman-Nya :
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ قُلِ اللَّهُ
Katakanlah: “Siapakah Tuhan langit dan bumi?” Jawabnya: “Allah.” [QS. Ar-Ra’d : 16].
Dan juga firman-Nya :
قُلْ لِمَنِ الأرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ * سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَذَكَّرُونَ * قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ * سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ * قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ * سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ
Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?”. Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?”. Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?”. Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?”. Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?”. Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” [QS. Al-Mukminun : 84-89].
Dari pengertian ayat di atas, tiada keraguan bagi orang yang berakal tentang rububiyyah Allah bahwa Dia-lah satu-satunya Dzat yang mampu menciptakan langit dan bumi, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan. Demikian pula pengakuan mereka (orang-orang Quraisy) ketika ditanya tentang siapa pencipta langit dan bumi ? Dan siapa Rabb langit dan bumi ? Mereka akan mengatakan : ”Allah”. Sebagaimana firman Allah :
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
”Dan jika kamu bertanya kepada mereka : Siapakah yang menciptakan tujuh langit dan bumi. Pasti mereka akan mengatakan : Allah” [QS. Luqman : 25].
Juga firman-Nya :
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ * سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ
Katakanlah : ”Siapakah Rabb langit yang tujuh dan ’Arsy yang besar ?”. Pasti mereka akan mengatakan : ”Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” [QS. Al-Mukminun : 86-87].
Allah banyak menyebutkan dalam Al-Qur’an pengakuan orang-orang kafir Quraisy terhadap rububiyyah Allah, akan tetapi dengan pengakuan tersebut mereka tetap menyekutukan Allah dengan yang lainnya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Uluhiyyah adalah : Pengesaan Allah subhaanahu wa ta’ala dalam hal ibadah dengan penuh ketaatan dan rendah diri serta cinta pada setiap peribadatan tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Dalil tentang Tauhid Uluhiyyah di antaranya adalah firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
”Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” [QS. Al-Fatihah : 2].
Lafadh Allah maknanya adalah Al-Ma’luh (yang disembah) dan Al-Ma’bud (Yang diibadahi). Dan juga firman Allah :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
”Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan” [QS. Al-Fatihah : 5].
Kemudian juga firman-Nya :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
”Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” [QS. Al-Baqarah : 21].
Juga firman-Nya :
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ * أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
”Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” [QS. Az-Zumar : 2-3].
Dan firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” [QS. Al-Bayyinah : 5].
Ayat-ayat di atas menjelaskan kepada kita agar kita mengesakan Allah dalam beribadah. Oleh sebab itu dilarang menyembah selain Allah baik dia seorang Nabi, wali, raja, atau malaikat sekalipun.
Yang dimaksud dengan ibadah adalah segala aktifitas kehidupan yang Allah ridlai dan Allah cintai baik berupa perkataan atau perbuatan yang lahir maupun yang batin. Ibadah dibangun di atas tiga hal yang sangat besar dan sangat penting pengaruhnya dalam perjalanan ibadah seseorang, yaitu : cinta (mahabbah), takut (khauf), dan harapan (raja’). Cinta kepada Allah dalam beribadah akan membuahkan keikhlasan, takut kepada Allah akan membawa seseorang untuk menjauhi segala larangan Allah subhaanahu wa ta’ala dan membimbingnya untuk selalu taat kepadanya. Sedangkan pengharapan akan membangkitkan semangat dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya untuk mendapatkan janji-janji Allah subhaanahu wa ta’ala. Kalau ketiga penggerak hati tersebut sudah tumbuh dengan kuat di hari seorang hamba, maka akan mudah baginya untuk mendapatkan ridla dan cinta Allah subhaanahu wa ta’ala.
Dengan kata lain kalau seseorang masih berbuat maksiat atau suatu hal yang tidak dicintai dan diridlai Allah berarti kecintaannya dan ketakutannya terhadap Allah sangat rendah, bahkan dapat dikatakan orang tersebut tidak mengharapkan atau tidak percaya terhadap janji-janji Allah dan meremehkan ancaman-ancaman Allah subhaanahu wa ta’ala. Na’uudzu billahi min-dzaalik.
Dari dalil-dalil dan keterangan di atas dapat diketahui bahwa tauhid ibadah (uluhiyyah) adalah hakekat makna Laa ilaaha illallaah yang mengandung nafi (peniadaan) dan itsbat (penetapan). Makna nafi adalah meniadakan segala macam peribadatan kepada selain Allah bagaimanapun bentuk dan macamnya, atau peniadaan segala macam bentuk ketuhanan. Sedangkan makna itsbat adalah menetapkan ke-Esa-an Allah dalam beribadah dengan berbagai bentuk ibadah yang sesuai dengan tuntunan syari’at Islamiyyah yang telah disampaikan oleh Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam dan penetapan bahwa tidak ada ilah yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah saja.
Dua kandungan di atas – yaitu nafi dan itsbat – tidak boleh dipisahkan dan harus dipahami dan diambil keduanya. Karena kalau diambil salah satu saja, tidaklah seseorang dikatakan muslim. Misalnya, seseorang yang mengambil nafi saja tanpa itsbat, berarti dia seorang komunis karena dia meniadakan segala macam bentuk ketuhanan tanpa menetapkan ketuhanan bagi Allah. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang hanya mengambil itsbat saja tanpa nafi, dia juga bukan seorang muslim. Bahkan dia seorang kafir karena disamping menetapkan Allah sebagai ilah, ia juga menetapkan selain Allah sebagai ilah. Penyebabnya adalah karena dia tidak mengingkari tuhan-tuhan selain Allah sebagaimana orang-orang kafir Quraisy yang disamping mengakui Allah sebagai Rabb alam semesta, juga mengakui adanya sesembahan selain Allah seperti Latta, ’Uzza, dan lain-lain. Dengan perbuatan mereka ini, Allah dan Rasul-Nya menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir.
Oleh sebab itu tidaklah cukup seseorang mengambil nafi saja tanpa itsbat, begitu pula itsbat saja tanpa nafi. Kalau seseorang mengakui dirinya seorang muslim, maka wajib baginya untuk mengambil, meyakini, dan mengamalkan keduanya secara bersamaan tanpa memisah-misahkannya dalam rangka membenarkan persaksian (syahadat) Laa ilaaha illallaah (tiada Rabb yang berhak untuk diibadahi dengan benar kecuali Allah).
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan keesaan Allah dalam uluhiyyah-Nya adalah firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” [QS. Al-Anbiyaa’ : 25].
Juga firman-Nya :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut (= segala sesuatu yang diibadahi selain Allah dan dia ridla dengan peribadatannya tersebut)” [QS. An-Nahl : 36].
Juga firman-Nya :
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [QS. Ali-’Imran : 18].
Ayat-ayat di atas adalah dalil yang sangat jelas akan keesaan Allah dalam hal uluhiyyah-Nya.
Kerancuan (syubhat) yang biasa dilontarkan oleh sebagian manusia adalah pernyataan mereka : ”Bagaimana kamu menyatakan tidak ada Rabb (Tuhan) selain Allah sedangkan Allah sendiri menyatakan keberadaan tuhan-tuhan selain-Nya ? sebagaimana firman-Nya :
وَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ
”Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain” [QS. Al-Qashash : 88].
Juga firman-Nya :
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ
”Dan barang siapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu” [QS. Al-Mukminun : 117].
Juga firman-Nya :
فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
”Karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah” [QS. Huud : 101].
Jawaban atas kerancuan tersebut :
Pertama, yang perlu diketahui bahwa ketuhanan selain Allah adalah ketuhanan yang bathil atau tidak hak (benar), walaupun tuhan-tuhan tersebut diibadahi atau disembah oleh orang-orang yang bodoh dan sesat. Sesungguhnya tuhan-tuhan tersebut adalah sesuatu yang tidak pantas untuk diibadahi sebagaimana firman-Nya :
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ
”Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil” [QS. Luqman : 30].
Kedua, sebutan tuhan bagi tuhan-tuhan selain Allah adalah sekedar penamaan saja sebagaimana firman-Nya subhaanahu wa ta’ala :
إِنْ هِيَ إِلا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ
”Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah) nya” [QS. An-Najm : 23].
Dua macam tauhid di atas (Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah) tidak ada yang menentangnya dan tidak ada pula yang mengingkarinya dari kalangan ahli kiblat yang menyandarkan diri kepada Islam, kecuali orang yang berlebih-lebihan dari kalangan Syi’ah Rafidlah.
Mereka menyatakan bahwa ’Ali bin Abi Thalib adalah tuhan sebagaimana yang dilakukan oleh ’Abdullah bin Saba’ (pemimpin Syi’ah yang pertama) yang datang kepada ’Ali bin Abi Thalib dan berkata kepadanya : ”Kamu (wahai ’Ali) adalah Allah yang sebenarnya”. Akan tetapi ’Abdullah bin Saba’ adalah Yahudi yang berpura-pura masuk Islam. Dengan pengakuan ingin melindungi keluarga Rasulullah, dia berusaha menghancurkan Islam dari dalam. Perbuatan ’Abdullah bin Saba’ ini diingkari oleh ’Ali bin Abi Thalib dan beliau tidak ridla kepada siapa saja yang menempatkan dirinya lebih dari semestinya. Karena beliau juga seorang hamba Allah, bahkan di atas mimbar Kuffah beliau berkata : ”Sebaik-baik umat setelah Nabi-Nya (shallallaahu ’alahi wa sallam) adalah Abu Bakar, kemudian ’Umar”. ’Ali juga memerintahkan untuk membakar ’Abdullah bin Saba’ dan pengikut-pengikutnya. Yang jelas, kedua macam tauhid di atas tidak ada yang mengingkari secara terang-terangan dari ahli kiblat (kaum muslimin) walaupun ada dari kalangan ahli bid’ah yang mengingkarinya dengan berbagai penakwilan (penyelewengan makna).
Tauhid Asmaa’ wa Shifat
Tauhid Asmaa’ wa Shifat Allah adalah : Berkeyakinan dengan keyakinan yang pasti tentang nama-nama Allah, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya yang termuat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, tanpa merubah-rubah atau menolak atau menanyakan bagaimana hakekatnya atau menyerupakan dengan makhluk-Nya. Dalil tentang Tauhid Asmaa’ wa Shifaat ini adalah firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى
Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaulhusna (nama-nama yang terbaik)” [QS. Al-Israa’ : 110].
Juga firman-Nya :
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
”Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia)?” [QS. Maryam : 65].
Juga firman-Nya :
اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ لَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى
”Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Dia mempunyai al asmaul-husna (nama-nama yang baik)” [QS. Thaha : 8].
Juga firman-Nya :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].
Ayat-ayat di atas merupakan hujjah yang menyatakan tentang tauhid asma’ wa shifat Allah.
Dalam mengimani nama-nama Allah subhaanahu wa ta’ala ada beberapa kaedah, antara lain :
  1. Semua nama Allah adalah terbaik dan berada dalam puncak kebaikan. Karena nama Allah mengandung atau menunjukkan sifat-Nya yang sempurna, tidak ada cacat atau kekurangan dari segi apapun. Seperti Al-Hayyu (الْحَيُّ) ”Yang Maha Hidup”, salah satu dari nama Allah yang mengandung arti bahwa Allah hidup secara mutlak, tidak didahului oleh ketiadaan dan tidak pula berakhir dengan kebinasaan. Dia hidup dengan kesempurnaan-Nya.
  2. Nama Allah adalah nama sekaligus sifat bagi-Nya subhaanahu wa ta’ala. (Al-Hayyu, Al-’Aliim, As-Samii’) ”Yang Maha Hidup, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Mendengar” ; semua adalah nama untuk Dzat yang satu, yaitu Allah subhaanahu wa ta’ala. Nama-nama tersebut mengandung makna dan sifat yang berbeda-beda, karena makna Al-Hayyu lain dengan makna Al-’Aliim dan lain pula dengan makna As-Samii’. Dan begitu pula nama-nama Allah yang lain. Nama Al-Hayyu mengandung sifat al-hayat (hidup), Al-’Aliim mengandung sifat al-’ilmu (ilmu/mengetahui), As-Samii’ mengandung sifat as-sam’u (mendengar). Dan begitu pula nama-nama Allah yang lain.
  3. Nama Allah yang mengandung sifat Muta’addi (sifat yang pengaruhnya mengenai makhluk-Nya), ia mengandung tiga perkara :
    a. Penetapan nama tersebut untuk Allah.
    b. Penetapan sifat yang terkandung dalam nama tersebut bagi-Nya.
    c. Penetapan hukum dan pengaruh-Nya.
    Contohnya : As-Samii’ – salah satu nama Allah yang artinya Yang Maha Mendengar. Lafadh tersebut ditetapkan sebagai nama Allah dan ditetapkan pula sebagai sifat Allah. Adapun hukum dan pengaruhnya adalah Dia mendengar apa saja, baik yang tersembunyi ataupun yang tampak pada makhluk-Nya.
    Sedangkan jika nama Allah menunjukkan sifat yang Lazim (yang tidak berpengaruh kepada yang lainnya), maka ia menunjukkan dua perkara :
    - Penetapa nama bagi-Nya.
    - Penetapan sifat yang terkandung dalam nama tersebut untuk-Nya.
    Seperti nama Al-Hayyu yang berarti Yang Maha Hidup. Maka lafadh Al-Hayyu ditetapkan sebagai nama Allah dan sekaligus sifat bagi Allah semata.
  4. Nama-nama Allah menunjukkan atas Dzat dan sifat-Nya sesuai dengan kandungannya, nama dan sifat itu akan terus ada dan tidak pernah sirna, seperti : Al-Khaaliq, salah satu nama Allah yang artinya Yang Maha Menciptakan – menunjukkan atas Dzat dan sifat Allah yang mengandung makna bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia tetap serta terus-menerus sebagai Sang Pencipta.
  5. Nama-nama Allah semuanya harus diambil dari Al-Qur’an atau As-Sunnah. Tidak ada tempat bagi akal untuk menentukannya. Oleh karena itu janganlah menambah atau menguranginya, karena nama-nama Allah adalah merupakan permasalahan ilmu yang ghaib, dan hanya Allah sajalah yang mengetahuinya.
  6. Nama-nama Allah tidak terbatas dengan jumlah tertentu sebagaimana diterangkan dalam hadits yang masyhur tentang doa ketika dalam kesedihan :
    أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ
    ”(Ya Allah), aku minta dengan (menyebut) segala nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau Engkau turunkan pada kitab-Mu, atau Engkau ajarkan pada seseorang dari makhluk-Mu atau Engkau tentukan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu…” [HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim].
    Dalil ini menunjukkan ketidakterbatasan nama Allah. Adapun nama Allah yang disebutkan dalam hadits 99 (sembilan puluh sembilan) nama tidak menunjukkan batas akhir. Hadits yang menunjukkan perincian atau penyebutan nama-nama-Nya yang berjumlah 99 adalah hadits yang lemah (dla’if).
  7. Haram bagi seseorang untuk mengingkari, menolak sifat-sfat Allah, atau menyerupakan dengan makhluk-Nya.
Tentang masalah sifat-sfat Allah, Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah mengimaninya tanpa merubah (tahrif), mengingkari (ta’thil), menanyakan bagaimana (takyif), dan tidak pula menyerupakan (tasybih) dengan sifat makhluk-Nya.
1. Tanpa tahrif (merubah) artinya tdak merubah makna yang terkandung dalam sifat tersebut. Seperti perkataan Jahmiyyah tentang sifat istiwaa’ (bersemayam), mereka rubah menjadi istaulaa’ (menguasai). Juga perkataan sebagian ahlul-bid’ah tentang makna al-ghadlab (marah) diartikan dengan iradatul-intiqaam (kehendak untuk menyiksa); dan makna ar-rahmah dirubah menjadi iradatul-in’am (kehendak untuk memberi nikmat). Semuanya ini tidak benar. Yang benar adalah bahwa makna istiwaa’ bagi Allah adalah bahwa Allah mempunyai sifat ketinggian dan berada dalam ketinggian yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya. Begitu pula dengan al-ghadlab dan ar-rahmah, adalah sifat bagi Allah secara hakekat sesuai dengan kemuliaan Allah dan keagungan-Nya.
2. Tanpa ta’thil (menolak) adalah tidak mengingkari sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pengingkaran atas hal ini adalah seperti yang dilakukan oleh Jahmiyyah dan semisalnya. Perbuatan mereka merupakan puncak kebatilan. Padahal dalam Al-Qur’an dan As-Sunah banyak sekali diterangkan sifat-sifat Allah yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya.
3. Tanpa tasybih (menyerupakan) adalah tidak menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Untuk itu kita tidak boleh mengatakan bahwa sifat Allah itu adalah seperti sifat kita. Hal itu dikarenakan Allah sudah menyatakan tidak ada yang serupa dengan-Nya sesuatupun.
4. tanpa takyif (menanyakan bagaimananya) adalah tidak menanyakan bagaimana hakekatnya. Seperti menanyakan bagaimana istiwaa’-nya Allah ? Atau menanyakan bagaimana wajah dan tangan Allah ? Yang seharusnya kita lakukan adalah kita beriman akan keberadaan sifat Allah yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an maupun As-Sunnah sesuai dengan keagungan-Nya, tanpa menanyakan bagaimana hakekat sifat itu, karena Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mengkhabarkan bagaimana hakekat sifat tersebut.
Pedoman yang harus dipegang oleh setiap muslim adalah :
  1. Semua sifat Allah adalah sifat yang paling sempurna, tidak memiliki kekurangan sama sekali dari segi apapun.
  2. Sifat Allah dibagi menjadi dua :
    Sifat tsubutiyyah, yaitu sifat yang ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya dalam Al-Qur’an atau melalui lisan Rasul-Nya. Semuanya adalah sifat yang sempurna, tidak ada unsur kekurangan sama sekali.
    Sifat salbiyyah, yaitu sifat yang di-nafi-kan (ditiadakan) oleh Allah untuk diri-Nya, baik peniadaan tersebut termuat dalam Al-Qur’an mapun As-Sunnah. Semuanya yang di-nafi-kan tersebut berupa sifat-sifat kekurangan seperti sifat mati, bodoh, lemah, dan lain-lain. Untuk itu wajib bagi kaum muslimin untuk meniadakan sifat-sifat tersebut dari Allah subhaanahu wa ta’ala dan menetapkan sifat kesempurnaan lawan sifat tersebut.
  3. Semua sifat Allah harus berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada tempat bagi akal untuk menentukannya.
Dari dalil-dalil pada pembagian di atas dapat diketahui oleh siapa saja tentang kebenaran pembagian tauhid menjadi tiga, yaitu :
- Tauhid Rububiyyah.
- Tauhid Uluhiyyah.
- Tauhid Asmaa’ wa Shifat.
Orang yang mengingkari pembagian tauhid ini adalah orang yang mengingkari sesuatu tanpa ilmu dan berbicara atas nama Allah tanpa didasari ilmu. Karena orang yang mempunyai ilmu sedikit saja dari kalangan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dimana saja ia berada dan kapan saja, mesti akan mengetahui kebenaran pembagian tersebut. Seseorang tidak dikatakan beriman kalai ia tidak mengimani tiga macam tauhid di atas. Barangsiapa mengimani tauhid rububiyyah saja, maka ia belum dikatakan mukmin. Demikian juga kalau dia hanya mengimani tauhid uluhiyyah atau tauhid asmaa’ wa shifaat saja. Jadi, seseorang dikatakan mukmin kalau dia mengimani ketiga macam tauhid di atas.
Silahkan bagi yang ingin mendalami pembagian tauhid ini baca buku diatas tulisan Asy Syaikh Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad Penerbit : Darulilmi
Wallaahu a’lam bish-shawwab.

referensi 

http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2009/06/asal-usul-pembagian-tauhid.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/10/pembagian-tauhid-menurut-ahlus-sunnah.html

Bantahan 4 : Keyakinan bahwa Ayah dan Ibu Nabi Muhammad masuk surga


Pada artikel di blog tersebut dengan judul : Ayah dan Ibu Nabi Muhammad SAW Masuk Sorga
Panjang lebar penulis blog tersebut menjelaskan bahwa ayah dan ibunda Nabi masuk surga. Padahal itu bertentangan dengan hadits yang shahih :

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ فِي النَّارِ فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
” dari Anas bin Malik bahwasanya seorang laki-laki berkata : Wahai Rasulullah di mana ayahku ? Nabi bersabda : ‘ di neraka’ . Ketika orang tersebut berpaling, Nabi memanggilnya lagi dan bersabda : ‘Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di an-naar (neraka) (H.R Muslim).

Penulis blog tersebut berusaha mati-matian menolak hadits ini dengan alasan bahwa hadits ini adalah ahad. Subhaanallah, dia menolak hadits yang shohih dengan alasan hanya hadits ahad, karena bertentangan dengan hawa nafsunya, namun di saat lain ia berdalil dengan hadits yang bukan sekedar ahad, namun justru tidak memiliki sanad yang jelas (seperti pada poin ke-1 di atas dan akan dikemukakan pada poin ke-4, Insya Allah). Padahal, keyakinan Ahlusunnah adalah hadits shohih bisa digunakan sebagai hujjah dalam masalah hukum maupun akidah. (Untuk melihat penjelasan lebih lanjut tentang ini bisa dilihat pada blog albashirah.wordpress.com pada tulisan : Hadits Ahad Hujjah dalam Masalah Aqidah dan Hukum bag ke-1 sampai ke-4).
Imam AnNawawi menjelaskan dalam Syarh Shohih Muslim tentang hadits di atas :
(dalam hadits ini terkandung faidah) : ” Bahwasanya barangsiapa yang meninggal dalam keadaan kafir, maka dia masuk anNaar, dan tidaklah bermanfaat baginya kedekatan hubungan kekeluargaan dengan orang-orang yang dekat (dengan Allah). Di dalamnya juga terkandung faidah bahwa orang yang meninggal dalam masa fatrah, yang berada di atas kebiasaan orang Arab berupa penyembahan berhala, maka dia termasuk penghuni annaar. Dan tidaklah dianggap bahwa dakwah belum sampai pada mereka, karena sesungguhnya telah sampai pada mereka dakwah Nabi Ibrahim, dan Nabi yang lainnya -semoga sholawat dan keselamatan dari Allah tercurah untuk mereka.
Sedangkan berkaitan dengan ibunda Nabi, terdapat penjelasan dalam hadits yang shohih, Nabi bersabda :
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي
“Aku memohon ijin kepada Tuhanku untuk memohon ampunan bagi ibuku, tetapi tidaklah diijinkan untukku, dan aku mohon ijin untuk berziarah ke kuburannya, dan diijinkan”(H.R Muslim dari Abu Hurairah)
dalam riwayat Ahmad :
إِنِّي سَأَلْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فِي الِاسْتِغْفَارِ لِأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي فَدَمَعَتْ عَيْنَايَ رَحْمَةً لَهَا مِنْ النَّارِ
“Sesungguhnya aku meminta kepada Tuhanku ‘Azza Wa Jalla untuk memohon ampunan bagi ibuku, namun tidak diijinkan, maka akupun menangis sebagai bentuk belas kasihan baginya dari adzab anNaar” (hadits riwayat Ahmad dari Buraidah, al-Haitsamy menyatakan bahwa rijaal hadits ini adalah rijaalus shohiih).
Dalam riwayat lain :
عَنْ أبِي رَزِينٍ، قَالَ: قُلْتَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيْنَ أُمِّي؟، قَالَ:”أُمُّكَ فِي النَّارِ”، قَالَ: فَأَيْنَ مَنْ مَضَى مِنْ أَهْلِكَ؟، قَالَ:”أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ أُمُّكَ مَعَ أُمِّي
” dari Abu Roziin beliau berkata : Aku berkata : Wahai Rasulullah, di mana ibuku? Nabi menjawab : ‘Ibumu di an-Naar’. Ia berkata : Maka di mana ornag-orang terdahulu dari keluargamu? Nabi bersabda : Tidakkah engkau ridla bahwa ibumu bersama ibuku” (H.R Ahmad dan atThobarony, dan al-Haitsamy menyatakan bahwa perawi-perawi hadits ini terpercaya (tsiqoot)).
Nabi tidak diijinkan untuk memohon ampunan bagi ibunya, disebabkan alasan yang disebutkan dalam AlQur’an :
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” (Q.S atTaubah :113).
Maka saudaraku kaum muslimin, telah jelas khabar dari hadits-hadits Nabi yang shohih bahwa sebenarnya ayah dan ibunda Nabi di an-Naar. Kita sebagai orang yang beriman merasa sedih dengan hal-hal yang membuat Nabi bersedih. Bukankah Nabi menangis sedih ketika beliau memintakan ampunan bagi ibundanya, namun Allah tidak ijinkan. Akan tetapi, dalil-dalil yang shohih di atas memberikan pelajaran penting bagi kita, bahwa kedekatan kekerabatan dengan orang Sholih, bahkan seorang Nabi, tidak menjamin seseorang untuk ikut-ikutan masuk surga. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Imam AnNawawi di atas. Sebagaimana juga Nabi mewasiatkan kepada keluarga-keluarga dekatnya :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ } دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُرَيْشًا فَاجْتَمَعُوا فَعَمَّ وَخَصَّ فَقَالَ يَا بَنِي كَعْبِ بْنِ لُؤَيٍّ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي مُرَّةَ بنِ كَعْبٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي هَاشِمٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا فَاطِمَةُ أَنْقِذِي نَفْسَكِ مِنْ النَّارِ فَإِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا غَيْرَ أَنَّ لَكُمْ رَحِمًا سَأَبُلُّهَا بِبَلَالِهَا
” Dari Abu Hurairah beliau berkata : Ketika turun firman Allah –QS Asy-Syuaroo’:213-(yang artinya) : ‘Dan berikanlah peringatan kepada kerabat dekatmu’, Nabi memanggil orang-orang Quraisy sehingga mereka berkumpul –secara umum dan khusus-Nabi bersabda : ‘Wahai Bani Ka’ab bin Lu-ay, selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Bani Murroh bin Ka’ab selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Bani Abdi Syams selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Bani Abdi Manaaf selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Bani Hasyim selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Bani Abdil Muththolib selamatkan diri kalian dari anNaar, wahai Fathimah selamatkan dirimu dari anNaar, sesungguhnya aku tidak memiliki kekuasaan melindungi kalian dari (adzab) Allah sedikitpun, hanyalah saja kalian memiliki hubungan rahim denganku yang akan aku sambung (dalam bentuk silaturrahmi)(H.R Muslim)
Hanya kepada Allahlah kita berharap Jannah-Nya dan hanya kepadaNya kita memohon perlindungan dari an-Naar.
 http://bantahansalafytobat.wordpress.com/2010/10/16/bantahan-4-keyakinan-bahwa-ayah-dan-ibu-nabi-muhammad-masuk-surga/

BANTAHAN 5 : Fitnah dan Bid’ah Wahaby (Salafy Palsu) di Bulan Ramadhan (2) : dalil Waktu sahur dan Imsyak’.



waktu sahur
Di saat kaum muslimin sedang berupaya mendekatkan diri kepada Allah di bulan Ramadlan dengan berbagai aktivitas ibadah, terdapat beberapa orang yang berusaha menebarkan fitnah terhadap para Ulama’ Ahlussunnah yang mereka sebut dengan istilah wahaby. Dalam suatu blog penentang dakwah Ahlussunnah terdapat tulisan yang berjudul: ‘Fitnah dan Bid’ah Wahaby (Salafy Palsu) di Bulan Ramadhan (2) : dalil Waktu sahur dan Imsyak’. Tulisan tersebut berisi hasutan untuk membenci para Ulama’ Ahlussunnah yang mereka istilahkan dengan wahaby dengan mengesankan bahwa para Ulama tersebut ‘Mensyariatkan  Makan Sahur sampai mendekati waktu iqamat shalat subuh dengan dalih mengakhirkan sahur’.
Sungguh suatu kedustaan jika tuduhan itu dialamatkan pada para Ulama’ Ahlussunnah semisal Syaikh Muhammad Amien Asy-Syinqithy, Syaikh Bin Baaz, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di,  Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, dan para ulama’ Ahlussunnah lainnya. Silakan disimak ceramah-ceramah para Ulama tersebut, kaji kitab-kitab yang mereka tulis, niscaya kita akan mendapati mereka berdakwah di atas ilmu dan berdasar manhaj Nabi dan para Sahabatnya. Tidaklah mereka berdalil kecuali dengan AlQur’an dan AsSunnah yang shahihah dengan pemahaman para Sahabat Nabi.
Waktu berakhirnya makan sahur adalah dengan masuknya waktu Subuh, yang berarti berakhirnya malam. Timbulnya fajar shadiq di ufuk timur yang membentang secara horisontal menandai permulaan seorang harus menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa (shoum).
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“… makan dan minumlah sampai nampak jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar “ (Q.S AlBaqoroh:187).
Al-Hafidz Ibnu Katsir menyatakan dalam tafsirnya:
أباح تعالى الأكل والشرب، مع ما تقدم من إباحة الجماع في أيّ الليل شاء الصائمُ إلى أن يتبين ضياءُ الصباح من سواد الليل، وعبر عن ذلك بالخيط الأبيض من الخيط الأسود
“Allah Ta’ala membolehkan makan dan minum, dan yang telah disebutkan sebelumnya dari pembolehan berhubungan suami-istri pada bagian manapun di waktu malam bagi orang yang berpuasa sampai jelas cahaya pagi dari gelapnya malam, hal itu diibaratkan sebagai benang putih dari benang hitam” (Tafsir al-Qur’anil ‘Adzhim ).
Kekeliruan yang banyak terjadi saat ini adalah didengungkannya seruan ‘imsak’ sekitar 10 atau 15 menit sebelum masuknya waktu Subuh. Seruan imsak itu bertujuan agar orang-orang yang berpuasa memulai menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa pada waktu-waktu tersebut, mendahului waktu yang semestinya.
Banyak di antara saudara-saudara kita kaum muslimin yang menjadi rancu dalam memahami kapan seharusnya mereka berhenti dan mulai berpuasa. Hal itu diakibatkan seruan imsak tersebut.
Secara bahasa, makna ‘imsak’ adalah menahan diri. Tidak sedikit dari kaum muslimin yang memahami bahwa kalau sudah tiba masa seruan imsak itu dikumandangkan, maka pada saat itulah seharusnya mereka mulai menahan diri. Minimal mereka berpandangan makruh, dan tidak sedikit yang sudah menganggap bahwa haram bagi seseorang untuk makan, minum, dan melakukan hal lain yang membatalkan puasa.
Demikianlah kenyataannya, wahai saudaraku kaum muslimin….
Ketika diada-adakan hal baru dalam suatu Dien ini, maka tercabutlah suatu Sunnah Nabi, sehingga menjadi asing ketika diperkenalkan kembali. Demikian semaraknya seruan imsak ini dikumandangkan hampir di seluruh pelosok negeri kaum muslimin, sampai-sampai banyak orang yang menganggap bahwa itulah Sunnah. Mereka mengira bahwa di masa Nabi dulu, memang ada seruan imsak itu menjelang masuk waktu Subuh. Maka akan terasa janggal dan aneh, jika seruan imsak itu ditiadakan.
Padahal, di masa Nabi tidak pernah ada seruan imsak dikumandangkan. Justru yang ada adalah adzan dikumandangkan 2 kali, menjelang Subuh dan saat masuknya Subuh. Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wasallam memiliki 2 muadzin: yaitu Bilal bin Rabah  dan Ibnu Ummi Maktum dan. Nabi Muhammad shollallaahu a’laihi wasallam bersabda:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤَذِّنَانِ بِلَالٌ وَابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ قَالَ وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا إِلَّا أَنْ يَنْزِلَ هَذَا وَيَرْقَى هَذَا
Dari Ibnu Umar –semoga Allah meridlai keduanya- beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam memiliki 2 muadzin, yaitu Bilal dan Ibnu Ummi Maktum yang buta. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Bilal adzan pada waktu malam, maka makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. (Ia berkata) : tidaklah di antara keduanya kecuali yang ini turun sedangkan yang satunya naik “ (H.R Muslim)
Al-Imam AnNawawy berkata:
قَالَ الْعُلَمَاء : مَعْنَاهُ أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ قَبْل الْفَجْر ، وَيَتَرَبَّص بَعْد أَذَانه لِلدُّعَاءِ وَنَحْوه ، ثُمَّ يَرْقُب الْفَجْر فَإِذَا قَارَبَ طُلُوعه نَزَلَ فَأَخْبَرَ اِبْن أُمّ مَكْتُوم فَيَتَأَهَّبُ اِبْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ بِالطَّهَارَةِ وَغَيْرهَا ، ثُمَّ يَرْقَى وَيَشْرَع فِي الْأَذَان مَعَ أَوَّل طُلُوع الْفَجْر . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
Para Ulama berkata: maknanya adalah bahwa sesungguhnya Bilal adzan sebelum fajar, dan menunggu setelah masa adzannya dengan doa dan semisalnya. Kemudian ia memperhatikan masa-masa keluarnya fajar. Jika telah mendekati keluarnya fajar, ia memberitahukan pada Ibnu Ummi Maktum sehingga Ibnu Ummi Maktum bersiap-siap dengan bersuci (thaharah) dan semisalnya, kemudian dia naik dan mulai adzan pada permulaan munculnya fajar” (Syarh Shohih Muslim linNawawy juz 4 halaman 69).
Dalam hadits lain, Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ أَوْ أَحَدًا مِنْكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ مِنْ سَحُورِهِ فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ أَوْ يُنَادِي بِلَيْلٍ لِيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ وَلِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ
Dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: ‘Janganlah adzan Bilal mencegah kalian dari sahurnya, karena sesungguhnya ia adzan di waktu malam untuk ‘mengembalikan’ orang-orang yang qiyaamul lail dan membangunkan yang tidur (H.R al-Bukhari).
Sudah demikian jauhnya keadaan di masa kita dengan di masa Nabi. Di masa beliau, dikumandangkan 2 kali adzan yang terkait dengan Subuh. Namun di masa kita, di negara ini, sudah jarang hal itu dilakukan. Lebih menyedihkan lagi, ketidakmampuan kita mendekati pelaksanaan Sunnah itu, akankah lebih diperparah dengan mengada-adakan sesuatu yang tidak pernah dicontohkan Nabi, tidak pula disunnahkan oleh para Khulafa’ur Rasyidin.
Nabi memiliki 2 muadzin, tidak pernah beliau memerintahkan salah satu dari keduanya untuk mengumandangkan ‘imsak’. Tidak pula para Khulafa’ur Rasyidin.
Berikut ini akan dijelaskan beberapa hal yang menunjukkan kelemahan dan keburukan dikumandangkannya seruan ‘imsak’:
1.    Hal itu adalah bid’ah dan menyebabkan umat semakin jauh dari Sunnah Nabi yang sebenarnya.
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan sesuatu dari Dien ini yang tidak diidzinkan Allah?” (Q.S Asy-Syuuro:21).
Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“dan berhati-hatilah kalian dari sesuatu yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan (dalam Dien/agama) adalah bid’ah d an setiap bid’ah adalah sesat”(H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah).
Sebenarnya, bagi seseorang yang memahami bahaya bid’ah dan begitu tingginya kemulyaan dan keharusan berpegang dengan Sunnah Nabi, cukuplah satu poin ini sebagai keburukan yang harus ditinggalkan.
(InsyaAllah pada tulisan lain akan dijelaskan secara lebih lengkap penjelasan tentang bid’ah, syubhat tentang pendefinisian dan pembagiannya, serta bahaya-bahaya yang ditimbulkannya. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan taufiq dan kemudahan).
2.    Menyebabkan seseorang meninggalkan Sunnah Sahur atau Sunnah Mengakhirkan Waktu Sahur.
Jika seseorang terbangun beberapa menit menjelang Subuh, namun ia telah mendengar seruan imsak, bisa jadi ia mengurungkan niat bersahur, jika ia memang tidak tahu bahwa masih diperbolehkan baginya makan dan minum sebelum masuknya waktu Subuh. Hal itu menyebabkan orang tersebut terlewatkan dari Sunnah Nabi yang mengandung barokah (kebaikan yang banyak). Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
“Bersahurlah, karena pada sahur itu ada barokah” (Muttafaqun ‘alaih).
Waktu antara kumandang imsak dan Subuh sebenarnya masih memungkinkan untuk seseorang bersahur, meski dengan seteguk air. Seseorang juga menjadi terhalangi untuk mengakhirkan waktu sahur, padahal itu adalah Sunnah Nabi.
تَسَحَّرُوْا وَلَوْ بِجُرْعَةٍ مِنْ مَاءٍ
“Bersahurlah walaupun (hanya) dengan seteguk air” (H.R Ibnu Hibban, Syaikh alAlbaany menyatakan hasan shahih dalam Shahih atTarghib watTarhiib).
عَنْ أَبِي عَطِيَّةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ فِينَا رَجُلَانِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدُهُمَا يُعَجِّلُ الْإِفْطَارَ وَيُؤَخِّرُ السُّحُورَ وَالْآخَرُ يُؤَخِّرُ الْإِفْطَارَ وَيُعَجِّلُ السُّحُورَ قَالَتْ أَيُّهُمَا الَّذِي يُعَجِّلُ الْإِفْطَارَ وَيُؤَخِّرُ السُّحُورَ قُلْتُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ قَالَتْ هَكَذَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ
Dari Abu Athiyyah beliau berkata: Aku berkata kepada ‘Aisyah: di tengah-tengah kami ada dua orang Sahabat Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam. Yang satu menyegerakan ifthar (berbuka) dan mengakhirkan sahur, sedangkan yang lain mengakhirkan berbuka dan mengawalkan sahur. Aisyah berkata: Siapa yang menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur? Aku berkata: Abdullah bin Mas’ud. Aisyah berkata: Demikianlah yang dilakukan Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam (H.R anNasaa-i, dishahihkan Syaikh alAlbaany).
3.    Memberikan kesempitan bagi kaum muslimin, pada saat mereka masih diperbolehkan untuk makan dan minum justru dihalangi dengan seruan imsak. Bisa dengan keyakinan makruh atau haram.
Hal ini bertentangan dengan perintah Nabi untuk memberikan kemudahan kepada kaum muslimin
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
“ Berikanlah kemudahan, janganlah mempersulit. Berikan kabar gembira, jangan membuat lari” (H.R alBukhari).
4.    Pada taraf tertentu, pensyariatan kumandang imsak akan mengarah pada perasaan lebih baik dibandingkan yang dilakukan Nabi dan para Sahabat
Dengan adanya kumandang imsak, kadang seseorang merasa hal itu lebih baik dibandingkan jika tidak ada. Setelah dia tahu bahwa hal itu tidak pernah dicontohkan Nabi dan para Khulafaur Rasyidin. Akan timbul anggapan bahwa hal itu akan lebih baik, meski tidak pernah dilakukan Nabi. Biasanya timbul ucapan:’Bukankah hal ini lebih baik dan merupakan bentuk kehati-hatian?’
Subhaanallaah! Apakah kita menyangka Nabi kurang memiliki semangat untuk menjauhkan umatnya dari hal yang bisa menjerumuskannya pada dosa?  Beliau adalah yang paling bertaqwa dan paling bersemangat untuk menyampaikan umatnya pada segenap kebaikan.
Jika alasannya adalah kehati-hatian, ketahuilah tidak semua upaya kehati-hatian akan berujung pada kebaikan, bahkan ada yang bisa menjerumuskan seseorang pada kemaksiatan. Sebagai contoh, seseorang yang berusaha berhati-hati ketika berada pada hari yang meragukan, apakah sudah masuk Ramadlan atau belum. Kemudian dia berpuasa (menahan diri tidak makan, minum dan segala hal yang membatalkan puasa) sebagai bentuk kehati-hatian, menurutnya. Dalam hal ini terkena padanya hadits :
عَنْ صِلَةَ قَالَ كُنَّا عِنْدَ عَمَّارٍ فِي الْيَوْمِ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَأَتَى بِشَاةٍ فَتَنَحَّى بَعْضُ الْقَوْمِ فَقَالَ عَمَّارٌ مَنْ صَامَ هَذَا الْيَوْمَ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Shilah beliau berkata: Kami pernah berada di sisi Ammar pada suatu hari yang meragukan, kemudian datang dengan membawa kambing, sebagian kaum menyingkir (berpuasa), maka Ammar berkata: Barangsiapa yang berpuasa pada hari ini maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Abul Qoshim shollallaahu ‘alaihi wasallam” (H.R Abu Dawud dan Ibnu Majah, dishahihkan Syaikh al-Albaany).
Upaya kehati-hatian seharusnya dibimbing oleh Sunnah Nabi, bukan suatu hal yang diada-adakan dan tidak pernah beliau contohkan.
Pada taraf tertentu yang lebih mengkhawatirkan lagi, jika seseorang melakukan suatu kebid’ahan kemudian dia menganggap baik hal itu, maka bisa jadi dia menganggap Nabi telah berkhianat dalam mengemban risalah. Wal ‘iyaadzu billah. Ada anggapan bahwa hal yang dia lakukan itu baik, sedangkan Nabi tidak mencontohkan dan melakukannya, padahal tidak ada penghalang untuk melakukannya, berarti ada kebaikan yang tidak disampaikan oleh Nabi.
Karena itu al-Imam Malik menyatakan:
من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة
“Barangsiapa yang berbuat kebid’ahan dalam Islam yang dia anggap baik, maka sungguh ia telah menyangka bahwa Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam telah berkhianat terhadap risalah” (Lihat al-I’tishom (1/49)).

 http://bantahansalafytobat.wordpress.com/2010/10/20/bantahan-5-fitnah-dan-bid%E2%80%99ah-wahaby-salafy-palsu-di-bulan-ramadhan-2-dalil-waktu-sahur-dan-imsyak%E2%80%99/

BANTAHAN 6 : KEDUSTAAN TUDUHAN : AL-ALBANY MENGKAFIRKAN AL-BUKHARI


Syaikh Albani dihujat
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany rahimahullah adalah salah seorang ulama’ Ahlussunnah. Beliau memiliki kapasitas keilmuan dalam ilmu hadits yang tidak diragukan lagi. Karya-karya beliau banyak dijadikan rujukan. Sebagai salah satu bentuk nikmat yang Allah berikan kepada kaum muslimin adalah hasil-hasil penelitian/ kajian beliau terhadap hadits-hadits Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam.
Begitu bermanfaatnya tulisan-tulisan kajian hadits Syaikh alAlbaany tersebut, sampai-sampai Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i menyatakan: “Suatu perpustakaan (Islam) yang tidak memiliki karya Syaikh al-Albaany adalah perpustakaan yang miskin”. Karya tulis beliau memang benar-benar dijadikan referensi kaum muslimin. Baik Ahlussunnah yang mengambil faidah dari kajian ilmiyah tersebut, maupun musuh-musuh beliau yang dengki terhadap beliau, tidak sedikit yang juga menyimpan karya tulis beliau dalam bagian koleksi pribadinya, kemudian secara diam-diam menjadikannya sebagai salah satu rujukan.
Para penentang dakwah Ahlussunnah menganggap Syaikh alAlbany sebagai Imam Salafy yang secara fanatik diikuti secara membabi buta. Padahal tidak demikian. Beliau adalah salah satu dari sekian banyak Ulama’ Ahlussunnah, yang semua Ulama’ tersebut diperlakukan sama oleh Ahlussunnah dalam hal: dihormati karena keilmuannya tanpa melampaui batas, diikuti nasehat dan bimbingannya selama sesuai dengan Sunnah Nabi, dan dijelaskan ketergelinciran atau kesalahan ijtihadnya –jika diperlukan- dalam beberapa hal dengan tetap memperhatikan adab dan mendoakan rahmat bagi beliau. Sebagai manusia, beliau tidaklah luput dari kesalahan. Sebagaimana ucapan Imam Malik:
كل أحد يؤخذ من قوله، ويترك، إلا صاحب هذا القبر صلى الله عليه وسلم
“Setiap orang ucapannya bisa diambil atau ditinggalkan, kecuali orang yang ada di dalam kubur ini (sambil mengisyaratkan pada kuburan Nabi) shollallaahu ‘alaihi wasallam (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ karya al-Hafidz Adz-Dzahaby juz 8 halaman 93).
Ya, setiap orang selain Nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam tidaklah ma’shum (terjaga) dari kesalahan. Hanya Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam sajalah yang petunjuknya dalam masalah Dien tidak bisa tidak harus diikuti. Sabda beliau tidak bisa ditolak. Beda dengan manusia lain. Manusia lain, siapapun orangnya, setinggi apapun tingkat keilmuannya, ada kalanya benar, ada kalanya salah.
Demikian juga Syaikh al-Albany. Ahlussunnah tidaklah fanatik secara membabi buta terhadap hasil telaah hadits yang beliau lakukan. Jika hasil penelitian Syaikh al-Albany terhadap suatu hadits ternyata bertentangan dengan kajian Ulama’ Ahlussunnah lain yang pendapatnya lebih kuat, ditopang hujjah yang lebih kokoh, maka pendapat Ulama’ Ahlussunnah itulah yang harus diikuti.
Lajnah ad-Daimah pada saat masih diketuai Syaikh Bin Baz beberapa kali pernah menjadikan hasil penelitian Syaikh al-Albany sebagai rujukan. Silakan disimak tanya jawab berikut dalam Fatwa Lajnah ad-Daaimah:
س: « صنفان من الناس إذا صلحا صلح الناس… » إلخ، هل هو حديث أو من كلام عمر ؟
ج: رواه أبو نعيم في [الحلية] عن ابن عباس ، وقد ذكره السيوطي في الجامع الصغير بهذا اللفظ: « صنفان من الناس إذا صلحا صلح الناس وإذا فسدا فسد الناس: العلماء والأمراء » ورمز له السيوطي بالضعف، ونقل المناوي في شرحه [الجامع الصغير] عن الحافظ العراقي أنه ضعيف، وذكر أخونا العلامة الشيخ ناصر الدين الألباني في كتاب [سلسلة الأحاديث الضعيفة] أنه موضوع؛ لأن في إسناده محمد بن زياد اليشكري ، وهو كذاب، قاله أحمد وابن معين .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
Pertanyaan: “Ada 2 kelompok orang yang  jika mereka berdua baik, maka akan baiklah keadaan manusia…”. Apakah (lafadz) itu adalah hadits atau ucapan Umar?

Jawaban: (Ucapan) itu diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam ‘al-Hilyah’ dari Ibnu Abbas. As-Suyuthy menyebutkannya dalam al-Jami’us Shaghir dengan lafadz: “ Dua kelompok orang yang jika baik keduanya, maka manusia akan baik, yaitu Ulama’ dan Umara’ (pemimpin)”. As-Suyuthy mengisyaratkan kelemahannya. Dan alMunawy menukil perkataan alHafidz al-‘Iraqy dalam Syarahnya terhadap alJami’us Shaghir bahwasanya itu lemah(dhaif). Dan saudara kita asy-Syaikh Nashiruddin al-Albaany dalam kitabnya Silsilah al-Ahaadits ad-Dhaifah (menyatakan) bahwa itu palsu. Karena pada sanadnya terdapat Muhammad bin Ziyaad al-Yasykary, yang dia adalah pendusta, sebagaimana dikatakan oleh Ahmad dan(Yahya) Ibnu Ma’in. (Fatwa al-Lajnah adDaaimah juz 6 halaman 336).
Demikian juga pada fatwa no 7586, ketika ada yang menanyakan derajat suatu hadits: “Allah mewahyukan kepada Dawud: Tidaklah hambaku menyandarkan diri padaKu…..”
alLajnah ad-Daaimah menyatakan:
الحديث الذي ذكرت: موضوع، كما ذكر الشيخ محمد ناصر الألباني ؛ لأن في سنده يوسف بن السفر ، وهو ممن يضع الأحاديث
“Hadits yang anda sebutkan adalah palsu, sebagaimana dinyatakan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany, karena pada sanadnya ada Yusuf bin as-Safar, yang dia termasuk pemalsu hadits” (Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah juz 6 halaman 404).
Ketika ada penanya yang menanyakan bagaimana dengan kitab ‘Silsilah al-Ahaadits ad-Dhaifah’ karya Syaikh al-Albany, apakah bisa dijadikan rujukan? Lajnah ad-Daimah menjelaskan:
أما كتاب [سلسلة الأحاديث الضعيفة والموضوعة] فمؤلفه واسع الاطلاع في الحديث، قوي في نقدها والحكم عليها بالصحة أو الضعف، وقد يخطئ
“Sedangkan kitab Silsilah al-Ahaadits ad-Dhaifah wal maudlu’ah, penulisnya memiliki wawasan yang luas dalam ilmu hadits, kuat dalam hal mengkritik dan menentukan shahih atau lemahnya (hadits), (walaupun) kadang-kadang ia juga salah”(Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah juz 6 halaman 404)
Di lain kesempatan, Lajnah ad-Daimah juga berbeda pendapat dengan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany ketika ada penanya yang menanyakan kedudukan hadits tentang sholat tasbih. Lajnah ad-Daimah cenderung pada pendapat bahwa hadits-hadits tentang itu tidak ada yang shahih, sedangkan Syaikh alAlbany cenderung pada pendapat Ulama sebelumnya yang menshahihkan salah satu riwayat (Fatwa al-Lajnah adDaimah juz 6 halaman 401). Hal itu menunjukkan keadilan sikap Ulama’ Ahlussunnah terhadap Ulama’ lainnya, mereka menghormatinya dan mencintainya karena Allah, kadangkala menukil ucapannya untuk menguatkan pendapat, namun mereka tidak pernah mengkultuskan dan menganggap bahwa orang itu tidak pernah salah sehingga semua ucapannya harus selalu diikuti.
Di lain sisi, para penentang dakwah Ahlussunnah sangat membenci Syaikh alAlbany. Mereka berusaha menebarkan tuduhan-tuduhan dusta terhadap beliau. Di antaranya tuduhan bahwa Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany telah mengkafirkan Imam al-Bukhari.
Pada salah satu blog penentang dakwah Ahlussunnah, terdapat tulisan berjudul: “AL-ALBANY MENGKAFIRKAN IMAM BUKHARY”. Berikut akan kami nukilkan tulisan dari blog tersebut. Kutipan di antara tanda “[[ .........]]”  adalah isi tulisan dari blog penentang Ahlussunnah tersebut.

[[
Antara Fatwanya lagi, mengingkari takwilan Imam Bukhari. Sesungguhnya Imam Bukhari telah mentakwilkan Firman Allah :
كل سيء هالك إلا وجهه
قال البخاري بعد هذه الأية : أي ملكه
Tetapi Al-Albaany mengkritik keras takwilan ini lalu berkata :
(( هذا لا يقوله مسلم مؤمن ))
” Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang Muslim yang beriman “. Lihatlah kitab (( Fatawa Al-Albaany )) m/s 523. Tentang takwilan Imam Bukhari ini adalah suatu yang diketahui ramai kerana jika dilihat pada naskhah yang ada pada hari ini tidak ada yang lain melainkan termaktub di sana takwilan Imam Bukhari terhadap ayat Mutasyabihat tadi. Di samping itu juga, ini adalah antara salah satu dalil konsep penakwilan nusush sudah pun wujud pada zaman salaf (pendetailan pada pegertian makna). Bagaimana Beliau berani melontarkan pengkafiran terhadap Imam Bukhary As-Salafi dan mendakwa Imam Bukhary tiada iman dalam masa yang sama beriya-riya mengaku dirinya sebagai Muhaddits??!! memalukan je..

]]
Jika kita cermati, nukilan dari blog tersebut mengandung beberapa arti:
1.    Imam al-Bukhari dianggap telah melakukan takwil terhadap Sifat Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, beliau menakwilkan ‘Wajah’ Allah pada Qur’an surat al-Qoshosh ayat 88 dengan ‘Kekuasaan’/ ‘milik’Nya.
2.    Syaikh Al-Albany dalam kitab ‘Fataawa al-Albaany’ dianggap telah mengkafirkan Imam Al-Bukhari karena telah menyatakan:

هذا لا يقوله مسلم مؤمن
“ Ini tidaklah (pantas) diucapkan seorang muslim yang beriman”
Sehingga, secara garis besar bisa disimpulkan 2 pertanyaan mendasar, sekaligus syubhat yang perlu dijawab dan diluruskan. Benarkah Imam al-Bukhari telah mentakwilkan ‘Wajah’ Allah dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ ? Kemudian, benarkah Syaikh al-Albany mengkafirkan Imam al-Bukhari? Berikut ini kami sebutkan masing-masing syubhat tersebut berikut bantahannya. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan taufiqNya kepada kita semua…
Syubhat ke-1: Imam al-Bukhari telah Mentakwilkan ‘Wajah’ yang Merupakan Sifat Allah dengan ‘Kekuasaan’/’milik’. Itu Menunjukkan Imam al-Bukhari berpemahaman Al-‘Asyaairoh.
Bantahan:
Al-Imam al-Bukhari memahami ‘Asma’ WasSifat Allah sesuai dengan pemahaman Salafus Sholih. Beliau tidaklah mentakwil dengan takwil yang batil. Mari kita simak penjelasan al-Imam al-Bukhari dalam Shahihnya:

{ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ } إِلَّا مُلْكَهُ وَيُقَالُ إِلَّا مَا أُرِيدَ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ
“ { Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya} yaitu KekuasaanNya, dan dinyatakan juga : ‘kecuali segala yang diinginkan dengannya Wajah Allah “ (Shahih al-Bukhari juz 14 halaman 437).
Ini adalah pernyataan beliau yang bisa didapati pada sebagian naskah Shahih al-Bukhari, dan pada naskah yang lain tidak ada. Pernyataan Imam al-Bukhari ini bisa dijelaskan dalam beberapa hal penting:

Pertama, Imam al-Bukhari menukilkan beberapa tafsiran yang masyhur terhadap ayat tersebut. Dalam hal ini beliau menyebutkan makna : “Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya, dalam 2 penafsiran :
a.    إلا ملكه  : kecuali ‘Kekuasaan’ / ‘milik’Nya.
b.    إلا ما أريد به وجه الله : kecuali segala yang diinginkan dengannya Wajah Allah. Artinya, segala sesuatu yang dilakukan ikhlas karena Allah.
Imam al-Bukhari menukilkan 2 penafsiran ini, namun sebenarnya beliau lebih cenderung memilih pendapat yang kedua. Maknanya, segala sesuatu akan binasa/lenyap kecuali amalan yang dilakukan ikhlas hanya untuk Allah.
Bagaimana kita bisa tahu bahwa Imam al-Bukhari lebih cenderung pada pendapat yang kedua, bukan yang pertama?
Mudah sekali. Hal itu dijelaskan oleh alHafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Beliau menyatakan:

وقال مجاهد والثوري في قوله: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ } أي: إلا ما أريد به وجهه، وحكاه البخاري في صحيحه كالمقرر له
“ Mujahid dan ats-Tsaury berkata tentang firman Allah : ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali WajahNya’, yaitu: kecuali segala sesuatu yang diharapkan dengannya WajahNya. AlBukhari menghikayatkan dalam Shahihnya sebagai pendapatnya” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dalam menafsirkan Quran Surat al-Qoshosh ayat 88 juz 6 halaman 135 cetakan alMaktabah atTaufiqiyyah ta’liq dari Haani al-Haj).

Kedua, penukilan penafsiran ‘Wajah’ Allah dengan ‘Kekuasaan’ / ‘milik’ Allah ini perlu ditinjau ulang.
AlHafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menjelaskan dalam Fathul Baari:

قَوْله : ( إِلَّا وَجْهه : إِلَّا مُلْكه ) فِي رِوَايَة النَّسَفِيِّ ” وَقَالَ مَعْمَر ” : فَذَكَرَهُ . وَمَعْمَر هَذَا هُوَ أَبُو عُبَيْدَة بْن الْمُثَنَّى ، وَهَذَا كَلَامه فِي كِتَابه ” مَجَاز الْقُرْآن ” لَكِنْ بِلَفْظِ ” إِلَّا هُوَ ” وَكَذَا نَقَلَهُ الطَّبَرِيُّ عَنْ بَعْض أَهْل الْعَرَبِيَّة ، وَكَذَا ذَكَرَهُ الْفَرَّاء
Ucapan al-Bukhari {kecuali WajahNya : kecuali Kekuasaan/milikNya} ada pada riwayat anNasafiy dengan menyatakan : ‘Ma’mar berkata….’kemudian disebutkan ucapan tersebut. Ma’mar ini adalah Abu Ubaidah bin alMutsanna. Ucapan tersebut terdapat dalam kitabnya “Majaazul Qur’aan”, akan tetapi dengan lafadz ‘kecuali Dia’. Demikian juga dinukil oleh atThobary dari sebagian ahli bahasa Arab, dan disebutkan juga oleh al-Farra’ (Lihat Fathul Baari syarh Shahih alBukhari juz 13 halaman 292).
Dari penjelasan alHafidz di atas bisa disimpulkan bahwa Imam alBukhari menukilkan tafsiran ‘Wajah’ Allah dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ Allah berdasarkan riwayat anNasafiy dari perkataan Ma’mar. Namun, perkataan Ma’mar dalam kitabnya Majaazul Qur’an bukanlah menafsirkan kalimat ‘kecuali Wajah Allah’ dengan ‘kecuali Kekuasaan Allah’, tapi dengan ‘kecuali Dia’. Dari sini nampak jelas bahwa penukilan tafsir ‘Wajah Allah’ dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ Allah sebagai ucapan Ma’mar adalah penukilan yang tidak benar.     Atas dasar inilah, maka Syaikh Muhammad Nashiruddin alAlbaany ketika ditanya tentang hal ini beliau meragukan tafsiran itu sebagai tafsiran dari Imam alBukhari sendiri, dan tidak mungkin Imam alBukhari menyatakan demikian (InsyaAllah nanti akan diperjelas pada bantahan syubhat ke-2).

Ketiga, Imam alBukhari menetapkan ‘Wajah’ Allah.
Tidak seperti al-‘Asya-iroh yang menakwilkan Sifat Allah dengan Sifat yang batil, Imam alBukhari menakwilkannya dengan takwilan yang benar.
Takwilan yang benar adalah takwilan yang merupakan penjelas dari maksud suatu kalimat. Penakwilan tersebut tidaklah keluar dari kaidah bahasa Arab. Sedangkan takwilan yang batil adalah penakwilan yang pada dasarnya mengingkari adanya Sifat itu, kemudian dia palingkan maknanya pada makna yang lain. Intinya, seseorang yang menakwil dengan takwil yang batil mengingkari makna hakiki dari Sifat tersebut. Dia tidak menolaknya secara terang-terangan seperti para Mu’aththilah (Jahmiyyah), namun dia palingkan maknanya kepada makna yang lain.
Sebagai contoh, takwilan yang batil adalah menakwilkan ‘Tangan’ Allah dengan ‘Kekuasaan’. Seseorang yang menakwilkan ini tidaklah menetapkan bahwa Allah memiliki Tangan. Padahal Ahlussunnah tidaklah menetapkan kecuali yang Allah tetapkan untuk dirinya sendiri, sesuai dengan Kesempurnaan Sifat yang ada pada Allah tanpa memalingkannya pada makna yang lain.
Imam al-Bukhari menetapkan Wajah Allah sesuai dengan Kesempurnaan Sifat Allah, tanpa beliau palingkan pada makna lain. Bagaimana kita tahu bahwa beliau menetapkan ‘Wajah’ bagi Allah? Bisa kita simak dalam kitab Shahih beliau sendiri pada bagian yang lain. Beliau menempatkan bab tersendiri dalam penafsiran ayat itu, kemudian menyebutkan riwayat hadits yang menjelaskan kandungan bab  itu sendiri.
Imam alBukhari menyatakan dalam kitab Shahihnya:

بَاب قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ }
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرٍو عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ } قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعُوذُ بِوَجْهِكَ فَقَالَ{ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ } فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعُوذُ بِوَجْهِكَ قَالَ { أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا } فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَيْسَرُ

“Bab firman Allah Ta’ala : ‘Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya’
Telah memberitahukan kepada kami Qutaibah bin Sa’id (ia berkata) telah memberitahukan pada kami Hammad bin Zaid dari ‘Amr dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: ketika turun ayat ini : ‘Katakan: Dialah (Allah) Yang mampu untuk mengirim adzab dari atas kalian’, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’, kemudian firman Allah : ‘atau dari bawah kaki kalian’, Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘aku berlindung kepada WajahMu’, kemudian firman Allah: atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan), Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Ini lebih ringan’(Lihat Shahih alBukhari juz 22 halaman 410).
Telah dimaklumi di kalangan para Ulama’ Ahlul hadits bahwa pemilihan riwayat hadits dalam suatu bab merupakan representasi pemahaman Imam alBukhari terhadap makna yang ada pada bab tersebut. Ketika Imam alBukhari menyebutkan hadits perkataan/ doa Nabi: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’, beliau tidaklah mentakwilkan ucapan Nabi tersebut pada makna-makna lain. Beliau sekedar menyebutkan riwayat itu saja. Ini menunjukkan bahwa Imam alBukhari menetapkan Sifat ‘Wajah’ bagi Allah tanpa mentahrif (memalingkan) pada makna yang lain.
Mungkin masih tersisa pertanyaan: ‘Jika benar Imam alBukhari memilih pendapat yang kedua dalam menafsirkan ayat itu, bukankah juga berarti beliau menakwilkan ayat tersebut. Kalimat: ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali Wajah Allah’ ditakwilkan sebagai ‘Segala sesuatu akan binasa kecuali yang mengharapkan Wajah Allah’. Benar, itu adalah takwil yang beliau lakukan sebagaimana penakwilan atTsaury. Penakwilan tersebut tidaklah batil, karena memang dipahami dari ucapan lafadz Arab.
Al-Imam atThobary menyatakan dalam tafsir atThobary juz 19 halaman 643 bahwa penafsiran tersebut sesuai dengan perkataan syair:
أَسْتَغْفِرُ اللهَ ذَنْبًا لَسْتُ مُحْصِيهُ… رَبُّ العِبادِ إلَيْهِ الوَجْهُ والعَمَلُ
“Aku memohon ampun kepada Allah dari dosa yang aku tak mampu menghitungnya…
(Dialah) Rabb hamba-hamba, yang kepadaNya wajah (kehendak) dan amalan

Lafadz الوجه   (wajah) dalam kalimat syair tersebut berarti kehendak dan keinginan.
Takwil yang demikian bukanlah takwil yang batil, karena merupakan salah satu penjelasan terhadap makna kalimat yang sesuai dengan konteks bahasa Arab yang biasa dipahami. Selain itu, penakwilan ini tidaklah menafikan penetapan ‘Wajah’ bagi Allah sesuai dengan Keagungan, Kemulyaan, dan Kesempurnaan Allah, yang tidak sama dengan makhlukNya, dan tidak diketahui kaifiyatnya kecuali Allah.

Syubhat ke-2: Syaikh alAlbany Mengkafirkan Imam alBukhari
Bantahan:
Ini adalah kedustaan yang besar. Syaikh alAlbany tidaklah mengkafirkan Imam alBukhari. Jika yang dimaksud adalah ucapan Syaikh alAlbany dalam Fataawa alAlbaany, maka mari kita simak nukilan percakapan tanya jawab tersebut:

السؤال
لي عدة أسئلة، ولكن قبل أن أبدأ أقول: أنا غفلت بالأمس عن ذكر هذه المسألة، وهي عندما قلت: إن الإمام البخاري ترجم في صحيحه في معنى قوله تعالى: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ } [القصص:88] قال: إلا ملكه.
صراحة أنا نقلت هذا الكلام عن كتاب اسمه: دراسة تحليلية لعقيدة ابن حجر ، كتبه أحمد عصام الكاتب ، وكنت معتقداً أن نقل هذا الرجل إن شاء الله صحيح، ولازلت أقول: يمكن أن يكون نقله صحيحاً، ولكن أقرأ عليك كلامه في هذا الكتاب.

إذ يقول: قد تقدم ترجمة البخاري لسورة القصص في قوله تعالى: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ } [القصص:88]، أي: إلا ملكه، ويقال: (إلا) ما أريد به وجه الله، وقوله: إلا ملكه، قال الحافظ في رواية النسفي وقال معمر فذكره، و معمر هذا هو أبو عبيدة بن المثنى ، وهذا كلامه في كتابه مجاز القرآن ، لكن بلفظ (إلا هو)، فأنا رجعت اليوم إلى الفتح نفسه فلم أجد ترجمة للبخاري بهذا الشيء، ورجعت لـ صحيح البخاري دون الفتح ، فلم أجد هذا الكلام للإمام البخاري ، ولكنه هنا كأنه يشير إلى أن هذا الشيء موجود برواية النسفي عن الإمام البخاري ، فما جوابكم؟
الجواب
جوابي تقدم سلفاً.
السائل: أنا أردت أن أبين هذا مخافة أن أقع في كلام على الإمام البخاري .
الشيخ: أنت سمعت مني التشكيك في أن يقول البخاري هذه الكلمة؛ لأن تفسير قوله تعالى: { وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالْأِكْرَامِ } [الرحمن:27] أي: ملكه، يا أخي! هذا لا يقوله مسلم مؤمن، وقلت أيضاً: إن كان هذا موجوداً فقد يكون في بعض النسخ، فإذاً الجواب تقدم سلفاً، وأنت جزاك الله خيراً الآن بهذا الكلام الذي ذكرته تؤكد أنه ليس في البخاري مثل هذا التأويل الذي هو عين التعطيل
.
السائل: يا شيخنا! على هذا كأن مثل هذا القول موجود في الفتح ، وأنا أذكر أني مرة راجعت هذه العبارة باستدلال أحدهم، فكأني وجدت مثل نوع هذا الاستدلال، أي: أنه موجود وهو في بعض النسخ، لكن أنا قلت له: إنه لا يوجد إلا الله عز وجل، وإلا مخلوقات الله عز وجل، ولا شيء غيرها، فإذا كان كل شيء هالك إلا وجهه، أي: إلا ملكه، إذاً ما هو الشيء الهالك؟!! الشيخ: هذا يا أخي! لا يحتاج إلى تدليل على بطلانه، لكن المهم أن ننزه الإمام البخاري عن أن يؤول هذه الآية وهو إمام في الحديث وفي الصفات، وهو سلفي العقيدة  والحمد لله

Pertanyaan:’Saya memiliki beberapa pertanyaan, akan tetapi sebelum saya mulai, saya katakan: Saya lupa kemarin untuk menyebutkan masalah ini, yaitu: Sesungguhnya al-Imam alBukhari menjelaskan dalam Shahihnya tentang firman Allah Ta’ala:’ Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya’ (Q.S alQoshosh: 88), beliau berkata: ‘kecuali kekuasaan/milikNya’. ‘Secara jelas saya menukil ucapan ini dari kitab yang berjudul: ‘Diraasah Tahliiliyah li ‘aqiidati Ibni Hajar’, ditulis oleh Ahmad ‘Ishaam al-Kaatib. Dan saya yakin bahwa nukilan penulis ini Insya Allah benar. Aku terus menerus berkata: mungkin nukilannya benar. Akan tetapi saya bacakan di hadapan anda ucapan beliau di dalam kitab ini.
Telah berlalu penjelasan alBukhari dalam surat alQoshosh tentang firman Allah Ta’ala : ‘Segala sesuatu akan binasa kecuali WajahNya’ (Q.S alQoshosh:88): Segala yang diharapkan dengannya Wajah Allah. Dan ucapan beliau: ‘Kecuali kekuasaanNya/ milikNya. AlHafidz Ibnu Hajar berkata dalam riwayat anNasafiy dan berkata Ma’mar, kemudian disebutkan ucapan tersebut. Ma’mar ini adalah Abu Ubaidah bin alMutsanna. Ini adalah ucapannya dalam kitabnya Majaazul Qur’an. Akan tetapi dengan lafadz ‘kecuali Dia’. Aku pada hari ini berusaha melihat kembalai Fathul Baari tetapi tidak aku temui penjelasan alBukhari tentang itu. Kemudian aku juga melihat kembali kitab Shahih alBukhari yang tanpa syarh Fathul Baari, aku juga tidak mendapati ucapan ini dari alBukhari. Akan tetapi, seakan-akan itu mengisyaratkan bahwa kalimat itu ada pada riwayat anNasafiy dari al-Imam al-Bukhari. Bagaimana jawaban anda?
Jawaban: “Jawaban saya adalah seperti yang tersebutkan lalu”.
Penanya bertanya lagi: “Saya ingin menjelaskan ini karena khawatir terjatuh dalam kesalahan terhadap ucapan al-Imam al-Bukhari.
Syaikh alBany berkata lagi: Anda telah mendengar dari saya keraguan bahwa alBukhari mengucapkan kalimat tersebut. Karena sesungguhnya tafsir firman Allah Ta’ala: ‘Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’ (ArRahman:27), (Wajah) yaitu Kekuasaan/MilikNya. Wahai saudaraku, ucapan ini tidak sepantasnya diucapkan seorang muslim yang beriman. Aku juga katakan bahwa: Jika (perkataan) tersebut ada, mungkin terdapat pada sebagian naskah. Kalau demikian, maka jawabannya adalah pada yang telah lalu. Kepada anda, Jazaakallah khairan (semoga Allah membalas anda dengan kebaikan), sekarang dengan ucapan yang telah anda sebutkan itu memperjelas bahwa tidak ada dalam alBukhari semisal takwil tersebut yang merupakan bentuk peniadaan.
Penanya bertanya lagi: Wahai Syaikh kami, sepertinya ucapan semacam ini terdapat dalam Fathul Baari. Saya telah menyebutkan bahwa saya berkali-kali mengecek kembali kalimat ini dengan pendalilan salah satu dari mereka. Sepertinya saya menemukan sebagian bentuk pendalilan ini, bahwasanya itu terdapat dalam sebagian naskah. Akan tetapi saya katakan kepadanya: Sesungguhnya tidak ada kecuali Allah dan kecuali makhluk-makhluk Allah. Tidak ada selain keduanya. Jika tidak ada yang binasa kecuali WajahNya artinya miliknya, maka apa lagi yang binasa?
Syaikh alAlbany berkata: ‘ Wahai saudaraku, ini tidak membutuhkan lagi dalil untuk menunjukkan kebatilannya. Akan tetapi yang penting adalah membersihkan persangkaan bahwa al-Imam alBukhari telah menakwilkan ayat (seperti itu), dalam keadaan beliau adalah Imam dalam masalah hadits dan Sifat Allah. Beliau adalah seorang Salafy dalam aqidahnya, alhamdulillah (Fataawa alAlbaany halaman 522-523).
Saudaraku kaum muslimin….
Kalau dialog tanya jawab dengan Syaikh alAlbaany tersebut kita baca dengan baik niscaya kita akan dengan mudah memahami bahwa sungguh dusta tuduhan tersebut. Sama sekali Syaikh alAlbany tidak mengkafirkan Imam alBukhari.
Ada seorang penanya yang dalam suatu kesempatan menanyakan kepada Syaikh AlBany, apakah benar Imam alBukhary telah menakwilkan ‘Wajah Allah’ dengan ‘Kekuasaan/’Milik’Nya. Awalnya Syaikh tidaklah menanggapi terlalu banyak. Cukuplah penjelasan dalam pertemuan-pertemuan majelis beliau sebelumnya bahwa Imam alBukhari menafsirkan surat alQoshosh ayat 88, dengan ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali yang diharapkan dengannya Wajah Allah’. Penjelasan Syaikh alAlbany ini sama dengan ucapan Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang menukil juga pendapat Imam alBukhari (telah kami sebutkan di atas).
Penanya tersebut mengatakan sendiri bahwa ia telah berulang kali berusaha cross check ulang pada naskah Shahih alBukhari yang ada pada dirinya, namun ia tidak mendapati perkataan Imam alBukhari yang menakwilkan demikian. Hal ini menunjukkan bahwa penafsiran ‘Wajah’ dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ ada pada sebagian naskah (manuskrip), dan penukilan pada naskah tersebut tidak benar, sebagaimana dijelaskan oleh alHafidz Ibnu Hajar bahwa kalau yang dimaksud adalah ucapan Ma’mar maka seharusnya penafsirannya adalah : ‘segala sesuatu akan binasa, kecuali Dia’.
Penanya juga dapat menarik kesimpulan sendiri bahwa penafsiran tersebut terlihat tidak benar. Kalau diartikan bahwa ‘segala sesuatu akan binasa, kecuali milik Allah’, maka berarti tidak akan ada yang binasa. Karena yang ada hanyalah Allah dan makhlukNya, sedangkan makhluk Allah adalah milik Allah. Itulah yang dimaksud dengan ucapan Syaikh alAlbany bahwa tidak mungkin seorang muslim yang beriman akan mengucapkan demikian, karena berarti dia akan berkeyakinan bahwa semua akan kekal.
Di sini nampak jelas kedustaan tuduhan itu, karena sama sekali Syaikh alAlbany tidak menyatakan bahwa Imam alBukhari adalah bukan seorang muslim dan mukmin, justru Syaikh meragukan kalimat itu sebagai ucapan Imam al-Bukhari. Syaikh menyatakan:  “Anda telah mendengar dari saya keraguan bahwa alBukhari mengucapkan kalimat tersebut”…kemudian beliau juga menyatakan: …”Akan tetapi yang penting adalah membersihkan persangkaan bahwa al-Imam alBukhari telah menakwilkan ayat (seperti itu)”.
Kemudian, sebagai bantahan telak bahwa Syaikh alAlbany sama sekali tidak mengkafirkan Imam alBukhari, bahkan justru memujinya sebagai salah seorang Imam kaum muslimin, di akhir dialog Syaikh alAlbany menyatakan: “…dalam keadaan beliau adalah Imam dalam masalah hadits dan Sifat Allah. Beliau adalah seorang Salafy dalam aqidahnya, Alhamdulillah”.
Sedemikian jelasnya masalah ini jika dipandang secara adil. Namun, musuh dakwah Ahlussunnah bersikap tidak amanah, dan memang yang dicarinya adalah fitnah untuk menjauhkan Ulama’ Ahlussunnah dari kaum muslimin.
Kami menasehatkan pengelola blog tersebut ataupun seluruh situs/blog yang banyak menukil tulisan tersebut untuk bertaubat kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala karena mereka telah menyebarkan tuduhan dusta di tengah kaum muslimin. Jika kepada sesama muslim yang awam saja merupakan dosa besar jika kita memberikan tuduhan yang keji padanya, maka bagaimana jika tuduhan itu disematkan kepada seorang Ulama’ Ahlussunnah.

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (Q.S al-Ahzaab: 58).


 http://bantahansalafytobat.wordpress.com/2010/10/20/bantahan-6-kedustaan-tuduhan-al-albany-mengkafirkan-al-bukhari/

BANTAHAN 7: KEDUSTAAN TUDUHAN : AL-UTSAIMIN MENGKAFIRKAN ANNAWAWI DAN IBNU HAJAR

 
 
 
 
 
 
Syaikh Utsaimin dihujat
Saudaraku kaum muslimin….
Para penentang dakwah Ahlussunnah menuduh  Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin telah mengkafirkan al-Imam anNawawy dan al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany. Hal itu tertuang dalam tulisan pada salah satu blog yang berjudul: ‘Daurah Kitab Salafy: Syaikh Utsaimin Kafirkan Imam Nawawi dan Ibnu Hajar’. InsyaAllah akan tersingkap nantinya bahwa tuduhan tersebut adalah dusta.
Mereka menukil pernyataan Syaikh al-Utsaimin dalam Liqaa’ Baabul Maftuuh, kemudian menerjemahkan secara salah, serta memberi kesimpulan secara salah pula.

Kesalahan Menerjemahkan:
Blog penentang Ahlussunnah tersebut menerjemahkan tanya jawab itu sebagai berikut:
“Garisan kuning: Soalan penanya : “Sbgmana kita menjadikan al-Nawawi dan Ibn Hajar al-Asqalani kedua-duanya bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah?
Jawapan : “Berdasarkan kepada apa yang dimazhabkan (diputuskan) pendapat mereka di dalam isu-isu perbahasan Nama-nama dan Sifat-Sifat Allah, kedua-dua mereka bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah (kafir).”
Soalan susulan : “Secara mutlak, mereka bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah?
Jawapan : “Kita tidak menjadikannya secara mutlak. Saya beritahu anda bahawa barangsiapa yang menyanggahi golongan al-Salaf dalam memahami Sifat Allah tidak diberi gelaran mutlak bahawa ia bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah. Bahkan ditaqyidkan…hingga bila dikatakan dia (seseorang itu) Ahli Sunnah Wal Jamaah (mungkin) dari sudut feqhiyyah contohnya. Adapun jika tareqat (metodologinya) itu bid’ah..ia bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah.”

Bantahan:
Kita simak terjemahan penentang dakwah Ahlussunnah tersebut, ia menerjemahkan penjelasan Syaikh alUtsaimin sebagai berikut:

“Berdasarkan kepada apa yang dimazhabkan (diputuskan) pendapat mereka di dalam isu-isu perbahasan Nama-nama dan Sifat-Sifat Allah, kedua-dua mereka bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah (kafir).”
Mereka menyatakan bahwa ‘bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah’ sama dengan ‘kafir’. Padahal, bukan Ahlussunnah Wal Jamaah tidak berarti ia secara otomatis adalah kafir, sebagaimana nanti akan kami nukilkan penjelasan secara panjang lebar dari Syaikh al-Utsaimin sendiri pada kitab yang lain. Apalagi, jika ketergelinciran tersebut bersumber dari kesalahan ijtihad, sedangkan mereka berdua (Ibnu Hajar dan anNawawi) adalah Ulama’ yang kapasitas keilmuannya sudah menyampaikan mereka pada taraf mujtahid. Kalaupun suatu ucapan adalah kebid’ahan, tidak secara otomatis pengucapnya menjadi ahlul bid’ah. Sebagaimana ucapan kekufuran, tidak secara otomatis menjadikan pengucapnya menjadi orang kafir.
Kesalahan Menyimpulkan
Para penentang dakwah Ahlussunnah tersebut kemudian salah menyimpulkan. Kami nukilkan kesimpulan mereka terhadap tanya jawab tersebut:
Wahhabi ini yg bernama Muhammad Soleh Uthaimien menyatakan bahawa IMAM IBNU HAJAR AL-ASQOLANY ( PENGARANG FATHUL BARI SYARAH SOHIH BUKHARY) DAN JUGA IMAM NAWAWI ( PENGARANG SYARAH SOHIH MUSLIM) KATA WAHHABI : NAWAWI DAN IBNU HAJAR ADALAH PEMBUAT KESESATAN DAN NAWAWI SERTA IBNU HAJAR BERAQIDAH SESAT DAN MEREKA BERDUA ADALAH BUKAN AHLUSUNNAH ATAU KAFIR !!.
Bantahan:
Subhaanallah! Sungguh keji ucapan tersebut. Bagaimana mereka bisa menyimpulkan bahwa Syaikh alUtsaimin telah menyatakan bahwa anNawawi dan Ibnu Hajar adalah pembuat kesesatan, beraqidah sesat, bukan ahlussunnah sehingga menjadi kafir?!
Kesimpulan yang salah itu bersumber dari pemahaman Dien yang kurang dan salah terhadap prinsip-prinsip Ahlussunnah. Termasuk, ketidaktahuan mereka terhadap Syaikh al-Utsaimin. Mereka juga membaca pernyataan Syaikh Muhammad bin Sholih alUtsaimin tersebut didasari dengan kebencian dan antipati terlebih dahulu. Hal itu menyebabkan mereka tidak bersikap adil, yang ada adalah penilaian terhadap hawa nafsu. Jika mereka memiliki keinginan yang ikhlas mengetahui makna penjelasan Syaikh al-Utsaimin yang ringkas dan global di suatu tempat, semestinya mereka bersemangat untuk mencari penjelasan beliau pada kitab beliau yang lain yang lebih rinci untuk mendapatkan gambaran secara utuh bagaimana sebenarnya sikap beliau terhadap Imam anNawawi dan Ibnu Hajar.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin sangat menghormati Imam anNawawi dan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany. Beliau senantiasa mendoakan rahmat Allah bagi mereka berdua.
Bahkan, terhadap Imam anNawawi, beliau menyatakan sebagai seorang Ulama’ yang ikhlas mengharapkan kebenaran, terbukti dengan diterimanya secara luas karya – karya beliau di kalangan kaum muslimin. Syaikh alUtsaimin juga mensyarah kitab al-‘Arbain anNawawiyah dan Riyaadus Sholihin karya anNawawi.
Keindahan kitab Riyaadus Sholihin menjadi semakin bersinar dengan syarah Syaikh al-Utsaimin yang membuat pembacanya mengarungi samudera ilmu dan hikmah yang luas. Bagi yang belum menikmati keindahan itu, silakan mencobanya. Bahkan, bagi yang telah membacanya pada suatu kesempatan, menjadi ketagihan untuk membacanya di waktu yang lain. Silakan bandingkan dengan syarh Riyaadus Sholihin yang lain, anda akan mendapati keistimewaan tersendiri yang menakjubkan.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin adalah seorang faqih, memiliki ilmu Dien yang dalam dan luas, serta kokoh dalam prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah. Tidaklah beliau menafsir suatu ayat atau mensyarah suatu hadits melainkan kita akan takjub dengan berlimpah faidah yang beliau singkap dan dipetik dalam nash-nash tersebut. Penguraian makna-makna kalimat pada suatu ayat dan penjelasan secara gamblang keterkaitannya dengan ayat-ayat yang lain, menunjukkan sisi kesamaan beliau dengan Syaikh Muhammad al-Amien asy-Syinqithy rahimahullah. Istinbath yang dalam terhadap suatu ayat, deskripsi yang runtut, sistematis, dan menyingkap sisi-sisi yang kurang jelas pada kosakata ayat, seakan mengingatkan pembacanya pada Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah. Memang, beliau berdua adalah mufassir yang merupakan guru Syaikh al-Utsaimin, yang memberikan pengaruh yang dalam terhadap beliau.
Jangan heran, jika anda menyimak suatu hadits yang disyarah Syaikh al-Utsaimin, anda tidak akan sekedar mendapat faidah ilmiah dalam satu bidang saja. Satu hadits, dalam syarh beliau, akan memancarkan kandungan-kandungan manfaat dalam bidang tauhid, akhlaq, fiqh, tafsir, maupun bidang-bidang yang lain. Kebanyakan kitab-kitab beliau yang telah dipublikasikan adalah transkrip rekaman ceramah beliau yang disusun dalam tulisan.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin sama sekali tidak menyatakan bahwa Imam anNawawi maupun Ibnu Hajar sebagai ahlul bid’ah, apalagi kafir. Bahkan Syaikh alUtsaimin berharap dan mendoakan agar ketergelinciran beliau berdua dalam hal takwil terhadap Asma’ Was Sifat tertutupi, dimaafkan, dan diampuni oleh Allah, karena mereka berdua telah banyak berbuat kebaikan dan pembelaan terhadap Sunnah Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam. Namun, Ahlussunnah tidaklah fanatik buta terhadap siapapun. Sebagaimana ahlussunnah tidak fanatik pada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tidak pula mengklaim bahwa beliau tidak pernah salah dalam pendapatnya, demikian pula sikap Ahlussunnah terhadap para Ulama lain, di antaranya Imam anNawawi dan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany. Bagi ahlussunnah, kebenaran adalah hal utama yang lebih didahulukan. Kesalahan atau ketergelinciran harus dijelaskan dan diluruskan. Namun, jika itu terkait dengan Ulama’ disampaikan secara beradab tidak dalam bentuk celaan, diiringi mendoakan rahmat dan ampunan untuk beliau.
Untuk menunjukkan bagaimana sikap Syaikh al-Utsaimin sebenarnya terhadap al-Imam anNawawi dan Ibnu Hajar tersebut, kami akan nukilkan penjelasan beliau dalam 2 kitab yang lain, yaitu Syarh al-Arbain anNawawiyah dan Kitabul Ilmi. Para pembaca akan dapat meraup faidah-faidah ilmiyah lain, terutama manhaj Ahlussunnah terhadap masalah pembid’ahan, pemfasiqan, dan pengkafiran. Akan terlihat bahwa Ahlussunnah bukanlah takfiriyyin yang mudah mengkafirkan sesama muslim.
Dalam kitab Syarh al-‘Arbain anNawawiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih alUtsaimin menjelaskan:

فنحن نؤمن بأن كل بدعة ضلالة، ثم هذه الضلالات تنقسم إلى: بدع مكفرة، وبدع مفسقة ، وبدع يعذر فيها صاحبها. ولكن الذي يعذر صاحبها فيها لا تخرج عن كونها ضلالة، ولكن يعذر الإنسان إذا صدرت منه هذه البدعة عن تأويل وحسن قصد.
وأضرب مثلاً بحافظين معتمدين موثوقين بين المسلمين وهما: النووي وابن حجر رحمهما الله تعالى .
فالنووي : لا نشك أن الرجل ناصح، وأن له قدم صدق في الإسلام، ويدل لذلك قبول مؤلفاته حتى إنك لا تجد مسجداً من مساجد المسلمين إلا ويقرأ فيه كتاب ( رياض الصالحين )
وهذا يدل على القبول، ولا شك أنه ناصح، ولكنه – رحمه الله – أخطأ في تأويل آيات الصفات حيث سلك فيها مسلك المؤولة، فهل نقول: إن الرجل مبتدع؟
نقول: قوله بدعة لكن هو غير مبتدع، لأنه في الحقيقة متأول، والمتأول إذا أخطأ مع اجتهاده فله أجر، فكيف نصفه بأنه مبتدع وننفر الناس منه، والقول غير القائل، فقد يقول الإنسان كلمة الكفر ولا يكفر.
أرأيتم الرجل الذي أضل راحلته حتى أيس منها، واضطجع تحت شجرة ينتظر الموت،فإذا بالناقة على رأسه، فأخذ بها وقال من شدة الفرح:اللهم أنت عبدي وأنا ربك،وهذه الكلمة كلمة كفر لكن هو لم يكفر،قال النبي صلى الله عليه وسلم : “أَخطَأَ مِن شِدَّةِ الفَرَح” . أرأيتم الرجل يكره على الكفر قولاً أو فعلاً فهل يكفر؟
الجواب:لا، القول كفر والفعل كفر لكن هذا القائل أو الفاعل ليس بكافر لأنه مكره.
أرأيتم الرجل الذي كان مسرفاً على نفسه فقال لأهله: إذا مت فأحرقوني وذرُّوني في اليمِّ – أي البحر – فوالله لئن قدر الله علي ليعذبني عذاباً ما عذبه أحداً من العالمين، ظن أنه بذلك ينجو من عذاب الله، وهذا شك في قدرة الله عزّ وجل، والشك في قدرة الله كفر، ولكن هذا الرجل لم يكفر.
جمعه الله عزّ وجل وسأله لماذا صنعت هذا؟ قال: مخافتك. وفي رواية أخرى: من خشيتك، فغفر الله له.
أما الحافظ الثاني:فهو ابن حجر- رحمه الله – وابن حجر حسب ما بلغ علمي متذبذب في الواقع، أحياناً يسلك مسلك السلف، وأحياناً يمشي على طريقة التأويل التي هي في نظرنا تحريف.
مثل هذين الرجلين هل يمكن أن نقدح فيهما؟
أبداً، لكننا لا نقبل خطأهما، خطؤهما شيء واجتهادهما شيء آخر.
أقول هذا لأنه نبتت نابتة قبل سنتين أو ثلاث تهاجم هذين الرجلين هجوماً عنيفاً، وتقول: يجب إحراق فتح الباري وإحراق شرح صحيح مسلم، -أعوذ بالله- كيف يجرؤ إنسان على هذا الكلام، لكنه الغرور والإعجاب بالنفس واحتقار الآخرين.

والبدعة المكفرة أو المفسقة لا نحكم على صاحبها أنه كافر أو فاسق حتى تقوم عليه الحجة، لقول الله تعالى: (وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولاً يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ) (القصص:59)
وقال عزّ وجل: ( وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً)(الاسراء: الآية15) ولو كان الإنسان يكفر ولو لم تقم عليه الحجة لكان يعذب، وقال عزّ وجل: (رُسُلاً مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ )(النساء: الآية165) والآيات في هذه كثيرة.
فعلينا أن نتئد وأن لا نتسرع، وأن لا نقول لشخص أتى ببدعة واحدة من آلاف السنن إنه رجل مبتدع.
وهل يصح أن ننسب هذين الرجلين وأمثالهما إلى الأشاعرة، ونقول: هما من الأشاعرة؟
الجواب:لا، لأن الأشاعرة لهم مذهب مستقل له كيان في الأسماء والصفات والإيمان وأحوال الآخرة.
وما أحسن ما كتبه أخونا سفر الحوالي عما علم من مذهبهم، لأن أكثر الناس لا يفهم عنهم إلا أنهم مخالفون للسلف في باب الأسماء والصفات، ولكن لهم خلافات كثيرة.
فإذا قال قائل بمسألة من مسائل الصفات بما يوافق مذهبهم فلا نقول: إنه أشعري
أرأيتم لو أن إنساناً من الحنابلة اختار قولاً للشافعية فهل نقول إنه شافعي؟
الجواب:لا نقول إنه شافعي.
فانتبهوا لهذه المسائل الدقيقة، ولا تتسرعوا، ولا تتهاونوا باغتياب العلماء السابقين واللاحقين، لأن غيبة العالم ليست قدحاً في شخصه فقط، بل في شخصه وما يحمله من الشريعة، لأنه إذا ساء ظن الناس فيه فإنهم لن يقبلوا ما يقول من شريعة الله، وتكون المصيبة على الشريعة أكثر.
ثم إنكم ستجدون قوماً يسلكون هذا المسلك المشين فعليكم بنصحهم، وإذا وجد فيكم من لسانه منطلق في القول في العلماء فانصحوه وحذروه وقولوا له: اتق الله، أنت لم تُتَعَبَّد بهذا، وما الفائدة من أن تقول فلان فيه فلان فيه، بل قل: هذا القول فيه كذا وكذا بقطع النظر عن الأشخاص.
لكن قد يكون من الأفضل أن نذكر الشخص بما فيه لئلا يغتر الناس به، لكن لا على سبيل العموم هكذا في المجالس، لأنه ليس كل إنسان إذا ذكرت القول يفهم القائل، فذكر القائل جائز عند الضرورة، وإلا فالمهم إبطال القول الباطل، والله الموفق.
)شرح الأربعين النووية :1ظ 267-270  حديث 28)
“…Maka kita beriman bahwa semua bid’ah adalah sesat. Kemudian, kesesatan-kesesatan ini terbagi menjadi: bid’ah yang menyebabkan kafir (pelakunya), bid’ah yang menyebabkan fasiq (pelakunya), dan bid’ah yang pelakunya dimaafkan. Akan tetapi, meskipun pelakunya dimaafkan, hal itu tidak mengeluarkan perbuatannya dari kesesatan. Seseorang dimaafkan jika bid’ah ini muncul karena takwil dan niat yang baik.
Saya akan berikan suatu contoh, dengan dua Hafidz yang banyak dijadikan rujukan, yang terpercaya, di antara kaum muslimin, yaitu: AnNawawi dan Ibnu Hajar, semoga Allah Ta’ala merahmati keduanya. Imam anNawawi, kita tidak meragukan bahwa beliau adalah seorang yang nasih (ikhlas mengharapkan kebaikan), bahwa beliau telah melakukan kebaikan dalam Islam. Hal yang menunjukkan hal itu adalah diterimanya karya-karya tulis beliau (di tengah umat), sampai-sampai anda tidak akan mendapati masjid kaum muslimin kecuali dibacakan padanya kitab Riyaadus Sholihin. Ini menunjukkan penerimaan (terhadap karya beliau). Tidak diragukan lagi, beliau adalah ikhlas mengharapkan kebaikan, akan tetapi beliau -semoga Allah merahmatinya-, salah dalam hal menakwilkan ayat-ayat Sifat, yaitu beliau menempuh metode para pentakwil. Apakah kemudian kita katakan bahwa beliau seorang Ahlul bid’ah?
Kita katakan: ucapannya adalah bid’ah, namun beliau bukanlah Ahlul bid’ah. Karena beliau secara hakikat adalah seorang pentakwil. Seorang pentakwil jika salah dalam ijtihadnya, maka ia mendapat 1 pahala. Bagaimana bisa kita sifatkan beliau sebagai Ahlul bid’ah dan menjauhkan umat dari beliau? (Sikap terhadap) ucapan tidak sama dengan (sikap terhadap) orang yang mengucapkan. Kadangkala seseorang mengucapkan kalimat kekufuran, namun ia tidak bisa dikafirkan (dianggap kafir).
Bagaimana pendapat kalian terhadap seorang laki-laki yang kehilangan hewan tunggangannya sampai putus asa darinya, kemudian ia duduk di bawah pohon menunggu mati, ternyata tiba-tiba hewan itu berada di (dekat) kepalanya. Kemudian ia mengambil (tali kekang)nya dan berseru karena terlampau gembira: ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku, dan aku adalah Tuhanmu! ‘. Kalimat ini (yang diucapkannya) adalah kalimat kekufuran, akan tetapi ia tidak bisa dikafirkan, karena Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dia keliru karena sangat gembira” (H.R Muslim). Bagaimana pendapatmu dengan seseorang yang dipaksa untuk mengucapkan atau melakukan kekufuran, apakah ia dikafirkan (dianggap kafir)?
Jawabannya adalah : Tidak! Ucapannya adalah kekufuran, perbuatannya adalah kekufuran akan tetapi orang yang mengucapkan atau orang yang melakukannya tidaklah kafir, karena ia dipaksa.
Bagaimana pendapatmu dengan seorang laki-laki yang melampaui batas terhadap dirinya, kemudian dia berkata kepada keluarganya: “Jika aku meninggal bakarlah jasadku, dan tebarkan abunya di lautan”. Demi Allah, jika Allah mampu (berbuat terhadap)ku, niscaya Ia akan menyiksaku dengan siksa yang tidak pernah dilakukan oleh siapapun”(HR alBukhari). Ia menyangka bahwa dengan itu ia akan selamat dari adzab Allah. Itu adalah keraguan terhadap Kemahakuasaan Allah Azza Wa Jalla. Sedangkan keraguan terhadap Kemahakuasaan Allah adalah kekufuran. Akan tetapi orang tersebut tidak dikafirkan. Allah mengumpulkan (serpihan tubuhnya) dan bertanya kepadanya:’ Mengapa engkau melakukan hal ini?’. Orang tersebut mengatakan: karena takut (khouf) kepadaMu. Dalam riwayat lain: karena takut (khosy-yah) kepadaMu. Kemudian Allah mengampuninya.
Sedangkan al-Hafidz yang kedua: Ibnu Hajar, semoga Allah merahmati beliau. Berdasarkan pengetahuan saya, Ibnu Hajar dalam kebimbangan. Kadang beliau menempuh metode Salaf, kadang beliau mengikuti metode takwil, yang sebenarnya jika kita lihat adalah tahrif (penyimpangan makna). Untuk semisal 2 orang ini (AnNawawi dan Ibnu Hajar) apakah mungkin bagi kita untuk mencelanya?
Tidak mungkin. Akan tetapi kita tidak menerima kesalahan mereka berdua. Kesalahan mereka berdua adalah suatu hal, sedangkan ijtihad mereka berdua adalah hal lain.
Saya katakan ini, karena sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu dua (Ulama’) ini diserang dengan serangan yang kasar. Ada orang yang mengatakan: Wajib membakar Fathul Baari dan Syarh Shohih Muslim. ‘Audzu billah!! (Aku berlindung kepada Allah). Bagaimana mungkin seseorang bisa seberani itu mengucapkan kalimat. Akan tetapi itu adalah tipuan, merasa bangga terhadap diri sendiri dan meremehkan orang lain.
Sedangkan bid’ah mukaffirah (yang mengkafirkan), dan bid’ah mufassiqah (yang menjadikan fasiq), kita tidak menghukumi pelakunya sebagai orang kafir atau fasiq sampai kita telah menegakkan hujjah terhadapnya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

(وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولاً يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ) (القصص:59)
Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman (Q.S alQoshshosh:59)
Dan Firman Allah Azza Wa Jalla:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
“Dan tidaklah Kami mengadzab, hingga mengutus Rasul” (Q.S al-Israa’:15)
Kalau seandainya seorang bisa dikafirkan meskipun belum tegak hujjah atasnya, niscaya ia diadzab. Dan Allah Azza Wa Jalla berfirman:

رُسُلاً مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
“ Para Rasul sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, supaya manusia tidak memiliki hujjah terhadap Allah setelah diutusnya para Rasul” (Q.S anNisaa’:165). Dan ayat-ayat tentang hal ini (masih) banyak.
Maka hendaknya kita bersikap tenang dan tidak tergesa-gesa, dan hendaknya kita tidak mengatakan kepada seseorang yang melakukan satu bid’ah dibandingkan ribuan Sunnah (yang ia kerjakan) sebagai seorang ahlul bid’ah. Apakah boleh kita menyebut dua orang Ulama’ ini dan yang semisalnya sebagai al-‘Asyaairoh? Sehingga kita katakan dia sebagai al-‘Asyaa-iroh?
Jawabannya adalah: Tidak. Karena al-‘Asyairoh adalah madzhab tersendiri. Ia memiliki spesifikasi dalam (keyakinan) tentang  Asma’ WasSifaat, Iman, dan kehidupan di akhirat. Sungguh baik apa yang ditulis oleh saudara kami Safar al-Hawaly tentang hal yang diketahuinya seputar madzhab mereka (al-‘Asyaa-iroh). Karena kebanyakan manusia tidaklah memahami keadaan mereka (al-‘Asyaa-iroh) kecuali (sekedar) penyimpangan mereka terhadap Salaf dalam Asma’ WasSifat. Tetapi (sebenarnya) mereka memiliki penyimpangan yang banyak.
Jika ada seseorang yang berkata dengan (hanya) satu masalah dalam Asma’ WasSifat yang sesuai dengan madzhab mereka (al-‘Asyaairoh), kita tidak mengatakan bahwa orang itu adalah Asy-‘ariy. Bagaimana pendapatmu jika ada seseorang bermadzhab Hanbali yang memilih satu ucapan asy-Syaafi’iyah, apakah kita katakan dia sebagai Syafi’i? Jawabannya adalah: Tidak.
Maka perhatikan masalah-masalah yang butuh kecermatan ini. Janganlah kalian tergesa-gesa. Janganlah bermudah-mudahan dalam ghibah terhadap para Ulama yang terdahulu maupun yang ada setelahnya. Karena sesungguhnya ghibah terhadap seorang ‘alim bukanlah celaan terhadap pribadinya semata, namun celaan terhadap pribadi sekaligus syariat yang diembannya. Karena jika manusia berburuk sangka terhadapnya, mereka tidak akan menerima ucapannya (termasuk) dalam hal yang terkait syariat Allah. Sehingga jadilah musibah yang lebih besar terhadap syariat.
Kemudian kalian nanti akan mendapati sekelompok orang yang menempuh jalan yang buruk ini (ghibah terhadap Ulama’). Hendaknya kalian menasehati mereka. Jika kalian mendapati seseorang yang mengucapkan ucapan (buruk) terhadap Ulama’, nasehatilah ia, peringatkanlah kepada dia, dan ucapkan: Bertakwalah kepada Allah, engkau tidaklah beribadah (kepada Allah) dengan cara seperti ini. Apa manfaatnya kalian katakan bahwa Fulan demikian dan demikian. Tapi hendaknya katakan: ucapan ini (memiliki kesalahan demikian dan demikian) tanpa menyebutkan orang yang mengucapkannya.
Akan tetapi, kadangkala lebih utama menyebutkan keadaan pribadi seseorang agar manusia tidak tertipu dengannya. Tetapi tidak secara umum dalam berbagai majelis. Karena tidak semua orang, jika engkau sebutkan sebuah ucapan, menjadi paham siapa yang mengucapkannya. Maka menyebutkan siapa orang yang mengucapkan adalah diperbolehkan dalam kondisi darurat. Akan tetapi yang terpenting adalah menjelaskan kebatilan suatu ucapan yang batil. Allahlah Pemberi Taufiq. (Syarh al-Arba’in anNawawiyah juz 1 halaman 267-270, penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih alUtsaimin terhadap hadits yang ke-28).

Untuk semakin memperjelas dan memberikan manfaat yang lebih banyak, kita bisa menyimak penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin dalam Kitabul ‘Ilmi juz 1 halaman 148-150 saat beliau menjawab pertanyaan:
سئل الشيخ غفر الله له: ما قولكم فيما يحصل من البعض من قدح في الحافظين النووي وابن حجر وأنهما من أهل البدع؟ وهل الخطأ من العلماء في العقيدة ولو كان عن اجتهاد وتأويل يلحق صاحبه بالطوائف المبتدعة؟ وهل هناك فرق بين الخطأ في الأمور العلمية والعملية؟
فأجاب فضيلته بقوله:

إن الشيخين الحافظين “النووي ابن حجر” لهما قدم صدق ونفع كبير في الأمة الإسلامية ولئن وقع منهما خطأ في تأويل بعض نصوص الصفات إنه لمغمور بما لهما من الفضائل والمنافع الجمة ولا نظن أن ما وقع منهما إلا صادر عن اجتهاد وتأويل سائغ ـ ولو في رأيهما ، وأرجو الله تعالى أن يكون من الخطأ المغفور وأن يكون ما قدماه من الخير والنفع من السعي المشكور وأن يصدق عليهما قول الله تعالى: {إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ} [هود: 114]. والذي نرى أنهما من أهل السنة والجماعة، ويشهد لذلك خدمتهما لسنة رسوله الله صلى الله عليه وسلم وحرصهما على تنقيتها مما ينسب إليها من الشوائب، وعلى تحقيق ما دلت عليه من أحكام ولكنهما خالفا في آيات الصفات وأحاديثها أو بعض ذلك عن جادة أهل السنة عن اجتهاد أخطئا فيه، فنرجو الله تعالى أن يعاملهما بعفوه.
وأما الخطأ في العقيدة: فإن كان خطأ مخالفًا لطريق السلف، فهو ضلال بلا شك ولكن لا يحكم على صاحبه بالضلال حتى تقوم عليه الحجة، فإذا قامت عليه الحجة، وأصر على خطئه وضلاله، كان مبتدعًا فيما خالف فيه الحق، وإن كان سلفيًّا فيما سواه، فلا يوصف بأنه مبتدع على وجه الإطلاق، ولا بأنه سلفي على وجه الإطلاق،
بل يوصف بأنه سلفي فيما وافق السلف، مبتدع فيما خالفهم، كا قال أهل السنة في الفاسق: إنه مؤمن بما معه من الإيمان، فاسق بما معه من العصيان، فلا يعطي الوصف المطلق ولا ينفى عنه مطلق الوصف، وهذا هو العدل الذي أمر الله به، إلا أن يصل المبتدع إلى حد يخرجه من الملة فإنه لا كرامة له في هذه الحال.
وأما الفرق بين الخطأ في الأمور العلمية والعملية: فلا أعلم أصلا للتفريق بين الخطأ في الأمور العلمية والعملية لكن لما كان السلف مجمعين -فيما نعلم- على الإيمان في الأمور العلمية الحيوية والخلاف فيها إنما هو في فروع من أصولها لا في أصولها كان المخالف فيها أقل عددًا وأعظم لومًا
. وقد اختلف السلف في شيء من فروع أصولها كاختلافهم، هل رأى النبي صلى الله عليه وسلم ربه في اليقظة واختلافهم في اسم الملكين اللذين يسألان الميت في قبره، واختلافهم في الذي يوضع في الميزان أهو الأعمال أم صحائف الأعمال أم العامل؟ واختلافهم هل يكون عذاب القبر على البدن وحده دون الروح؟
واختلافهم هل يسأل الأطفال وغير المكلفين في قبورهم؟ واختلافهم هل الأمم السابقة يسألون في قبورهم كما تسأل هذه الأمة؟ واختلافهم في صفة الصراط المنصوب على جهنم؟ واختلافهم هل النار تفنى أو مؤبدة، وأشياء أخرى وإن كان الحق مع الجمهور في هذه المسائل، والخلاف فيها ضعيف.
وكذلك يكون في الأمور العملية خلاف يكون قويًّا تارة وضعيفًا تارة.
وبهذا تعرف أهمية الدعاء المأثور: “اللهم فاطر السماوات والأرض، عالم الغيب والشهادة، أنت تحكم بين عبادك فيما كانوا فيه يختلفون، اهدني لما اختلف فيه من الحق بإذنك إنك تهدي من تشاء إلى صراط مستقيم”

Syaikh –semoga Allah mengampuninya- ditanya: “Bagaimana pendapat anda tentang sebagian orang yang mencela dua al-Hafidz: anNawawi dan Ibnu Hajar, dan (mengatakan) bahwa mereka berdua termasuk Ahlul Bid’ah? Dan apakah ada perbedaan antara kesalahan dalam hal ilmu dan amalan?
Fadhilatus Syaikh (Muhammad bin Sholih al-Utsaimin menjawab) :
Sesungguhnya 2 al-Hafidz: anNawawi dan Ibnu Hajar kedua-duanya telah memberikan kebaikan dan manfaat yang besar bagi kaum muslimin. Akan tetapi keduanya terjatuh dalam kesalahan dalam menakwilkan sebagian nash-nash tentang Sifat (Allah). (Namun kesalahan) itu terendam oleh keutamaan-keutamaan dan manfaat-manfaat yang berlimpah dari mereka berdua. Kita tidak menyangka bahwa apa yang menimpa mereka berdua kecuali berasal dari ijtihad dan takwil, dalam pikiran mereka. Dan saya berharap kepada Allah Ta’ala bahwa kesalahan itu termasuk yang diampuni, dan saya berharap bahwa apa yang telah mereka perbuat berupa kebaikan, manfaat, upaya yang (patut) disyukuri menjadikannya seperti yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala:
{إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ} [هود: 114]
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu menghapuskan keburukan-keburukan” (Q.S Huud:114)
Kami melihat bahwa mereka berdua termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal itu ditunjukkan oleh khidmat mereka terhadap Sunnah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, semangat mereka untuk membersihkannya dari segala hal yang mengotorinya, dan melakukan tahqiq terhadap apa yang ditunjukkan oleh hukum-hukum. Akan tetapi mereka menyelisihi (Ahlussunnah) dalam hal ayat-ayat Sifat dan hadits-haditsnya, atau sebagian itu dari para pemuka Ahlussunnah yang berasal dari ijtihad yang salah. Maka kita mengharapkan kepada Allah Ta’ala untuk memaafkan beliau berdua.
Adapun kesalahan dalam hal aqidah, jika kesalahan itu menyelisihi jalan Salaf, maka itu adalah sesat, tanpa diragukan lagi. Akan tetapi pelakunya tidak dihukumi sesat sampai ditegakkan padanya hujjah. Jika telah tegak hujjah padanya, namun ia tetap pada kesalahan dan kesesatan tersebut, maka ia adalah Ahlul bid’ah dalam hal yang alhaq dia selisihi tersebut, walaupun ia adalah Salafy pada hal-hal lain. Tetapi ia tidaklah disifati sebagai ahlul bid’ah secara mutlak, tidak pula Salafy secara mutlak.
Akan tetapi dia disifati sebagai Salafy dalam hal yang sesuai dengan as-Salaf, ahlul bid’ah dalam hal yang diselisihinya. Sebagaimana Ahlussunnah berkata tentang orang fasiq: sesungguhnya ia adalah mukmin dengan keimanan yang ada padanya, dan fasiq dengan perbuatan kemaksiatannya. Ia tidak disifatkan dengan sifat yang mutlak, tidak pula dinafikan darinya sifat yang mutlak. Ini adalah keadilan yang Allah perintahkan dengannya. Kecuali jika ahlul bid’ah sampai pada batas yang mengeluarkannya dari Millah (agama), maka tidak ada kehormatan lagi baginya dalam hal tersebut.
Adapun perbedaan antara kesalahan dalam masalah ilmu dan amal, saya tidak mengetahui dasar pembedaan. Akan tetapi, ketika para Ulama’ Salaf bersepakat-sesuai dengan yang kita ketahui- terhadap iman dalam perkara ilmu, perbedaan pendapat dalam masalah itu terjadi pada cabang dari dasarnya, bukan pada dasar tersebut. Orang-orang yang menyelisihi dalam masalah itu lebih sedikit jumlahnya dan lebih besar celaannya.
Para Ulama’ Salaf telah berbeda pendapat dalam cabang-cabang dari dasar tersebut, sebagaimana perbedaan pendapat mereka: Apakah Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam melihat Tuhannya dalam keadaan terjaga? Perbedaan pendapat mereka dalam nama 2 Malaikat yang menanyai mayat di dalam kuburnya, perbedaan dalam apakah yang diletakkan di timbangan amal, apakah amalan-amalan, atau lembaran-lembaran (catatan amalan) atau pelaku amalannya? Dan perbedaan mereka apakah adzab kubur terkena pada badan saja tanpa ruh?
Perbedaan mereka apakah anak-anak kecil dan orang-orang yang mukallaf juga ditanya di dalam kubur? Perbedaan mereka dalam hal apakah umat-umat sebelum kita juga mendapatkan pertanyaan di kubur sebagaimana umat ini? Perbedaan mereka dalam sifat as-Shirat yang dibentangkan pada jahannam? Perbedaan mereka apakah anNaar akan binasa/lenyap atau kekal. Dan yang semisal itu, walaupun kebenaran adalah sesuai pendapat Jumhur dalam masalah-masalah tersebut, dan perbedaan tentang itu lemah.
Demikian juga dalam masalah amaliyah, perbedaan kadang-kadang kuat kadang-kadang lemah. Karena itu kita bisa mengetahui pentingnya doa:
اللَّهُمَّ }رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ{ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Yaa Allah (Tuhan Jibril, Mikail, Israfil) Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib dan yang nampak, Engkau Pemberi keputusan di antara hamba-hambaMu dalam hal yang mereka perselisihkan. Berikanlah aku petunjuk dalam hal-hal yang diperselisihkan berupa al-haq dengan idzinMu. Sesungguhnya Engkau pemberi hidayah kepada orang-orang yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus (H.R Muslim)(Kitabul ‘Ilmi juz 1 halaman 148-150).

Tambahan Keterangan
Dalam nukilan pada Syarh alArbain anNawawiyah di atas, Syaikh al-Utsaimin menyebutkan tentang Safar al-Hawaly dalam konteks pujian. Hal ini, wallaahu a’lam sebelum Safar al-Hawaly terkena fitnah pemikiran Khawarij. Terdapat rekaman tanya jawab dengan Syaikh al-Utsaimin yang menunjukkan bahwa beliau tidak menasehatkan para pemuda untuk mendengarkan ceramah-ceramah Salman al-‘Audah dan Safar al-Hawaly yang penuh dengan agitasi dan provokasi menentang para penguasa muslim.
Sebagian ikhwah penuntut ilmu di Aljazair bertanya kepada Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin tentang sekelompok orang yang mengkafirkan penguasa tanpa kaidah-kaidah (syar’i) dan syarat-syarat tertentu?!
Syaikh –rahimahullah- menjawab:
“Mereka yang mengkafirkan (penguasa muslim) adalah pewaris Khawarij yang telah keluar dari (ketaatan terhadap) ‘Ali bin Abi Tholib –semoga Allah meridlainya-. Sedangkan orang yang kafir adalah orang yang dikafirkan oleh Allah dan RasulNya. Dalam hal pengkafiran ada beberapa syarat, di antaranya : ilmu (mengetahui) dan kehendak. Yaitu kita mengetahui bahwa penguasa tersebut telah menyelisih al-haq dalam keadaan mengetahuinya, dan menghendaki (menginginkan) penentangan, dalam keadaan dia tidak mentakwil. Contohnya: ia sujud kepada berhala dalam keadaan dia tahu bahwa sujud kepada berhala adalah syirik, kemudian dia sujud tidak dalam kondisi menakwilkan. Intinya, dalam hal ini ada syarat-syarat. Tidak boleh tergesa-gesa dalam mengkafirkan. Sebagaimana tidak boleh tergesa-gesa dalam mengucapkan bahwa ini adalah halal dan ini adalah haram.
Pertanyaan:  Selain itu, mereka mendengarkan kaset-kaset (ceramah) Salman bin Fahd al-‘Audah dan Safar al-Hawaly! Apakah kami (semestinya) menasehati mereka untuk tidak mendengarkan itu?
Syaikh menjawab: “Semoga Allah memberkahi anda, kebaikan yang ada pada kaset-kaset ceramah mereka terdapat pada kaset ceramah (ulama) lain. Sebagian kaset-kaset tersebut bisa diambil (faidahnya). Sebagian kaset tersebut, bukan seluruhnya. Aku tidak bisa memilah untuk kalian antara kaset yang satu dengan yang lain (mana yang bisa diambil, mana yang harus ditinggalkan).
Pertanyaan: Kalau begitu, apakah anda menasehati kami untuk meninggalkan kaset-kaset mereka?
Syaikh menjawab: “Tidak. Saya menasehati anda untuk mendengarkan kaset-kaset ceramah Syaikh Bin Baz, Syaikh al-Albany, kaset-kaset ceramah ulama’ yang sudah dikenal keadilannya dan tidak memiliki pemikiran pemberontakan!!!
Pertanyaan: Wahai Syaikh, apakah perbedaan ini – mereka mengkafirkan penguasa dan berkata bahwa itu adalah jihad di alJazair dan mereka mendengarkan ceramah Salman dan Safar al-Hawaly, termasuk perbedaan dalam cabang atau dasar?
Syaikh menjawab: Tidak. Itu adalah perbedaan dalam hal aqidah. Karena termasuk prinsip dasar Ahlussunnah wal Jama’ah adalah tidak mengkafirkan seseorang karena (semata-mata berbuat) dosa.
Pertanyaan: Wahai Syaikh, mereka tidaklah mengkafirkan pelaku dosa besar kecuali penguasa. Mereka berdalil dengan ayat:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir” (Q.S al-Maidah:44).
Mereka tidaklah mengkafirkan kecuali penguasa saja.
Syaikh menjawab: Tentang ayat ini terdapat atsar dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari agama. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah kefasiqan, dan membunuhnya adalah kekufuran” (Muttafaqun ‘alaih).
Sedangkan berdasarkan pendapat sebagian ahlut tafsir yang lain, ayat tersebut turun terkait dengan Ahlul Kitab karena konteksnya menunjukkan hal itu:
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآَيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (Q.S al-An’aam:44) (Tanya jawab dengan Syaikh alUtsaimin tersebut dalam bentuk file audio berekstensi .rm, format Real Media, bisa didownload pada beberapa sumber, di antaranya: http://islamancient.com/blutooth/133.rm).

Kesimpulan:
1.    Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin tidaklah pernah menyatakan bahwa Imam AnNawawi dan Ibnu Hajar sebagai ahlul bid’ah apalagi mengkafirkan mereka berdua.
2.    Syaikh al-Utsaimin, sebagaimana Ulama’ Ahlussunnah yang lain bukanlah takfiri yang bermudah-mudahan mengkafirkan. Namun, mereka bersikap teliti, obyektif, dan adil dalam menilai berdasarkan nash-nash al-Qur’an dan AsSunnah yang shahihah dengan pemahaman para Sahabat Nabi.
3.    Orang yang berbuat kebid’ahan tidak secara otomatis divonis sebagai ahlul bid’ah, sebagaimana orang yang berbuat suatu kekufuran tidak bisa langsung dikatakan sebagai orang kafir. Perlu dilihat faktor-faktor lain, sebagaimana penjelasan Syaikh al-Utsaimin di atas. Tidak boleh seseorang tergesa-gesa dalam memvonis orang lain sebagai ahlul bid’ah atau kafir.

Diberdayakan oleh Blogger.