-->

25 November 2012

HTI YANG LUCU DIMANA AKIDAH IKHTILATMU??






HTI berjuang menerapkan syariat Islam secara kaffah, tapi dalam acara silahturahmi muharrram 1433 H, di jawa tengah, para peserta ikhwan dan akhwat satu ruangan tanpa hijab, satu sama lainnya, bisa memandang. apakah pantas, Hizbut Tahrir pantas sebagai pejuang syariah Islam ? aneh. lihat fotonya di : http://m.hizbut-tahrir.or.id/2011/12/26/foto-silaturahmi-muharam-1433-jawa-tengah/

23 November 2012

**Ketika Kelak Allaah Memilihmu Untukku (Edisi Romantis)**




Padamu yang kelak Allah pilihkan dalam hidupku..

Ingin ku beri tahu padamu..

Aku hidup dan besar dari keluarga tak berpunya dan mengarah sederhana..


Orang tua yg begitu sempurna walau ada kekurangannya..


Dengan cinta yg begitu membuncah tak terkisah..


Aku dibesarkan degan limpahan kasih yang tak terhingga jika di tadah..


Maka, padamu ku katakan..


Saat esok Allah memilihmu dalam hidupku,


Maka saat itu Dia berharap, kau pun sanggup melimpahkan cinta padaku dengan


sabarmu..


Memperlakukanku dengan sayang yang begitu indah walau yang ku tuntut bukanlah


sempurna..




Padamu yang suatu hari anti Allah pilihkan untukku..


Ketahuilah, aku hanya lelaki biasa biasa dengan begitu banyak kekurangan dalam


diriku,


Aku bukanlah lelaki sempurna, seperti yang mungkin kau harapkan..


Bukan pula lelaki tampan seperti tokoh romann picisan


Atau lelaki tangguh nan shalih seperti kisah nyata para pejuang islam


Maka, ketika Dia memilihmu untukku,


Maka saat itu, Dia ingin menyempurnakan kekuranganku dengan keberadaanmu


disisiku.


Dan aku tahu, Kaupun bukanlah wanita yang sempurna seperti dalam dialek novel asmara..


Dan aku juga tau kau bukan wanita tersabar seperti istri para syuhada di medan perang


Dan ku berharap ketidaksempurnaanku mampu menyempurnakan dirimu..


Begitupun seujung kuku kelebihan yang ada padamu menyatu dengan sedikit kelebihan yang ada padaku


Karena kelak kita akan satu..


Aibmu adalah aibku, dan indahmu adalah indahku,


Kau dan aku akan menjadi ‘kita’..




Padamu yang kelak insyaAllaah Allah pilihkan untukku..


Ketahuilah, sejak kecil aku ditempa dengan peluh dan susah payah,


Membentukku menjadi lelaki yang berusaha selalu mencintai Rabbnya..


Maka ketika Dia memilihmu untukku,


Maka saat itu, Allah mengetahui bahwa kaupun telah menempa dirimu dengan kehendakNya..


Maka gandeng tanganku dalam mengibarkan panji-panji dakwah dalam hidup kita..


Itulah visi pernikahan kita.. Ibadah pada-Nya Ta’ala semata..




Padamu yang esok Allah tetapkan sebagai makmumku..


Ingatlah.. Aku adalah mahlukNya dari anak cucu adam yang pasti memiliki salah dan dosa..


Ada kalanya aku akan begitu membuatmu marah..


Maka, ketahuilah.. Saat itu Dia menghendaki kau menasihatiku dengan hikmah,


Sungguh hatiku tetaplah lelaki yang lemah pada kelembutan..


Namun jangan kau coba mengikuti khilafku, karena aku akan patah jalan..


Dan jangan pula membiarkanku begitu saja, karena akan selamanya aku salah..


Namun tatap mataku, tersenyumlah..


Tenangkan aku dengan genggaman tanganmu..


Dan nasihati aku dengan bijak dan hikmah..


Niscaya, kau akan menemukanku tersungkur menangis di pengakuanku di hadapan Rabbku..


Maka ketika itu, kau kembali memiliki hatiku..




Padamu yang kelak akan Allah tetapkan sebagai atap sandar lelahku..


Ketahuilah, ketika ijab atas namamu telah ku lontarkan dalam ucap..


Maka dimataku kau adalah yang terindah,


Kata-katamumu adalah titah penyemangat untukku,


Selama tak bermaksiat pada Allah, akan ku penuhi semua perintahmu selagi aku mampu..


Maka kalau kau berkenan ku meminta..


Jadilah hunian yg indah serta ladang yang rindang di pandangan,dan bangunan yang kokoh…


Yang mampu membuatku dan anak-anak kita nyaman dan aman di dalamnya..




Padamu yang akan Allah pilih menjadi pendamping hidupku…


Dalam istana kecil kita akan hadir buah hati-buah hati kita..


Maka didiklah mereka menjadi generasi yg dirindukan syurga dengan ilmunya..


Yang di pundaknya akan diisi dgn amanah-amanah dakwah,


Yang ruh dan jiwanya selalu merindukan jihad..


Yang darahnya mengalir darah syuhada..


Dan di lisan mereka mengalir nasehat-nasehat Tauhid


Dan di tangan jemari mereka meretas sunnah-sunnah yang shahih


Dan ku yakin dari tanganmu yang penuh tadah,dan lisamu yang hikmah


kau mampu membentuk mereka..


Dengan hatimu yg penuh cinta,


kau mampu merengkuh hati mereka..


Dan aku akan selalu jatuh cinta padamu..




Padamu yang Allah pilih sebagai makmumku…


Ku memohon padamu..


Ridhalah padaku,pada kekuranganku, dan pada ketiadaanku


Mudahkanlah jalanku ke Surga-Nya..


Karena bagiku kau adalah jembatan syurgaku..


Untukmu yang kelak Allaah pilihkan Untukku


Ingatlah pesanku ini Imam ibnu Qudamah Rahimahullahu berkata : '' Ketahuilah jika engkau mencari seseorang yang bersih dari kekurangan niscaya engkau tidak akan mendapatkannya. Barangsiapa yang kebaikannya mendominasi daripada kejelekannya maka itulah yang seharusnya dicari. '' [ Mukhtashar Minhajil Qashidin hal.10]


—–@***@—–


Dari Asy'ats bin Said dari Ibnu Aun : " Tidaklah seorang hamba dikatakan ridho yang sebenarnya sebelum ridhonya kepada kemiskinan sama dengan ridhonya kepada kekayaan, bagaimana bisa dikatakan menerima takdir Allah dalam urusanmu jika engkau benci dengan takdir yang berlawanan dengan keinginanmu.? bisa jadi sesuatu yang engkau inginkan seandainya hal itu terlaksana maka hal itu akan menghancurkanmu dan jika engkau ridho dengan takdir yang sesuai dengan keinginanmu berarti engkau tidak bijaksana dengan dirimu dan berarti pula engkau tidak memiliki ridho yang sebenarnya ". (jawahir sifatus shafwah).


[By Abu Abdillaah ibnu Abbas/ Ar-Riauniy Pekanbaru 9 Muharram 23-11-12]

20 November 2012

... " Untukmu Hati, Renungkan !!! " ..



Duhai hati..

Letih yang engkau rasakan selama ini mungkin tak sebanding dengan letihnya hati mereka dalam menapaki kehidupan ini. Di dalam keletihan itu, mereka memahami bahwa letihnya mereka akan membuat mereka menjadi orang-orang seperti yang dicitakan. Lalu bagaimana denganmu wahai hatiku.. Baru sebentar saja engkau merasa letih tapi kau sudah merintih bagai seribu tahun kau mengalaminya.. Malulah pada mereka yang merasa letih tetapi mereka memaknai letihnya sebagai sesuatu yang dapat mengantarkannya pada sebuah kebahagiaan.. Bukankah orang yang berjuang dan berkorban itu letih? Bukankah akhir dari perjalanan orang yang berjuang dan berkorban itu sebuah kebahagiaan jika dijalani dengan ikhlas dan penuh kesungguhan??

Duhai hati..

Lelah memang terus menerus hal-hal kurang mengenakkan itu menerpa hidupmu. Tetapi jika kau renungi kembali kisah di atas, perjuangan mereka tidak mengenal lelah. Setiap lelah menghinggapi mereka, mereka beristirahat dan kemudian bangkit berjuang kembali. Mereka paham kalau diamnya mereka tak dapat membuahkan hasil apapun bagi kehidupannya. Mereka yakin perjuangan dan pengorbanannya selama ini, berlelah-lelahan, akan berbuah sebuah kebahagiaan yang tak dapat tergantikan nikmatnya. Lalu bagaimana denganmu wahai hatiku.. Baru sebentar saja kau diberi cobaan dan ujian tapi kau sudah merasa lelah dan menyerah.. Malulah kau pada mereka yang tak punya apa-apa tapi mereka tetap istiqamah berjuang dan berkorban hingga cita-cita mereka tercapai.. Bukankah orang yang berjuang dan berkorban itu lelah? Bukankah akhir dari kelelahan orang yang berjuang dan berkorban itu sebuah kebahagiaan jika dijalani dengan ikhlas dan penuh kesungguhan??

Duhai hati..

Sakit yang terus menyapamu selama ini adalah ujian dan cobaan dari Allah seberapa kokohnya engkau menjalani apa-apa yang engkau yakini atas-Nya. Dia ingin tahu seberapa seriuskah engkau dalam menapaki jalan kehidupan yang sudah Dia gariskan. Sakit yang Dia berikan adalah sebuah perhatian khusus-Nya kepadamu. Dia masih sayang kepadamu dengan memberikan ujian dan cobaan. Andai saja kau tak merasa diuji dan diberi cobaan, maka kau akan merasa aman-aman saja, padahal kau sedang berada di tepian jurang yang menganga lebar dan siap menerkammu kapan saja kau lengah..

Duhai hati..

Capeknya dirimu menghadapi segala permasalahan yang engkau temui di sekitarmu, itulah yang terus mengajarkanmu untuk dapat memahami sekelilingmu dengan lebih baik lagi. Di kananmu ada orang-orang yang engkau sayangi dan kasihi. Di depanmu ada orang-orang yang engkau hormati. Di kirimu ada orang-orang yang engkau senantiasa bercengkerama dengannya. Di belakangmu ada orang-orang yang selalu mendukungmu dalam tiap doanya meski kau tak pernah tahu.
Duhai hati..

Seorang ustadz pernah menyampaikan, jika tak senang dengan sepatumu yang lusuh, ingatlah mereka yang tak berkaki namun tak mengeluh. Semoga kita selalu dapat mengingatnya duhai hati.. Seberapa letih, lelah, dan sakitnya engkau.. Masih ada orang-orang yang merasakan itu lebih dari kita tetapi mereka tetap tak mengeluh.. Ada saja cara mereka untuk menyemangati diri.. Ada saja sugesti untuk membuat diri mereka semangat.. Ada saja pemikiran positif yang mereka punya hingga mereka tetap bersemangat.. Ada saja cita-cita yang ingin mereka gapai hingga semangat itu tetap terpatri di dada mereka..

Duhai hati..

Tetaplah istiqamah..

Walau itu berat bagimu..

Percayalah kau mampu menjalaninya..

Asalkan kau selalu menyertai Allah dalam segala hal..

Terpautnya kau duhai hatiku pada Sang Khalik..

Akan membuatmu semakin cantik dan tangguh..

Karena kau adalah mutiara di lautan..

Yang akan terus terjaga sampai masa memisahkan..

Duhai hati.. Tetaplah istiqamah..
 [pertengahan Muharram 20-11-12 Pekanbaru]






Seputar Air Madzi


Pertanyaan:
1. Apakah nama lain dari sesuatu atau cairan yang keluar dari alat kelamin (laki-laki) bila melihat sesuatu yang merangsang syahwat?
2. Apakah wajib mandi atau tidak, bila itu keluar?
3. Kalau dipandang dari segi medis, normal atau tidak?
Dijawab oleh Al-Ustadz Dzulqarnain:
1. Cairan yang dimaksud dikenal dengan namamadzi’. Ciri air madzi adalah bening, lembut dan agak lengket. Keluar tatkala mengingat hal-hal yang menjurus ke lawan jenis (hub.intim) atau sedang melakukan pendahuluan-pendahuluan dalam berhubungan intim. Kadang-kadang terasa tatkala keluarnya dan kadang tidak terasa dan setelah keluar tidak diikuti dengan rasa letih.
Lihat : Al-Mughny 1/413 karya Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdasy dan Al-Majmu2/161 karya Imam An-Nawawy.Dan perlu diketahui bahwa cairan ini tidak hanya keluar dari laki-laki tetapi wanita pun bisa mengalami hal yang sama.
2. Orang yang keluar darinya madzi ini tidaklah wajib baginya untuk mandi tapi hanya wajib baginya untuk berwudhu dan membersihkan pakaian atau bagian tubuh yang terkena madzi tersebut. Sebab madzi itu adalah merupakan najis dan salah satu pembatal wudhu menurut kesepakatan para ulama. Dalil akan hal ini adalah hadits ‘Ali bin Abi Tholib riwayat Bukhary-Muslim, Beliau berkata :
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَسَأَََََلَهُ فَقَالَ فِيْهِ الْوُضُوْءُ
“Saya adalah seorang lelaki yang banyak keluar madzi maka saya perintahkan Al-Miqdad untuk bertanya kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam (tentang hal tersebut) maka ia pun bertanya padanya maka beliau menjawab : “wajib untuk berwudhu”.Lihat : Al Ausath 1/134 karya Ibnul Mundzir, Syarah Muslim 3/213, Al Majmu 2/142 keduanya karya imam Nawawi dan Al I’lam 1/650 karya Ibnul Mulaqqin.
3. Dalam keadaan yang diterangkan di atas tentang sebab keluarnya madzi itu adalah perkara yang normal dan orang-orang berbeda tingkat kepekaannya dalam hal ini. Tetapi hal tersebut menjadi tidak normal apabila ia selalu membiarkan dirinya ketika mengalami sesuatu yang membangkitkan syahwatnya sehingga menjadi sebab air madzi tersebut keluar dan menjadi terbiasa. Wallahu A’lam.
Diambil dari http://www.an-nashihah.com/index.php?op=NEArticle&sid=15

INILAH CONTOH PEMIKIRAN JIL YANG BERBAHAYA


Bahaya Kebebasan Berpikir

Oleh Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 95 Tahun II
picture-of-brain2


Beberapa hari yang lalu kami memungut selembar koran harian Tribun Timur(edisi Jumat, 4 Juli 2008 M). Sejenak kami membolak-balik koran bekas itu, tiba-tiba kami menemukan pada (hal.4), di bawah rubrik Tribun Opini terdapat sebuah tulisan yang nampaknya cukup “ilmiah”. Hal itu terlihat dari judulnya yang tertulis “Islam: Inovasi atau Stagnasi?” yang ditulis oleh Ismail Amin, seorang mahasiswa Mostafa Internasional University Islamic Republic of Iran. Selanjutnya kami sebut dengan “si Penulis”
Nampaknya ilmiah, namun ternyata tulisan ini memuat beberapa perkara yang menunjukkan bahwa tulisan ini tidak ilmiah menurut tinjauan syari’at, bahkan bersifat tendensial. Si Penulis dalam artikel itu berusaha mengomentari kondisi kemunduran teknologi dan perekonomian kaum muslimin yang dikaitkan dengan agama.
Tulisan ini mengingatkan kami dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah-radhiyallahu ‘anhu- dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
سَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ, يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ, وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا اْلأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ . قِيْلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قال: الرَّجُلُ التَّافِهُ فِيْ أَمْرِ العَامَّةِ

“Akan datang pada manusia tahun-tahun yang menipu; di dalamnya pendusta dibenarkan, orang jujur didustakan; orang yang penipu dipercaya, dan orang yang amanah dianggap pengkhianat, serta ruwaibidhoh ikut berbicara”. Ada yang bertanya, “Apa itu ruwaibidhoh (orang lemah)?” Beliau bersabda, “Dia adalah seorang hina (dungu) berkomentar tentang urusan umum”. [HR. Ibnu Majah dalam Kitab Al-Fitan (4036). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no.1887)]
Tulisan ini sengaja kami angkat & komentari sebagai contoh sederhana bahwa seorang yang belajar kepada orang-orang Syi’ah-Rofidhoh di Repulik Iran, akan mengalami perubahan dalam gaya bahasa dan berpikir bebas, tanpa kontrol dalam mengeritik perkara yang sudah baku, dan tak ada hak otoritas baginya dalam hal itu. Sampai Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pun berusaha dikritik. Pembaca akan melihat sepak terjangnya dalam beberapa poin berikut:
* Tertipu dengan Kemajuan kaum kafir, dan Bersedih atas Kemunduran Kaum Muslimin dalam Perkara Keduniaan
Para pembaca yang budiman, si Penulis termasuk rangkaian para korban yang tertipu dengan kemajuan kaum kafir –semisal USA- dalam teknologi dan perekonomian, dan sebaliknya menyedihkan ketertinggalan dan kemunduran kaum muslimin dalam hal itu. Dengarkan ia bersedih, “Ketertinggalan bangsa kita, khususnya umat Islam, dalam pengembangan ilmu pengetahuan tidak terbantahkan. Etos keilmuan masyarakat kita sangat rendah”. [Lihat Tribun Timur (hal.4)] 
Sebelumnya ia mengawali kesedihannya dengan menukil ucapan orang yang sepemikiran dengannya, yaitu Nurcholis Madjid saat ia berkata, “Praktis di semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam adalah yang paling rendah dalam sains dan teknologi”.[Tribun (hal.4)] 
Seorang yang menyinari dirinya dengan cahaya Al-Qur’an & Sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sebenarnya tak perlu terlalu menyedihkan hal itu. Allah -Ta’ala- berfirman,
“Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya”. (QS. Ali Imraan: 196-197).
Kebebasan dan kemajuan orang-orang kafir dalam perdagangan dan teknologi tidak perlu menyedihkan kita, karena mereka hanya bersenang-senang dalam waktu pendek. Adapun orang-orang beriman mereka akan mendapatkan kesenangan abadi. Kalian Cuma bisa berusaha di dunia, Allah yang menentukan kemenangan [Lihat Taisir Al-Karim (hal. 162)]
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, 
فَوَاللهِ لاَ الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوْهَا كَمَا تَنَافَسُوْهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas diri kalian. Tapi khawatirkan kalau dibukakan dunia bagi kalian sebagaimana telah dibukakan bagi orang-orang (kafir) sebelum kalian, lalu mereka pun berlomba-lomba meraihnya sebagaimana mereka berlomba-lomba meraihnya; (aku juga khawatirkan) kalau dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana dunia telah membinasakan mereka”. [HR. Al-Buhkoriy dalam Shohih-nya (3158, 4015 & 6425), dan Muslim (2961)]
Yang perlu disedihkan adalah terjadinya kemunduran beragama . Kalian akan melihat kemunduran beragama ini dengan merebaknya kesyirikan dimana-mana, bid’ah, maksiat, dan kekafiran sebagaimana yang terlihat di negeri kita, bahkan di negeri yang dikagumi oleh si Penulis, yaitu Iran. Di Iran –khususnya bulan Muharram- banyak terjadi kesyirikan, bid’ah, maksiat, kekafiran dan pelanggaran agama ketika memperingati hari kematian Husain.
Di hari itu mereka (Syi’ah-Rofidhoh) di Karbala’ ( Irak) berpesta pora sambil menzalimi diri mereka dengan melukai kepala mereka sebagai ungkapan belasungkawa atas penderitaan Husain saat ia dibunuh menurut sangkaan mereka yang batil. Di hari itu mereka melakukan acara ritual yang aneh dengan meletakkan dahi mereka dan bersujud di tanah sambil merangkak, menuju pusara Husain yang mereka pertuhankan. Belum lagi kebencian mereka yang amat ekstrim kepada para pejuang Islam, yakni para sahabat, seperti Abu Bakr, Umar, Utsman, Abu Hurairah, A’isyah dan lainnya -radhiyallahu ‘anhum- .
* Pesantren Dianggap sebagai Tempat Pembelengguan Akal 
Di mata si Penulis, pesantren dianggap tempat pembelengguan akal. Ini nampak dalam ucapannya, “Kebanyakan lembaga pendidikan Islam (baca: pesantren) justru menjadi tempat pembelengguan potensi kreatif anak didik yang paling efektif”. [Tribun hal.4] 
Pesantren merupakan pusat pendidikan Islam dari dulu sampai kini yang menciptakan banyak kader ulama, bukan tempat pembelengguan akal. Jika sebagian pesantren memusatkan perhatiannya dengan masalah agama sehingga mereka minim pengetahuan umumnya, maka ini bukanlah suatu celaan bagi pesantren.
Sama halnya, jika ada lembaga pendidikan umum yang memusatkan perhatiannya dengan ilmu pengetahuan umum sehingga lebih minim ilmu agamanya, maka ini juga bukanlah celaan baginya. Masing-masing lembaga mengembangkan kemampuannya dalam membangun Islam. Perlu diketahui oleh si Penulis, pesantren kini juga telah mengembangkan sayapnya dalam ilmu pengetahuan umum. Lalu mengapa si Penulis menyudutkan pesantren? Apakah si Penulis menginginkan kita semua sibuk dengan ilmu dunia sehingga kita meninggalkan ilmu agama dan semua jahil? Ataukah sekedar cari jalan mencela Islam & ulama agar ia naik pamor?! Wallahu a’lam.
Sebenarnya yang perlu disalahkan (baca: dikritik) oleh si Penulis jika umat Islam terbelakang dalam teknologi adalah para inteketual dan cendekiawan yang berkiprah di ilmu pengetahuan umum. Jangan malah pesantren dikambinghitamkan sehingga pada gilirannya memberikan opini bahwa Islam tidak relevan , statis, dan tidak menerima perkembangan teknologi yang membangun Islam. Jika ada yang memusatkan diri belajar agama, maka tak ada salahnya agar kaum muslimin juga kuat dalam segi agama. Sebab kejayaan itu ada pada kekuatan pemeluknya berpegang teguh dengan agamanya.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, 
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَيَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ
“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah, memegang ekor-ekor sapi (sibuk ternak), ridho dengan bercocok tanam (sibuk tani), dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan kehinaan atas diri kalian; tak akan dicabut oleh Allah sampai kalian kembali kepada agama kalian”. [HR. Abu Dawud dalam Kitabul Ijaroh (3462). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (11)]
Dengan kembali kepada agama-Nya, maka Allah akan bukakan bagi mereka pintu-pintu kebaikan dan berkah duniawi dan ukhrawi, seperti yang dialami oleh negeri Saudi Arabia.
* Berburuk Sangka kepada Ulama & Tidak Menghargai Jasa Para Ulama
Kebiasaan orang Syi’ah-Rofidhoh dalam mencela ulama, ini diadopsi dan diserap oleh si Penulis. Lihat saja ia merendahkan ulama dan menutup mata dari jasa baik mereka saat si Penulis berkata, “Selain itu, apapun dari ustadz dan ulama selalu dianggap benar tanpa studi kritis yang berarti. Islam yang kita kenal dari mereka tidak lebih dari deretan aturan hitam putih”.[Lihat Tribun (hal.4)] 
Apa yang dinyatakan oleh si Penulis tidak bisa dibenarkan secara mutlak. Sebab kaum muslimin paham bahwa para ulama bukan nabi dan rasul sehingga harus taqlid sepenuhnya. Kaum muslimin paham bahwa seorang ulama hanyalah pewaris para nabi dalam menyampaikan risalah Islam, namun mereka tak maksum (tak bersih dari dosa dan kesalahan). Mereka manusia biasa seperti kita, bisa jadi benar atau salah. Jika ia benar karena mengikuti Sunnah, maka kita wajib mengikutinya. Sebaliknya, jika mereka keliru karena menyelisihi sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka kita tinggalkan ucapan ulama tersebut, dengan tetap memuliakannya sesuai posisinya, tanpa ekstrim dalam mendudukkan mereka seperti nabi atau tuhan !! Al-Imam Malik -rahimahullah- berkata, “Setiap orang boleh diambil ucapan dan pendapatnya, dan juga boleh ditinggalkan kecuali penghuni kubur ini (yakni Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-)”. [Lihat Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih (2/91)oleh Ibnu Abdil Barr]
Jadi, para ulama adalah pewaris para nabi dalam menyampaikan risalah Islam, didudukkan pada tempatnya, tanpa mengkultuskannya, dan tidak pula merendahkan dan menghinakannya. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ, وَإِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا, وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Sedang para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham. Tapi mereka hanya mewariskan ilmu (agama). Jadi, barang siapa yang mengambilnya, maka sungguh ia telah mengambil bagian yang banyak”. [HR. Al-Bukhoriy secara mu’allaq dalam Kitabul Ilmi (1/37), Abu Dawud dalam Kitab Al-Ilmi (3641), At-Tirmidziy dalam Kitabul Ilmi (2682), dan Ibnu Majah (223). Lihat Shohih Al-Jami’ (6297)]
Si Penulis bukan Cuma ulama masa kini yang direndahkan, bahkan sahabat dan murid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yaitu sahabat Abu Hurairah. Tak heran jika si Penulis melakukan hal itu, sebab para pendahulu mereka dan guru mereka di Iran yang beragama Syi’ah-Rofidhoh, amat besar kebenciannya kepada para sahabat, utamanya Abu Hurairah, karena beliaulah yang banyak meriwayatkan hadits yang berisi ajaran Islam. Mereka mencela Abu Hurairah agar dapat menjauhkan kaum muslimin dari Islam.
Dengarkan si Penulis merendahkan sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, “Maksimalisme agama pada dasarnya hanya menempatkan otak hanya sebagai isi kepala tanpa peran berarti… Maksimalisme agama hanya akan menyeret manusia zaman Bill Gates ini ke zaman Abu Hurairah”. [Lihat Tribun (hal.4)]

Ini merupakan pelecehan kepada sahabat Abu Hurairah, sebab ucapan ini menjelaskan bahwa Abu Hurairah termasuk orang yang terpasung otaknya, hanya membebek buta kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Bahkan ini merupakan pelecehan kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sebab menuduh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memasung otak dan akal para sahabatnya, tanpa dibiarkan berpikir. Sungguh ini adalah ucapan kufur yang bisa membuat seorang murtad, sebab mengolok-olok Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman”. (QS. At-Taubah: 65-66).
Syaikh Ibnu Nashir As-Sa’diy -rahimahullah- berkata ketika menafsirkan ayat ini, “Sesungguhnya mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya adalah kekafiran yang mengeluarkan orang dari agamanya, karena prinsip agama ini terbangun di atas pengagungan kepada Allah, agama, dan Rasul-Nya. Sedangkan mengolok sesuatu di antara perkara itu adalah merobohkan prinsip ini, dan menentangnya dengan sekeras-kerasnya”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 343)]
Demikian pula mengolok-olok sahabat, apalagi sampai merendahkan dan mencelanya, bahkan sampai mengkafirkannya. Perbuatan seperti hanyalah dilakukan kaum zindiq (munafiq). Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda dalam menerangkan martabat para sahabat, 
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَلَوْا أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ
“Janganlah kalian mencela para sahabatku. Andaikan seorang di antara kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, niscaya infaq itu tak mampu mencapai satu mud infaq mereka, dan tidak pula setengahnya”. [HR.Al-Bukhary dalam Ash-Shahih (3470), Muslim (2541)].
Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Rozy -rahimahullah- berkata, “Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang sahabat Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam-, maka ketahui bahwa orang itu zindiq. Karena Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam- di sisi kami benar, dan Al-Qur’an adalah kebenaran. Sedangkan yang menyampaikan Al-Qur’an ini kepada kami adalah para sahabat Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam-. Mereka (para pencela tersebut) hanyalah berkeinginan untuk menjatuhkan saksi-saksi kami agar mereka bisa membatalkan Al-Kitab dan As-Sunnah. Padahal celaan itu lebih pantas bagi mereka, sedang mereka adalah orang-orang zindiq”. [Lihat Al-Kifayah, (hal. 49)] 
Terakhir, kami nasihatkan melalui ucapan Al-Hafizh Ibnu Asakir -rahimahullah-, “Ketahuilah bahwa daging para ulama -rahmatullah alaih- adalah beracun. Diantara sunnnatullah dalam menyingkap aib orang yang merendahkan mereka adalah telah dimaklumi, karena mencela mereka dengan sesuatu yang tak ada pada mereka adalah perkaranya besar”. [Lihat Tabyiin Kadzib Al-Muftari (hal. 29)]
Mudah-mudahan torehan pena ini menjadi nasihat bagi si Penulis dan orang-orang yang tertipu dengan agama Syi’ah-Rofidhoh. Kami berharap kepada Allah Yang Maha Pemurah lagi Penyayang agar kami dimatikan di atas Islam yang dibawa oleh para sahabat.
Sumber :
http://almakassari.com/?p=320

Najiskah Air Mani?

new1a

Oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Apakah air mani itu najis? Bila najis, apakah cara mencuci pakaian yang terkena air mani itu sama dengan cara mencuci pakaian yang terkena darah haidh?
Agus Dukhron Qori
Komplek MI Muhammadiyah Jatijajar, Ayah, Kebumen
Dalam permasalahan najis atau sucinya air mani, ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sebagian ulama menyatakan bahwa air mani itu najis, sebagaimana pendapat Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Malik. Sebagian ulama yang lain berpendapat air mani itu suci, sebagaimana pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad.
Dari dua pendapat tersebut, yang rajih -insya’ Allah- adalah pendapat kedua, yang menyatakan bahwa air mani itu suci. Hal ini didasarkan pada hadits ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dengan lafazh, di antaranya:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا فَيُصَلِّي فِيْهِ (رَوَاهُ مُسْلِمْ)
“Bahwasanya aku dahulu mengerik (air mani) dari pakaian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat dengan menggunakan pakaian tersebut.” (HR. Muslim)
Dalam lafazh lain:
لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَا بِسًا بِظُفْرِي مِنْ ثَوْبِهِ (رواه مسلم)
“Dahulu aku mengerik air mani yang telah kering dengan kukuku dari pakaian Rasulullah.” (HR. Muslim)
Dari hadits di atas, jelaslah bahwa air mani merupakan sesuatu yang suci karena :
1. Perbuatan ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ membersihkan air mani yang telah kering tersebut hanya mengerik dengan kukunya. Kalau seandainya air mani adalah sesuatu yang najis, maka tidak cukup mensucikannya hanya dengan mengeriknya.
2. Sikap Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menunda pembersihan air mani yang menimpa pakaiannya hingga kering, juga menunjukkan bahwa air mani itu suci. Kalau seandainya najis, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan segera membersihkannya, sebagaimana kebiasaan beliau di dalam mensikapi benda-benda najis, seperti peristiwa tertimpanya pakaian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam oleh air kencing anak kecil. Dalam hadits Ummu Qais binti Mihshan yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim yang artinya; Dia (Ummu Qais binti Mihshan -red) datang menemui Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan membawa seorang bayi yang belum memakan makanan, kemudian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mendudukkannya di kamarnya, kemudian bayi tersebut kencing di pakaian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, maka segera Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam meminta air dan menyiramkannya pada pakaiannya.
Begitu pula peristiwa seorang Badui yang kencing di masjid, sebagaimana dikisahkan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim.
Pendapat yang kedua ini adalah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan merupakan pendapat kebanyakan para ulama.
Sementara itu, cara membersihkan air mani adalah dengan dua cara:
1. Boleh dicuci dengan air, sebagaimana hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dengan lafazh:
كَانَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْسِلُ الْمَنِي ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلاةِ فِي ذَلِكَ الثَّوْبِِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ الْغَسْلِ (متفق عليه)
“Bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mencuci air mani, kemudian keluar shalat dengan mengenakan pakaian tersebut, sementara aku melihat adanya bekas cucian tersebut.”
2. Dengan mengeriknya (dengan kuku), sebagaimana dalam hadits yang telah lalu jika air mani telah kering. Dan juga boleh dicuci walaupun telah kering.
Sedangkan darah haidh adalah sesuatu yang najis hukumnya dan cara mencucinya pun berbeda (dengan cara mencuci air mani) serta cenderung lebih ekstra. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Asma’ binti Abi Bakr yang kurang lebih artinya:
“Telah datang seorang wanita kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan berkata: ‘Salah satu dari kami telah tertimpa pakaiannya oleh darah haidh, apa yang bisa dia lakukan?’ Berkata Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa salam: ‘Dikerik (dengan kukunya), kemudian dikucek dengan air, kemudian dibasuh/disiram dengan air, kemudian boleh baginya shalat dengan memakai pakaian tersebut.’” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari hadits tersebut, diketahui bahwa darah haidh adalah darah yang najis, karena Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencucinya dengan cara yang ekstra ketat sebelum digunakan pakaian tersebut untuk shalat. Bahkan dalam riwayat hadits Ummu Qais yang diriwayatkan Al-Imam Abu Dawud, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencucinya dengan air yang telah dicampur dengan daun bidara. Sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di dalam kitabnya Al-Jaami’ Ash-Shahih (1/481) dengan judul ‘Bab Tata Cara Mencuci Darah Haidh’.
Dengan ini telah jelaslah perbedaan hukum air mani dengan darah haidh serta cara mencuci keduanya.
Wallaahu a’lamu bish shawaab.
Sumber:
http://almuslimah.wordpress.com/

Perbedaan antara Darah Haid, Istihadhah dan Darah Nifas


Redaksi Sakinah

mawarApa perbedaan antara darah haid, istihadhah, dan darah nifas?
Jawab:
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menjawab secara panjang lebar yang kami ringkaskan sebagai berikut, “Tiga macam darah yang ditanyakan keluar dari satu jalan. Namun namanya berbeda, begitu pula hukum-hukumnya, karena perbedaan sebab keluarnya.
Adapun darah nifas sebabnya jelas, yaitu darah yang keluar dari seorang wanita karena melahirkan. Darah nifas ini merupakan sisa darah yang tertahan di dalam rahim sewaktu hamil. Bila seorang wanita telah melahirkan kandungannya, darah itu pun keluar sedikit demi sedikit. Bisa jadi waktu keluarnya lama/panjang, dan terkadang singkat. Tidak ada batasan minimal waktu nifas ini. Adapun waktu maksimalnya menurut mazhab Hambali adalah 40 hari, dan bila lebih dari 40 hari darah masih keluar sementara tidak bertepatan dengan kebiasaan datangnya waktu haid maka darah tersebut adalah darah istihadhah. Namun menurut pendapat yang shahih, tidak ada pula batasan waktu maksimal dari nifas ini.
Darah yang keluar bukan karena sebab melahirkan adalah darah haid sebagai suatu ketetapan dan sunnatullah atas seorang wanita. Di mana bila si wanita sudah dapat hamil dan melahirkan maka secara umum akan datang kepadanya haid di waktu-waktu tertentu, sesuai dengan keadaan dan kebiasaan si wanita. Bila seorang wanita hamil umumnya ia tidak mengalami haid, karena janin yang dikandungnya beroleh sari-sari makanan dengan darah yang tertahan tersebut.
Keluarnya darah haid menunjukkan sehat dan normalnya si wanita. Sebaliknya tidak keluarnya darah haid menunjukkan ketidaksehatan dan ketidaknormalan seorang wanita. Makna ini disepakati oleh ahli ilmi syar’i dan ilmu kedokteran, bahkan dimaklumi oleh pengetahuan dan kebiasaan manusia. Pengalaman mereka menunjukkan akan hal tersebut. Karena itulah ketika memberikan definisi haid, ulama berkata bahwa haid adalah darah alami yang keluar dari seorang wanita pada waktu-waktu yang dimaklumi.
Menurut pendapat yang shahih, tidak ada batasan umur minimal seorang wanita mendapatkan haid. Begitu pula batasan waktu minimal lamanya haid, sebagaimana tidak ada batasan maksimalnya. Tidak ada pula batasan minimal masa suci di antara dua haid. Bahkan yang disebut haid adalah adanya darah, dan yang disebut suci adalah tidak adanya darah. Walaupun waktunya bertambah atau berkurang, mundur ataupun maju, berdasarkan zahir nash-nash syar’i yang ada, dan zahir dari amalan kaum muslimin. Juga karena tidak melapangkan bagi wanita untuk mengamalkan selain pendapat ini.
Adapun istihadhah adalah darah yang keluar dari seorang wanita di luar kebiasaan dan kewajaran, karena sakit atau semisalnya.
Bila seorang wanita terus menerus keluar darah dari kemaluannya, tanpa berhenti, maka untuk mengetahui apakah darah tersebut darah haid ataukah darah istihadhah bisa dengan tiga cara berikut ini secara berurutan.
(1) Apabila sebelum mengalami hal tersebut ia memiliki kebiasaan (‘adah) haid maka ia kembali pada kebiasaannya (‘adah-nya). Ia teranggap haid di waktu-waktu ‘adah tersebut, adapun selebihnya berarti istihadhah. Selesai masa ‘adah-nya ia mandi dan boleh melakukan ibadah puasa dan shalat (walau darahnya terus keluar karena wanita istihadhah pada umumnya sama hukumnya dengan wanita yang suci, pent.).
(2) Bila ternyata si wanita tidak memiliki ‘adah dan darahnya bisa dibedakan, di sebagian waktu darahnya pekat/kental dan di waktu lain tipis/encer, atau di sebagian waktu darahnya berwarna hitam, di waktu lain merah, atau di sebagian waktu darahnya berbau busuk/tidak sedap dan di waktu lain tidak busuk, maka darah yang pekat/kental, berwarna hitam, dan berbau busuk itu adalah darah haid. Yang selainnya adalah darah istihadhah.
(3) Apabila si wanita tidak memiliki ‘adah dan tidak dapat membedakan darah yang keluar dari kemaluannya, maka di setiap bulannya (di masa-masa keluarnya darah) ia berhaid selama enam atau tujuh hari karena adanya hadits-hadits yang tsabit dalam hal ini. Kemudian ia mandi setelah selesai enam atau tujuh hari tersebut walaupun darahnya masih terus keluar. Sedapat mungkin ia menyumpal tempat keluarnya darah (bila darah terus mengalir) dan berwudhu setiap kali ingin menunaikan shalat.”
(Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 23-26 sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 263-265)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=758

Berbekam (hijamah), Apakah Membatalkan Wudhu?

wudhu


Madzhab Al-Hanafiyyah berpendapat keluarnya darah dikarenakan berbekam (hijamah) merupakan salah satu dari pembatal wudhu. As-Sarkhasi berkata: “Menurut kami, seseorang yang berbekam maka wajib baginya berwudhu dan mencuci bagian tubuh yang dibekam. Karena, wudhu itu wajib dengan keluarnya najis (yaitu darah bekaman (dianggap) najis di sisi mereka). Bila dia berwudhu namun tidak mencuci bagian tubuh yang dibekam, maka bila bagian itu lebih besar dari ukuran dirham, ia tidak boleh mengerjakan shalat. Namun bila kurang dari itu boleh baginya mengerjakan shalat.”
Adapun madzhab Al-Malikiyyah dan Asy-Syafi’iyyah berpendapat bahwa berbekam atau sengaja mengeluarkan darah dengan merobek kulit atau urat dan dikeluarkannya segumpal darah dengan cara diisap tidaklah membatalkan wudhu. Az-Zarqani berkata: “Berbekam tidaklah membatalkan wudhu, baik orang yang membekam maupun orang yang dibekam. Demikian pula sengaja mengeluarkan darah dengan merobek kulit atau urat.”
Dalam kitab Al-Umm disebutkan: “Tidak wajib berwudhu karena muntah, mimisan dan berbekam.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 17/14). Inilah pendapat yang rajih, karena tidak adanya dalil yang bisa dijadikan hujjah bahwa berbekam itu membatalkan wudhu. Adapun hadits yang menyatakan dukungan penguatan bahwa berbekam itu tidak membatalkan wudhu pada sanadnya ada pembicaraan terhadap salah seorang rawinya yaitu Shalih ibnu Muqatil. Al-Imam Ad-Daraquthni rahimahullah mengatakan tentang Shalih: “Bukan seorang yang kuat.” Dan hadits ini didhaifkan oleh para imam seperti Al-Baihaqi, An-Nawawi dan Al-Hafidz Ibnu Hajar. (Al-Majmu 2/63, At-Talkhisul Habir, 1/171) (Sehingga kembali kepada hukum asal atau bara’ah ashliyah-red).

*) Diberitakan dari hadits Anas radhiallahu ‘anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَصَلَّى ولَمْ يَتَوَضَّأ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan shalat setelahnya tanpa berwudhu.” (HR. Ad-Daraquthni, 1/157 dan Al-Baihaqi, 1/141)

Nasehat Kematian!



bismilah.jpg

Nasehat buat Para Camat

Setiap yang bernyawa adalah “camat” (calon mati). Kematian merupakan sebuah kemestian yang harus siap dihadapi oleh setiap orang, karena kita ini adalah “camat” . Allah -Ta’ala- berfirman di dalam Al-Qur’an Al-Karim,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan kematian (QS. Al Imran:185)
bunga
Ya, setiap yang berjiwa itu akan mati. Apakah kematian itu? apakah engkau pernah berpikir tentang “perusak segala kenikmatan” dan segala misterinya? Apakah engkau merasa diperingatkan dan dinasehati olehnya, ketika ia mengambil dan mencabut kenikamatan-kenikmatan itu; ia melangkahimu untuk mendatangi orang lain dan esok ia akan mendatangimu?
Jadi, semua orang akan mati; engkau telah melihat dan mendengarnya. Orang yang bahagia adalah orang yang selalu mengambil peringatan dari orang lain atau mungkin engkau lupa akan ungkapan populer: “Cukuplah kematian sebagai pemberi nasehat”.
Hendaklah engkau mempersiapkan dengan seluruh desah nafasmu, sehingga engkau menjadi orang yang apabila berada di pagi hari, dia tidak menunggu waktu sore; apabila berada di sore hari, dia tidak menunggu waktu pagi. Namun ia akan beramal sholeh untuk mengisi setiap jam yang sedang dijalaninya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Umar ketika mendengar Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
كُنْ فِيْ الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ آبِرُ سَبِيْلٍ
“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau seorang pengembara”.
Ibnu Umar-radhiyallahu ‘anhuma- berkata, “Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu waktu pagi. Apabila kamu berada di pagi hari, maka janganlah menunggu waktu sore. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum waktu sakitmu, dan masa hidupmu sebelum matimu”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya(6053), At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2333), Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (698)]
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambaliy-rahimahullah- berkata, “Sesungguhya seorang mukmin tidak sepantasnya untuk menjadikan dunia sebagai tempat tinggalnya dan merasa tenang di dalamnya akan tetapi sepatutnya dia di dalam dunia ini bagaikan orang yang sedang melakukan perjalanan. Sungguh wasiat para nabi dan pengikutnya telah sepakat atas hal ini”. [Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam (hal. 379) ]
Wahai calon penghini kubur, apa yang menyebabkan terpedaya oleh dunia? Tidak engkau mengetahui bahwa kamu akan meninggalkan duniamu dan duniamu akan meninggalkanmu? Mana rumahmu yang megah, pakaianmu yang indah, aroma wewangianmu, para pembantumu, dan keluagamu? Mana wajahmu yang tampan, kulitmu yang halus? Bagaimana keadaanmu setelah tiga hari di kubur? Saat itu tubuhmu telah ditumbuhi ulat dan cacing, mengoyak kafanmu, menghapuskan warnamu, memakan dagingmu, masuk ke dalam tulangmu, mencerai-beraikan anggota tubuhmu, merobek sendi-sendimu, melelehkan biji matamu dan pipimu.
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذَمُّ اللَّذَّاتِ يَعْنِيْ الْمَوْتُ
“Perbanyaklah kalian mengingat penghancur kenikmatan, yaitu kematian”. [HR. At-Tirmidziy (2307), An-Nasa’iy (1824), dan Ibnu Majah (4258). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (1607)]
Cukuplah kematian membuat hati besedih, menjadikan mata menangis, perpisahan dengan orang-orang tercinta, penghilang segala kenikmatan dunia, pemutus segala angan-angan. Wahai orang-orang yang berpaling dari Allah, wahai orang yang tengah lengah dari ketaatan kepada Rabbnya, wahai orang yang setiap kali ia dinasehati, hawa nafsunya menolah nasihat ini, wahai orang yang dilalaikan oleh nafsunya dan tertipu oleh angan-angan panjangnya, tahukah kamu apa yang akan terjadi pada dirimu di saat kematianmu? Mungkin engkau bergumam dalam hati, “Saya akan mengucapkan la ilaha illallah”. Belum tentu wahai saudaraku!! Jika engkau masih tetap lalai dan berpaling dari Allah hingga tiba saat kematianmu, tentu engkau tidak akan mengucapkannya, bahkan kamu akan berharap untuk dihidupkan kembali.
Saudaraku, kemanakah engkau akan lari?? Apakah engkau akan mendaki gunung yang tinggi, atau menyelami lautan yang dalam, ataukah bersembunyi di benteng yang kokoh supaya dapat lolos dari intaian Malaikat Maut? Wahai saudaraku…. Engkau tidak akan dapat melarikan diri dari al-maut, sebab Rabb kita -Tabaraka wa ta’ala- berfirman,
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh” (QS. An-Nisa : 78)
Jika begitu, persiapkanlah dirimu dalam menghadapinya. Perbanyaklah bekalmu, karena perjalanan kita masihlah panjang. Janganlah engkau terlena dengan angan-angan yang kosong lagi menipu. Mengharap umurmu masih panjang, ternyata kematian sudah berada di ambang pintu. Janganlah engkau merasa cukup dengan kebaikan yang ada pada dirimu dan merasa ujub dengannya, sebab para salaf (pendahulu) kita dari kalangan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik adalah orang-orang yang paling banyak melakukan ibadah, ketaatan dan amal shalih. Namun ternyata mereka tidak begitu saja mengandalkan amal perbuatan mereka, bahkan mereka senantiasa merasa khawatir jangan sampai apa yang mereka lakukan itu masih belum diterima oleh Allah, sehingga terus merasa kurang dalam beramal dan tak henti-hentinya memohon ampunan kepada Allah.
Ibnu Syaudzab berkata, ” Tatkala Abu Hurairah berada di ambang kematian, tiba-tiba beliau menangis. Orang-orang bertanya, “apa yang membuatmu menangis? Beliau menjawab : “jauhnya perjalanan, sedikitnya perbekalan dan banyaknya rintangan yang menghalang. Sementara saya tidak tahu akan dimasukkan ke neraka ataukah ke surga”. [Lihat Shifatush Shofwah (1/694) oleh Ibnul Jauziy]
Qabishah bin Qais Al Anbariy berkata, “Adh-Dhahhak bin Muzahim apabila datang sore hari beliau menangis. Ada orang yang bertanya, apa gerangan yang membuatmu menangis? Beliau menjawab,
لَا أَدْرِيْ مَا صَعُدَ الْيَوْمَ مِنْ عَمَلِيْ
“Aku tidak tahu, amalanku yang mana yang naik ke langit (diterima Allah) pada hari ini”. [Lihat Shifatush Shofwah (17/150)]
Subhanallah !!! Sungguh pemandangan yang sangat menakjubkan. Lihatlah diri kita dan bandingkan dengan mereka. Apa yang telah kita kerjakan untuk mengisi hari ini? Berapa banyak hari yang berlalu, berapa umur yang telah kita lewati? Namun sedikit di antara kita yang menghitung diri. Bahkan kebanyakan dari kita membiarkan hari-harinya lewat, sedang dia tenggelam di dalam lautan kelalaian dan gelombang panjang angan-angan.
Bertaubatlah sebelum datangnya hari yang telah dijanjikan dan kita berkata,
رَبَّنَا أَخِّرْنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ نُجِبْ دَعْوَتَكَ وَنَتَّبِعِ الرُّسُلَ
“Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke dunia), walaupun sebentar saja. Niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti Rasul-Rasul….”. (QS. Ibrahim : 44)
Maka kita akan mendapatkan jawaban,
أَلَمْ تَكُنْ آَيَاتِي تُتْلَى عَلَيْكُمْ فَكُنْتُمْ بِهَا تُكَذِّبُونَ
“Bukankah ayat-ayatku telah dibacakan kepadamu sekalian, tetapi kamu selalu mendustakannya?” (QS. Al Mukminun :105)
Sungguh jika al-maut telah datang, maka ia tidak akan menangguhkan kita untuk bertaubat. Dia tidak dapat diundur, walaupun hanya sehari, sejam, bahkan sedetik pun.
Allah -Ta’ala- telah berfirman,
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
“Maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapar mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula memajukannya”. (QS. An-Nahl :61)
Umar bin DzarAl-Kufiy berkata, “Wahai pelaku kezhaliman! Sesungguhnya kamu sedang berada dalam masa penangguhan yang kamu minta itu maka manfaatkanlah sebelum akhir masa itu tiba dan beresegeralah sebelum ia berlalu. Batas akhir penangguhan adalah ketika kamu menemui ajal, saat sang maut datang ketika itu tidak berguna lagi penyesalan”. (HR. Abu Nu’aim Al-Ashbahaniy dalam Al Hilyah (5/115-116).
Suatu hal yang patut kita renungi adalah bekal kita untuk menghadapi kematian ini. Seorang yang cerdik akan mempersiapkan berbagai amalan yang dapat menyelamatkan dirinya dari huru-hara kematian, dan padang mahsyar.
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
وَأَكْيَسُهُمْ أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لَهُ إِسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الْأَكْيَاسُ
“Mukmin yang paling cerdik adalah yang paling banyak mengingat mati, dan paling baik persiapannya untuk mati. Itulah orang cerdik”. [HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (4259). Di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1384)]
Pernahkah kita mengitung diri atas apa yang telah kita ucapkan dan kita perbuat? Mari segera kita jawab sebelum datang waktunya bagi kita untuk mengucapkan,
قالَ رَبِّ ارْجِعُونِ (99) لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ
“Ya Rabbku kembalikanlah aku ke dunia, agar aku berbuat amal yang shalih terhadap apa yang aku tinggalkan”
Kemudian kita dapat jawaban,
كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Sekali-sekali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan” (QS. Al Mu’minun:99-100)
Saudaraku, janganlah engkau merasa aman ketika menuju pembaringanmu. Boleh jadi dia adalah tidur terakhirmu di dunia; engkau tidak bangun lagi setelahnya, dan ketika bangun tahu-tahu engkau telah berada di dalam kubur. Selayaknya kita bersiap-siap selagi masih berada di dunia ini. Siapkanlah bekal aqidah, iman, ibadah, dan akhlaq yang baik, didasari ilmu wahyu dari Al-Qur’an, dan sunnah. Itulah yang akan mempermudah jalan kita di alam kubur, dan padang mahsyar. Semoga Allah -Ta’ala- menolong kita untuk selalu berzikir mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya, dan memperbaiki ibadah hanya kepada-Nya.
Wahai saudaraku, perhatikanlah matahari yang terbit dan tenggelam. Sudahkah engkau renungkan hari yang kau lalaikan? Tanyakanlah, apa yang sudah engkau persembahkan untuk menyambut hari yang tidak bermanfaat harta dan anak-anak? Amat banyak manusia yang tidak memiliki perhatian terhadap berlalunya waktu, padahal nafasmu wahai anak Adam sesuatu yang dihitung dan tertulis.
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لَا تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْئَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَ أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيْمَ فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيْمَ أَبْلَأَ
“Tak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanyai tentang umurnya dimana ia habiskan; tentang ilmunya dalam perkara apa ia gunakan; hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia infaqkan; dan tentang jasadnya dimana ia gunakan”. [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2417),Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (537), dan Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (111). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (126)]
فَلَوْ أَنَّا إِذَا مِتْنَا تُرِكْنَا لَكَانَ الْمَوْتُ رَاحَةَ كُلِّ حَيٍّ
وَلَكِنَّا إِذَا مِتْنَا بُعِثْنَا وَنُسْأَلُ بَعْدَهُ عَنْ كُلِّ شَئٍ
Jikalau seandainya kita mati kita dibiarkan begitu saja
sungguh kematian adalah perkara yang menyenangkan,
akan tetapi apabila kita mati, kita akan dibangkitkan
dan akan ditanya tentang segala sesuatu
wahai jiwa yang lalai mengingat kematian…….
sebentar lagi engkau akan dikubur bersama mayat-mayat
maka ingatlah tempatmu sebelum engkau menempatinya
dan bertaubatlah kepada Allah dari sendagurau dan kesengan
sesungguhnya kematian itu ada waktunya
maka ingatlah musibah-musibah yang menimpa hari-harimu
janganlah engkau tenang dengan dunia serta hiasannya
karena semua itu tidak akan dibawa mati.
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 28 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). Sumber : http://almakassari.com/?p=168

Apakah Menyentuh Kemaluan Membatalkan Wudhu ?



Menyentuh kemaluan (dzakar)



kranDari Busrah bintu Shafwan radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Apabila salah seorang dari kalian menyentuh dzakarnya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Dawud no. 154, dishahihkan Al-Imam Ahmad, Al-Bukhari, Ibnu Ma’in dan selainnya. Kata Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah: “Hadits ini paling shahih dalam bab ini.” Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 174)
Dalam riwayat At-Tirmidzi rahimahullah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلاَ يُصَلِّ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Siapa yang menyentuh kemaluannya maka janganlah ia shalat sampai ia berwudhu.”
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata tentang hadits ini: “Hadits shahih di atas syarat Al-Bukhari dan Muslim.” (Al-Jami’ush Shahih, 1/520)
Sementara Thalaq bin Ali radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang menyentuh dzakarnya setelah ia berwudhu, apakah batal wudhunya? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
وَهَلْ هُوَ إِلاَّ بِضْعَةٌ مِنْهُ؟
“Bukankah dzakar itu tidak lain kecuali sebagian daging dari (tubuh)nya?” (HR. At-Tirmidzi no. 85 dan kata Ibnul Madini rahimahullah: “Hadits ini lebih baik daripada hadits Busrah.” Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menshahihkan sanadnya dalam Al-Misykat).
Dua hadits di atas menerangkan, yang pertama menetapkan menyentuh dzakar itu membatalkan wudhu sementara hadits yang kedua menetapkan tidak membatalkan wudhu. Sebagaimana dua hadits di atas bertentangan makna secara dzahirnya maka dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.

Pertama, berpendapat menyentuh kemaluan membatalkan wudhu seperti pendapatnya Umar, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah, Saad bin Abi Waqqash, Atha, Urwah, Az Zuhri, Ibnul Musayyab, Mujahid, Aban bin Utsman, Sulaiman bin Yasar, Ibnu Juraij, Al-Laits, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Malik dalam pendapatnya yang masyhur dan selain mereka. Mereka berdalil dengan hadits Busrah. (Sunan Tirmidzi 1/56; Al-Mughni 1/117; Al-Muhalla, 1/223; Nailul Authar, 1/282)
Kedua, berpendapat dengan hadits kedua bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu. Hadits ini dijadikan pegangan oleh mereka, seperti ‘Ali, Ibnu Mas’ud, ‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abud Darda, ‘Imran bin Hushain, Al-Hasan Al-Bashri, Rabi’ah, Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan murid-muridnya dan selain mereka. (Sunan Tirmidzi, 1/57; Al-Mughni, 1/117; Nailul Authar, 1/282)
Ketiga, mereka yang berpendapat dijamak atau dikumpulkannya antara dua hadits yang sepertinya bertentangan tersebut, di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan yang lainnya, yang menyatakan apabila menyentuhnya dengan syahwat1 maka hendaknya dia berwudhu dengan (dalil) hadits Busrah dan kalau menyentuhnya tanpa syahwat maka tidak mengapa akan tetapi disenangi baginya apabila dia berwudhu2, dengan (dalil) hadits Thalaq.
Pendapat inilah yang penulis pilih dan memandangnya sebagai pendapat yang rajah (kuat-red), walaupun pendapat yang pertama menurut pandangan penulis adalah pendapat yang juga kuat di mana pendapat ini banyak dipilih dan dibela oleh ahlul ilmi seperti di antaranya Al-Imam Ash-Shan’ani (di dalam Subulus Salam, 1/104), Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah (Nailul Authar, 1/283; Ad-Darari Al-Mudhiyyah hal. 36) dan yang lainnya. Namun penulis lebih condong pada pendapat yang ketiga, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Hanyalah dzakar itu bagian dari (tubuh)mu”, di dalamnya ada isyarat yang lembut bahwa menyentuh dzakar yang tidak dibarengi syahwat tidak mengharuskan wudhu, karena menyentuh dalam keadaan yang seperti ini sama halnya dengan menyentuh anggota tubuh yang lain. Berbeda keadaannya apabila ia menyentuh dengan syahwat maka ketika itu tidak bisa disamakan dengan menyentuh anggota tubuh yang lain. Karena secara kebiasaan menyentuh anggota tubuh yang lain tidaklah dibarengi dengan syahwat. Perkara ini adalah perkara yang jelas sebagaimana yang kita ketahui.
Berdasarkan hal ini maka hadits: “Hanyalah dzakar itu bagian dari (tubuh)mu” tidak bisa dijadikan dalil oleh madzhab Al-Hanafiyyah untuk menyatakan bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak. Namun hadits ini merupakan dalil bagi orang yang berpendapat bahwa menyentuh dzakar tanpa disertai syahwat tidaklah membatalkan wudhu. Adapun bila menyentuhnya dengan syahwat maka dapat membatalkan wudhu, dengan dalil hadits Busrah.
Dengan demikian terkumpullah di antara dua hadits tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya berdasarkan apa yang aku ketahui. Wallahu a’lam.” (Tamamul Minnah, hal. 103)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila seseorang menyentuh dzakarnya maka disenangi baginya untuk berwudhu secara mutlak, sama saja apakah ia menyentuhnya dengan syahwat ataupun tidak. Apabila menyentuhnya dengan syahwat maka pendapat yang mengatakan wajib baginya berwudhu sangatlah kuat, namun hal ini tidak ditunjukkan secara dzahir dalam hadits. Dan aku tidak bisa memastikan akan kewajibannya namun demi kehati-hatian sebaiknya ia berwudhu.” (Syarhul Mumti’, 1/234). Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
1 Karena dalam keadaan demikian ini sangat memungkinkan keluarnya madzi.
2 Juga disenangi wudhu di sini dalam rangka kehati-hatian, wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

SUMBER : Pembatal-Pembatal Wudhu Bag-2, Penulis : Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=252

Batalkah wudhu’ disebabkan keluarnya darah ?



Penulis: Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al Ifta

air-wudhuTanya:
Mohon penjelasan tentang apakah keluarnya darah dapat membatalkan shalat?

Jawab:
Alhamdulillah, kami belum mendapatkan dalil syar’i yang menjelaskan bahwa keluarnya darah selain darah haidh dapat membatalkan wudhu’. Pada dasarnya ia tidak membatalkan wudhu’. Kaidah asal dalam masalah ibadah adalah tauqifiyah (hanya boleh ditetapkan dengan dalil). Seseorang tidak boleh menetapkan bentuk-bentuk ibadah tertentu kecuali dengan dalil. Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa jika darah yang keluar sangat banyak maka batallah wudhu’nya kecuali darah haidh (yang sedikit atau banyak tetap membatalkan wudhu’). Namun bila orang yang mengeluarkan darah tadi mengulangi wudhu’nya sebagai tindakan antisipatif dan guna menghindarkan diri dari perbedaan pendapat, tentunya hal itu lebih baik lagi. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukan.”
H.R An-Nasa’i VIII/328, At-Tirmidzi VII/221 (lihat Tuhfatul Ahwadzi), Al-Hakim II/13 dan IV/99
(Dinukil dari Fatawa Lajnah Daimah juz V/261. Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta, Dewan Tetap Arab saudi untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa
Sumber :
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=521

Hukum Bekam pada Hari Rabu dan Tanggal Tertentu

hijamah


Bismillah.
Kepada Al-Ustadz abu Muhammad Dzulqarnain
Ustadz, yang semoga Allah Ta’ala senantiasa menjagamu diatas manhaj Salaf yang penuh barokah ini.
Ana seorang dokter yang mempraktekkan hijamah (Bekam), akan tetapi ada beberapa hal yang sampai sekarang masih mengganjal karena belum memperoleh jawaban yang memuaskan.
Pada tanggal 17 Muharram tahun ini bertepatan dengan hari Rabu dan 19 Muharram bertepatan dengan hari Jum’at.
1. Bagaimana KEDUDUKAN HADITS tentang masalah larangan Bekam pada hari-hari tertentu sebagaimana dalam Shahih Sunan Ibnu Majah (II/261) dan hadits dalam kitab Kasyful Astaar ‘an Zawaaidil Bazaar, al Haitami (III/388)?
2. Bagaimana Hukum Membekam pada hari Rabu, Jum’at dan Sabtu karena dalam hadits diatas harus dihindari hari-hari tersebut, sedangkan pada hadits dari jalan Anas bin Malik yang diriwayatkan at-Tirmidzi (no.2052) Abu Dawud (no.3860) dan lainnya menyebutkan kebiasaan Rosulullah berbekam pada tanggal 17, 19 dan 21 (Bulan Qomariyah)?
Mana yang harus dipilih: Berbekam berdasarkan harinya (Rabu=utama dihindari) atau berdasarkan tanggalnya (tgl 17, yang juga hari rabu =utama dilakukan bekam)?
3. Bagaimana hukum mengambil upah/jasa dari membekam? dalam suatu hadits disebutkan bahwa upah dari pembekaman digandengkan dengan upah pelacur, dan hasil penjualan anjing.
Perlu diketahui bahwa setiap membekam diperlukan biaya untuk membeli bahan sekali pakai (pisau bedah, masker, sarung tangan, kasa, iodin,minyak zaitun & habbatus sauda, dll) Beberapa ahli hijamah ada yang menetapkan tarif 100-200 rb tiap sekali bekam.

Ana sangat membutuhkan jawaban dan mengambil istifadah dari jawaban antum.
Jazaakallaahu khairan katsiiran..
dr.Abu Hana
http://kaahil. wordpress. com
Jawaban Al-Ustadz abu Muhammad Dzulqarnain
Re: [nashihah] Tanya Masalah Hijamah (Bekam) ?
Bismillah,
1. Hadits riwayat Ibnu Majah yang antum sebutkan adalah dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Dalam Ash-Shohihah dan selainnya, Syaikh Al-Albany menghasankannya. Dalam takhrij misykah, beliau melemahkannya. Mungkin yang di Ash-Shohihah adalah akhir pembahasan beliau. Tapi ana lebih condong kepada hukum pelemahan. Karena asal hadits dari jalan Ibnu Umar terdapat bentuk nakarah yang tidak bisa menerima pendukung. Maka dua pendukung yang beliau sebutkan -salah satunya bisa sebagai syahid- tidaklah cukup untuk menguatkan hadits tersebut. Wallahu A’lam.
2. Hadits yang kedua dari hadits Anas bin Malik. Divonis dho’if jiddan (sangat lemah) oleh Syaikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah no. 1864.
3. Hukum Hijamah bisa antum baca fatwa Syaikh Ahmad An-Najmi dalam risalah ilmiyah An-Nashihah.
Berikut Teks Syaikh Al-Albany dalam Kitab Adh-Dho’ifah no. 1864.

” من أراد الحجامة فليتحر سبعة عشر أو تسعة عشر أو إحدى و عشرين و لا يتبيغ بأحدكم الدم فيقتله”.
قال الألباني في ” السلسلة الضعيفة و الموضوعة ” 4 / 344 :
> ضعيف جدا <. قال ابن ماجة ( 2 / 351 ) :حدثنا سويد بن سعيد حدثنا عثمان بن مطر عن زكريا بن ميسرة عن النهاس بن قهم عن #أنس بن مالك # أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال :فذكره . قلت :و هذا إسناد ضعيف جدا كل من دون أنس ضعيف ,و بعضهم أشد ضعفا من بعض . الأول :النهاس بن قهم .قال الذهبي في “الضعفاء ” : “تركه القطان , و ضعفه النسائي “. و قال الحافظ في “التقريب “: ” ضعيف”. الثاني :زكريا بن ميسرة , قال الحافظ : ” مستور “. الثالث :عثمان بن مطر ,قال الذهبي : “ضعفوه “.و قال الحافظ :” ضعيف “.الرابع :سويد بن سعيد .قال الذهبي :قال أحمد :متروك الحديث . و قال ابن معين : كذاب ,و قال النسائي : ليس بثقة . و قال البخاري :كان قد عمي فلقن ما ليس من حديثه . و قال أبو حاتم : صدوق كثير التدليس . و قال الدارقطني :ثقة , غير أنه كبر , فربما قرىء عليه حديث فيه النكارة فيجيزه “.و قال الحافظ : ” صدوق في نفسه ,إلا أنه عمي فصار يتلقن ما ليس من حديثه ,و أفحش فيه ابن معين القول “.و من هذا البيان تعلم أن اقتصار البوصيري في “الزوائد “على إعلال الحديث بالنهاس فقط , قصور شديد . و قوله : “رواه الشيخان و أبو داود والترمذي من حديث أنس أيضا ,كما رواه ابن ماجة خلا قوله : “يتبيغ بأحدكم “إلى آخره .و رواه البزار في”مسنده ” من حديث ابن عباس ,كما رواه ابن ماجة .و رواه الحاكم في “المستدرك”من طريق معاذ عن أنس , و قال : صحيح على شرط الشيخين “.فيه أمور : أولا :أنه لم يخرجه الشيخان عن أنس أصلا . ثانيا :أنه عن أنس من فعله صلى الله عليه وسلم كما سبق التنبيه عليه في الحديث الذي قبله . ثالثا :أني لم أره في “المستدرك ” إلا من فعله صلى الله عليه وسلم ,و هو الذي ذكرت فيما قبله أنه مخرج في “الصحيحة ” ( 908 ) .و الله أعلم . قلت :لكن الحديث الذي قبله بمعناه , فينجو به من الضعف الشديد الذي دل عليه إسناده ,لكن قوله : “لخمس عشرة ” منكر , لتفرد الضعيف به كما تقدم , و الله أعلم .

Diberdayakan oleh Blogger.