tag:blogger.com,1999:blog-41333922415465788352024-03-13T13:25:30.501+07:00Di Jalan Sunnah Aku MelangkahAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.comBlogger2147125tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-82891448458549116252013-05-16T13:12:00.000+07:002013-05-16T13:12:15.680+07:00Ketika Kelak Engkau Ku Panggil Sayang<h5 class="uiStreamMessage userContentWrapper" data-ft="{"type":1,"tn":"K"}">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgK_36eMzES5n39JzrKsjTfdqhWVYVo9k93pfJ8jElSTFd9WxERraD0m950iY8OrWzpRT3pvjYExHFe-1w8W2U8e4osvveo1KgmLOpQHpjZFgMZwLSKcG9YoYsJuu9AVVLHIyldpMCNn3SL/s1600/225426_162341260495924_100001601524052_401068_130240_a.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgK_36eMzES5n39JzrKsjTfdqhWVYVo9k93pfJ8jElSTFd9WxERraD0m950iY8OrWzpRT3pvjYExHFe-1w8W2U8e4osvveo1KgmLOpQHpjZFgMZwLSKcG9YoYsJuu9AVVLHIyldpMCNn3SL/s320/225426_162341260495924_100001601524052_401068_130240_a.jpg" width="320" /></a><span class="messageBody" data-ft="{"type":3}"><span class="userContent"><br /> Dan ketika Aku datang dengan sebuah bunga kering di selip<br /> jemariku.<br /> Ini adalah bunga mawar yang pernah kupetik di berandaku<br /> karena lamanya waktu hingga massa melayukannya<br /> dengan setia<br /> Karena ketiadaanku juga membuat tunas tak tersiram di<br /> hujan tangsimu<br /> Inilah sejarahku tanda aku tak meninggalkan aksara<br /> namamu dalam sajakku<br /> Tapi engkau melupakanku dengan bunga layuku yang<br /> setangkai<br /> Dan pot kaca telah menyilaukanmu dengan dunia<br /> Yaaaah... aku tak menyalahkanmu bunga!<br /> Karna rumus dunia memang begitu adanya..<br /> Yang berkilau lebih menyilaukan daripada seonggok<br /> tangkai bunga ketiadaan<br /> tetapi seperti biasa, hal kecil yang mengingatkanku<br /> padamu merasuk dalam hidupku.<br /> Setangkai bunga ketiadaan ku tempatkan pada pot<br /> kesetiaan<br /> Lalu ada yang bertanya '' Buat apa setangkai bunga itu<br /> taklah berharga?.''<br /> Aku diam dengan aksara yang mencoba mencari jawab dari<br /> tafsir rindumu yang terlupa<br /> Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi...<br /> Dunia yang meninggalkanku atau aku meninggalkan<br /> duniamu..<br /> Aaaargh.. tapi aku masih tetap biasa dalam duniaku<br /> Dan engkau tetap dalam duniamu<br /> ataukahkata-kataku tidak sampai kepadamu?<br /> ataukah Aku yang masih saja mencoba mencarimu<br /> diantara debu dan kenangan….<br /> eeeeeeummhhh... ku hela nafasku menemui satu arti<br /> Dari tafsir kata yang aku cari.. adalah do'a yang<br /> mengikatku pada jalan Ilahi<br /> yaitu ketika kelak Ia ijabah,<br /> Bukan karena kemilaunya duniaku<br /> tapi masih pada kesederhanaan tangkai bungaku<br /> ketika kelak engkau ku panggil sayang..<br /> [puisi ini ditulis diPekanbaru oleh Abu Abdillaah Bin<br /> Abdurrahmaan/Asrizal Ar-Riauniy Nasution tahun 2012]</span></span></h5>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-50788471922775364192013-02-25T14:25:00.002+07:002013-02-25T14:25:39.688+07:00Meluruskan Pemahaman Tentang Bid’ah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgTU6JIDVU2z4YFYMucjOlXpf9PZnKiqYh0pKXci6avPrVlBsj-MuxpOm1GkSvuJJpiarh_0g7m1WnIiczbrasf3MonhfcQmNlFRAa5Z1gg_U0LUudWnXglSiU4cOg8aViOc7TJgCJK6dwy/s1600/Jellyfish.jpg" imageanchor="1"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgTU6JIDVU2z4YFYMucjOlXpf9PZnKiqYh0pKXci6avPrVlBsj-MuxpOm1GkSvuJJpiarh_0g7m1WnIiczbrasf3MonhfcQmNlFRAa5Z1gg_U0LUudWnXglSiU4cOg8aViOc7TJgCJK6dwy/s1600/Jellyfish.jpg" width="320" /></a></div>
<span class="userContent"><br /> <br />
“Dikit-dikit bid’ah, dikit-dikit bid’ah,” “apa semua yang ada sekarang
itu bid’ah?!” “kalau memang maulidan bid’ah, kenapa kamu naik motor,
itukan juga bid’ah.” Kira-kira kalimat seperti inilah yang akan
terlontar dari mulut sebagian kaum muslimin ketika mereka diingatkan
bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah bid’ah yang telah dilarang
oleh Allah dan Rasul<span class="text_exposed_show">-Nya. Semua ucapan
ini dan yang senada dengannya lahir, mungkin karena hawa nafsu mereka
dan mungkin juga karena kejahilan mereka tentang definisi bid’ah,
batasannya dan nasib jelek yang akan menimpa pelakunya.<br /> <br />
Karenanya berikut uraian tentang difinisi bid’ah dan bahayanya dari
hadits Aisyah yang masyhur, semoga bisa meluruskan pemahaman kaum
muslimin tentang bid’ah sehingga mereka mau meninggalkannya di atas
ilmu, Allahumma amin.<br /> <br /> Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:<br /> <br /> مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ<br /> <br /> وَفِي رِوَايَةٍ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ<br /> <br /> “Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”.<br /> <br />
Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang
tidak ada tuntunan kami di atasnya maka amalan itu tertolak”.<br /> <br /> Takhrij Hadits:<br /> <br />
Hadits ini dengan kedua lafadznya berasal dari hadits shahabiyah dan
istri Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam ‘A`isyah
radhiallahu Ta’ala ‘anha.<br /> <br /> Adapun lafadz pertama diriwayatkan
oleh Imam Al-Bukhari (2/959/2550-Dar Ibnu Katsir) dan Imam Muslim
(3/1343/1718-Dar Ihya`ut Turots).<br /> <br /> Dan lafadz kedua diriwayatkan
oleh Imam Al-Bukhari secara mu’allaq (2/753/2035) dan (6/2675/6918) dan
Imam Muslim (3/1343/1718).<br /> <br /> Dan juga hadits ini telah
dikeluarkan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya (4594) dan Abu ‘Awanah (4/18)
dengan sanad yang shohih dengan lafadz, “Siapa saja yang mengadakan
perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang tidak ada di dalamnya
(urusan kami) maka dia tertolak”.<br /> <br /> Kosa Kata Hadits:<br /> <br /> 1.
“Dalam urusan kami”, maksudnya dalam agama kami, sebagaimana dalam
firman Allah –Ta’ala-, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
urusannya (Nabi) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang
pedih.”. (QS. An-Nur: 63)<br /> <br /> 2. “Tertolak”, (Arab: roddun) yakni tertolak dan tidak teranggap.<br /> <br /> [Lihat Bahjatun Nazhirin hal. 254 dan Syarhul Arba’in karya Syaikh Sholih Alu Asy-Syaikh]<br /> <br /> Komentar Para Ulama :<br /> <br />
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Pondasi Islam dibangun di atas 3
hadits: Hadits “setiap amalan tergantung dengan niat”, hadits ‘A`isyah
“Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa
yang bukan darinya maka dia tertolak” dan hadits An-Nu’man “Yang halal
itu jelas dan yang haram itu jelas””.<br /> <br /> Imam Ishaq bin Rahawaih
rahimahullah berkata, “Ada empat hadits yang merupakan pondasi agama:
Hadits ‘Umar “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah dengan niatnya”,
hadits “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas”, hadits
“Sesungguhnya penciptaan salah seorang di antara kalian dikumpulkan
dalam perut ibunya selam 40 hari” dan hadits “Barangsiapa yang berbuat
dalam urusan kami apa-apa yang bukan darinya maka hal itu tertolak”.<br /> <br />
Dan Abu ‘Ubaid rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengumpulkan seluruh urusan akhirat dalam satu ucapan (yaitu)
“Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa
yang bukan darinya maka dia tertolak”.<br /> <br /> [Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam syarh hadits pertama]<br /> <br />
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam,
“Hadits ini adalah asas yang sangat agung dari asas-asas Islam,
sebagaimana hadits “Setiap amalan hanyalah dengan niatnya” adalah
parameter amalan secara batin maka demikian pula dia (hadits ini) adalah
parameternya secara zhohir. Maka jika setiap amalan yang tidak
diharapkan dengannya wajah Allah –Ta’ala-, tidak ada pahala bagi
pelakunya, maka demikian pula setiap amalan yang tidak berada di atas
perintah Allah dan RasulNya maka amalannya tertolak atas pelakunya. Dan
setiap perkara yang dimunculkan dalam agama yang tidak pernah diizinkan
oleh Allah dan RasulNya, maka dia bukan termasuk dari agama sama
sekali”.<br /> <br /> Syaikh Salim Al-Hilaly hafizhohullah berkata dalam
Bahjatun Nazhirin, “Hadits ini termasuk hadits-hadits yang Islam
berputar di atasnya, maka wajib untuk menghafal dan menyebarkannya,
karena dia adalah kaidah yang agung dalam membatalkan semua perkara baru
dan bid’ah (dalam agama)”.<br /> <br /> Dan beliau juga berkata, “… maka
hadits ini adalah asal dalam membatalkan pembagian bid’ah menjadi
sayyi`ah (buruk) dan hasanah (terpuji)”.<br /> <br /> Dan Syaikh Sholih bin
‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhohullah berkata dalam Syarhul Arba’in,
“Hadits ini adalah hadits yang sangat agung dan diagungkan oleh para
ulama, dan mereka mengatakan bahwa hadits ini adalah asal untuk
membantah semua perkara baru, bid’ah dan aturan yang menyelisihi
syari’at”.<br /> <br /> Dan beliau juga berkata dalam mensyarh kitab Fadhlul
Islam karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, “Hadits ini dengan kedua
lafadznya merupakan hujjah dan pokok yang sangat agung dalam membantah
seluruh bid’ah dengan berbagai jenisnya, dan masing-masing dari dua
lafadz ini adalah hujjah pada babnya masing-masing, yaitu:<br /> <br /> a.
Lafadz yang pertama (ancamannya) mencakup orang yang pertama kali
mencetuskan bid’ah tersebut walaupun dia sendiri tidak beramal
dengannya.<br /> <br /> b. Adapun lafadz kedua (ancamannya) mencakup semua
orang yang mengamalkan bid’ah tersebut walaupun bukan dia pencetus
bid’ah itu pertama kali”. Selesai dengan beberapa perubahan.<br /> <br /> Syarh :<br /> <br />
Setelah membaca komentar para ulama berkenaan dengan hadits ini, maka
kita bisa mengatahui bahwa hadits ini dengan seluruh lafazhya merupakan
ancaman bagi setiap pelaku bid’ah serta menunjukkan bahwa setiap bid’ah
adalah tertolak dan tercela, tidak ada yang merupakan kebaikan. Dua pont
inilah yang –insya Allah- kita akan bahas panjang lebar, akan tetapi
sebelumnya kita perlu mengetahui definisi dari bid’ah itu sendiri agar
permasalahan menjadi tambah jelas. Maka kami katakan:<br /> <br /> A. Definisi Bid’ah.<br /> <br />
Bid’ah secara bahasa artinya memunculkan sesuatu tanpa ada contoh
sebelumnya, sebagaimana dalam firman Allah -Subhanahu wa Ta’ala-:<br /> <br /> بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ<br /> <br /> “Allah membuat bid’ah terhadap langit dan bumi”.(QS. Al-Baqarah: 117 dan Al-An’am: 101)<br /> <br /> Yakni Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya yang mendahului. Dan Allah -‘Azza wa Jalla- berfirman :<br /> <br /> قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ<br /> <br /> “Katakanlah: “Aku bukanlah bid’ah dari para Rasul”. (QS. Al-Ahqaf: 9)<br /> <br />
Yakni : Saya bukanlah orang pertama yang datang dengan membawa risalah
dari Allah kepada para hamba, akan tetapi telah mendahului saya banyak
dari para Rasul. Lihat: Lisanul ‘Arab (9/351-352)<br /> <br /> Adapun secara
istilah syari’at –dan definisi inilah yang dimaksudkan dalam nash-nash
syari’at- bid’ah adalah sebagaimana yang didefinisikan oleh Al-Imam
Asy-Syathiby dalam kitab Al-I’tishom (1/50):<br /> <br /> طَرِيْقَةٌ فِي
الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ, تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ وَيُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ
عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ اللهَ سُبْحَانَهُ<br /> <br />
“Bid’ah adalah suatu ungkapan untuk semua jalan/cara dalam agama yang
diada-adakan, menyerupai syari’at dan dimaksudkan dalam pelaksanaannya
untuk berlebih-lebihan dalam menyembah Allah Subhanah”.<br /> <br /> Penjelasan Definisi.<br /> <br />
Setelah Imam Asy-Syathiby rahimahullah menyebutkan definisi di atas,
beliau kemudian mengurai dan menjelaskan maksud dari definisi tersebut,
yang kesimpulannya sebagai berikut:<br /> <br /> 1. Perkataan beliau
“jalan/cara dalam agama”. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi
Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam:<br /> <br /> مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ<br /> <br />
“Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa
yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HSR. Bukhary-Muslim dari
‘A`isyah)<br /> <br /> Dan urusan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam tentunya adalah urusan agama karena pada urusan dunia
beliau telah mengembalikannya kepada masing-masing orang, dalam
sabdanya:<br /> <br /> أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ<br /> <br /> “Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”. (HSR. Bukhory)<br /> <br />
Maka bid’ah adalah memunculkan perkara baru dalam agama dan tidak
termasuk dari bid’ah apa-apa yang dimunculkan berupa perkara baru yang
tidak diinginkannya dengannya masalah agama akan tetapi dimaksudkan
dengannya untuk mewujudkan maslahat keduniaan, seperti pembangunan
gedung-gedung, pembuatan alat-alat modern, berbagai jenis kendaraan dan
berbagai macam bentuk pekerjaan yang semua hal ini tidak pernah ada
zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Maka semua
perkara ini bukanlah bid’ah dalam tinjauan syari’at walaupun dianggap
bid’ah dari sisi bahasa. Adapun hukum bid’ah dalam perkara kedunian
(secara bahasa) maka tidak termasuk dalam larangan berbuat bid’ah dalam
hadits di atas, oleh karena itulah para Shahabat radhiallahu ‘anhum
mereka berluas-luasan dalam perkara dunia sesuai dengan maslahat yang
dibutuhkan.<br /> <br /> 2. Perkatan beliau “yang diada-adakan”, yaitu
sesungguhnya bid’ah adalah amalan yang tidak mempunyai landasan dalam
syari’at yang menunjukkan atasnya sama sekali. Adapun amalan-amalan yang
ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syari’at secara umum –walaupun tidak ada
dalil tentang amalan itu secara khusus- maka bukanlah bid’ah dalam
agama. Misalnya alat-alat tempur modern yang dimaksudkan sebagai
persiapan memerangi orang-orang kafir , demikian pula ilmu-ilmu wasilah
dalam agama ; seperti ilmu bahasa Arab (Nahwu Shorf dan selainnya) ,
ilmu tajwid , ilmu mustholahul hadits dan selainnya, demikian pula
dengan pengumpulan mushaf di zaman Abu Bakar dan ‘Utsman radhiallahu
‘anhuma . Maka semua perkara ini bukanlah bid’ah karena semuanya masuk
ke dalam kaidah-kaidah syari’at secara umum.<br /> <br /> 3. Perkataan
beliau “menyerupai syari’at”, yaitu bahwa bid’ah itu menyerupai
cara-cara syari’at padahal hakikatnya tidak demikian, bahkan bid’ah
bertolak belakang dengan syari’at dari beberapa sisi:<br /> <br />
Meletakkan batasan-batasan tanpa dalil, seperti orang yang bernadzar
untuk berpuasa dalam keadaan berdiri dan tidak akan duduk atau membatasi
diri dengan hanya memakan makanan atau memakai pakaian tertentu.<br />
Komitmen dengan kaifiat-kaifiat atau metode-metode tertentu yang tidak
ada dalam agama, seperti berdzikir secara berjama’ah, menjadikan hari
lahir Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam sebagai hari raya
dan yang semisalnya.<br /> Komitmen dengan ibadah-ibadah tertentu pada
waktu-waktu tertentu yang penentuan hal tersebut tidak ada di dalam
syari’at, seperti komitmen untuk berpuasa pada pertengahan bulan Sya’ban
dan sholat di malam harinya.<br /> <br /> 4. Perkataan beliau “dimaksudkan
dalam pelaksanaannya untuk berlebih-lebihan dalam menyembah Allah
Subhanah”. Ini merupakan kesempurnaan dari definisi bid’ah, karena
inilah maksud diadakannya bid’ah. Hal itu karena asal masuknya seseorang
ke dalam bid’ah adalah adanya dorongan untuk konsentrasi dalam ibadah
dan adanya targhib (motivasi berupa pahala) terhadapnya karena Allah
-Ta’ala- berfirman:<br /> <br /> وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ<br /> <br /> “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56)<br /> <br />
Maka seakan-akan mubtadi’ (pelaku bid’ah) ini menganggap bahwa inilah
maksud yang diinginkan (dengan bid’ahnya) dan tidak belum jelas baginya
bahwa apa yang diletakkan oleh pembuat syari’at (Allah dan RasulNya)
dalam perkara ini berupa aturan-atiran dan batasan-batasan sudah
mencukupi.<br /> <br /> B. Dalil-Dalil Akan Tercelanya Bid’ah Serta Akibat Buruk yang Akan Didapatkan Oleh Pelakunya.<br /> <br /> 1. Bid’ah merupakan sebab perpecahan.<br /> <br /> Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:<br /> <br />
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ<br /> <br /> “dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini
adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian
mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan
mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Itulah yang Dia diwasiatkan
kepada kalian agar kalian bertakwa”. (QS. Al-An’am: 153)<br /> <br /> Berkata Mujahid rahimahullah dalam menafsirkan makna “jalan-jalan” : “Bid’ah-bid’ah dan syahwat”. (Riwayat Ad-Darimy no. 203)<br /> <br /> 2. Bid’ah adalah kesesatan dan mengantarkan pelakunya ke dalam Jahannam.<br /> <br /> Allah -’Azza wa Jalla- berfirman:<br /> <br /> وَعَلَى اللَّهِ قَصْدُ السَّبِيلِ وَمِنْهَا جَائِرٌ وَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ<br /> <br />
“Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara
jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia
memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).”. (QS. An-Nahl: 9)<br /> <br />
Berkata At-Tastury : “’Qosdhus sabil’ adalah jalan sunnah ‘di antaranya
ada yang bengkok’ yakni bengkok ke Neraka yaitu agama-agama yang batil
dan bid’ah-bid’ah”.<br /> <br /> Maka bid’ah mengantarkan para pelakunya ke
dalan Neraka, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam dalam khutbatul hajah:<br /> <br /> أَمَّا بَعْدُ
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى
مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ<br /> <br /> وَفِي رِوَايَةٍ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ<br /> <br />
وَفِي رِوَايَةِ النَّسَائِيِّ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ
فِي النَّارِ<br /> <br /> “Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan
adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad,
dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah
adalah kesesatan”. (HSR. Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhuma)<br /> <br /> Dalam satu riwayat, “Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah”.<br /> <br />
Dan dalam riwayat An-Nasa`iy, “Sejelek-jelek perkara adalah yang
diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap
bid’ah adalah kesesatan dan semua kesesatan berada dalam Neraka”.<br /> <br /> Dan dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah secara marfu’:<br /> <br /> وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ<br /> <br />
“Dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap yang
diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR.
Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy)<br /> <br /> 3. Bid’ah itu tertolak atas pelakunya siapapun orangnya.<br /> <br /> Allah –’Azza wa Jalla- menegaskan:<br /> <br /> وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ<br /> <br />
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali ‘Imran: 85)<br /> <br /> Dan
bid’ah sama sekali bukan bahagian dari Islam sedikitpun juga,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits yang sedang kita bahas
sekarang.<br /> <br /> 4. Allah melaknat para pelaku bid’ah dan orang yang melindungi/menolong pelaku bid’ah.<br /> <br /> Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menegaskan:<br /> <br />
فَمَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ
وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ عَدْلٌ
وَلَا صَرْفٌ<br /> <br /> “Barangsiapa yang memunculkan/mengamalkan bid’ah
atau melindungi pelaku bid’ah, maka atasnya laknat Allah, para malaikat
dan seluruh manusia, tidak akan diterima dari tebusan dan tidak pula
pemalingan”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘Ali dan HSR. Muslim dari Anas
bin Malik)<br /> <br /> 5. Para pelaku bid’ah jarang diberikan taufiq untuk bertaubat –nas`alullaha as-salamata wal ‘afiyah-.<br /> <br /> Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:<br /> <br /> إِنَّ اللهَ احْتَجَزَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَهَا<br /> <br />
“Sesungguhnya Allah mengahalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah
sampai dia meninggalkan bid’ahnya”. (HR. Ath-Thobarony dan Ibnu Abi
‘Ashim dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no.
1620)<br /> <br /> Berkata Syaikh Bin Baz ketika ditanya tentang makna
hadits di sela-sela pelajaran beliau mensyarah kitab Fadhlul Islam, “…
Maknanya adalah bahwa dia (pelaku bid’ah ini) menganggap baik bid’ahnya
dan menganggap dirinya di atas kebenaran, oleh karena itulah
kebanyakannya dia mati di atas bid’ah tersebut –wal’iyadzu billah-,
karena dia menganggap dirinya benar. Berbeda halnya dengan pelaku
maksiat yang dia mengetahui bahwa dirinya salah, lalu dia bertaubat,
maka kadang Allah menerima taubatnya”.<br /> <br /> 6. Para pelaku bid’ah
akan menanggung dosanya dan dosa setiap orang yang dia telah sesatkan
sampai hari Kiamat –wal’iyadzu billah-.<br /> <br /> Allah-Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:<br /> <br />
لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ
أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا
يَزِرُونَ<br /> <br /> “(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul
dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian
dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun
(bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka
pikul itu”. (QS. An-Nahl: 25)<br /> <br /> Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda:<br /> <br />
وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ
آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا<br /> <br />
“Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka atasnya dosa
seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dari dosa
mereka sedikitpun”. (HSR. Muslim dari Abu Hurairah)<br /> <br /> 7. Setiap pelaku bid’ah akan diusir dari telaga Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.<br /> <br /> Beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:<br /> <br />
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ وَلَيُرْفَعَنَّ مَعِي رِجَالٌ مِنْكُمْ
ثُمَّ لَيُخْتَلَجُنَّ دُونِي فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيُقَالُ
إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ<br /> <br /> “Saya menunggu
kalian di telagaku, akan didatangkan sekelompok orang dari kalian
kemudian mereka akan diusir dariku, maka sayapun berkata : “Wahai
Tuhanku, (mereka adalah) para shahabatku”, maka dikatakan kepadaku :
“Engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan setelah kematianmu”.
(HSR. Bukhary-Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)<br /> <br /> 8.
Para pelaku bid’ah menuduh Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam telah berkhianat dalam menyampaikan agama karena ternyata
masih ada kebaikan yang belum beliau tuntunkan.<br /> <br /> Imam Malik bin
Anas rahimahullah berkata -sebagaimana dalam kitab Al-I’tishom
(1/64-65) karya Imam Asy-Syathiby rahimahullah-, “Siapa saja yang
membuat satu bid’ah dalam Islam yang dia menganggapnya sebagai suatu
kebaikan maka sungguh dia telah menyangka bahwa Muhammad Shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah mengkhianati risalah, karena Allah
Ta’ala berfirman:<br /> <br /> الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا<br /> <br />
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah
Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu
menjadi agama bagi kalian”. (QS. Al-Ma`idah: 3)<br /> <br /> Maka perkara apa saja yang pada hari itu bukan agama maka pada hari inipun bukan agama”.<br /> <br /> 9. Dalam bid’ah ada penentangan kepada Al-Qur`an.<br /> <br />
Al-Imam Asy-Syaukany rahimahullah berkata dalam kitab Al-Qaulul Mufid
fii Adillatil Ijtihad wat Taqlid (hal. 38) setelah menyebutkan ayat
dalam surah Al-Ma`idah di atas, “Maka bila Allah telah menyempurnakan
agamanya sebelum Dia mewafatkan NabiNya, maka apakah (artinya)
pendapat-pendapat ini yang di munculkan oleh para pemikirnya setelah
Allah menyempurnakan agamanya?!. Jika pendapat-pendapat (bid’ah ini)
bahagian dari agama –menurut keyakinan mereka- maka berarti Allah belum
menyempurnakan agamanya kecuali dengan pendapat-pendapat mereka, dan
jika pendapat-pendapat ini bukan bahagian dari agama maka apakah faidah
dari menyibukkan diri pada suatu perkara yang bukan bahagaian dari agama
?!”.<br /> <br /> 10. Para pelaku bid’ah akan mendapatkan kehinaan dan kemurkaan dari Allah Ta’ala di dunia.<br /> <br /> Allah –’Azza wa Jalla- menegaskan:<br /> <br />
إِنَّ الَّذِينَ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ
رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَكَذَلِكَ نَجْزِي
الْمُفْتَرِينَ<br /> <br /> “Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak
lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari
Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami
memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kedustaan”. (QS.
Al-A’raf: 152)<br /> <br /> Ayat ini umum, mencakup mereka para penyembah
anak sapi dan yang menyerupai mereka dari kalangan ahli bid’ah, karena
bid’ah itu seluruhnya adalah kedustaan atas nama Allah Ta’ala,
sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Sufyan bin ‘Uyainah
rahimahullah.<br /> <br /> {Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah (1/89-92), Al-I’tishom (1/50-53 dan 61-119) dan Al-Hatstsu ‘ala Ittiba’is Sunnah (25-35)}<br /> <br /> Sumber : <a href="http://www.al-atsariyyah.com/" rel="nofollow nofollow" target="_blank">www.al-atsariyyah.com</a></span></span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-58280977677223314422012-12-16T22:11:00.001+07:002012-12-16T22:11:43.732+07:00Bid’ah Dalam Perkara Duniawi<br /> <img alt="" class="spotlight" src="http://sphotos-h.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/403651_511050255595627_1059124824_n.png" style="height: 547px; width: 547px;" /><br /> Pertanyaan:<br /> <br /> Wahai Sahamatus Syaikh, saya tahu adanya batasan yang rinci dalam membedakan antara sunnah dan bid’ah, namun tolong j<br />
<div class="text_exposed_show">
elaskan kepada kami apa batasan antara bid’ah dalam agama dengan bid’ah dalam masalah duniawi.<br /> <br /> <br /> <br /> Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah menjawab:<br /> <br />
Dalam masalah duniawi, tidak ada bid’ah, walaupun dinamakan bid’ah
(secara bahasa). Manusia membuat mobil, pesawat, komputer, telepon,
kabel, atau benda-benda buatan manusia yang lain semua ini tidak
dikatakan bid’ah walaupun memang disebut bid’ah dari segi bahasa, namun
tidak termasuk bid’ah dalam istilah agama. Karena bid’ah secara bahasa
artinya segala sesuatu yang belum pernah dibuat sebelumnya, itu semua
disebut bid’ah. Sebagaimana dalam ayat:<br /> <br /> بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ<br /> <br /> “Allah adalah Pencipta langit dan bumi” (QS. Al Baqarah: 117)<br /> <br /> maksud ayat ini yaitu Allah Ta’ala membuat mereka (langit dan bumi) yang sebelumnya tidak ada.<br /> <br />
Demikian, secara bahasa memang istilah bid’ah secara mutlak dimaknai
sebagai segala sesuatu yang belum ada sebelumnya. Andai perkara-perkara
duniawi yang demikian biasanya tidak disebut sebagai bid’ah, semua itu
tidak tercela walau dikategorikan sebagai bid’ah secara bahasa. Bahkan
tidak diingkari, karena bukan perkara agama dan bukan perkara ibadah.
Misalnya, jika kita katakan dibuatnya mobil, komputer, pesawat atau
semisalnya adalah bid’ah, maka bid’ah di sini dari segi bahasa. Dan
semua itu bukanlah kemungkaran dan tidak boleh diingkari. Yang diingkari
adalah perkara-perkara baru dalam hal agama semisal shalawat-shalawat
bid’ah, atau ibadah bid’ah lain yang. Inilah yang diingkari.<br /> <br />
Karena syariat Islam harus dibersihkan dari bid’ah. Yang menjadi
syari’at Islam adalah apa yang telah disyariatkan oleh Allah dan
Rasul-Nya, bukan apa yang diada-adakan oleh manusia baik berupa
shalawat, puasa, atau ibadah lain yang tidak disyariatkan oleh Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. Karena agama ini telah sempurna, sebagaimana firman
Allah Ta’ala:<br /> <br /> الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا<br /> <br />
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama
bagimu” (QS. Al Ma’idah: 3)<br /> <br /> <br /> <br /> Sumber: Fatawa Nuurun ‘Ala Ad Darb juz 3 halaman 21 <a href="http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?View=Page&PageID=275&PageNo=1&BookID=5" rel="nofollow nofollow" target="_blank"><span>http://www.alifta.net/Fatawa/</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>FatawaChapters.aspx?View=Page&P</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span>ageID=275&PageNo=1&BookID=5</a><br /> <br /> —<br /> <br /> Penerjemah: Yulian Purnama<br /> Artikel Muslim.Or.Id<br /> '<br /> '<br /> <a href="http://muslim.or.id/manhaj/bidah-dalam-perkara-duniawi.html" rel="nofollow nofollow" target="_blank"><span>http://muslim.or.id/manhaj/</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>bidah-dalam-perkara-duniawi.htm</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span>l</a></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-2171719589231528282012-12-16T22:06:00.000+07:002012-12-16T22:06:14.349+07:00Mengkritisi Perkataan: Perbedaan adalah Rahmat!<img alt="" class="spotlight" src="http://sphotos-a.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/483478_232413390223982_1208547482_n.jpg" style="height: 443px; width: 315px;" /><br /> <br /> “Perselisihan umatku adalah rahmat“. Hampir tidak ada di antara kita yang tak pernah mendengar atau membaca had<br />
<div class="text_exposed_show">
its ini. <br /> <br />
Ia sangat begitu akrab dan populer sekali, baik di kalangan penceramah,
aktivis dakwah, penulis, bahkan oleh masyarakat biasa masa kini. Hanya
saja, sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban: <br /> <br /> Apakah kemasyhuran ungkapan tersebut berarti kualitasnya bisa dipertanggung jawabkan?!<br /> <br />
Pernahkah terlintas dalam benak kita untuk mengkritisi ungkapan
tersebut dari sudut sanad dan matan-nya?! Tulisan berikut mencoba untuk
mengorek jawabannya. <br /> <br /> Semoga Allah menambahkan ilmu yang bermanfaat kepada kita. Aamiin.<br /> <br /> Teks Hadist<br /> <br /> اخْتِلاَفُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ<br /> <br /> “Perselisihan umatku adalah rahmat.”<br /> <br /> Penjelasan:<br /> <br />
Hadits ini TIDAK ADA ASALNYA. Para pakar hadits telah berusaha untuk
mendapatkan sanadnya, tetapi mereka tidak mendapatkannya, sehingga
al-Hafizh as-Suyuthi berkata dalam al-Jami’ ash-Shaghir: <br /> <br /> “Barangkali saja hadits ini dikeluarkan dalam sebagian kitab ulama yang belum sampai kepada kita!” [1]<br /> <br />
Syaikh Al-Albani berkata, “Menurutku ini sangat jauh sekali, karena
konsekuensinya bahwa ada sebagian hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang luput dari umat Islam. Hal ini tidak layak diyakini
seorang muslim”.<br /> <br /> Al-Munawi menukil dari as-Subki bahwa dia
berkata: “Hadits ini tidak dikenal ahli hadits dan saya belum
mendapatkannya baik dengan sanad shahih, dha’if (lemah), maupun maudhu’
(palsu).” Dan disetujui oleh Syaikh Zakariya al-Anshori dalam Ta’liq
Tafsir Al-Baidhowi 2/92. [2]<br /> <br /> Sebagian ulama berusaha untuk menguatkan hadits ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: <br /> <br />
“Hadits ini sangat populer sekali. Sering ditanyakan dan banyak di
kalangan imam hadits menilai bahwa ungkapan ini tidak ada asalnya,
tetapi al-Khothobi menyebutkan dalam Ghoribul Hadits… Ucapannya kurang
memuaskan dalam penisbatan hadits ini tetapi saya merasa bahwa hadits
ini ada asalnya”. [3]<br /> <br /> Sungguh, ini adalah suatu hal yang sangat
aneh sekali dari Al-Hafizh Ibnu Hajar –semoga Allah mengampuninya-.
Bagaimana beliau merasa bahwa hadits ini ada asalnya, padahal tidak ada
sanadnya?! Bukankah beliau sendiri mengakui bahwa mayoritas ulama ahli
hadits telah menilai hadits ini tidak ada asalnya?! Lantas, kenapa harus
menggunakan perasaan?!<br /> <br /> Kami juga mendapati sebuah risalah yang
ditulis oleh Syaikh Su’ud al-Funaisan berjudul “Ikhtilaf Ummati Rohmah,
Riwayatan wa Diroyatan”, beliau menguatkan bahwa hadits ini adalah
shohih dari Nabi. <br /> <br /> Ini juga suatu hal yang aneh, karena semua
ulama yang beliau katakan mengeluarkan hadits ini seperti Al-Khothobi,
Nashr al-Maqdisi dan lain-lain. Mereka hanyalah menyebutkan tanpa
membawakan sanad. Lantas, mungkinkah suatu hadits dikatakan shohih tanpa
adanya sanad?! [4]<br /> <br /> Mengkritisi Matan Hadits<br /> <br /> Makna
hadits ini juga dikritik oleh para ulama. Berkata al-Allamah Ibnu Hazm
setelah menjelaskan bahwasanya ini bukanlah hadits: “Dan ini adalah
perkataan yang paling rusak. <br /> <br /> Sebab, jika perselisihan itu
adalah rahmat, maka berarti persatuan adalah adzab. Ini tidak mungkin
dikatakan seorang muslim, karena tidak akan berkumpul antara persatuan
dan perselisihan, rahmat dan adzab”. [5]<br /> <br /> Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani juga berkata: “Termasuk diantara dampak negatif
hadits ini adalah banyak diantara kaum muslimin yang terus bergelimang
dalam perselisihan yang sangat runcing diantara madzhab empat, dan
mereka tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikannya kepada
Al-Qur’an dan hadits yang shohih sebagaimana perintah para imam mereka,
bahkan menganggap madzhab seperti syariat yang berbeda-beda!! <br /> <br />
Mereka mengatakan hal ini padahal mereka sendiri mengetahui bahwa di
antara perselisihan mereka ada yang tidak mungkin disatukan kecuali
dengan mengembalikan kepada dalil, inilah yang tidak mereka lakukan! <br /> <br />
Dengan demikian mereka telah menisbatkan kepada syari’at suatu
kontradiksi! Kiranya, ini saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ini
bukanlah dari Allah bila mereka merenungkan firman Allah tentang
Al-Qur’an:<br /> <br /> “Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS.
An-Nisa: 82)<br /> <br /> Ayat ini secara tegas menunjukkan bahwa
perselisihan bukanlah dari Allah, lantas bagaimana kiranya dijadikan
sebagai suatu syari’at yang diikuti dan suatu rahmat?!<br /> <br /> Karena
sebab hadits ini dan hadits-hadits serupa, banyak diantara kaum muslimin
semenjak imam empat madzhab selalu berselisih dalam banyak masalah,
baik dalam aqidah maupun ibadah. <br /> <br /> Seandainya mereka menilai
bahwa perselisihan adalah tercela sebagaimana dikatakan oleh sahabat
Ibnu Mas’ud dan selainnya serta didukung dengan banyak ayat Al-Qur’an
dan hadits yang banyak sekali, maka niscaya mereka akan berusaha untuk
bersatu. Namun, apakah mereka akan melakukannya bila mereka meyakini
bahwa perselisihan adalah rohmat?!!<br /> <br /> Kesimpulannya, perselisihan
adalah tercela dalam syari’at [6]. Maka sewajibnya bagi setiap muslim
untuk berusaha semaksimal mungkin untuk melepaskan diri dari belenggu
perselisihan, karena hal itu merupakan faktor lemahnya umat, sebagaimana
firman Allah:<br /> <br /> “Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Anfal: 46)<br /> <br />
Adapun ridho dengan perselisihan, apalagi menamainya sebagai suatu
rohmat, maka jelas ini menyelisihi ayat-ayat Al-Qur’an yang secara tegas
mencela perselisihan, tidak ada sandarannya kecuali hadits yang tidak
ada asalnya dari Rasulullah ini.” [7]<br /> <br /> Salah Menyikapi Perselisihan<br /> <br />
Saudaraku seiman yang kami cintai, kita semua mengetahui bahwa
perselisihan adalah suatu perkara yang tidak bisa dielakkan, baik dalam
aqidah, ibadah maupun muamalat.<br /> <br /> Allah berfirman:<br /> <br />
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang
yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.” (QS. Hud: 118-119)<br /> <br /> Fakta di
atas mengharuskan kita untuk memahami masalah perselisihan, karena
ternyata banyak juga orang yang terpeleset dan salah dalam memahaminya; <br /> <br />
Ada yang menjadikan perselisihan sebagai senjata pamungkas untuk
menyuburkan kesalahan, kebid’ahan bahkan kekufuran, sehingga mereka
memilih pendapat-pendapat nyeleneh seperti bolehnya acara tahlilan,
manakiban, bahkan berani menentang hukum-hukum Islam dengan alasan :<br /> <br /> “Ini adalah masalah khilafiyyah“, <br /> <br /> “Jangan mempersulit manusia”. <br /> <br />
Bahkan, betapa banyak sekarang yang mengkritisi masalah-masalah aqidah
dan hukum yang telah mapan dengan alasan ”kemodernan zaman” dan
“kebebasan berpendapat” sebagaimana didengungkan oleh para cendekiawan
zaman sekarang. [8]<br /> <br /> Sebaliknya, ada juga yang sesak dada
menghadapi perselisihan, sekalipun dalam masalah fiqih dan ruang lingkup
ijtihad ulama, sehingga ada sebagian mereka yang tidak mau sholat di
belakang imam yang berbeda pendapat dengannya seperti masalah sedekap
ketika i’tidal, mendahulukan lutut ketika sujud, menggerakan jari ketika
tasyahhud dan lain sebagainya. Ini juga termasuk kesalahan.<br /> <br /> Memahami Persilisihan.<br /> <br />
Oleh karena itu, sangat penting kiranya kita jelaskan sikap yang benar
dalam menyikapi perselisihan agar kita tidak berlebihan dan tidak juga
meremehkan. Dari keterangan para ulama tentang masalah ini [9], dapat
kami tarik suatu kesimpulan bahwa perselisihan itu terbagi menjadi dua
macam:<br /> <br /> Pertama: Perselisihan tercela yaitu setiap perselisihan
yang menyelisihi dalil yang jelas dari Al-Qur’an atau hadits atau ijma’
ulama. <br /> <br /> Hal ini memiliki beberapa gambaran:<br /> <br /> 1).
Perselisihan dalam masalah aqidah atau hukum yang telah mapan, seperti
perselisihan ahli bid’ah dari kalangan Syi’ah, Khowarij, Mu’tazilah dan
sebagainya. [10]<br /> <br /> 2). Perselisihan orang-orang yang tidak
memiliki alat ijtihad seperti perselisihan orang-orang yang sok pintar,
padahal mereka adalah bodoh. [11]<br /> <br /> 3). Perselisihan yang ganjil
sekalipun dari seorang tokoh ulama, karena ini terhitung sebagai
ketergelinciran seorang ulama yang tidak boleh diikuti. [12]<br /> <br />
Jadi, tidak semua perselisihan itu dianggap. Misalnya, perselisihan
Iblis Liberal bahwa semua agama sama, ingkar hukum rajam dan potong
tangan, hukum waris, jilbab dan sebagainya, ini adalah perselisihan yang
tidak perlu dianggap dan didengarkan. <br /> <br /> Demikian juga
perselisihan Mu’tazilah modern bahwa tidak ada siksa kubur, Nabi Isa
tidak turun di akhir zaman, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang
tidak perlu dilirik. <br /> <br /> Demikian pula perselisihan sebagian orang
yang berfiqih ganjil bahwa wanita nifas tetap wajib sholat, daging ayam
haram, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang tak perlu digubris.<br /> <br /> ‘Tidak seluruh perselisihan itu dianggap Kecuali perselisihan yang memang memiliki dalil yang kuat.’ [13]<br /> <br />
Kedua: Perselisihan yang tidak tercela yaitu perselisihan di kalangan
ulama yang telah mencapai derajat ijtihad dalam masalah-masalah
ijtihadiyyah, biasanya dalam masalah-masalah hukum fiqih. <br /> <br /> Imam
Syafi’i berkata: “Perselisihan itu ada dua macam, pertama hukumnya
haram dan saya tidak mengatakannya pada yang jenis kedua”. [14] Hal ini
memiliki beberapa gambaran:<br /> <br /> 1). Masalah yang belum ada dalilnya secara tertentu.<br /> <br /> 2). Masalah yang ada dalilnya tetapi tidak jelas.<br /> <br />
3). Masalah yang ada dalilnya yang jelas tetapi tidak shohih atau
diperselisihkan keabsahannya atau ada penentangnya yang lebih kuat. [15]<br /> <br />
Jadi, dalam masalah-masalah yang diperselisihkan ulama hendaknya kita
sikapi dengan lapang dada dengan tetap saling menghormati saudara kita
yang tidak sependapat, tanpa saling menghujat dan mencela sehingga
menyulut api perselisihan.<br /> <br /> Imam Qotadah: “Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan ulama, maka hidungnya belum mencium bau fiqih.” [16]<br /> <br />
Imam Syafi’i pernah berkata kepada Yunus ash-Shadafi: “Wahai Abu Musa,
apakah kita tidak bisa untuk tetap bersahabat sekalipun kita tidak
bersepakat dalam suatu masalah?!” [17]<br /> <br /> Sekalipun hal ini tidak
menutup pintu dialog ilmiyah yang penuh adab untuk mencari kebenaran dan
pendapat terkuat, karena yang kita cari semua adalah kebenaran. <br /> <br /> Camkanlah firman Allah, yang artinya:<br /> <br />
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-75329862153051371852012-12-16T21:20:00.000+07:002012-12-16T21:20:15.729+07:00Keyakinan Syi'ah, Kotoran Imam Dapat Menghindarkan Api Neraka dan Membuat Masuk Sorga<span class="fbPhotosPhotoCaption" id="fbPhotoSnowliftCaption" tabindex="0"><span class="hasCaption"><br /> </span></span><br /><span class="fbPhotosPhotoCaption" id="fbPhotoSnowliftCaption" tabindex="0"><span class="hasCaption"><img alt="" class="spotlight" src="http://sphotos-c.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/9660_340679792706162_1983708741_n.jpg" style="height: 320px; width: 480px;" /> <br /> <span style="font-size: large;">Ibnu Babawaih al-Qummi laporan dalam bukunya:<br /> "Manlaa Yahdurhul-Faqeeh" vol.4, halaman 418</span></span></span><br />
<div class="text_exposed_show">
<span style="font-size: large;"><br />
Dilaporkan Ahmad b. Muhammad b. Sa'id al-Kufi pepatah: Dikisahkan
kepada kami Ali b. al-Hasan b. Fidaal, dari ayahnya dari Abul-Hasan Ali
b. Musa al-Ridha [AS] mengatakan:<br /><br /> "Tanda-tanda untuk Imam adalah:</span> <span style="font-size: large;"><br /><br /> 1 - Dia yang paling luas dari semua orang.</span> <span style="font-size: large;"><br /> 2 - Dan yang paling bijaksana dari semua (Manusia).<br /> 3 - Dan yang paling benar dari semua (Manusia).<br /> 18 ... Kotorannya jauh lebih baik daripada berbau aroma misk ".<br /><br /><br /> The Grand Ayat, Akhond Mulla Zainul Abideen-al-Galbaigani, dalam bukunya:</span> <span style="font-size: large;"><br /><br /> Anwaar al-Wilayah, halaman 440 menulis:</span> <span style="font-size: large;"><br /><br /> "Kotoran Imam tidak memeiliki bau apa-apa melainkan baunya seperti minyak misk</span> <span style="font-size: large;"><br /> siapa yang meminum air kencing, darah dan memakan kotoran mereka (IMAM)<br /> Maka, Allah akan hndarkan dari api neraka dan membuat dia masuk sorga<br /><br /> Abu Jafar mengatakan: "Untuk Imam ada 10 tanda:. Ia lahir murni dan disunat .... dan jika dia kentut berbau kesturi"</span> <span style="font-size: large;"><br /> (Al-Kafi 1/319 Kitab hujja - Bab Kelahiran Imam)<br /><br /> Subhanallah ... wa na'uzubillah. Dari AJARAN Iblis Syiah Imamiyah.</span> <span style="font-size: large;"><br /><br /><a href="http://inilah-bukti-kesesatan-syiah.blogspot.com/2012/12/keyakinan-syiah-kotoran-imam-dapat.html" rel="nofollow nofollow" target="_blank"><span>http://</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>inilah-bukti-kesesatan-syia</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>h.blogspot.com/2012/12/</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>keyakinan-syiah-kotoran-ima</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span>m-dapat.html</a></span> </div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-31537566914771507162012-12-16T09:21:00.003+07:002012-12-16T09:21:52.514+07:00Hukum Mengusap Wajah Setelah Berdoa<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHlNnfrkUL6RJWFcqDgAeEDpPgxHoZOo6ECCjGQeGltrjdaZHsUgRScX5R0IrxBZrv8cSzs2E6Y6vwTnRq6mYQkBFkko9KRtVuM9QHfNzJ3qNmLpWKfQMq9izsSaJ6Y3huL1iaa2rwXz-L/s1600/173140_1754603194_271711615_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHlNnfrkUL6RJWFcqDgAeEDpPgxHoZOo6ECCjGQeGltrjdaZHsUgRScX5R0IrxBZrv8cSzs2E6Y6vwTnRq6mYQkBFkko9KRtVuM9QHfNzJ3qNmLpWKfQMq9izsSaJ6Y3huL1iaa2rwXz-L/s320/173140_1754603194_271711615_n.jpg" width="320" /></a></div>
<h1 class="entry-title">
<br /></h1>
<div class="entry-meta">
<span class="meta-prep meta-prep-author"><br /></span><span class="author vcard"><a class="url fn n" href="http://fadhlihsan.wordpress.com/author/fadhlihsan/" title="Tampilkan semua tulisan oleh Fadhl Ihsan"></a></span> </div>
Banyak orang yang mengusap muka mereka setelah melakukan sholat
ataupun berdo’a. Namun benarkah amalan itu pernah dilakukan dan
dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
shahabatnya? Risalah ini insya Allah akan menjelaskan tentang lemahnya
hadits-hadits mengenai mengusap wajah.<br />
Abu Daud berkata bahwa saya mendengar Imam Ahmad ditanya oleh salah
seorang tentang hukum mengusap wajah sesudah berdoa, maka beliau
menjawab : “Saya tidak pernah mendengar itu dan saya tidak pernah
mendapatkan sesuatu tentang itu.<span id="more-107"></span> Abu Daud berkata : Saya tidak pernah melihat Imam Ahmad mengerjakan hal itu. [Abu Daud dalam Masail Imam Ahmad hal.71]<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa mengangkat tangan pada saat
berdoa adalah sunnah berdasarkan hadits-hadits yang sangat banyak,
tetapi tentang mengusap wajah dengan kedua telapak tangan tidak saya
temukan kecuali satu atau dua hadits, itupun tidak bisa dipakai sebagai
dasar amalan tersebut. [Majmu Fatawa 22/519]<br />
Syaikh Al-Izz bin Abdussalam berkata bahwa tidaklah mengusap wajah
dengan kedua telapak tangan sesudah berdoa kecuali orang-orang bodoh
saja. [Fatawa Izz bin Abdussalam] (1)<br />
Dalam fatwanya Al-Lajnah Ad-Daimah nenyatakan: Adapun mengusap wajah
ketika selesai berdoa, sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah rahimahullahu:<br />
إِذَا دَعَوْتَ فَادْعُ اللهَ<br />
بِبُطُوْنِ كَفَّيْكَ، وَلاَ تَدْعُ<br />
بِظُهُوْرِهِمَا، فَإِذَا فَرَغْتَ<br />
فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ<br />
“Apabila engkau berdoa, maka berdoalah kepada Allah dengan kedua telapak
tanganmu dan jangan berdoa dengan punggung tanganmu. Lalu jika engkau
telah selesai, usaplah wajahmu dengan kedua telapak tanganmu.”<br />
Maka hadits ini lemah, karena kelemahan Shalih bin Hassan, seorang
perawinya. Dia didhaifkan oleh Al-Imam Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, dan
Ad-Daruquthni rahimahumullah. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu
mengatakan tentangnya: “Munkarul hadits.”<br />
Begitu pula hadits lain yang berkaitan mengusap wajah yang diriwayatkan
oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dari Umar ibnul Khaththab
radhiyallahu ‘anhu, dalam sanadnya ada Hammad bin ‘Isa, dia bersendiri
dalam meriwayatkan hadits dan dia seorang rawi yang lemah. Sehingga
mengusap wajah setelah berdoa tidak benar penukilannya, baik dari sunnah
qauliyyah ataupun amaliyyah. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 6/94-95] (2)<br />
Penjelasan kedudukan hadits tentang mengusap wajah:<br />
1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika mengangkat kedua tangannya
untuk berdo’a, tidaklah menurunkannya kecuali beliau mengusapkannya
terlebih dahulu ke mukanya.<br />
Penjelasan:<br />
Hadits ini lemah. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi (2/244), Ibnu ‘Asakir
(7/12/2). Dengan sanad: Hammaad ibn ‘Isa al-Juhani dari Hanzalah ibn Abi
Sufyaan al-Jamhi dari Salim ibn ‘Abdullah dari bapaknya dari ‘Umar ibn
al-Khatthab. At Tirmidzi berkata: ”Hadits ini gharib, kami hanya
mendapatkannya dari Hammad ibn ‘Isa Al Juhani. Dan dia menyendiri dalam
meriwayatkan hadits ini. Dia hanya mempunyai (meriwayatkan) beberapa
hadits saja, tapi orang-orang meriwayatkan darinya.” Bagaimanapun juga
hadits ini lemah, berdasarkan pada perkataannya Al Hafidh Ibnu Hajar di
dalam At Taqrib, dimana beliau menjelaskan tentang riwayat hidupnya
dalam At Tahdzib: ”Ibnu Ma’in berkata: ’Dia adalah Syaikh yang baik’,
Abu Hatim berkata: ’Lemah didalam (meriwayatkan) hadits’, Abu Dawud
berkata: ’Lemah, dia meriwayatkan hadits-hadits munkar’. Hakim dan
Naqash berkata: ’Dia meriwayatkan hadits-hadits yang tidak kuat dari
Ibnu Juraij dan Ja’far Ash Shadiq’, Dia dinyatakan lemah oleh Ad
Daraquthni, Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia meriwayatkan sesuatu yang
salah melalui jalur Ibnu Juraij dan Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz,
tidaklah diperbolehkan untuk menjadikannya sebagai sandaran, Ibnu Makula
berkata: ’mereka semua mencap hadits-hadits dari dia sebagai hadits
lemah”.<br />
Terdapat hadits yang sejenis dengan hadits 1:<br />
”Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dan mengangkat
kedua tangannya, maka beliau mengusap wajahnya dengannya.”<br />
Hadits ini Dha’if. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1492) dari Ibnu Lahi’ah
dari Hafsh bin Hisyam bin ‘Utbah bin Abi Waqqash dari Sa’ib bin Yazid
dari ayahnya. Ini adalah hadits dha’if berdasarkan pada Hafsh bin Hisyam
karena dia tidak dikenal (majhul) dan lemahnya Ibnu Lahi’ah (Taqribut
Tahdzib). Hadits ini tidak bisa dikuatkan oleh dua jalur hadits
berdasarkan lemahnya hadits yang pertama.<br />
2. ”Jika kamu berdo’a kepada Allah, kemudian angkatlah kedua tanganmu
(dengan telapak tangan diatas), dan jangan membaliknya, dan jika sudah
selesai (berdo’a) usapkan (telapak tangan) kepada muka.”<br />
Penjelasan:<br />
Hadits ini lemah. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1181, 3866), Ibnu Nashr
dalam Qiyaamul-Lail (hal. 137), Ath Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Kabir
(3/98/1) & Hakim (1/536), dari Shalih ibn Hassan dari Muhammad ibn
Ka’b dari Ibnu ‘Abbas radiallaahu ‘anhu (marfu’).<br />
Lemahnya hadits ini ada pada Shalih bin Hassan, sebagai munkarul hadits,
seperti dikatakan Al Bukhari dan Nasa’i, ”Dia tertolak dalam
meriwayatkan hadits”; Ibnu Hibban berkata:”Dia selalu menggunakan
(mendengarkan) penyanyi wanita dan mendengarkan musik, dan dia selalu
meriwayatkan riwayat yang kacau yang didasarkan pada perawi yang
terpercaya”; Ibnu Abi Hatim berkata dalam Kitabul ‘Ilal (2/351): ”Aku
bertanya pada ayahku (yaitu Abu Hatim al-Razi) tentang hadits ini,
kemudian beliau berkata: ’Munkar’.”<br />
Hadits dari Shalih bin Hasan ini diriwayatkan juga oleh jalur lain yaitu
dari Isa bin Maimun, yaitu yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab,
seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Nashr. Tapi hal ini tidaklah merubah
lemahnya hadits ini, sebab Isa bin Maimun adalah lemah. Ibnu Hibban
berkata: ”Dia meriwayatkan beberapa hadits, dan semuanya tertolak”. An
Nasa’i berkata:”Dia tidak bisa dipercaya”. Hadits dari Ibnu Abbas ini
juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (1485), dan Bayhaqi (2/212), melalui
jalur ‘Abdul Malik ibn Muhammad ibn Aiman dari ‘Abdullah ibn Ya’qub ibn
Ishaq dari seseorang yang meriwayatkan kepadanya dari Muhammad ibn Ka’b,
dengan matan sebagai berikut:<br />
”Mintalah kepada Allah dengan (mengangkat) kedua telapak tanganmu, dan
minta pada-Nya dengan membaliknya, dan jika kau selesai, maka usaplah
mukamu dengannya”.<br />
Hadits ini sanadnya dha’if. Abdul Malik dinyatakan lemah oleh Abu Dawud.
Dalam hadits ini terdapat Syaikhnya Abdullah bin Ya’qub yang tidak
disebutkan namanya, dan tidak dikenal –Bisa saja dia adalah Shalih Bin
Hassan atau Isa bin Maimun. Keduanya sudah dijelaskan sebelumnya.<br />
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Hakim (4/270) melalui jalur Muhammad
ibn Mu’awiyah, yang berkata bahwa Mashadif ibn Ziyad al-Madini
memberitahukan padanya bahwa dia mendengar hal ini dari Muhammad ibn
Ka’b al-Qurazi. Adz Dzahabi menyatakan bahwa Ibnu Mu’awiyah dinyatakan
kadzab oleh Daraquthni. Maka hadits ini adalah maudhu’. Abu Dawud
berkata tentang hadits ini: ”hadits ini telah diriwayatkan lebih dari
satu jalur melalui Muhammad ibn Ka’b; semuanya tertolak.”<br />
Mengangkat kedua tangan ketika melakukan qunut memang terdapat riwayat
dari Rasulullah tentangnya, yaitu ketika beliau berdoa terhadap kaum
yang membunuh 15 pembaca Al Qur’an (Riwayat Ahmad (3/137) & Ath
Thabarani Al-Mu’jamus-Shaghir (hal. 111) dari Anas dengan sanad shahih.
Serupa dengan yang hadits yang diriwayatkan dari Umar dan yang lainnya
ketika melakukan qunut pada sholat Witir. Namun mengusap muka sesudah
do’a qunut maka tidaklah pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam, tidak juga dari para shahabatnya, ini adalah bid ’ah
yang nyata.<br />
Sedangkan mengusap muka setelah berdoa diluar sholat berdasarkan pada
dua hadits. Dan tidaklah dapat dikatakan benar kedua hadits tersebut
bisa menjadi hasan, seperti yang dikatakan oleh Al Manawi, berdasarkan
pada lemahnya sanad yang ditemukan pada hadits tersebut. Inilah yang
menjadikan alasan Imam An Nawawi dalam Al Majmu bahwa hal ini tidak
dianjurkan, menambahkan perkataan Ibnu ‘Abdus-Salaam yang berkata bahwa
”Hanya orang yang sesat yang melakukan hal ini ”.<br />
Bukti bahwa mengusap muka setelah berdo’a tidak penah dicontohkan adalah
dikuatkan bahwa terdapat hadits-hadits yang tsabit yang menyatakan
diangkatnya tangan untuk berdo’a, tapi tidak ada satupun yang
menjelaskan mengusap muka setelahnya, dengan hal ini, wallahu a’lam, hal
ini tidak diterima dan tidak pernah dicontohkan. (3)<br />
Wallahu a’lam bish shawab.<br />
________________<br />
(1) Disalin dari buku Jahalatun Nas Fid Du’a edisi Indonesia Kesalahan
Dalam Berdo’a, Penulis Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih,
Penerjemah Zainal Abidin, Penerbit Darul Haq. Lihat: <a href="http://www.almanhaj.or.id/content/1326/slash/0" rel="nofollow">http://www.almanhaj.or.id/content/1326/slash/0</a><br />
(2) <a href="http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=818" rel="nofollow">http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=818</a><br />
(3) Sumber : Kitab Irwa’ul Ghalil 2/178-182. Karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani. Lihat: <a href="http://jilbab.or.id/archives/88-lemahnya-hadits-mengusap-wajah-setelah-berdoa/" rel="nofollow">http://jilbab.or.id/archives/88-lemahnya-hadits-mengusap-wajah-setelah-berdoa/</a>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-45815251831589523342012-12-16T09:20:00.000+07:002012-12-16T09:20:00.789+07:00Hukum Mengangkat Tangan ketika Berdo’a<header class="entry-header">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHlNnfrkUL6RJWFcqDgAeEDpPgxHoZOo6ECCjGQeGltrjdaZHsUgRScX5R0IrxBZrv8cSzs2E6Y6vwTnRq6mYQkBFkko9KRtVuM9QHfNzJ3qNmLpWKfQMq9izsSaJ6Y3huL1iaa2rwXz-L/s1600/173140_1754603194_271711615_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHlNnfrkUL6RJWFcqDgAeEDpPgxHoZOo6ECCjGQeGltrjdaZHsUgRScX5R0IrxBZrv8cSzs2E6Y6vwTnRq6mYQkBFkko9KRtVuM9QHfNzJ3qNmLpWKfQMq9izsSaJ6Y3huL1iaa2rwXz-L/s320/173140_1754603194_271711615_n.jpg" width="320" /></a></div>
<h1 class="entry-title">
<br /></h1>
<div class="entry-meta">
<span class="sep"><br /></span><span class="author vcard"><a class="url fn n" href="http://yaaukhti.wordpress.com/author/fadhlihsan/" title="Tampilkan semua tulisan oleh Fadhl Ihsan"></a></span> </div>
</header>
Kepada Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin –rahimahullah-
pernah ditanyakan, “Bagaimanakah kaedah (dhobith) mengangkat tangan
ketika berdo’a?”<br />
Beliau –rahimahullah- menjawab dengan rincian yang amat bagus :<span id="more-493"></span><br />
Mengangkat tangan ketika berdo’a ada tiga keadaan :<br />
<strong>Pertama,</strong> ada dalil yang menunjukkan untuk mengangkat
tangan. Kondisi ini menunjukkan dianjurkannya mengangkat tangan ketika
berdo’a. Contohnya adalah ketika berdo’a setelah shalat istisqo’ (shalat
minta diturunkannya hujan). Jika seseorang meminta hujan pada khutbah
jum’at atau khutbah shalat istisqo’, maka dia hendaknya mengangkat
tangan.<br />
Juga contoh hal ini adalah mengangkat tangan ketika berdo’a di bukit
Shofa dan Marwah, berdo’a di Arofah, berdo’a ketika melempar Jumroh Al
Ula pada hari-hari tasyriq dan juga Jumroh Al Wustho.<br />
Oleh karena itu, ketika menunaikan haji ada enam tempat untuk
mengangkat tangan : (1) ketika berada di Shofa, (2) ketika berada di
Marwah, (3) ketika berada di Arofah, (4) ketika berada di Muzdalifah
setelah shalat shubuh, (5) di Jumroh Al Ula di hari-hari tasyriq, (6) di
Jumroh Al Wustho di hari-hari tasyriq.<br />
Kondisi semacam ini tidak diragukan lagi bagi seseorang untuk
mengangkat tangan ketika itu karena adanya petunjuk dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini.<br />
<strong>Kedua,</strong> tidak ada dalil yang menunjukkan untuk
mengangkat tangan. Contohnya adalah do’a di dalam shalat. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a istiftah : Allahumma
ba’id baini wa baina khothoyaya kama ba’adta bainal masyriqi wal
maghribi …; juga membaca do’a di antara dua sujud : Robbighfirli; juga
berdo’a ketika tasyahud akhir; namun beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak mengangkat tangan pada semua kondisi ini. Begitu juga dalam
khutbah Jum’at. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a namun
beliau tidak mengangkat kedua tangannya kecuali jika meminta hujan
(ketika khutbah tersebut).<br />
Barangsiapa mengangkat tangan dalam kondisi-kondisi ini dan
semacamnya, maka dia telah terjatuh dalam perkara yang diada-adakan
dalam agama (alias bid’ah) dan melakukan semacam ini terlarang.<br />
<strong>Ketiga</strong>, tidak ada dalil yang menunjukkan mengangkat
tangan ataupun tidak. Maka hukum asalnya adalah mengangkat tangan karena
ini termasuk adab dalam berdo’a. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,<br />
“Sesunguhnya Allah Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu terhadap
hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu
kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa.. ” [1]<br />
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menceritakan seseorang
yang menempuh perjalanan jauh dalam keadaan kusut dan penuh debu, lalu
dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya mengatakan : “Wahai
Rabbku! Wahai Rabbku!” Padahal makanannya itu haram, pakaiannya haram,
dan dia dikenyangkan dari yang haram. Bagaimana mungkin do’anya bisa
dikabulkan? [2]<br />
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan mengangkat kedua tangan sebagai sebab terkabulnya do’a.<br />
Inilah pembagian keadaan dalam mengangkat tangan ketika berdo’a.
Namun, ketika keadaan kita mengangkat tangan, apakah setelah memanjatkan
do’a diperbolehkan mengusap wajah dengan kedua tangan?<br />
Yang lebih tepat adalah tidak mengusap wajah dengan kedua telapak
tangan sehabis berdo’a karena hadits yang menjelaskan hal ini adalah
hadits yang lemah (dho’if) [3] yang tidak dapat dijadikan hujjah
(dalil). Apabila kita melihat seseorang membasuh wajahnya dengan kedua
tangannya setelah selesai berdo’a, maka hendaknya kita jelaskan padanya
bahwa yang termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
tidak mengusap wajah setelah selesai berdo’a karena hadits yang
menjelaskan hal ini adalah hadits yang lemah (dho’if). [Liqo’at Al Bab
Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset no. 51]<br />
Footnote:<br />
[1] Lafazh hadits yang dimaksudkan adalah :<br />
إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ
يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ
يَرُدَّهُمَا صِفْرًا<br />
“Sesunguhnya Rabb kalian tabaroka wa ta’ala Maha Pemalu lagi Maha
Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan
tangan kepada-Nya, lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan
hampa.” (HR. Abu Daud no. 1488 dan At Tirmidzi no. 3556. Syaikh Al
Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini
shohih)<br />
[2] HR. Muslim no. 1015.<br />
[3] Hadits yang dimaksudkan adalah dari Umar bin Khothob radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,<br />
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ
فِى الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ.<br />
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mengangkat tangan
ketika berdo’a, beliau tidak menurunkannya hingga beliau mengusap
wajahnya dengan kedua tangannya.”<br />
Mengenai hadits ini, seorang pakar hadits terkemuka yaitu Abu Zur’ah
mengatakan, “Hadits ini adalah hadits mungkar. Saya takut hadits ini
tidak ada asalnya.” (Lihat ‘Ilalul Hadits, hal. 156, Asy Syamilah)<br />
Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 433 mengatakan bahwa hadits ini dho’if (lemah).<br />
Sumber: <a href="http://rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3058-hukum-mengangkat-tangan-ketika-berdoa.html"> http://rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3058-hukum-mengangkat-tangan-ketika-berdoa.html</a>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-42674955136777168612012-12-16T09:18:00.001+07:002012-12-16T09:18:40.870+07:00Mengupas Hukum Berdoa Setelah Shalat<header class="entry-header">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOGh1ubVI7pa3bBCggJVWfEsOKzTJcfJvjSVjrkLmJowCK2Ko1bXOIu6XG80yg-yQQa8MApm8GvCl8yBHO0YPlUbqGPFiyuUK0JYwStAQp7fdWd44IZ2qUK8V7v80gCBg4wczCKXPwrNal/s1600/276746_130653833691976_3311070_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="220" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOGh1ubVI7pa3bBCggJVWfEsOKzTJcfJvjSVjrkLmJowCK2Ko1bXOIu6XG80yg-yQQa8MApm8GvCl8yBHO0YPlUbqGPFiyuUK0JYwStAQp7fdWd44IZ2qUK8V7v80gCBg4wczCKXPwrNal/s320/276746_130653833691976_3311070_n.jpg" width="320" /></a></div>
<h1 class="entry-title">
<br /></h1>
<div class="entry-meta">
<span class="sep"></span><span class="author vcard"><br /></span> </div>
</header>
Mungkin sebagian saudara kami masih rancu mengenai perkara do’a
dan mengangkat tangan sesudah shalat. Memang ada hadits yang menjelaskan
dianjurkannya beberapa do’a pada dubur shalat (akhir shalat)
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits semacam ini :<span id="more-491"></span><br />
أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ
تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ
عِبَادَتِكَ<br />
“Aku wasiatkan padamu wahai Mu’adz. Janganlah engkau tinggalkan untuk
berdo’a setiap dubur shalat (akhir shalat) : Allahumma a’inni ‘ala
dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik (Ya Allah, tolonglah aku untuk
berdzikir pada-Mu, bersyukur pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu).”
(HR. Abu Daud no. 1522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shohih)<br />
Namun apakah yang dimaksud dengan dubur shalat (akhir shalat)? Apakah sebelum salam atau sesudah salam?<br />
Untuk memahami hal ini, alangkah baiknya kita memperhatikan
penjelasan Syaikh Ibnu Baz berikut (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 11/194-196)
yang kami sarikan berikut ini. Serta ada sedikit penjelasan dari Syaikh
Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dan ulama lainnya yang kami sertakan.<br />
<strong>Dubur shalat</strong> kadang bermakna sebelum salam dan
kadang pula bermakna sesudah salam. Terdapat beberapa hadits yang
menunjukkan hal ini. Mayoritasnya menunjukkan bahwa yang dimaksud dubur
shalat adalah akhir shalat sebelum salam jika hal ini berkaitan dengan
do’a.<br />
Sebagaimana dapat dilihat dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkannya
tasyahud padanya, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />
ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنْ الدُّعَاءِ بَعْدُ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ يَدْعُو بِهِ<br />
“Kemudian terserah dia memilih do’a yang dia sukai untuk berdo’a dengannya.” (HR. Abu Daud no. 825)<br />
Dalam lafazh lain,<br />
ثُمَّ لْيَتَخَيَّرْ بَعْدُ مِنَ الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ<br />
“Kemudian terserah dia memilih setelah itu (setelah tasyahud) do’a
yang dia kehendaki (dia sukai).” (HR. Muslim no. 402, An Nasa’i no.
1298, Abu Daud no. 968, Ad Darimi no. 1340)<br />
Di antara contoh do’a yang dibaca sebelum salam adalah yang terdapat
dalam hadits Mu’adz bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berwasiat padanya,<br />
لاَ تَدَعَنَّ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ<br />
“Janganlah engkau tinggalkan untuk berdo’a setiap dubur shalat (akhir
shalat) [1] : Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni
‘ibadatik (Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir pada-Mu, bersyukur
pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu).” (HR. An Nasa’i no. 1286, Abu
Daud no. 1301. Sanad hadits ini shohih)<br />
Contoh lain dari do’a yang dibaca sebelum salam adalah do’a yang diajarkan oleh Sa’ad bin Abi Waqosh radhiyallahu ‘anhu.<br />
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ
مِنَ الْجُبْنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ
الْعُمُرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ
الْقَبْرِ<br />
“Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung
pada-Mu dari hati yang lemah, aku berlindung dari dikembalikan ke umur
yang jelek, aku berlindung kepada-Mu dari musibah dunia dan aku
berlindung pada-Mu dari siksa kubur.” [2]<br />
Adapun letak bacaan dzikir adalah setelah shalat setelah salam berdasarkan hadits-hadits shohih yang ada.<br />
Contoh yang dimaksud adalah ketika selesai salam kita membaca :
Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah. Allahumma antas salam wa
minkas salam tabarokta yaa dzal jalali wal ikrom. Dzikir ini dibaca oleh
imam, makmum ataupun orang yang shalat sendirian (munfarid).<br />
Kemudian setelah itu imam berbalik ke arah makmum sambil menghadapkan
wajahnya ke arah mereka. Setelah itu imam, makmum, atau orang yang
shalat sendirian membaca dzikir : Laa ilaha illalah wahdahu laa syarika
lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli sya’in qodir, laa
hawla quwwata illa billah. Laa ilaha illallah wa laa na’budu illa iyyah,
lahun ni’mah wa lahul fadhlu wa lahuts tsana’ul hasan. Laa ilaha
illallah mukhlishina lahud din wa law karihal kaafirun. Allahumma laa
mani ’a lima a’thoita wa laa mu’thiya lima mana’ta, wa laa yanfa’u dzal
jaddi minkal jaddu.<br />
Inilah yang dianjurkan bagi muslim dan muslimah untuk membaca
dzikir-dzikir ini setelah shalat lima waktu. Lalu setelah itu dia
membaca tasbih (subhanallah), membaca tahmid (alhamdulillah), dan
membaca takbir (Allahu Akbar). Lalu dia menggenapkan bacaan dzikir ini
menjadi seratus dengan membaca : Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika
lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘ala kulli sya’in qodir.<br />
Semua dzikir ini terdapat dalam hadits dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lalu dianjurkan setelah membaca dzikir-dzikir ini
agar membaca ayat kursi sekali secara lirih (sir). Lalu setelah itu
membaca qul huwallahu ahad dan al maw’idzatain (Al Falaq dan An Naas)
masing-masing sekali setelah selesai shalat; kecuali untuk shalat
maghrib dan shubuh, ketiga surat ini dibaca masing-masing sebanyak tiga
kali.<br />
Dianjurkan pula bagi setiap muslim dan muslimah setelah selesai
shalat maghrib dan shubuh untuk membaca dzikir : Laa ilaha illallah
wahdahu laa syarika lah lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi wa yumit wa
huwa ‘ala kulli sya’in qodir, dibaca sebanyak sepuluh kali sebagai
tambahan dari bacaan-bacaan dzikir tadi, sebelum membaca ayat kursi,
sebelum membaca tiga surat tadi. Amalan seperti ini terdapat dalam
hadits yang shohih. Wallahu waliyyut taufiq.<br />
Kesimpulan : Yang dimaksud dengan dubur shalat adalah :<br />
1. Setelah tasyahud, sebelum salam. Ini adalah letak kita dianjurkan untuk berdo’a.<br />
2. Setelah shalat, sesudah salam. Ini adalah letak kita dianjurkan untuk berdzikir.<br />
<strong>Kalau Ingin Berdo’a, Sebaiknya Dilakukan Sebelum Salam</strong><br />
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah (Liqo ’at Al Bab
Al Maftuh, kaset no. 82) berkata : Oleh karena itu dapat kita katakan
bahwa apabila engkau ingin berdo’a kepada Allah, maka berdo’alah
kepada-Nya sebelum salam. Hal ini karena dua alasan :<br />
<strong>Alasan pertama :</strong> Inilah yang diperintahkan oleh
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam membicarakan tentang tasyahud, “Jika selesai (dari tasyahud),
maka terserah dia untuk berdo’a dengan do’a yang dia suka.”<br />
<strong>Alasan kedua :</strong> Jika engkau berada dalam shalat, maka
berarti engkau sedang bermunajat kepada Rabbmu. Jika engkau telah
selesai mengucapkan salam, berakhir pula munajatmu tersebut. Lalu
manakah yang lebih afdhol (lebih utama), apakah meminta kepada Allah
ketika bermunajat kepada-Nya ataukah setelah engkau berpaling (selesai)
dari shalat? Jawabannya, tentu yang pertama yaitu ketika engkau sedang
bermunajat kepada Rabbmu.<br />
Adapun ucapan dzikir setelah menunaikan shalat (setelah salam) yaitu
ucapan astagfirullah sebanyak 3 kali. Ini memang do’a, namun ini adalah
do’a yang berkaitan dengan shalat. Ucapan istighfar seseorang sebanyak
tiga kali setelah shalat bertujuan untuk menambal kekurangan yang ada
dalam shalat. Maka pada hakikatnya, ucapan dzikir ini adalah pengulangan
dari shalat.<br />
<strong>Hukum Mengangkat Tangan untuk Berdo’a Sesudah Shalat Fardhu</strong><br />
Pembahasan berikut adalah mengenai hukum mengangkat tangan untuk
berdo’a sesudah shalat fardhu. Berdasarkan penjelasan yang pernah kami
angkat, kita telah mendapat pencerahan bahwa memang mengangkat tangan
ketika berdo’a adalah salah satu sebab terkabulnya do’a. Namun, apakah
ini berlaku dalam setiap kondisi?<br />
Sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin bahwa hal ini tidak
berlaku pada setiap kondisi. Ada beberapa contoh dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa beliau tidak mengangkat tangan
ketika berdo’a. Agar lebih jelas, mari kita perhatikan penjelasan Syaikh
Ibnu Baz mengenai hukum mengangkat tangan ketika berdo’a sesudah
shalat.<br />
Beliau –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) mengatakan :
Tidak disyari’atkan untuk mengangkat kedua tangan (ketika berdo’a) pada
kondisi yang kita tidak temukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengangkat tangan pada saat itu. Contohnya adalah berdo’a ketika
selesai shalat lima waktu, ketika duduk di antara dua sujud (membaca
do’a robbighfirli, pen) dan ketika berdo’a sebelum salam, juga ketika
khutbah jum’at atau shalat ‘ied. Dalam kondisi seperti ini hendaknya
kita tidak mengangkat tangan (ketika berdo’a) karena memang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan demikian padahal beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suri tauladan kita dalam hal ini.
Namun ketika meminta hujan pada saat khutbah jum’at atau khutbah ‘ied,
maka disyariatkan untuk mengangkat tangan sebagaimana dilakukan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.<br />
Maka ingatlah kaedah yang disampaikan oleh beliau –rahimahullah-
dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) berikut : “Kondisi yang menunjukkan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan, maka
tidak boleh bagi kita untuk mengangkat tangan. Karena perbuatan Nabi
shallalahu ‘alaihi wa sallam termasuk sunnah, begitu pula apa yang
beliau tinggalkan juga termasuk sunnah.”<br />
<strong>Bagaimana Jika Tetap Ingin Berdo’a Sesudah Shalat?</strong><br />
Ini dibolehkan setelah berdzikir, namun tidak dengan mengangkat
tangan. Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/178)
mengatakan : “Begitu pula berdo’a sesudah shalat lima waktu setelah
selesai berdzikir, maka tidak terlarang untuk berdo’a ketika itu karena
terdapat hadits yang menunjukkan hal ini. Namun perlu diperhatikan bahwa
tidak perlu mengangkat tangan ketika itu. Alasannya, karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan demikian. Wajib bagi
setiap muslim senantiasa untuk berpedoman pada Al Kitab dan As Sunnah
dalam setiap keadaan dan berhati-hati dalam menyelisihi keduanya.
Wallahu waliyyut taufik.”<br />
<strong>Bahkan Berdo’a Sesudah Shalat dan Dzikir adalah Perkara yang Dianjurkan</strong><br />
Dianjurkan seseorang berdo’a sesudah shalat dan setelah dzikir
disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana yang dinukil
oleh Syaikh Ali Basam dalam Tawdihul Ahkam (1/776-777). Syaikhul Islam
–rahimahullah- mengatakan : “Dianjurkan bagi setiap hamba sesudah shalat
dan setelah membaca dzikir semacam istigfar, tahlil, tasbih, tahmid dan
takbir, lalu dia bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan dia boleh berdo’a sesuai yang dia inginkan. Karena berdo’a sesudah
melakukan aktivitas ibadah semacam ini adalah waktu yang tepat untuk
terkabulnya do’a, apalagi sesudah berdzikir kepada-Nya dan
menyanjung-Nya, juga setelah bershalawat kepada Nabi-Nya. Ini adalah
sebab yang sangat ampuh untuk tercapainya manfaat dan tertolaknya
mudhorot (bahaya).”<br />
Namun yang perlu diperhatikan sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ibnu
Baz dalam Majmu’ Fatawanya (11/168) bahwa do’a sesudah shalat boleh
dilakukan, namun tanpa mengangkat tangan dan tidak bareng-bareng
(jama’i). Beliau mengatakan bahwa hal ini tidak mengapa.<br />
<strong>Mengangkat Tangan Untuk Berdo’a Sesudah Shalat Sunnah</strong><br />
Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181)
mengatakan : Adapun shalat sunnah, maka aku tidak mengetahui adanya
larangan mengangkat tangan ketika berdo’a setelah selesai shalat. Hal
ini berdasarkan keumuman dalil. Namun lebih baik berdo’a sesudah selesai
shalat sunnah tidak dirutinkan. Alasannya, karena tidak terdapat dalil
yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal
ini. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya, maka
hal tersebut akan dinukil kepada kita karena kita ketahui bahwa para
sahabat –radhiyallahu ‘anhum jami’an- rajin untuk menukil setiap
perkataan atau perbuatan beliau baik ketika bepergian atau tidak, atau
kondisi lainnya.<br />
Adapun hadits yang masyhur (sudah tersohor di tengah-tengah umat) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />
“Di dalam shalat, seharusnya engkau merendahkan diri dan khusyu’.
Lalu hendaknya engkau mengangkat kedua tanganmu (sesudah shalat), lalu
katakanlah : Wahai Rabbku! Wahai Rabbku !”<br />
Hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah), sebagaimana hal ini
dijelaskan oleh Ibnu Rajab dan ulama lainnya. Wallahu waliyyut taufiq.<br />
Demikian pembahasan kami tentang hukum berdo’a sesudah shalat.
Masalah ini adalah masalah ijtihadiyah, yang masih terdapat perselisihan
ulama di dalamnya. Namun demikianlah pendapat yang kami pilih dan lebih
menenangkan hati kami.<br />
Kami pun masih menghormati pendapat lainnya dalam masalah ini. Semoga
Allah senantiasa memberikan pada kita ilmu yang bermanfaat, rizki yang
thoyib dan amalan yang diterima.<br />
Footnote:<br />
[1] Yang dimaksudkan di sini adalah pada akhir shalat sebelum salam.<br />
[2] HR. An Nasa’i no. 5479. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih.<br />
Sumber: <a href="http://www.rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3059-mengupas-hukum-berdoa-sesudah-shalat.html"> http://www.rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3059-mengupas-hukum-berdoa-sesudah-shalat.html</a>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-12058967545027489602012-12-16T09:16:00.000+07:002012-12-16T09:16:21.241+07:00Zikir Setelah Shalat<header class="entry-header">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHlNnfrkUL6RJWFcqDgAeEDpPgxHoZOo6ECCjGQeGltrjdaZHsUgRScX5R0IrxBZrv8cSzs2E6Y6vwTnRq6mYQkBFkko9KRtVuM9QHfNzJ3qNmLpWKfQMq9izsSaJ6Y3huL1iaa2rwXz-L/s1600/173140_1754603194_271711615_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHlNnfrkUL6RJWFcqDgAeEDpPgxHoZOo6ECCjGQeGltrjdaZHsUgRScX5R0IrxBZrv8cSzs2E6Y6vwTnRq6mYQkBFkko9KRtVuM9QHfNzJ3qNmLpWKfQMq9izsSaJ6Y3huL1iaa2rwXz-L/s320/173140_1754603194_271711615_n.jpg" width="320" /></a></div>
<h1 class="entry-title">
<br /></h1>
<div class="entry-meta">
<span class="sep"><br /></span><span class="author vcard"><a class="url fn n" href="http://yaaukhti.wordpress.com/author/fadhlihsan/" title="Tampilkan semua tulisan oleh Fadhl Ihsan"></a></span> </div>
</header>
Dari Tsauban radhiallahu anhu dia berkata:<br />
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ اللَّهُمَّ
أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ
وَالْإِكْرَامِ قَالَ الْوَلِيدُ فَقُلْتُ لِلْأَوْزَاعِيِّ
كَيْفَ الْاسْتِغْفَارُ قَالَ تَقُولُ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ
أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ<br />
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai shalat, beliau
akan meminta ampunan tiga kali dan memanjatkan doa ALLAAHUMMA ANTAS
SALAAM WAMINKAS SALAAM TABAARAKTA DZAL JALAALIL WAL IKROOM (Ya Allah,
Engkau adalah Dzat yang memberi keselamatan, dan dari-Mulah segala
keselamatan, Maha Besar Engkau wahai Dzat Pemilik kebesaran dan
kemuliaan.”<br />
Al-Walid berkata, “Maka kukatakan kepada Al-Auza’i, “Lalu bagaimana
bacaan meminta ampunnya?” dia menjawab, “Engkau ucapkan saja
‘Astaghfirullah, Astaghfirullah’.” (HR. Muslim no. 591)<span id="more-489"></span><br />
Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:<br />
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ
لَمْ يَقْعُدْ إِلَّا مِقْدَارَ مَا يَقُولُ اللَّهُمَّ أَنْتَ
السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ
وَالْإِكْرَامِ<br />
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan salam, beliau
tidak duduk selain seukuran membaca bacaan “ALLAAHUMMA ANTAS SALAAM,
WAMINKAS SALAAM, TABAARAKTA DZAL JALAALIL WAL IKRAAMI (Ya Allah, Engkau
adalah Dzat Pemberi keselamatan, dan dari-Mulah segala keselamatan, Maha
Besar Engkau Dzat Pemilik kebesaran dan kemuliaan).” (HR. Muslim no.
932)<br />
Mughirah bin Syu’bah pernah berkirim surat kepada Muawiyah dimana dia berkata:<br />
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
إِذَا فَرَغَ مِنْ الصَّلَاةِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ
الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ اللَّهُمَّ لَا
مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا
يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ<br />
“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai shalat dan
mengucapkan salam, beliau membaca: “LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAHU LAA
SYARIIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WAHUWA ‘ALAA KULLI SYAI’IN
QADIIR, ALLAAHUMMA LAA MAANI’A LIMAA A’THAITA WALAA MU’THIYA LIMAA
MANA’TA WALAA YANFA’U DZAL JADDI MINKAL JADD (Tiada sesembahan selain
Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah segala kerajaan
dan milik-Nyalah segala pujian, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.
Ya Allah, tiada yang bisa menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak
ada yang bisa memberi apa yang Engkau cegah, dan tidak bermanfaat
pemilik kekayaan, dan dari-Mulah segala kekayaan).” (HR. Al-Bukhari no.
844 dan Muslim no. 593)<br />
Dari Abdullah bin Az-Zubair bahwa seusai shalat setelah salam, beliau sering membaca;<br />
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ
الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ لَا
حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ
وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ
لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ. وَقَالَ: كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُهَلِّلُ بِهِنَّ
دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ<br />
“LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAHUU LAA SYARIIKA LAHU, LAHUL MULKU WALAHUL
HAMDU WAHUWA ‘ALAA KULLI SYAI’IN QADIIR, LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA
BILLAAH, LAA-ILAAHA ILALLAAH WALAA NA’BUDU ILLAA IYYAAH, LAHUN NI’MATU
WALAHUL FADHLU WALAHUTS TSANAA’UL HASAN, LAA-ILAAHA ILLALLAAH
MUKHLISIHIINA LAHUD DIINA WALAU KARIHAL<br />
KAAFIRUUNA.” (Tiada sesembahan yang hak selain Allah semata yang tiada
sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala puji dan Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu. Tiada Daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Allah. Tiada
sesembahan yang hak selain Allah, dan Kami tidak beribadah selain
kepada-Nya, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, hanya bagi-Nya
ketundukan, sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai).” Dan beliau
(Ibnu Az-Zubair) berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
selalu bertahlil dengan kalimat ini setiap selesai shalat.” (HR. Muslim
no. 594)<br />
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:<br />
مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا
وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ
اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ
وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُوَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ
الْبَحْرِ<br />
“Barangsiapa bertasbih kepada Allah sehabis shalat sebanyak tiga
puluh tiga kali, dan bertahmid kepada Allah tiga puluh tiga kali, dan
bertakbir kepada Allah tiga puluh tiga kali, hingga semuanya berjumlah
sembilan puluh sembilan, dan untuk menggenapkan jadi seratus dia
membaca: LAA ILAHA ILLALLAHU WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU
WALAHUL HAMDU WA HUWA ALA KULLI SYAY`IN QADIR, maka
kesalahan-kesalahannya akan diampuni walau sebanyak buih di lautan.”
(HR. Muslim no. 597)<br />
<strong>Pembahasan Fiqhiah:</strong><br />
Setelah selesai shalat, maka sudah menjadi kebiasaan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat beliau untuk berzikir
dengan zikir-zikir yang warid dalam hadits-hadits di atas. Di dalam
zikir-zikir tersebut mengandung kalimat tauhid, pujian, dan pengagungan
kepada Allah, serta permohonan agar dosa-dosa diampuni.<br />
Berzikir setelah shalat merupakan hal yang disunnahkan, karenanya
tidak sepantasnya seorang muslim untuk meninggalkannya bagaimanapun
keadaannya, walaupun sekedar sebentar dan membaca salah satu dari
zikir-zikir di atas.<br />
Tidak ada dalil khusus yang menunjukkan urutan zikir yang satu
dibandingkan yang lain, karenanya seorang muslim dibolehkan untuk
memulai zikirnya dengan yang manapun dari zikir-zikir di atas.<br />
<strong>Apakah zikir-zikir ini dibaca dengan jahr atau sirr?</strong><br />
Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini:<br />
1. Ada yang menyunnahkannya. Ini adalah pendapat Imam Ath-Thabari
-dalam sebuah nukilan darinya-, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiah,
dan yang difatwakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dan Al-Lajnah
Ad-Daimah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz.<br />
Dalil pendapat pertama adalah hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dimana beliau berkata:<br />
أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي
صلى الله عليه وسلم وقالا بن عباس كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا
سمعته<br />
“Mengangkat suara dengan zikir ketika orang-orang selesai shalat
wajib adalah hal yang dulunya ada di zaman Nabi.” Ibnu Abbas berkata,
“Saya mengetahui selesainya mereka shalat jika saya mendengarnya.” (HR.
Al-Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)<br />
Dalam sebuah riwayat, Ibnu Abbas berkata:<br />
كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ<br />
بِالتَّكْبِيرِ<br />
“Aku dahulu mengetahui selesainya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dari suara takbir.” (HR. Al-Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)<br />
Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla (4/260), “Meninggikan suara ketika berzikir di akhir setiap shalat adalah amalan yang baik.”<br />
<strong>Catatan:</strong><br />
Bagi yang menyunnahkan berzikir dengan suara jahr, bukan berarti
membolehkan zikir secara berjamaah yang dipimpin oleh satu orang, karena
amalan ini merupakan amalan yang bid’ah. Akan tetapi yang mereka
maksudkan adalah setiap orang menjahrkan sendiri-sendiri bacaan
zikirnya.<br />
Asy-Syathibi berkata dalam Al-I’tisham (1/351), “Berdoa secara
berjamaah secara terus-menerus bukanlah amalan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, sebagaimana itu juga bukan berasal dari sabda dan
persetujuan beliau.”<br />
2. Hukumnya makruh kecuali jika imam ingin mengajari makmum bacaan
zikir. Ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’i, Ath-Thabari -dalam
sebagian nukilan lainnya- dan mayoritas ulama, dan ini yang dikuatkan
oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar, Ibnu Baththal, An-Nawawi, Asy-Syaikh
Jamaluddin Al-Qasimi, Asy-Syaikh Al-Albani.<br />
Dalil-dalil pendapat kedua:<br />
a. Allah Ta ’ala berfirman:<br />
ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها<br />
“Dan janganlah kalian menjahrkan shalat kalian dan jangan pula merendahkannya.”<br />
Maksudnya: Janganlah kalian meninggikan suara kalian dalam berdoa dan
jangan pula merendahkan suaramu sampai-sampai kamu sendiri tidak bisa
mendengarnya.<br />
b. Asy-Syaikh Ali Mahfuzh berkata, “Bagaimana boleh suara ditinggikan
dalam zikir sementara Allah Ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya yang
bijaksana, “Berdoalah kalian kepada Rabb kalian dalam keadaan merendah
dan suara rendah, sesungguhnya Dia tidak mencintai orang-orang yang
melampau batas.” Maka mengecilkan suara lebih dekat kepada keikhlasan
dan lebih jauh dari riya`.” (Al-Ibda’ fii Madhaarr Al-Ibtida’ hal. 283)<br />
c. Dari Abu Musa Al-Asy’ari beliau berkata:<br />
كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فكنا إذا أشرفنا على واد هللنا
وكبرنا ارتفعت أصواتنا فقال النبي صلى الله عليه وسلم يا أيها الناس
اربَعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا غائبا إنه معكم إنه سميع
قريب تبارك اسمه وتعالى جده<br />
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (dalam
perjalanan). Jika kami mendaki bukit maka kami bertahlil dan bertakbir
hingga suara kami meninggi. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Wahai sekalian manusia, kasihanilah (baca: jangan paksakan)
diri-diri kalian, karena sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada Zat
yang tuli dan juga tidak hadir. Sesungguhnya Dia -yang Maha berkah
namanya dan Maha tinggi kemuliaannya- mendengar dan dekat dengan
kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704)<br />
Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath (6/135), “At-Thabari berkata: Dalam
hadits ini terdapat keterangan dibencinya meninggikan suara ketika
berdoa dan berzikir. Ini adalah pendapat segenap para ulama salaf dari
kalangan sahabat dan tabi’in.”<br />
d. Berzikir dengan suara jahr akan mengganggu orang lain yang juga
sedang berzikir, bahkan bisa mengganggu orang yang masbuk. Apalagi di
zaman ini hampir tidak ditemukan satupun masjid kecuali ada yang masbuk
di dalamnya, illa masya`allah.<br />
e. Imam berzikir dengan suara jahr akan membuka wasilah kepada bid’ah zikir dan doa berjamaah.<br />
Pendapat yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini adalah
pendapat Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berdasarkan dalil-dalil yang
tersebut di atas.<br />
Adapun dalil pihak pertama, maka kesimpulan jawaban dari para ulama yang merajihkan pendapat kedua adalah:<br />
a. Hadits Ibnu Abbas tidaklah menunjukkan bahwa hal itu berlangsung
terus-menerus. Karena kalimat ‘كُنْتُ (aku dahulu)’ mengisyaratkan
bahwa hal ini tidak berlangsung lagi setelahnya. Karenanya Imam
Asy-Syafi’i menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
mengeraskan zikirnya hanya untuk mengajari para sahabat bacaan zikir
yang dibaca setelah shalat. Adapun setelah mereka mengetahuinya maka
beliaupun tidak lagi mengeraskan bacaan zikirnya. Demikian diterangkan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kaset silsilah Al-Huda wa An-Nur no.
439.<br />
b. Hal ini diperkuat dengan hadits Aisyah riwayat Muslim di atas yang
menunjukkan bahwa setelah beliau salam maka beliau tidak duduk di
tempatnya kecuali sekedar membaca zikir yang tersebut di atas.<br />
Sebagai penutup, dan sekedar tambahan faidah. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiah sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa (15/15-19) menyebutkan 10
faidah merendahkan suara dalam berdoa dan berzikir. Barangsiapa yang
ingin mengetahuinya maka hendaknya dia merujuk kepadanya.<br />
[Referensi: Kaset Silsilah Al-Huda wa An-Nur no. 206, 439, dan 471,
risalah mengenai hukum meninggikan suara zikir setelah shalat oleh Ihsan
bin Muhammad Al-Utaibi, dan Majmu’ Al-Fatawa Ibnu Al-Utsaimin
13/247,261]<br />
Sumber: <a href="http://al-atsariyyah.com/?p=2034"> http://al-atsariyyah.com/?p=2034</a>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-58410178613891297662012-12-16T09:14:00.001+07:002012-12-16T09:14:16.148+07:00Meringankan Shalat ketika Anak Menangis<header class="entry-header">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHlNnfrkUL6RJWFcqDgAeEDpPgxHoZOo6ECCjGQeGltrjdaZHsUgRScX5R0IrxBZrv8cSzs2E6Y6vwTnRq6mYQkBFkko9KRtVuM9QHfNzJ3qNmLpWKfQMq9izsSaJ6Y3huL1iaa2rwXz-L/s1600/173140_1754603194_271711615_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHlNnfrkUL6RJWFcqDgAeEDpPgxHoZOo6ECCjGQeGltrjdaZHsUgRScX5R0IrxBZrv8cSzs2E6Y6vwTnRq6mYQkBFkko9KRtVuM9QHfNzJ3qNmLpWKfQMq9izsSaJ6Y3huL1iaa2rwXz-L/s400/173140_1754603194_271711615_n.jpg" width="400" /></a></div>
<h1 class="entry-title">
<br /></h1>
<div class="entry-meta">
<span class="sep"><br /></span><span class="author vcard"><a class="url fn n" href="http://yaaukhti.wordpress.com/author/fadhlihsan/" title="Tampilkan semua tulisan oleh Fadhl Ihsan"></a></span> </div>
</header>
<b>Pertanyaan:</b> Di dalam Ash Shahih dari hadits Abu Qatadah,
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meringankan shalatnya,
manakala mendengar tangisan anak kecil. Apa sebab peringanan tersebut?<span id="more-485"></span><br />
<b>Jawaban:</b><br />
Sebabnya adalah belas kasihan dan pemeliharaan terhadap anak-anak,
terlebih lagi bila seseorang shalat sementara anaknya menangis. Dan ini
bukanlah suatu hukum yang dikhususkan untuk seorang saja, bahkan kepada
seluruh umat. Apabila seseorang mendengar tangisan bayi, maka hendaklah
dia meringankan. Maka terkadang ayahnya akan tersibukkan. Demikian pula
ibunya apabila dia shalat, maka dia akan tersibukkan darinya. Sehingga
hati itu tersibukkan lagi tidak khusyuk ketika shalat. Sebab
(peringanan) tersebut disebutkan di dalam sebuah hadits, “Sebagai belas
kasihan terhadap ibunya.”<br />
Demikian juga, orang yang lain akan tersibukkan dari shalat mereka.
Oleh karena itu hendaklah diringankan. Maka apabila seseorang hendak
memanjangkan (shalat) dan dia telah berniat untuk memanjangkannya, namun
sementara itu dia mendengar tangisan anak kecil. Hendaklah diringankan
sebagaimana petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam
dua hadits ini dan selainnya.<br />
Sumber: Anak Amanah Ilahi karya Asy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuri
(penerjemah: Abu Abdurrahman Abdul Aziz As Salafy dan Ummu Abdurrahman),
penerbit: Penerbit Al-Husna bekerja sama dengan Al Fath Media, hal.
92-93.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-26814318499143912022012-12-16T09:12:00.002+07:002012-12-16T09:12:47.657+07:00Shalat Sambil Menggendong Anak<header class="entry-header">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHlNnfrkUL6RJWFcqDgAeEDpPgxHoZOo6ECCjGQeGltrjdaZHsUgRScX5R0IrxBZrv8cSzs2E6Y6vwTnRq6mYQkBFkko9KRtVuM9QHfNzJ3qNmLpWKfQMq9izsSaJ6Y3huL1iaa2rwXz-L/s1600/173140_1754603194_271711615_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHlNnfrkUL6RJWFcqDgAeEDpPgxHoZOo6ECCjGQeGltrjdaZHsUgRScX5R0IrxBZrv8cSzs2E6Y6vwTnRq6mYQkBFkko9KRtVuM9QHfNzJ3qNmLpWKfQMq9izsSaJ6Y3huL1iaa2rwXz-L/s320/173140_1754603194_271711615_n.jpg" width="320" /></a></div>
<h1 class="entry-title">
<br /></h1>
<div class="entry-meta">
<span class="sep"><br /></span><span class="author vcard"><a class="url fn n" href="http://yaaukhti.wordpress.com/author/fadhlihsan/" title="Tampilkan semua tulisan oleh Fadhl Ihsan"></a></span> </div>
</header>
<b>Pertanyaan:</b> Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sambil
menggendong Umamah sebagaimana di dalam Ash Shahih, apakah hal ini
secara mutlak atau disyaratkan hendaknya anak itu suci dari kotoran?<span id="more-487"></span><br />
<b>Jawaban:</b><br />
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dalam keadaan menggendong
Umamah. Ini merupakan bentuk kasih sayang terhadap anak-anak dan
bayi-bayi. Karena apabila mereka menangis sementara seseorang sedang
shalat. Terkadang tangisan mereka menyibukkan dia dari shalatnya. Allah
ta’ala berfirman,<br />
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.” (Al Ahzab: 4)<br />
Demikian pula seorang ibu terkadang tersibukkan dari shalatnya. Namun
bilamana dia menggendong anaknya sebagaimana yang diperbuat oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu apabila dia ruku’ maka dia letakkan
anaknya. Dan apabila dia bangkit lalu dia menggendongnya. Maka anak itu
menjadi tenang dari tangisannya, sehingga orang yang menjaganya menjadi
khusyu’ dalam shalatnya. Dan dia menjadi perhatian terhadap anak
tersebut karena rasa kasih sayang kepadanya.<br />
Adapun perkara yang berkaitan dengan syarat suatu kesucian. Bila dia
bisa terhindar dari kotorannya, maka tidak mengapa yang demikian. Namun
apabila terdapat kotoran padanya, semisal air kencing atau selainnya,
maka tidak boleh. Dan kisah Umamah dikemungkinkan bahwa dia dalam
keadaan bersih dari najis kencing atau tahi, sebagaimana yang telah
disebutkan oleh para ulama rahimahumullah.<br />
<b>Sumber:</b> Anak Amanah Ilahi karya Asy Syaikh Yahya bin Ali Al
Hajuri (penerjemah: Abu Abdurrahman Abdul Aziz As Salafy dan Ummu
Abdurrahman), penerbit: Penerbit Al-Husna bekerja sama dengan Al Fath
Media, hal. 88-89.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-74461692724384459062012-12-16T09:09:00.003+07:002012-12-16T09:09:41.932+07:00Cara Thaharah dan Shalat Bagi Orang yang Sakit<header class="entry-header">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHlNnfrkUL6RJWFcqDgAeEDpPgxHoZOo6ECCjGQeGltrjdaZHsUgRScX5R0IrxBZrv8cSzs2E6Y6vwTnRq6mYQkBFkko9KRtVuM9QHfNzJ3qNmLpWKfQMq9izsSaJ6Y3huL1iaa2rwXz-L/s1600/173140_1754603194_271711615_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHlNnfrkUL6RJWFcqDgAeEDpPgxHoZOo6ECCjGQeGltrjdaZHsUgRScX5R0IrxBZrv8cSzs2E6Y6vwTnRq6mYQkBFkko9KRtVuM9QHfNzJ3qNmLpWKfQMq9izsSaJ6Y3huL1iaa2rwXz-L/s320/173140_1754603194_271711615_n.jpg" width="320" /></a></div>
<h1 class="entry-title">
<br /></h1>
<div class="entry-meta">
<span class="sep"><br /></span><span class="author vcard"><a class="url fn n" href="http://yaaukhti.wordpress.com/author/fadhlihsan/" title="Tampilkan semua tulisan oleh Fadhl Ihsan"></a></span> </div>
</header>
Inilah beberapa hukum yang dikhususkan bagi orang yang sakit,
dalam kaitannya dengan thaharah (bersuci) dan shalat, sebagaimana yang
ditulis Fadhilatusy Syaikh Al-Utsaimin.<span id="more-445"></span><br />
Syaikh berkata, “Ini merupakan tulisan ringkas tentang apa yang harus
dilakukang orang yang sedang sakit dalam thaharah dan shalatnya. Orang
yang sakit mempunyai hukum-hukum yang khusus, dan keadaannya mendapat
perhatian yang khusus pula dalam syariat Islam. Sebab Allah telah
mengutus Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa
kebenaran dan kelonggaran yang didasarkan kepada kemudahan. Allah
berfirman:<br />
“Dia sekali-kali tidak menjadikam untuk kalian dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78)<br />
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (Al-Baqarah: 185)<br />
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupam kalian dan dengarlah serta taatlah.” (At-Taghabun: 16)<br />
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,<br />
“Sesungguhnya agama itu adalah mudah.”<br />
Beliau juga bersabda,<br />
“Jika aku memerintahkan suatu perintah kepada kalian, maka lakukanlah menurut kesanggupan kalian.”<br />
Berdasarkan kaidah yang fundamental ini, Allah memberi keringanan
dalam beribadah kepada orang-orang yang lemah, menurut kadar
kelemahannya, agar mereka tetap bisa beribadah kepada Allah tanpa merasa
kesulitan dan keberatan. Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin.<br />
<strong>Adapun cara bersuci bagi orang yang sakit adalah:</strong><br />
1. Orang yang sakit harus bersuci dengan air, wudhu dan hadats kecil dan mandi dari hadats besar.<br />
2. Jika tidak sanggup bersuci dengan menggunakan air karena
kondisinya yang memang lemah atau karena khawatir sakitnya bertambah
parah atau menunda kesembuhannya, maka dia boleh bertayammum.<br />
3. Adapun cara bertayammum: Telapak tangan ditempelkan di debu yang
bersih dengan sekali tempelan, lalu ditepis-tepiskan agar debunya tidak
terlalu banyak, lalu mengusap ke seluruh wajah. Kemudian menempelkan
lagi di debu, lalu saling diusapkan tangan antara yang satu dan lainnya.<br />
4. Jika dia sendiri tidak bisa wudhu atau tayammum, maka orang lain bisa mewudhukan atau menayammuminya.<br />
5. Jika di sebagian anggota thaharah terdapat luka, maka dia tetap
harus membasuhinya dengan air. Namun jika terkena air, luka itu
bertambah parah, maka tangannya cukup dibasahi air, lalu diusapkan di
permukaan luka sekedarnya saja. Jika ini pun tidak memungkinkan, maka
dia bisa bertayammum.<br />
6. Jika anggota thaharah ada yang patah, lalu ditutup perban atau
digips, maka dia cukup mengusapnya dengan air dan tidak perlu
bertayammum. Sebab usapan itu sudah dianggap sebagai pengganti dari
mandi.<br />
7. Boleh mengusapkan tangan ke dinding saat tayammum, atau ke tempat
lain yang memang suci dan juga mengandung debu. Jika dinding itu
dilapisi sesuatu yang bukan dari jenis tanah, seperti dicat, maka tidak
boleh tayammum padanya, kecuali memang di situ ada unsur debunya.<br />
8. Jika tidak memungkinkan tayammum di tanah atau di dinding atau
sesuatu yang ada debunya, maka boleh saja meletakkan tangan di sapu
tangan umpamanya, yang di atasnya ditaburi debu.<br />
9. Jika dia tayammum untuk satu shalat, kemudian tetap dalam keadaan
suci hingga masak waktu shalat berikutnya, maka dia bisa shalat dengan
tayammum untuk shalat yang pertama. Sebab dia masih dalam keadaan suci
dan tidak ada sesuatu pun yang membatalkannya.<br />
10. Orang yang sakit harus membersihkan badannya dari berbagai jenis
najis selagi dia sanggup untuk melakukannya. Jika tidak bisa, maka dia
bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun, dan tidak perlu mengulang
shalatnya setelah suci.<br />
11. Orang yang sakit harus shalat dengan pakaian yang suci. Jika di
pakaiannya ada najis, maka dia harus mencucinya atau menggantinya dengan
pakaian lain yang suci. Jika tidak memungkinkan, maka dia bisa shalat
dalam keadaan seperti apa pun, dan tidak perlu mengulang shalatnya
setelah suci.<br />
12. Orang yang sakit harus shalat di atas sesuatu atau di tempat yang
suci. Jika tempatnya itu ada najisnya, maka harus dicuci atau diganti
dengan yang suci atau dilapisi sesuatu yang suci. Apabila tidak
memungkinkan, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun dan
tidak perlu mengulang shalatnya setelah suci.<br />
13. Orang yang sakit tidak boleh menangguhkan shalatnya dari waktunya
karena alasan ketidakmampuan dalam bersuci. Dia harus bersuci menurut
kesanggupannya, kemudian shalat pada waktunya, sekalipun di badan,
pakaian atau tempatnya terdapat najis.<br />
<strong>Adapun cara shalatnya sebagai berikut:</strong><br />
1. Orang yang sakit harus mendirikan shalat wajib dalam keadaan
berdiri, sekalipun agak miring atau sambil bersandar ke dinding atau ke
tongkat.<br />
2. Jika tidak bisa berdiri, dia bisa mendirikan shalat sambil duduk.
Yang paling baik ialah duduk sambil menyilangkan kaki kiri di bawah paha
kanan di tempat ruku’ dan sujud.<br />
3. Jika tidak bisa shalat sambil duduk, maka dia berbaring pada
lambungnya dengan menghadap ke arah kiblat. Yang paling baik adalah pada
lambung kanan. Jika tidak memungkinkan berbaring pada lambung bagian
kanan dan tidak bisa menghadap ke arah kiblat, dia bisa shalat seperti
apa pun keadaannya, dan tidak perlu mengulang shalatnya.<br />
4. Jika tidak bisa berbaring pada lambungnya, maka dia bisa berbaring
menghadap ke atas, dan kedua kakinya menghadap ke arah kiblat. Yang
paling baik ialah sedikit mengangkat kepalanya, agar bisa menghadap ke
arah kiblat. Jika cara ini tidak memungkinkan, maka dia bisa shalat
seperti apa pun keadaannya, dan tidak perlu mengulang shalatnya.<br />
5. Orang yang sakit harus ruku’ dan sujud dalam shalatnya. Jika tidak
sanggup, maka dia bisa menganggukkan kepala, dan anggukan sujud lebih
rendah daripada anggukan ruku’. Jika dia bisa ruku’ dan tidak bisa
sujud, maka dia harus tetap ruku’, sedangkan sujud cukup dengan
menganggukkan kepala. Jika bisa sujud dan tidak bisa ruku’, maka dia
harus sujud dan menganggukan kepala tatkala ruku’.<br />
6. Jika tidak bisa menganggukkan kepala tatkala ruku’ dan sujud, maka
dia bisa memberi isyarat dengan matanya, dengan sedikit memejam tatkala
ruku’ dan lebih banyak memejamkan mata tatkala sujud. Sedangkan memberi
isyarat dengan tangan seperti yang biasa dilakukan sebagian orang
adalah tidak benar, sebab memang tidak ada dasarnya di dalam Al-Qur’an,
Sunnah maupun pendapat para ulama.<br />
7. Jika tidak bisa menganggukkan kepala atau memberi isyarat dengan
matanya, maka dia bisa shalat dengan hatinya. Dia niat, bertakbir,
membaca, ruku’, sujud, berdiri dan duduk dengan gerakan hatinya.<br />
8. Orang yang sakit harus mengerjakan setiap shalat tepat pada
waktunya dan mengerjakannya menurut kesanggupannya. Jika kesulitan
melakukan shalat tepat pada waktunya, maka dia bisa menjama’ shalat
zhuhur dan ashar, maghrib dan isya’, boleh jama’ taqdim dengan
mengerjakan shalat ashar pada waktu shalat zhuhur dan shalat isya’ pada
waktu shalat maghrib, maupun jama’ ta’khir, yaitu dengan mengerjakan dua
pasangan ini pada waktu shalat yang kedua. Dia bisa memilih mana yang
lebih mudah baginya. Sedangkan shalat subuh tidak bisa dijama’.<br />
9. Jika orang yang sakit dalam perjalanan, karena dia hendak berobat
di luar daerahnya, maka dia bisa meng-qashar shalat yang terdiri dari
empat rakaat, sehingga dia bisa shalat zhuhur, ashar dan isya’ dengan
dua rakaat, hingga kembali ke daerahnya, baik masanya lama maupun
sebentar.<br />
[Catatan: Kalau orang yang sakit secara tiba-tiba dalam shalat
membaik, lalu bisa melakukan seluruh gerakan yang sebelumnya tidak bisa
dilakukan, seperti berdiri, duduk, rukuk, sujud atau sekedar memberi
isyarat, maka ia harus beralih ke cara normal untuk sisa shalatnya.
-pen.]<br />
<strong>Fatwa-fatwa tentang Thaharah dan Shalatnya Orang Sakit</strong><br />
<strong>1. Orang yang tidak mengerjakan beberapa shalat wajib, bagaimana cara mengqadha’nya?</strong><br />
Syaikh Muhammad bin Utsaimin ditanya tentang orang sakit yang
dioperasi, sehingga dia tidak sempat mengerjakan beberapa shalat. Apakah
dia harus mengerjakan (mengqadha’) shalat-shalat itu semuanya setelah
sembuh sekaligus, ataukah mengerjakannya sesuai dengan waktunya
masing-masing? Dengan kata lain, apakah dia harus mengqadha’ shalat
subuh yang tertinggal pada waktu shalat subuh setelah dia sembuh, shalat
zhuhur pada waktu shalat zhuhur dan seterusnya?<br />
Syaikh menjawab, “Dia harus mengqadha’nya sekaligus pada satu waktu.
Sebab tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sempat mengerjakan
shalat ashar pada saat perang Khandaq, maka beliau mengerjakan
(mengqadha’)nya sebelum shalat maghrib. Jadi, jika seseorang ketinggalan
tidak mengerjakan beberapa shalat wajib, maka dia harus mengerjakannya
sekaligus semuanya dan tidak boleh<br />
menangguhkannya.”<br />
<strong>2. Thaharah dan shalat orang yang tidak kuat menahan keluarnya kencing.</strong><br />
Syaikh berkata, “Dia tidak boleh wudhu untuk shalat kecuali setelah
masuk waktu shalat. Setelah mencuci kemaluannya, dia bisa melapisi
dengan sesuatu agar air kencingnya tidak mengenai pakaian dan badannya.
Sesudah itu dia bisa wudhu dan shalat. Dia bisa shalat beberapa kali
shalat wajib dan nafilah. Jika ingin mengerjakan shalat nafilah bukan
pada waktu shalat, maka dia bisa mengerjakan cara serupa, lalu wudhu dan
shalat.”<br />
<strong>3. Orang yang terus-menerus kentut, bagaimana cara bersuci dan shalatnya?</strong><br />
Syaikh berkata, “Jika tidak memungkinkan baginya untuk menahan
kentut, artinya kentut itu keluar tanpa disengaja, maka hukumnya sama
dengan hukum orang yang tidak kuat menahan keluarnya kencing. Dia bisa
wudhu setelah masuk waktu shalat lalu mendirikan shalat. Jika waktu
kentut itu disertai keluarnya kotoran tepat pada waktu shalat, maka
shalatnya tidak batal. Allah telah berfirman:<br />
“Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (At-Taghabun: 16)<br />
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan<br />
kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)<br />
<strong>4. Apakah wudhu menjadi batal karena pingsan?</strong><br />
Syaikh menjawab pertanyaan ini, “Benar. Pingsan membatalkan wudhu,
sebab pingsan lebih parah daripada tidur. Sementara tidur sendiri
membatalkan wudhu jika terlalu lelap. Sebab orang yang tidur terlelap
tidak bisa tahu andaikata ada sesuatu yang keluar darinya.”<br />
<strong>5. Jika ada di badan orang yang sakit, bisakah dia bertayammum?</strong><br />
Syaikh menjawab pertanyaan ini, “Dia tidak boleh bertayammum dalam
keadaan seperti itu. Jika memungkinkan, dia harus mencuci najis itu.
Jika tidak, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun tanpa
harus tayammum. Sebab tayammum tidak berpengaruh terhadap hilangnya
najis. Yang dituntut darinya adalah kebersihan badannya dari najis.
Jadi, sekalipun dia tayammum, toh najisnya tidak hilang dari badan dan
tidak bisa menghilangkan najis dari badan.”<br />
<strong>6. Jika orang yang sakit mengalami junub, padahal dia tidak memungkinkan menggunakan air, maka apakah dia boleh tayammum?</strong><br />
Syaikh menjawab, “Jika orang yang sakit junub, padahal dia tidak bisa
menggunakan air, maka dia boleh bertayammum. Hal ini didasarkan kepada
firman Allah,<br />
“Dan, jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak
memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih),
sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah itu.” (Al-Maidah: 6)<br />
<strong>7. Qadha shalat orang yang hilang kesadarannya karena bius atau penyakit.</strong><br />
Syaikh berkata tentang masalah ini, “Selagi kesadaran orang yang
sakit itu hilang karena bius atau karena penyakitnya yang sudah akut,
maka dia harus mengqadha’ semua shalatnya yang tertinggal setelah
kesadarannya menjadi normal, secara berurutan dan sesegera mungkin
mengerjakannya menurut kesanggupannya. Hal ini didasarkan kepada hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,<br />
“Barangsiapa tidur dan tidak mengerjakan shalat atau lupa<br />
mengerjakannya, maka hendaklah dia mengerjakannya selagi dia
mengingatnya, tidak ada kafarat bagi shalatnya itu kecuali hanya itu.”<br />
Tidak dapat diragukan, orang yang pingsan karena sakit, atau karena
dibius selama sehari, dua hari, tiga hari dan seterusnya, hukumnya sama
dengan hukum orang yang tidur. Dia tidak boleh menangguhkan
shalat-shalat yang tertinggal itu hingga dia mengerjakan yang sama.
Bahkan dia harus langsung mengerjakan (mengqadha’)nya setelah
kesadarannya menjadi normal. Tak berbeda dengan orang yang tertidur
setelah bangun dan orang yang lupa setelah ingat. Jika tidak bisa
menggunakan air, maka dia boleh bertayammum.”<br />
<strong>8. Orang yang pingsan harus mengqadha’ shalat, jika jangka waktu pingsannya tidak lama.</strong><br />
Syaikh Abdul Aziz diberi sebuah pertanyaan, “Sebagian orang ada yang
mengalami kecelakaan mobil atau lainnya, lalu mengalami gegar otak dan
tidak sadar selama tiga hari, atau boleh jadi seseorang pingsan selama
itu. Apakah orang semacam ini harus mengqadha’ shalat-shalat yang tidak
sempat dikerjakan jika kesadarannya sudah pulih?”<br />
Syaikh menjawab, “Jika jangka waktunya hanya sebentar, seperti tiga hari atau lebih sedikit dari itu, maka dia harus mengqadha’<br />
shalat-shalatnya. Sebab pingsan atau tidak sadar selama jangka waktu itu
bisa diserupakan dengan tidur, sehingga tidak ada alasan untuk tidak
mengqadha’. Pernah diriwayatkan dari sejumlah shabat, bahwa mereka
pernah pingsan selama kurang dari tiga hari, dan mereka mengqadha’
shalatnya.<br />
Namun jika jangka waktunya lebih dari tiga hari, maka dia tidak perlu
mengqadha’. Hal ini didasarkan kepada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam,<br />
“Kewajiban dibebaskan dari tiga orang, yaitu dari orang tidur hingga
bangun, dari anak kecil hingga baligh, dari orang gila hingga kembali
sadar.”<br />
Orang yang tidak sadar lebih dari tiga hari, diserupakan dengan orang gila yang hilang kesadarannya secara total.”<br />
<strong>9. Orang yang sakit tidak boleh menangguhkan shalatnya hingga sembuh, dengan alasan tidak mampu bersuci atau karena sulit<br />
menghindari najis.</strong><br />
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata tentang masalah ini, “Sakit tidak
menghalangi untuk melaksanakan shalat, dengan alasan tidak mampu
bersuci, selagi ingatannya masih normal. Orang yang sakit harus shalat
menurut kesanggupannya. Dia harus bersuci dengan menggunakan air selagi
sanggup. Jika tidak sanggup menggunakan air, maka dia bertayammum lalu
shalat. Dia juga harus menghilangkan najis dari badan dan pakaiannya
waktu shalat, atau menggantinya dengan pakaian lain yang tidak ada
najisnya. Jika tidak sanggup menghilangkan najis atau mengganti dengan
pakaian lain yang suci, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti itu,
karena Allah telah berfirman,<br />
“Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (At-Taghabun: 16)<br />
<strong>10. Sakit syaraf tidak membebaskan kewajiban, selagi kesadarannya normal.</strong><br />
Syaikh Ibnu Utsaimin mendapat lontaran pertanyaan, “Seseorang yang
mendapat gangguan syaraf setelah sekian lama menurut analisis dokter,
sehingga penyakitnya itu menyebabkan berbagai masalah, seperti suka
menggertak orang tuanya sendiri, takut secara berlebihan, gelisah dan
hanya diam saja, apakah tidak perlu mengerjakan kewajiban-kewajiban
syariat? Apakah dia berdosa karenanya? Apa nasehat Syaikh?”<br />
Syaikh menjawab, “Dia tidak terbebas dari hukum-hukum syariat selagi
kesadarannya masih normal. Namun jika kesadaran dan ingatannya sudah
hilang serta tidak bisa menguasai ingatannya, maka dia terbebas dari
segala kewajiban. Nasehat kami, hendaklah dia banyak berdoa dan memohon
ampunan kepada Allah, berlindung kepada Allah dari bisikan syetan yang
terlaknat tatkala emosinya tak terkendali. Siapa tahu Allah akan
menganugerahkan kesembuhan kepadanya.”<br />
<strong>11. Muntah bukan najis dan tidak membatalkan wudhu.</strong><br />
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang muntah, apakah ia najis dan membatalkan wudhu?<br />
Syaikh menjawab, “Yang benar, muntah itu tidak membatalkan wudhu, dan
segala hal yang keluar dari badan manusia tidak membatalkan wudhu,
kecuali dari dua jalan: kemaluan dan dubur. Karena memang dalil tidak
ada. Lalu apakah muntah itu najis? Menurut jumhur, muntah adalah najis.
Tetapi kami tidak mendapatkan satu dalil pun yang mendukung pendapat
ini. Kalau begitu, pada dasarnya muntah adalah suci hingga ada dalil
yang menunjukkan bahwa ia adalah najis. Muntah ini tidak bisa diqiyaskan
kepada kencing atau kotoran, karena ada perbedaan hakekat antara
keduanya jika dilihat dari segi kotor, bau dan kebusukannya. Maka kentut
yang keluar dari dubur (anus) membatalkan wudhu, sedangkan sendawa
tidak membatalkan wudhu, sekalipun<br />
kedua-duanya berupa angin yang keluar dari perut. Jadi apa yang ada di
dalam perut bukanlah kotoran. Sebab kalau tidak, tidak ada perbedaan
antara keduanya. Memang tidak diragukan, jika harus berhati-hati dengan
menghindarinya atau mencuci pakaian atau badan yang terkena muntah.”<br />
<strong>12. Bagaimana shalatnya orang yang sakit, jika tempat tidur para pasien tidak menghadap ke arah kiblat?</strong><br />
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh
menjawab, “Memang para penanggung jawab di rumah sakit harus menaruh
perhatian hingga masalah ini. Mereka harus merancang tempat tidur pasien
mengarah ke kiblat, sehingga tidak merepotkan para pasien. Jika orang
yang sakit bisa mengubah tempat tidur ke arah kiblat, maka hendaklah dia
melakukannya. Jika tidak dapat, maka dia bisa shalat dalam keadaan
seperti apa pun, sehingga hal ini bisa dimasukkan ke dalam keumuman
firman Allah,<br />
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115)<br />
<strong>13. Jika kasurnya empuk, sahkah orang yang sakit shalat di atasnya?</strong><br />
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh
menjawab, “Jika kasurnya amat empuk, maka boleh saja shalat di atasnya,
asalkan dilapisi sesuatu di tempat kening dan tangannya. Sebab bila
dilapisi, maka permukaannya menjadi keras. Jika kening ditempelkan di
kasur yang empuk, tentu letak penempelan itu tidak layak, sehingga
sujudnya juga tidak sah.”<br />
<strong>14. Kapankah posisi berdiri memjadi gugur, karena keadaan yang lemah ataukah karena kesulitan berdiri?</strong><br />
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh
menjawab, “Kedua-duanya bisa menggugurkannya. Jika seseorang tidak kuat
berdiri, maka dia boleh tidak berdiri, dan jika dia kesulitan untuk
berdiri, dalam pengertian kekhusyukannya akan terganggu jika berdiri,
maka dia juga boleh tidak berdiri. Hal ini didasarkan kepada keumuman
firman Allah,<br />
“Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.”<br />
Di samping itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,<br />
“Shalatlah dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan duduk. Jika tidak mampu, maka dengan telentang di atas lambung.”<br />
<strong>15. Jika tidak bisa memberi isyarat dengan kepala, bolehkah memberi isyarat dengan mata?</strong><br />
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh
menjawab, “Tidak pernah disebutkan di dalam Sunnah yang shahih, bahwa
orang yang tidak bisa memberi isyarat dengan kepalanya, bisa memberi
isyarat dengan matanya. Hadits yang dijadikan dalil para fuqaha mengenai
hal ini adalah hadits dha’if. Maka dari itu Syaikhul Islam berpendapat,
tidak perlu shalat sambil memberi isyarat dengan mata. Yang jelas, jika
tidak ada dalil yang shahih, maka orang yang sakit tidak boleh memberi
isyarat dengan matanya. Karena shalat itu merupakan ibadah, berarti
harus ada perkenan dari syariat. Berdasarkan kaidah ini, maka dapat kami
katakan, jika tidak dapat memberi isyarat dengan kepala, maka gerakan
macam apa pun menjadi gugur, dan cukup hanya dengan hati saja.” [1]<br />
Footnote:<br />
[1] Berarti ada perbedaan pendapat antara pendapat Syaikh Ibnu
Utsaimin dengan pengarang, sebagaimana yang diuraikan sebelum ini, pent.<br />
NB: Tulisan dalam tanda [...] adalah tambahan dari admin, diambil
dari buku “Berbahagialah Wahai Orang Sakit!” karya Dr. Muhammad
Al-Burkan, terbitan Pustaka At-Tibyan hal. 49.<br />
Sumber: Hiburan Bagi Orang Sakit karya Abdullah bin Ali Al-Ju’aitsin
(penerjemah: Kathur Suhardi), penerbit: Pustaka Al-Kautsar cet. Kelima,
November 1999, hal. 191-206.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-16964940414829325732012-12-16T09:08:00.000+07:002012-12-16T09:08:45.965+07:00Tuntunan dalam Berziarah Kubur<header class="entry-header">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEii7Osb-Ucj23fpO8HR_vVnCHzncY2soO9hXIbAnFdUQU_Km_spu97C7ozLhmaAdUUQXEwSk7tHAZHApwiZbNvrLVHrCwOtnou80g26CntpxW-EQDEWrZituCHRhXSSN4eZhgkNI3nmb4qK/s1600/76362_1336081581816_1824393436_652731_1468552_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEii7Osb-Ucj23fpO8HR_vVnCHzncY2soO9hXIbAnFdUQU_Km_spu97C7ozLhmaAdUUQXEwSk7tHAZHApwiZbNvrLVHrCwOtnou80g26CntpxW-EQDEWrZituCHRhXSSN4eZhgkNI3nmb4qK/s320/76362_1336081581816_1824393436_652731_1468552_n.jpg" width="320" /></a></div>
<h1 class="entry-title">
<br /></h1>
<div class="entry-meta">
<span class="sep"><br /></span><span class="author vcard"><a class="url fn n" href="http://yaaukhti.wordpress.com/author/fadhlihsan/" title="Tampilkan semua tulisan oleh Fadhl Ihsan"></a></span> </div>
</header>
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,<br />
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ ، فَزُوْرُوْهَا لِتَذْكِرِكُمْ زِيَارَتُهَا خَيْراً<br />
“Dahulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, (kini)
berziarahlah, agar ziarah kubur itu mengingatkanmu berbuat kebajikan.”
(HR. Ahmad, hadits sahih)<br />
Di antara yang perlu diperhatikan dalam ziarah kubur adalah:<span id="more-543"></span><br />
1. Ketika masuk, disunahkan menyampaikan salam kepada mereka yang
telah meninggal dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengajarkan kepada para sahabat agar mengucapkan,<br />
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
وَ إِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ ، أَسْأَلُ اللهَ
لَناَ وَ لَكُمْ الْعَافِيَةَ) مِنَ الْعَذَابَ)<br />
“Semoga keselamatan tercurah untuk kalian wahai para penghuni kubur,
dari orang-orang beriman. Dan kami insya Allah akan menyusul kalian. Aku
memohon kepada Allah, untuk kami dan untuk kalian keselamatan (dari
azab).” (HR. Muslim dan lainnya)<br />
2. Tidak duduk di atas kuburan, serta tidak menginjaknya. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,<br />
لاَ تُصَلُّوْا إِلَى الْقُبُوْرِ وَ لاَ تَجْلِسُوْا عَلَيْهَا<br />
“Janganlah kalian shalat menghadap kuburan dan jangan pula duduk di atasnya.” (HR. Muslim)<br />
3. Tidak melakukan thawaf sekeliling kuburan dengan niat untuk
ber-taqarrub (mendekatkan diri kepada orang yang dikubur –pent.). Karena
Allah berfirman,<br />
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ<br />
“Dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah, Ka’bah).” (AI-Hajj: 29)<br />
4. Tidak membaca Al-Quran di kuburan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,<br />
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ
يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تـُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ
الْبَقَرَةِ<br />
“Jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan lari
dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim)<br />
Ini merupakan isyarat bahwa kuburan bukanlah tempat membaca Al-Quran,
berbeda halnya dengan rumah. Adapun hadits-hadits tentang membaca
Al-Quran di kuburan adalah tidak sahih.<br />
5. Adapun meminta pertolongan dan bantuan kepada mayit, meskipun
mayit itu seorang nabi atau wali, ini merupakan syirik besar karena
Allah berfirman,<br />
وَلا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُكَ وَلا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ <br />
“Dan janganlah kamu menyembah apa yang tidak memberi manfaat dan
tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu
berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu
termasuk orang-orang yang zhalim.” (Yunus: l06)<br />
(Orang-orang yang zhalim adalah musyrikin).<br />
6. Tidak meletakkan karangan bunga atau menaburkannya di atas kuburan
mayit karena hal ini menyerupai orang-orang Nasrani, serta
membuang-buang harta dalam perkara yang tidak bermanfaat. Apabila harta
itu disedekahkan kepada orang-orang fakir dengan niat untuk si mayit,
niscaya akan bermanfaat untuk si mayit dan bagi orang-orang fakir
tersebut.<br />
7. Dilarang membangun di atas kuburan atau menulis sesuatu dari
Al-Quran atau syair di atasnya. Sebab hal itu dilarang, “Beliau melarang
mengapur kuburan dan membangun di atasnya.”<br />
Cukup meletakkan sebuah batu setinggi satu jengkal, untuk menandai
kuburan. Dan itu sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam ketika meletakkan sebuah batu di atas kubur Utsman bin
Mazh’un, lantas beliau bersabda,<br />
أَتَعَلـَّمُ عَلَى قَبْرِ أَخِيْ<br />
“Aku memberikan tanda di atas kubur saudaraku.” (HR. Abu Daud, dengan sanad hasan)<br />
Sumber: Manhaj Al-Firqah An-Najiyah, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.<br />
Lihat: <a href="http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/02/17/bagaimana-cara-kita-menziarahi-kuburan/"> http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/02/17/bagaimana-cara-kita-menziarahi-kuburan/</a>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-53124698969074901402012-12-16T09:05:00.007+07:002012-12-16T09:05:47.224+07:00Ziarah Kubur yang Jauh dari Tuntunan Syariat<header class="entry-header">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEii7Osb-Ucj23fpO8HR_vVnCHzncY2soO9hXIbAnFdUQU_Km_spu97C7ozLhmaAdUUQXEwSk7tHAZHApwiZbNvrLVHrCwOtnou80g26CntpxW-EQDEWrZituCHRhXSSN4eZhgkNI3nmb4qK/s1600/76362_1336081581816_1824393436_652731_1468552_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEii7Osb-Ucj23fpO8HR_vVnCHzncY2soO9hXIbAnFdUQU_Km_spu97C7ozLhmaAdUUQXEwSk7tHAZHApwiZbNvrLVHrCwOtnou80g26CntpxW-EQDEWrZituCHRhXSSN4eZhgkNI3nmb4qK/s320/76362_1336081581816_1824393436_652731_1468552_n.jpg" width="320" /></a></div>
<h1 class="entry-title">
<br /></h1>
<div class="entry-meta">
<span class="sep"><br /></span><span class="author vcard"><a class="url fn n" href="http://yaaukhti.wordpress.com/author/fadhlihsan/" title="Tampilkan semua tulisan oleh Fadhl Ihsan"></a></span> </div>
</header>
Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni rahimahullah ditanya mengenai
ziarah kubur yang disyariatkan. Beliau rahimahullah menjawab, Perlu
diketahui bahwa ziarah kubur ada dua bentuk: ziarah kubur yang
disyariatkan dan ziarah kubur yang jauh dari tuntunan Islam.<span id="more-541"></span><br />
<strong>Ziarah Kubur yang Disyariatkan</strong><br />
Contoh dari ziarah kubur yang disyariatkan adalah mendoakan si mayit,
sebagaimana dibolehkan juga melaksanakan shalat jenazah untuknya. Dasar
dari hal ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menziarahi kubur
Baqi’ dan kubur pada syuhada’ Uhud. Kemudian beliau mengajari para
sahabatnya, jika mereka menziarahi kubur hendaklah membaca do’a:<br />
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إنْ
شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ يَرْحَمُ اللَّهُ
الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَمِنْكُمْ وَالْمُسْتَأْخِرِين نَسْأَلُ
اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ ، اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا
أَجْرَهُمْ وَلَا تَفْتِنَّا بَعْدَهُمْ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُمْ<br />
“Semoga keselamatan bagi kalian wahai negeri (peristirahatan
sementara) kaum mukminin, dan kami insya Allah akan bertemu kalian.
Semoga Allah merahmati kalian yang lebih dahulu dari kami dan kami pun
akan menyusul kalian. Kami memohon pada Allah keselamatan pada kami dan
kalian. Ya Allah, janganlah halangi ganjaran bagi mereka. Janganlah beri
siksaan kepada mereka setelah itu. Ampunilah dosa-dosa kami dan
mereka.”<br />
Demikian pula setiap do’a orang mukmin untuk para nabi dan selainnya,
sebagaimana kita temukan dalam pensyariatan shalawat kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam hadits yang shahih,<br />
إذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ
صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ مَرَّةً وَاحِدَةً
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِي
الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا دَرَجَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إلَّا
لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا ذَلِكَ
الْعَبْدَ فَمَنْ سَأَلَ اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ
شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَمَا مِنْ مُسْلِمٍ يُسَلِّمُ
عَلَيَّ إلَّا رَدَّ اللَّهُ عَلَيَّ رُوحِي حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ
السَّلَامَ<br />
“Jika kalian mendengar muadzin (orang yang mengumandangkan adzan),
maka katakanlah semisal yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah padaku
karena barangsiapa yang bershalawat padaku sekali, maka Allah akan
bershalawat kepadanya sebanyak 10 kali. Kemudian mintalah wasilah pada
Allah untukku karena wasilah adalah suatu derajat di surga yang hanya
diberikan pada hamba-hamba Allah. Aku berharap termasuk hamba yang
mendapatkan wasilah tersebut. Barangsiapa yang meminta pada Allah
wasilah untukku, maka ia pantas mendapatkan syafa’atku pada hari kiamat
nanti. Setiap muslim yang mengucapkan salam untukku, Allah akan
kembalikan ruhku padaku sampai aku balas salam tersebut.”<br />
<strong>Ziarah Kubur yang Jauh dari Tuntunan Islam</strong><br />
Ziarah kubur yang jauh dari tuntunan Islam adalah ziarah kubur yang
dilakukan oleh pelaku syirik yang sejenis ziarah kubur yang dilakukan
oleh orang-orang Nashrani. Mereka memaksudkan do’a pada mayit dan
beristi’anah (meminta tolong) melalui mayit yang ada di dalam kubur.
Berbagai hajat diminta melalui perantaraan penghuni kubur.<br />
Mereka pun shalat di sisi kubur dan berdoa melalui perantaraan si
mayit. Perbuatan semacam ini sama sekali tidak pernah dilakukan oleh
ulama masa silam dan para imam besar. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menutup jalan agar tidak memasuki pintu syirik dengan
melakukan semacam ini. Dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata di saat sakit menjelang kematiannya,<br />
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ يُحَذِّرُ مَا فَعَلُوا<br />
“Sungguh Allah melaknat orang Yahudi dan Nashrani yang telah
menjadikan kubur Nabi mereka sebagai masjid (layaknya tempat ibadah).
Dia telah memperingatkan apa yang mereka perbuat.” Aisyah radhiyallahu
‘anha berkata, “Seandainya bukan karena sabda beliau ini, tentu kubur
beliau akan ditampakkan di luar rumah. Sungguh dilarang jika ada yang
menjadikan kuburannya sebagai masjid.”<br />
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lima hari sebelum kematiannya,<br />
إنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ الْقُبُورَ
مَسَاجِدَ أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ فَإِنِّي
أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ<br />
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah
menjadikan kuburan (para nabi dan orang-orang shalih dari mereka)
sebagai masjid, maka janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan itu
sebagai masjid, karena sungguh aku melarang kalian dari hal itu”.”<br />
Dari sini, kita dapat melihat bahwa ziarah bentuk pertama yang
disebutkan di awal termasuk jenis amalan yang dituntunkan dan bentuk
ihsan (berbuat baik) terhadap sesama.<br />
Ziarah bentuk pertama tersebut dapat mensucikan hati sebagaimana yang
Allah perintahkan (agar berziarah kubur untuk mengingat kematian).
Sedangkan ziarah bentuk kedua termasuk bentuk syirik kepada Allah dan
termasuk tindak kezholiman karena tidak menempatkan hak Allah dan hak
hamba dengan benar. Dalam hadits yang shahih dikatakan,<br />
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ لَمَّا
أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى } الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا
إيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ { شَقَّ ذَلِكَ عَلَى أَصْحَابِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالُوا : أَيُّنَا لَمْ
يَظْلِمْ نَفْسَهُ ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إنَّمَا هُوَ الشِّرْكُ أَلَمْ تَسْمَعُوا قَوْلَ
الْعَبْدِ الصَّالِحِ : } إنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ {<br />
“Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat Allah menurunkan ayat
(yang artinya): “Orang-orang beriman yaitu mereka yang tidak mencampuri
keimanan mereka dengan kezholiman.” (QS. Al An’am: 82) Ketika mendengar
ayat tersebut, para sahabat pun menjadi gelisah. Mereka pun bertanya
pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Lantas siapakah –wahai Rasul-
yang tidak berbuat zholim pada dirinya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Sesungguhnya yang dimaksud zholim dalam ayat tersebut
adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar perkataan seorang hamba yang
sholih (yang artinya), “Sesungguhnya syirik adalah kezholiman yang
paling besar?”<br />
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />
اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ<br />
“Ya Allah, janganlah jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah.”<br />
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,<br />
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا<br />
“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq
dan nasr.” (QS. Nuh: 23)<br />
Para ulama salaf mengatakan,<br />
هَؤُلَاءِ كَانُوا قَوْمًا صَالِحِينَ فِي قَوْمِ نُوحٍ فَلَمَّا
مَاتُوا عَكَفُوا عَلَى قُبُورِهِمْ وَصَوَّرُوا تَمَاثِيلَهُمْ
فَكَانَ هَذَا أَوَّلَ عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ<br />
“Berhala-berhala yang disebutkan dalam ayat tersebut dulunya adalah
orang-orang sholih di kaum Nuh. Ketika mereka mati, kaum Nuh beri’tikaf
di kubur mereka dan membuat patung-patung yang menyerupai mereka. Inilah
awal penyembahan berhala.”<br />
Ziarah bentuk kedua ini sejenis dengan ibadahnya orang Nashrani. Hal
semacam ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum
dan para tabi’in. Mereka tidak pernah memanjatkan do’a di sisi kubur
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.<br />
Seperti ini pun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf lainnya.
Bahkan para ulama besar melarang seseorang berdiam diri di sisi kubur
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdo’a di situ. Para ulama
tersebut katakan bahwa amalan semacam ini sangat jauh dari tuntunan
Islam.<br />
Para sahabat dan para tabi’in tidak pernah melakukan hal semacam ini.
Yang mereka lakukan adalah mengucapkan salam pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan penghuni kubur lainnya, selepas itu mereka pun
pergi.<br />
Kalau kita dapat menyaksikan, Abdullah bin ‘Umar ketika memasuki
masjid Nabawi, beliau mengucapkan, “Semoga keselamatan kepadamu wahai
Rasulullah. Semoga keselamatan kepadamu wahai Abu Bakr. Semoga
keselamatan kepadamu wahai ayahku (Umar bin Khottob).” Selepas itu, Ibnu
‘Umar lekas pergi.<br />
Imam Malik dan ulama besar lainnya memiliki perkataan tegas mengenai
hal ini. Abu Yusuf dan ulama lainnya juga memiliki perkataan demikian.
Mereka berkata bahwa tidak boleh bagi seorang pun meminta kepada Allah
dengan menggunakan perantaraan seorang nabi, malaikat atau lainnya. Kaum
muslimin (yaitu para sahabat) dahulu pernah tertimpa kemarau dan
kekeringan. Namun mereka berdo’a memohon pada Allah agar diturunkan
hujan. Mereka pun berdoa atas musuh-musuhnya dan meminta agar diberi
pertolongan melalui do’a orang-orang sholih (yang masih hidup).
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />
وَهَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إلَّا بِضُعَفَائِكُمْ : بِدُعَائِهِمْ وَصَلَاتِهِمْ وَإِخْلَاصِهِمْ<br />
“Sungguh kalian akan diberi pertolongan dan diberi rizki berkat do’a
orang-orang lemah di antara kalian, yaitu berkat do’a, shalat dan
keikhlasan mereka.”<br />
Namun lihatlah, mereka tidak pernah sama sekali memanjatkan do’a di
sisi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang sholih (yang
sudah mati). Mereka pun tidak melaksanakan shalat di sisi kuburan dan
tidak meminta hajat darinya. Mereka pun tidak bersumpah atas nama Allah
melalui perantaraan orang yang sudah mati, semisal dengan mengatakan:
“Aku meminta pada Allah dengan hak si fulan dan si fulan.” Semua ini
sangat jauh dari tuntunan Islam.<br />
Ingatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />
خَيْرُ الْقُرُونِ الْقَرْنُ الَّذِي بُعِثْت فِيهِمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ<br />
“Sebaik-baik generasi adalah generasi yang hidup saat aku diutus
(yaitu para sahabat). Kemudian setelah itu adalah orang-orang setelah
mereka.”<br />
Para ulama telah sepakat bahwa para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah sebaik-baik generasi dari umat ini (itu berarti mereka
yang pantas dijadikan teladan, pen). [Majmu’ Al Fatawa, Abul ‘Abbas
Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 24/326-329, Darul Wafa ’, cetakan
ketiga, tahun 1426 H]<br />
<strong>Apa yang dimaksud menjadikan kubur sebagai masjid?</strong><br />
Dalam perkataan lainnya, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni rahimahullah
menjelaskan, “Menjadikan suatu tempat sebagai masjid adalah menjadikan
shalat lima waktu dan ibadah lainnya di tempat tersebut sebagaimana
ibadah-ibadah tersebut diadakan di masjid. Jadi tempat yang dijadikan
sebagai masjid adalah tempat yang dimaksudkan untuk beribadah pada Allah
dan berdo’a kepada-Nya di situ, dan bukan khusus do’a tersebut
ditujukan pada makhluk. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal
semacam ini yaitu menjadikan kubur mereka sebagai masjid dengan maksud
melakukan shalat di sana sebagaimana ibadah yang dilakukan di masjid.<br />
Walaupun orang yang melakukan ibadah di kubur tersebut
memaksudkannya sebagai ibadah kepada Allah semata. Ini tetap terlarang
agar tidak sampai terjerumus dalam keharaman yang lebih parah.<br />
Kecuali jika memang orang tersebut menjadikan ibadah di sana
ditujukan pada penghuni kubur, berdoa untuknya, menjadikannya sebagai
perantara dalam berdoa dan berdoa di sisi kubur, (yang semacam ini jelas
terlarangnya, pen). Intinya perbuatan menjadikan kuburan sebagai masjid
(yaitu untuk beribadah kepada Allah semata) itu terlarang sebagaimana
dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dilarang
karena dapat mengantarkan pada syirik pada Allah. Perlu diingat bahwa
setiap perbuatan yang bisa mengantarkan pada mafsadat (bahaya) dan
tidak ada maslahat yang dominan, maka hal tersebut terlarang.” [Majmu’
Al Fatawa, 1/163]<br />
Dalam kesempatan yang lain, beliau rahimahullah juga berkata, “Tidak
ada silang pendapat di antara para ulama salaf dan ulama-ulama besar
yang ada mengenai terlarangnya menjadikan kubur sebagai masjid. Seperti
dimaklumi bersama bahwa masjid dibangun untuk shalat, dzikir, dan
membaca al Qur’an. Jika kubur difungsikan untuk sebagian ibadah-ibadah
tadi, maka ini termasuk dalam larangan menjadikan kubur sebagai masjid.”
[Majmu’ Al Fatawa, 24/302]<br />
<strong>Akhir Kata</strong><br />
Dari penjelasan ini, silakan para pembaca bandingkan ziarah kubur
yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin saat ini di kuburan para habib
dan para wali. Apakah seperti itu termasuk disyariatkan atau malah
termasuk menjadikan kubur sebagai masjid?<br />
Semoga sajian yang singkat ini bisa jadi renungan bagi yang ingin meraih hidayah. Hanya Allah yang memberi taufik.<br />
Sumber: <a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/3005-ziarah-kubur-yang-jauh-dari-tuntunan-islam.html"> http://www.rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/3005-ziarah-kubur-yang-jauh-dari-tuntunan-islam.html</a>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-72077897386895122982012-12-16T09:03:00.001+07:002012-12-16T09:03:39.094+07:00Bolehkah Shalat Memakai Sandal?<header class="entry-header">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHlNnfrkUL6RJWFcqDgAeEDpPgxHoZOo6ECCjGQeGltrjdaZHsUgRScX5R0IrxBZrv8cSzs2E6Y6vwTnRq6mYQkBFkko9KRtVuM9QHfNzJ3qNmLpWKfQMq9izsSaJ6Y3huL1iaa2rwXz-L/s1600/173140_1754603194_271711615_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHlNnfrkUL6RJWFcqDgAeEDpPgxHoZOo6ECCjGQeGltrjdaZHsUgRScX5R0IrxBZrv8cSzs2E6Y6vwTnRq6mYQkBFkko9KRtVuM9QHfNzJ3qNmLpWKfQMq9izsSaJ6Y3huL1iaa2rwXz-L/s320/173140_1754603194_271711615_n.jpg" width="320" /></a></div>
<h1 class="entry-title">
<br /></h1>
<div class="entry-meta">
<span class="sep"><br /></span><span class="author vcard"><a class="url fn n" href="http://yaaukhti.wordpress.com/author/fadhlihsan/" title="Tampilkan semua tulisan oleh Fadhl Ihsan"></a></span> </div>
</header>
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya (dalam Al
Fatawa XXII/121) tentang shalat dengan mengenakan sandal dan yang
sejenisnya?<br />
Beliau rahimahullah menjawab:<br />
Adapun shalat dengan menggunakan sandal dan sejenisnya seperti:
klompen, sandal dan alas kaki yang lain, maka tidak dimakruhkan, bahkan
perbuatan itu mustahab (disunnahkan), sebab apa yang tsabit dalam Ash
Shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pernah shalat
dengan mengenakan kedua sandalnya [1].<span id="more-378"></span> Dan dalam As Sunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:<br />
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi shalat tanpa mengenakan sandal-sandalnya mereka, maka selisihilah mereka.” [2]<br />
Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk
mengenakan sandal sebagai bentuk penyelisihan terhadap orang Yahudi.<br />
Jika kesucian sandal itu telah diketahui, maka tidak makruh shalat
dengan memakainya menurut kesepakatan kaum muslimin. Adapun jika
diyakini kenajisan sandal itu, maka tidak boleh shalat dengan
mengenakannya sampai sandal itu suci.<br />
Akan tetapi yang shahih, apabila seseorang menggosok-gosokkan sandalnya dengan tanag, maka dengan itu telah suci sandalnya.<br />
Sebagaimana telah terdapat keterangan dari As Sunnah dan sama saja baik najis tersebut berupa kotoran/tinja atau bukan.<br />
Karena sesungguhnya bagian bawah sandal adalah tempat bertemunya
najis secara berulang-ulang. Maka bagian bawah sandal itu seperti
kedudukan dua jalan (dubur dan qubul). Dan telah shahih hadits tentang
menghilangkan najis dari jalan itu dengan menggunakan batu, dalam sunnah
mutawatirrah. Maka demikian pula halnya dengan bagian bawah sandal ini.
[3]<br />
Sumber: Mutiara Fatwa dari Lautan Ilmu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
oleh Abdullah bin Yusuf Al ‘Ajlan (penerjemah: ‘Aisyah Muhammad Bashori)
penerbit: Cahaya Tauhid Press, hal. 120-121.<br />
_____________________<br />
[1] HR. Bukhari (I/494 fath no. 386) (X/308 no. 5850), Muslim 555, Tirmidzi 400, Nasai 775, Ahmad III/100-166-189.<br />
[2] HR. Abu Dawud 652. Lihat Shahih Abu Dawud I/128.<br />
[3] Lihat Ighatsatul Lahfan I/169 dan perkataan Ahmad Syakir
rahimahullah dalam Sunan At Tirmidzi II/250. Dan Syar’iyyatu Ash Shalah
fi An Ni’aal karya Syaikh Muqbil Al Wadi’iy rahimahullah.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-5928304896803913752012-12-16T09:00:00.004+07:002012-12-16T09:00:59.519+07:00Sebab-sebab Seorang Mendapat Azab Kubur<header class="entry-header">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEii7Osb-Ucj23fpO8HR_vVnCHzncY2soO9hXIbAnFdUQU_Km_spu97C7ozLhmaAdUUQXEwSk7tHAZHApwiZbNvrLVHrCwOtnou80g26CntpxW-EQDEWrZituCHRhXSSN4eZhgkNI3nmb4qK/s1600/76362_1336081581816_1824393436_652731_1468552_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEii7Osb-Ucj23fpO8HR_vVnCHzncY2soO9hXIbAnFdUQU_Km_spu97C7ozLhmaAdUUQXEwSk7tHAZHApwiZbNvrLVHrCwOtnou80g26CntpxW-EQDEWrZituCHRhXSSN4eZhgkNI3nmb4qK/s320/76362_1336081581816_1824393436_652731_1468552_n.jpg" width="320" /></a></div>
<h1 class="entry-title">
<br /></h1>
<div class="entry-meta">
<span class="sep"><br /></span><span class="author vcard"><a class="url fn n" href="http://yaaukhti.wordpress.com/author/fadhlihsan/" title="Tampilkan semua tulisan oleh Fadhl Ihsan"></a></span> </div>
</header>
Banyak sekali hal-hal yang menyebabkan seseorang mendapatkan adzab
kubur. Sampai-sampai Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya
Ar-Ruh menyatakan: “Secara global, mereka diadzab karena kejahilan
mereka tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak melaksanakan
perintah-Nya, dan karena perbuatan mereka melanggar larangan-Nya. Maka,
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengadzab ruh yang mengenal-Nya,
mencintai-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan meninggalkan larangan-Nya.<span id="more-407"></span><br />
Demikian juga, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengadzab satu
badan pun yang ruh tersebut memiliki ma’rifatullah (pengenalan terhadap
Allah) selama-lamanya. Sesungguhnya adzab kubur dan adzab akhirat adalah
akibat kemarahan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kemurkaan-Nya terhadap
hamba-Nya. Maka barangsiapa yang menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala
marah dan murka di dunia ini, lalu dia tidak bertaubat dan mati dalam
keadaan demikian, niscaya dia akan mendapatkan adzab di alam barzakh
sesuai dengan kemarahan dan kemurkaan-Nya.” (Ar-Ruh hal. 115)<br />
Di antara sebab-sebab adzab kubur secara terperinci adalah sebagai berikut:<br />
1. Kekafiran dan kesyirikan.<br />
Sebagaimana adzab yang menimpa Fir’aun dan bala tentaranya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br />
فَوَقَاهُ اللهُ سَيِّئَاتِ مَا مَكَرُوا وَحَاقَ بِآلِ فِرْعَوْنَ
سُوءُ الْعَذَابِ. النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا
وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا ءَالَ
فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ<br />
“Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan
Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh adzab yang amat buruk. Kepada
mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya
kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): ‘Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya
ke dalam adzab yang sangat keras’.” (Ghafir: 45-46)<br />
2. Kemunafikan.<br />
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br />
وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ
أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ
نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ<br />
سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ<br />
“Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada
orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka
keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui
mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami
siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada adzab yang
besar.” (At-Taubah: 101)<br />
3. Tidak menjaga diri dari air kencing dan mengadu domba.<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
مَرَّ النَّبِيُّ n بِقَبْرَينِ فَقَالَ: إِنَّهُمَا
لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا
فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ
يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ. فَأَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا
نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً. فَقَالُوا: يَا
رَسُولَ اللهِ، لِمَا فَعَلْتَ هَذَا؟ قَالَ: لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ
عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا<br />
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua kuburan. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya keduanya sedang
diadzab, dan tidaklah keduanya diadzab disebabkan suatu perkara yang
besar (menurut kalian). Salah satunya tidak menjaga diri dari percikan
air kencing, sedangkan yang lain suka mengadu domba antara manusia.”
Beliau lalu mengambil sebuah pelepah kurma yang masih basah, kemudian
beliau belah menjadi dua bagian dan beliau tancapkan satu bagian pada
masing-masing kuburan. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa
engkau melakukan hal ini?” Beliau menjawab: “Mudah-mudahan diringankan
adzab tersebut dari keduanya selama pelepah kurma itu belum kering.”
(Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)<br />
4. Ghibah.<br />
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
لَمَّا عَرَجَ بِي رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ
أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ،
فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ<br />
“Tatkala Rabbku memi’rajkanku (menaikkan ke langit), aku melewati
beberapa kaum yang memiliki kuku dari tembaga, dalam keadaan mereka
mencabik-cabik wajah dan dada mereka dengan kukunya. Maka aku bertanya:
‘Siapakah mereka ini wahai Jibril?’ Dia menjawab: ‘Mereka adalah
orang-orang yang memakan daging (suka mengghibah) dan menjatuhkan
kehormatan manusia’.” (HR. Ahmad, dishahihkan Al-Albani rahimahullahu
dalam Ash-Shahihah no. 533. Hadits ini juga dicantumkan dalam
Ash-Shahihul Musnad karya Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu)<br />
5. Niyahah (meratapi jenazah).<br />
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:<br />
إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ<br />
“Sesungguhnya mayit itu akan diadzab karena ratapan keluarganya.” (Muttafaqun ‘alaih)<br />
Dalam riwayat lain dalam Shahih Muslim:<br />
الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ<br />
“Mayit itu akan diadzab di kuburnya dengan sebab ratapan atasnya.”<br />
Jumhur ulama berpendapat, hadits ini dibawa kepada pemahaman bahwa
mayit yang ditimpa adzab karena ratapan keluarganya adalah orang yang
berwasiat supaya diratapi, atau dia tidak berwasiat untuk tidak diratapi
padahal dia tahu bahwa kebiasaan mereka adalah meratapi orang mati.
Oleh karena itu Abdullah ibnul Mubarak rahimahullahu berkata: “Apabila
dia telah melarang mereka (keluarganya) meratapi ketika dia hidup, lalu
mereka melakukannya setelah kematiannya, maka dia tidak akan ditimpa
adzab sedikit pun.” (Umdatul Qari’, 4/78)<br />
Adzab di sini menurut mereka maknanya adalah hukuman. (Ahkamul Jana’iz, hal. 41)<br />
Selain sebab-sebab di atas, ada beberapa hal lain yang akan disebutkan dalam pembahasan Macam-macam Adzab Kubur.<br />
<strong>Apakah Adzab Kubur itu Terus-Menerus?</strong><br />
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata: “Jawaban terhadap pertanyaan ini:<br />
1. Adzab kubur bagi orang-orang kafir terjadi terus-menerus dan tidak
mungkin terputus karena mereka memang berhak menerimanya. Seandainya
adzab tersebut terputus atau berhenti, maka kesempatan ini menjadi waktu
istirahat bagi mereka. Padahal mereka bukanlah orang-orang yang berhak
mendapatkan hal itu. Maka, mereka adalah golongan orang-orang yang
terus-menerus dalam adzab kubur sampai datangnya hari kiamat, walaupun
panjang masanya.<br />
2. Orang-orang beriman yang berbuat maksiat, Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengadzab mereka dengan sebab dosa-dosanya. Di antara mereka ada
yang diadzab terus-menerus, ada pula yang tidak. Ada yang panjang
masanya, ada pula yang tidak, tergantung dosa-dosanya serta ampunan
Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, 2/123)<br />
<strong>Macam-macam Adzab Kubur</strong><br />
1. Diperlihatkan neraka jahannam.<br />
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا<br />
“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.” (Ghafir: 46)<br />
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا مَاتَ عُرِضَ عَلَيْهِ مَقْعَدَهُ
بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ، إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
فَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَمِنْ
أَهْلِ النَّارِ فَيُقَالُ: هَذَا مَقْعَدُكَ حَتَّى يَبْعَثَكَ
اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ<br />
“Sesungguhnya apabila salah seorang di antara kalian mati maka akan
ditampakkan kepadanya calon tempat tinggalnya pada waktu pagi dan sore.
Bila dia termasuk calon penghuni surga, maka ditampakkan kepadanya
surga. Bila dia termasuk calon penghuni neraka maka ditampakkan
kepadanya neraka, dikatakan kepadanya: ‘Ini calon tempat tinggalmu,
hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala membangkitkanmu pada hari kiamat’.”
(Muttafaqun ‘alaih)<br />
2. Dipukul dengan palu dari besi.<br />
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:<br />
فَأَمَّا الْكَافِرُ وَالْمُنَافِقُ فَيَقُولَانِ لَهُ: مَا
كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ؟ فَيَقُولُ: لَا أَدْرِي، كُنْتُ
أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ. فَيَقُولَانِ: لَا دَرَيْتَ وَلَا
تَلَيْتَ. ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَاقٍ مِنْ حَدِيدٍ بَيْنَ
أُذُنَيْهِ فَيَصِيحُ فَيَسْمَعُهَا مَنْ عَلَيْهَا غَيْرُ
الثَّقَلَيْنِ<br />
Adapun orang kafir atau munafik, maka kedua malaikat tersebut
bertanya kepadanya: “Apa jawabanmu tentang orang ini (Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam)?” Dia mengatakan: “Aku tidak tahu. Aku
mengatakan apa yang dikatakan orang-orang.” Maka kedua malaikat itu
mengatakan: “Engkau tidak tahu?! Engkau tidak membaca?!” Kemudian ia
dipukul dengan palu dari besi, tepat di wajahnya. Dia lalu menjerit
dengan jeritan yang sangat keras yang didengar seluruh penduduk bumi,
kecuali dua golongan: jin dan manusia.” (Muttafaqun ‘alaih)<br />
3. Disempitkan kuburnya, sampai tulang-tulang rusuknya saling
bersilangan, dan didatangi teman yang buruk wajahnya dan busuk baunya.<br />
Dalam hadits Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu yang panjang,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang orang
kafir setelah mati:<br />
فَأَفْرِشُوهُ مِنَ النَّارِ وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا مِنَ
النَّارِ؛ فَيَأْتِيهِ مِنْ حَرِّهَا وَسُمُومِهَا وَيَضِيقُ
عَلَيْهِ قَبْرُهُ حَتَّى تَخْتَلِفَ فِيهِ أَضْلاَعُهُ وَيَأْتِيهِ
رَجُلٌ قَبِيحُ الْوَجْهِ قَبِيحُ الثِّيَابِ مُنْتِنُ الرِّيحِ
فَيَقُولُ: أَبْشِرْ بِالَّذِي يَسُوؤُكَ، هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي
كُنْتَ تُوعَدُ. فَيَقُولُ: مَنْ أَنْتَ، فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ
الَّذِي يَجِيءُ بِالشَّرِّ. فَيَقُولُ: أَنَا عَمَلُكَ الْخَبِيثُ.
فَيَقُولُ: رَبِّ لَا تُقِمِ السَّاعَةَ<br />
“Gelarkanlah untuknya alas tidur dari api neraka, dan bukakanlah
untuknya sebuah pintu ke neraka. Maka panas dan uap panasnya
mengenainya. Lalu disempitkan kuburnya sampai tulang-tulang rusuknya
berimpitan. Kemudian datanglah kepadanya seseorang yang jelek wajahnya,
jelek pakaiannya, dan busuk baunya. Dia berkata: ‘Bergembiralah engkau
dengan perkara yang akan menyiksamu. Inilah hari yang dahulu engkau
dijanjikan dengannya (di dunia).’ Maka dia bertanya: ‘Siapakah engkau?
Wajahmu adalah wajah yang datang dengan kejelekan.’ Dia menjawab: ‘Aku
adalah amalanmu yang jelek.’ Maka dia berkata: ‘Wahai Rabbku, jangan
engkau datangkan hari kiamat’.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan
Al-Hakim)<br />
4. Dirobek-robek mulutnya, dimasukkan ke dalam tanur yang dibakar,
dipecah kepalanya di atas batu, ada pula yang disiksa di sungai darah,
bila mau keluar dari sungai itu dilempari batu pada mulutnya.<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Jibril dan
Mikail ‘alaihissalam sebagaimana disebutkan dalam hadits yang panjang:<br />
فَأَخْبِرَانِي عَمَّا رَأَيْتُ. قَالَا: نَعَمْ، أَمَّا الَّذِي
رَأَيْتَهُ يُشَقُّ شِدْقُهُ فَكَذَّابٌ يُحَدِّثُ بِالْكَذْبَةِ
فَتُحْمَلُ عَنْهُ حَتَّى تَبْلُغَ الْآفَاقَ فَيُصْنَعُ بِهِ إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَالَّذِي رَأَيْتَهُ يُشْدَخُ رَأْسُهُ
فَرَجُلٌ عَلَّمَهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَنَامَ عَنْهُ بِاللَّيْلِ
وَلَمْ يَعْمَلْ فِيهِ بِالنَّهَارِ يُفْعَلُ بِهِ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ، وَالَّذِي رَأَيْتَهُ فِي الثَّقْبِ فَهُمُ الزُّنَاةُ،
وَالَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهْرِ آكِلُوا الرِّبَا<br />
“Beritahukanlah kepadaku tentang apa yang aku lihat.” Keduanya
menjawab: “Ya. Adapun orang yang engkau lihat dirobek mulutnya, dia
adalah pendusta. Dia berbicara dengan kedustaan lalu kedustaan itu
dinukil darinya sampai tersebar luas. Maka dia disiksa dengan siksaan
tersebut hingga hari kiamat. Adapun orang yang engkau lihat dipecah
kepalanya, dia adalah orang yang engkau lihat dipecah kepalanya, dia
adalah orang yang telah Allah ajari Al-Qur’an, namun dia tidur malam
(dan tidak bangun untuk shalat malam). Pada siang hari pun dia tidak
mengamalkannya. Maka dia disiksa dengan siksaan itu hingga hari kiamat.
Adapun yang engkau lihat orang yang disiksa dalam tanur, mereka adalah
pezina. Adapun orang yang engkau lihat di sungai darah, dia adalah orang
yang makan harta dari hasil riba.” (HR. Al-Bukhari no. 1386 dari Jundub
bin Samurah radhiyallahu ‘anhu)<br />
5. Dicabik-cabik ular-ular yang besar dan ganas.<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
فَإِذَا أَنَا بِنِسَاءٍ تَنْهَشُ ثَدْيَهُنَّ الْحَيَّاتُ،
فَقُلْتُ: مَا بَالُ هَؤُلَاءِ؟ فَقَالَ: اللَّوَاتِي يَمْنَعْنَ
أَوْلَادَهُنَّ أَلْبَانَهُنَّ<br />
“Tiba-tiba aku melihat para wanita yang payudara-payudara mereka
dicabik-cabik ular yang ganas. Maka aku bertanya: ‘Kenapa mereka?’
Malaikat menjawab: ‘Mereka adalah para wanita yang tidak mau menyusui
anak-anaknya (tanpa alasan syar’i)’.” (HR. Al-Hakim. Asy-Syaikh Muqbil
rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih berkata: “Ini hadits shahih dari
Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu.”)<br />
Wallahu a’lam bish-shawab.<br />
Sumber rujukan:<br />
1. <a href="http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=811"> http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=811</a><br />
2. <a href="http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=810"> http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=810</a>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-19656685831518285922012-12-16T08:59:00.001+07:002012-12-16T08:59:35.762+07:00Hukum Membaca Surat Yasin dan Doa Berjamaah di Kuburan<header class="entry-header">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEii7Osb-Ucj23fpO8HR_vVnCHzncY2soO9hXIbAnFdUQU_Km_spu97C7ozLhmaAdUUQXEwSk7tHAZHApwiZbNvrLVHrCwOtnou80g26CntpxW-EQDEWrZituCHRhXSSN4eZhgkNI3nmb4qK/s1600/76362_1336081581816_1824393436_652731_1468552_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEii7Osb-Ucj23fpO8HR_vVnCHzncY2soO9hXIbAnFdUQU_Km_spu97C7ozLhmaAdUUQXEwSk7tHAZHApwiZbNvrLVHrCwOtnou80g26CntpxW-EQDEWrZituCHRhXSSN4eZhgkNI3nmb4qK/s320/76362_1336081581816_1824393436_652731_1468552_n.jpg" width="320" /></a></div>
<h1 class="entry-title">
<br /></h1>
<div class="entry-meta">
<span class="sep"></span><span class="author vcard"><br /></span> </div>
</header>
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah ditanya: Apa hukum membaca
surat Yasin sesudah menguburkan mayat, serta apa hukum adzan di kuburan
setelah memasukkan mayat ke liang lahat?<span id="more-431"></span><br />
Beliau rahimahullah menjawab:<br />
Membaca surat Yasin di atas kubur seseorang adalah bid’ah yang tidak
ada asalnya (dalil), demikian juga membaca Al Qur’an setelah penguburan
mayat. Hal itu bukanlah Sunnah, bahkan perbuatan itu adalah bid’ah.
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika telah selesai dari
menguburkan mayat, beliau berdiri di atasnya dan berkata:<br />
“Mintakanlah ampun bagi saudara kalian ini dan mohonkanlah baginya keteguhan. Sesungguhnya sekarang ini ia sedang ditanya.” [1]<br />
Tidak pernah ada keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membaca Al Qur’an di atas
kubur dan tidak pula memerintahkannya.<br />
Beliau rahimahullah juga ditanya: Apakah hukum berdoa secara
berjamaah disamping kuburan di mana salah satu dari mereka berdoa dan
yang lainnya mengaminkan?<br />
Maka beliau rahimahullah pun menjawab:<br />
Hal ini tidak termasuk sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan bukan pula sunnah para khalifah yang empat. Tidak lain Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mengajarkan kepada mereka untuk
memintakan ampunan bagi mayit dan memohonkan keteguhan baginya. Semua
itu dilakukan dengan sendiri-sendiri dan tidak dengan cara berjamaah.<br />
Sumber: Kumpulan Fatwa Lengkap Tentang Ta’ziah oleh Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin (penerjemah: ‘Aisyah Muhammad Bashori),
penerbit: Cahaya Tauhid Press hal. 55 dan 60.<br />
____________________<br />
[HR. Abu Dawud II/70, Al Hakim I/370, Al Baihaqi IV/56, Abdullah bin
Ahmad dalam Zawaid Az Zuhd hal. 129 berkata Al Hakim: “Shahih sanadnya
dan disepakati oleh Adz Dzahabi.” Berkata An Nawawi (V/292): “Sanadnya
jayyid (bagus).” Lihat Ahkamul Janaiz hal. 198. (-pent)Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-47358197098772528842012-12-16T08:57:00.000+07:002012-12-16T08:57:07.697+07:00Amalan yang Menyelamatkan dari Azab Kubur<header class="entry-header">
<h1 class="entry-title">
<img alt="" class="alignnone size-full wp-image-96" height="328" src="http://infofadhl.files.wordpress.com/2010/05/railway_4.jpg?w=530" title="railway 4" width="400" /></h1>
<div class="entry-meta">
<span class="sep"><br /></span><span class="author vcard"><a class="url fn n" href="http://yaaukhti.wordpress.com/author/fadhlihsan/" title="Tampilkan semua tulisan oleh Fadhl Ihsan"></a></span> </div>
</header>
Setelah memberitahukan dahsyatnya adzab kubur dan sebab-sebab yang
akan menyeret ke dalamnya, baik melalui firman-Nya ataupun melalui
lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, dengan rahmat
dan keutamaan-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberitahukan
amalan-amalan yang akan menyelamatkan dari adzab kubur tersebut.<br />
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Sebab-sebab yang akan menyelamatkan seseorang dari adzab kubur terbagi menjadi dua:<span id="more-409"></span><br />
1. Sebab-sebab secara global.<br />
Yaitu dengan menjauhi seluruh sebab yang akan menjerumuskan ke dalam adzab kubur sebagaimana yang telah disebutkan.<br />
Sebab yang paling bermanfaat adalah seorang hamba duduk beberapa saat
sebelum tidur untuk mengevaluasi dirinya: apa yang telah dia lakukan,
baik perkara yang merugikan maupun yang menguntungkan pada hari itu.
Lalu dia senantiasa memperbarui taubatnya yang nasuha antara dirinya
dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga dia tidur dalam keadaan
bertaubat dan berkemauan keras untuk tidak mengulanginya bila nanti
bangun dari tidurnya. Dia lakukan itu setiap malam. Maka, apabila dia
mati (ketika tidurnya itu), dia mati di atas taubat.<br />
Apabila dia bangun, dia bangun tidur dalam keadaan siap untuk beramal
dengan senang hati, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menunda ajalnya
hingga dia menghadap Rabbnya dan berhasil mendapatkan segala sesuatu
yang terluput. Tidak ada perkara yang lebih bermanfaat bagi seorang
hamba daripada taubat ini. Terlebih lagi bila dia berzikir setelah itu
dan melakukan sunnah-sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika dia hendak tidur sampai benar-benar tertidur.
Maka, barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki kebaikan
baginya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan berikan hidayah taufik
untuk melakukan hal itu. Dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan
Allah Subhanahu wa Ta’ala.<br />
2. Sebab-sebab terperinci.<br />
Di antaranya:<br />
<strong>- Ribath</strong> (berjaga di pos perbatasan wilayah kaum muslimin) siang dan malam.<br />
Dari Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
كُلُّ مَيِّتٍ يُخْتَمُ عَلَى عَمَلِهِ إِلَّا الَّذِي مَاتَ
مُرَابِطًا فِي سَبِيلِ اللهِ فَإِنَّهُ يُنْمَى لَهُ عَمَلُهُ
إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَيَأْمَنُ مِنْ فِتْنَةِ الْقَبْرِ<br />
“Setiap orang yang mati akan diakhiri/diputus amalannya, kecuali
orang yang mati dalam keadaan ribath di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Amalannya akan dikembangkan sampai datang hari kiamat dan akan
diselamatkan dari fitnah kubur.” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud)<br />
<strong>- Mati syahid.</strong><br />
Dari Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:<br />
لِلشَّهِيدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي
أَوَّلِ دُفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ،
وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ مِنَ الْفَزَعِ
الْأَكْبَرِ، وَيُحَلَّى حُلَّةَ الْإِيمَانِ وَيُزَوَّجُ مِنَ
الْحُورِ الْعِينِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِينَ إِنْسَانًا مِنْ
أَقَارِبِهِ<br />
“Orang yang mati syahid akan mendapatkan enam keutamaan di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala: diampuni dosa-dosanya dari awal tertumpahkan
darahnya, akan melihat calon tempat tinggalnya di surga, akan
diselamatkan dari adzab kubur, diberi keamanan dari ketakutan yang
sangat besar, diberi hiasan dengan hiasan iman, dinikahkan dengan
bidadari, dan akan diberi kemampuan untuk memberi syafaat kepada 70
orang kerabatnya.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah. Al-Albani
berkata dalam Ahkamul Jana’iz bahwa sanadnya hasan)<br />
<strong>- Mati pada malam Jumat atau siang harinya.</strong><br />
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:<br />
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يـَمُوتُ يَوْمَ الْـجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ<br />
“Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jumat atau malamnya,
kecuali Allah akan melindunginya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad dan
Al-Fasawi. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Ahkamul Jana’iz bahwa
hadits ini dengan seluruh jalur-jalurnya hasan atau shahih)<br />
<strong>- Membaca surat Al-Mulk.</strong><br />
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
هِيَ الْمَانِعَةُ هِيَ الْمُنْجِيَةُ تُنْجِيهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ<br />
“Dia (surat Al-Mulk) adalah penghalang, dia adalah penyelamat yang
akan menyelamatkan pembacanya dari adzab kubur.” (HR. At-Tirmidzi, lihat
Ash-Shahihah no. 1140) [dinukil dari Ar-Ruh dengan sedikit perubahan]<br />
<strong>- Doa sebagaimana yang telah lalu,</strong> bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari adzab kubur dan<br />
memerintahkan umatnya untuk berlindung darinya.<br />
<strong>Nikmat Kubur</strong><br />
Setelah mengetahui dan meyakini adanya adzab kubur yang demikian
mengerikan dan menakutkan, berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
shahih, juga mengetahui macam-macamnya, penyebabnya, dan hal-hal yang
akan menyelamatkan darinya, maka termasuk kesuksesan yang agung adalah
selamat dari berbagai adzab tersebut dan mendapatkan nikmat di dalamnya
dengan rahmat-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br />
فَأَمَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
فَيُدْخِلُهُمْ رَبُّهُمْ فِي رَحْمَتِهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ
الْمُبِينُ<br />
“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih
maka Rabb mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga). Itulah
keberuntungan yang nyata.” (Al-Jatsiyah: 30)<br />
قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ.
مَنْ يُصْرَفْ عَنْهُ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمَهُ وَذَلِكَ
الْفَوْزُ الْمُبِينُ<br />
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku takut akan adzab hari yang besar (hari
kiamat), jika aku mendurhakai Rabbku.’ Barangsiapa yang dijauhkan adzab
daripadanya pada hari itu, maka sungguh Allah telah memberikan rahmat
kepadanya. Dan itulah keberuntungan yang nyata.” (Al-An’am: 15-16)<br />
Adapun nikmat kubur, di antaranya apa yang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam beritakan dalam hadits Al-Bara’ radhiyallahu ‘anhu
yang panjang:<br />
<strong>- mendapatkan ampunan dan keridhaan-Nya.</strong> Sebagaimana perkataan malakul maut kepada orang yang sedang menghadapi sakaratul maut:<br />
أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ، اخْرُجِي إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ<br />
“Wahai jiwa yang tenang, keluarlah menuju ampunan Allah dan keridhaan-Nya.”<br />
<strong>- dikokohkan hatinya untuk menghadapi dan menjawab fitnah kubur.</strong><br />
يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ<br />
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang
teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (Ibrahim: 27)<br />
<strong>- Digelarkan permadani, didandani dengan pakaian dari surga,
dibukakan baginya pintu menuju surga, dilapangkan kuburnya, dan di
dalamnya ditemani orang yang tampan wajahnya, bagus penampilannya,</strong> sebagaimana yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan dalam hadits Al-Bara’ yang panjang:<br />
فَأَفْرِشُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ وَأَلْبِسُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ
وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى الْجَنَّةِ. قَالَ: فَيَأْتِيهِ مِنْ
رَوْحِهَا وَطِيبِهَا وَيُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ مَدَّ بَصَرِهِ.
قَالَ: وَيَأْتِيهِ رَجُلٌ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ
طَيِّبُ الرِّيحِ فَيَقُولُ: أَبْشِرْ بِالَّذِي يَسُرُّكَ هَذَا
يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوعَدُ. فَيَقُولُ لَهُ: مَنْ أَنْتَ،
فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِيءُ بِالْخَيْرِ. فَيَقُولُ: أَنَا
عَمَلُكَ الصَّالِحُ<br />
“Maka gelarkanlah permadani dari surga, dandanilah ia dengan pakaian
dari surga. Bukakanlah baginya sebuah pintu ke surga, maka sampailah
kepadanya bau wangi dan keindahannya. Dilapangkan kuburnya sejauh mata
memandang, kemudian datang kepadanya seorang yang tampan wajahnya, bagus
pakaiannya, wangi baunya. Lalu dia berkata: ‘Berbahagialah dengan
perkara yang menyenangkanmu. Ini adalah hari yang dahulu kamu
dijanjikan.’ Dia pun bertanya: ‘Siapa kamu? Wajahmu adalah wajah orang
yang datang membawa kebaikan.’ Dia menjawab: ‘Aku adalah amalanmu yang
shalih…” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)<br />
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala meneguhkan hati kita di atas
kalimat tauhid hingga akhir hayat kita dan menyelamatkan kita dari
berbagai fitnah (ujian) dunia dan fitnah kubur, serta memasukkan kita ke
dalam jannah-Nya. Amin ya Rabbal ‘alamin.<br />
Sumber: <a href="http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=812"> http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=812</a>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-4661745399009815442012-12-16T08:54:00.001+07:002012-12-16T08:54:44.364+07:00Hikmah & Ketentuan Pernikahan Dini<header class="entry-header">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4daLl9WN6C7B2es3fKSqnG-zYBpiCa-eaHy67uyv1Xxy3CtD5_5Xwm8jf6KQRLSLCJ_6oev6r2OaXoTB0FOPTpF1u_OwuWLZlnss7jB-H1sRnNf4UnC7A9dK13ecmGhyphenhyphenANSmRVwh6E6DN/s1600/554180_158890160921691_103164393_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="340" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4daLl9WN6C7B2es3fKSqnG-zYBpiCa-eaHy67uyv1Xxy3CtD5_5Xwm8jf6KQRLSLCJ_6oev6r2OaXoTB0FOPTpF1u_OwuWLZlnss7jB-H1sRnNf4UnC7A9dK13ecmGhyphenhyphenANSmRVwh6E6DN/s400/554180_158890160921691_103164393_n.jpg" width="400" /></a></div>
<h1 class="entry-title">
<br /></h1>
<div class="entry-meta">
<span class="sep"><br /></span><span class="author vcard"><a class="url fn n" href="http://yaaukhti.wordpress.com/author/fadhlihsan/" title="Tampilkan semua tulisan oleh Fadhl Ihsan"></a></span> </div>
</header>
Oleh: Al Fadhil Abu Ammar Ali Al-Hudzaifi hafizhahullah<br />
<strong>1. Efek Positif Pernikahan Dini</strong><br />
Di antaranya:<br />
<strong>Pertama,</strong> pernikahan dini akan meminimalisir
terjadinya perbuatan asusila dan perilaku menyimpang di kalangan
muda-mudi. Prosentase hubungan di luar nikah (zina) dan perilaku
homoseksual di daerah-daerah pedesaan, lebih kecil dibandingkan dengan
daerah-daerah perkotaan.<span id="more-720"></span> Ini merupakan sebuah
fakta yang begitu nyata. Pernikahan dini sudah menjadi hal yang biasa
di desa-desa. Anak-anak muda yang melakukan liwath (hubungan sesama
jenis), kebanyakan disebabkan oleh adanya faktor yang menghalangi mereka
untuk menikah secara dini, seperti nilai mahar yang tinggi dan
sebagainya.<br />
<strong>Kedua,</strong> dekatnya jarak usia antara orang tua dan anak
sehingga perbedaan umur di antara mereka tidak terlalu jauh. Dengan
begitu, orang tua masih cukup kuat memperhatikan dan merawat anak-anak,
sebagaimana anak-anak itu pun nanti akan dapat mengurus dan melayani
mereka.<br />
Di dalam buku ‘Man, The Unknown’ hal. 215, Dr. Alexis Carell -yang
mengkritik peradaban materialistik Barat melalui buku tersebut-
mengatakan: “Semakin dekat jarak waktu yang memisahkan antara dua
generasi, semakin kuat pula pengaruh moral orang tua terhadap anak-anak.
Oleh karena itu, para wanita seharusnya menjadi ibu di usia muda, agar
mereka tidak terpisahkan dari anak-anak mereka oleh jurang begitu lebar
yang tidak mungkin ditutup sekalipun dengan cinta.”<br />
<strong>Ketiga,</strong> saat belum mampu menikah, anak-anak muda
akan senantiasa dihinggapi lintasan-lintasan pikiran yang mengganggu.
Pelampiasan nafsu akan menjadi maksud dan tujuan yang paling penting.
Apalagi saat mereka keluar bersama teman-teman sepergaulan yang tidak
baik, ditambah keadaan perilaku mereka sendiri yang buruk. Hal ini akan
berdampak negatif terhadap agama mereka. Dan bekas dari dampak negatif
ini akan tetap ada sekalipun mereka telah menikah. Ada sebagian dari
mereka yang belum juga dapat mengatasi sisa dampak negatif tersebut.
Sedangkan pernikahan dini akan menghindarkan mereka dari dampak-dampak
negatif itu dan memalingkan perhatian mereka kepada hal-hal yang lebih
utama untuk diri mereka sendiri.<br />
Oleh karena itu, anda dapat menemukan anak-anak muda belia dari
pedesaan yang datang ke kota untuk berusaha dan bekerja keras, mereka
memeras keringat dan membanting tulang agar dapat mengirimkan uang
kepada istri, anak dan orang tuanya di kampung. Di samping itu, anda
juga dapat menemukan anak-anak muda perkotaan yang lebih tinggi usianya,
menghabiskan waktu berjam-jam di depan internet, menjalin hubungan
dengan perempuan, di saat mereka sendiri masih menjadi beban tanggungan
orang tua.<br />
<strong>Keempat,</strong> memiliki tingkat kemungkinan hamil yang
tinggi. Kehamilan pada masa menikah bagi perempuan di usia dini lebih
tinggi tingkat kemungkinannya dibandingkan pada usia lain sebagaimana
yang dapat dilihat nanti dari keterangan para dokter.<br />
<strong>Kelima,</strong> meningkatkan jumlah populasi suatu umat.
Umat yang kaum mudanya melakukan pernikahan dini, akan mengalami
peningkatan jumlah populasi yang lebih besar dari umat lain.<br />
<strong>Keenam,</strong> meringankan beban para ayah yang tergolong fakir, dan menyalurkan hasrat sang suami dengan cara yang syar’i.<br />
<strong>Ketujuh,</strong> memenuhi kebutuhan sebagian keluarga,
misalnya akan keberadaan seorang perempuan yang mengurus dan menangani
keperluan rumah tangga mereka.<br />
<strong>Kedelapan,</strong> kemandirian kedua suami istri dalam memikul tanggung jawab, dengan tidak bergantung kepada orang lain.<br />
<strong>2. Efek Negatif Menunda Pernikahan</strong><br />
Menunda pernikaham memiliki dampak-dampak negatif yang diakui sendiri
oleh musuh-musuh Islam. Dampak negatif tersebut cukup banyak, di
antaranya:<br />
<strong>Pertama,</strong> studi ilmiah dan riset internasional
menetapkan bahwa tidak ada peningkatan komplikasi kehamilan pada wanita
yang berusia antara 15 sampai 19 tahun. Sedangkan komplikasi yang
terjadi pada wanita hamil yang berusia kurang dari 15 tahun, relatif
sedikit.” Ini adalah temuan seorang ilmuwan Amerika, Satin, dari Rumah
Sakit Parkland di Texas.<br />
<strong>Kedua,</strong> menunda-nunda pernikahan dapat mengakibatkan
keengganan atau lemahnya semangat para pemuda untuk menikah sehingga
fenomena hidup melajang menjadi marak. Surat kabar <strong>al-Hayah</strong>
mempublikasikan sebuah hasil penelitian dari pusat studi sebuah
universitas di Amerika yang menerangkan bahwa prosentase pernikahan di
Amerika Serikat telah mengalami penurunan drastis sampai di bawah angka
perbandingan terendah di akhir abad ini. Penurunan ini disebabkan oleh
penangguhan usia pernikahan orang-orang Amerika sampai usia yang lebih
besar. Pada tahun 1960, usia rata-rata orang menikah di sana adalah 20
tahun untuk perempuan, dan 23 tahun untuk laki-laki. Sedangkan pada
tahun 1997, naik menjadi 25 tahun untuk perempuan, dan 27 tahun untuk
laki-laki.<br />
Ini tidak hanya terjadi di negara-negara Barat saja, tapi juga di
negara-negara Arab. Di dalam buku al-’Unusah Mu’aanah Insaniyyah
Tuhaddid al-Bina’ al-Ijtima’i, Dr. Nuha ‘Adnan Qathraji mengatakan:
“Realita perawan/jejaka tua yang mencapai angka cukup mengkhawatirkan di
negara-negara Arab sekarang, memberi kita informasi tentang cukup
membahayakannya permasalahan ini. Dan bahwa ia sangat membutuhkan
solusi. Salah satu sumber data statistik mengenai hal tersebut adalah
dari Badan Pusat Logistik dan Statistik di Mesir yang menerangkan bahwa 9
juta laki-laki dan perempuan Mesir tergolong sebagai perawan/jejaka
tua, dari total jumlah penduduk sebesar 76 juta jiwa. Sedangkan di
Saudi, angka ini mencapa 1 juta orang dari total jumlah penduduk sekitar
25 juta. Lembaga Penelitian Sosial Salman di Riyadh melakukan riset
seputar fenomena perawan/jejaka tua di negara-negara teluk dan
didapatkan bahwa angka perawan/jejaka tua di Qatar mencapai 15 %, di
Kuwait 18 % dan di Bahrain 20 %.<br />
Kemudian Badan Statistik di Al-Jazair menerangkan bahwa terdapat 4
juta perempuan yang belum menikah, padahal usia mereka sudah lewat 34
tahun. Sedangkan jumlah jejaka tua mencapai angka 18 juta dari total
jumlah penduduk sebesar 30 juta jiwa.<br />
Di Saudi, sebuah riset ilmiah yang dilaktkan oleh Dr. Abdullah
Al-Fauzan, dosen sosiologi di Universitas King Saud di Riyadh,
memberikan peringatan akan ancaman bahaya fenomena lajang tua. Ia
menuturkan bahwa kalau fenomena penundaan pernikahan terjadi terus
menerus di masyarakat, maka akan ada 4 juta perempuan yang menjadi
perawan tua pada lima tahun mendatang, di saat angka perawan tua yang
ada sekarang ini telah mencapai satu setengah juta perempuan. Jadi
secara global, negara-negara yang memberlakukan penangguhan usia nikah,
di dalamnya akan banyak terjadi fenomena perawan/jejaka tua.<br />
<strong>Ketiga,</strong> laporan dari pusat studi sebuah universitas
di Amerika, mengatakan bahwa semakin mundur usia nikah, maka akan
semakin menurun semangat orang untuk menikah. Dan inilah yang terjadi di
negara-negara Barat. Akibatnya, banyak perempuan Amerika yang
melahirkan dan merawat anak tanpa melalui proses pernikahan. Di tahun
60-an, 25,3 % dari global jumlah kelahiran anak di Amerika, adalah dari
para ibu yang tidak menikah. Angka ini terus meningkat sampai tingkat
paling tinggi di tahun 1997, yaitu 32 %.<br />
<strong>Keempat,</strong> kanker. Kanker payudara dan kanker rahim
lebih sedikit terjadi pada wanita-wanita yang sudah mengalami kehamilan
dan persalinan di usia muda.<br />
<strong>Kelima,</strong> kehamilan ‘di luar rahim’. Seorang ilmuwan
Amerika, Rubin, menetapkan di dalam risetnya pada tahun 1983, bahwa
kondisi kehamilan di luar rahim adalah 17,2/1000 pada
perempuan-perempuan yang berusia lebih dari 35 tahun. Angka ini menurun
sampai 4,5/1000 pada wanita yang berusia antara 15 sampai 24 tahun.<br />
<strong>Keenam,</strong> aborsi. Ilmuwan Amerika, Hawen, menyatakan
bahwa perbandingan jumlah kasus aborsi pada wanita di atas usia 35
tahun, bisa mencapai 2 sampai 4 kali lipat lebih besar.<br />
<strong>Ketujuh,</strong> operasi caesar, kelahiran prematur, cacat
fisik, kematian janin di dalam rahim atau setelah lahir, semuanya secara
relatif akan semakin besar kemungkinannya, manakala usia sang ibu hamil
juga bertambah.<br />
Sesungguhnya kehamilan dan persalinan adalah kondisi yang terjadi
berulang-ulang. Dan seorang wanita membutuhkan waktu yang lama untuk
kembali melahirkan anak-anak. Sedangkan wanita yang terlambat menikah,
akan melahirkan pada usia yang tidak lagi muda. Secara medis sudah
dimaklumi bahwa penyakit-penyakit kronis mulai tampak atau semakin
bertambah tatkala usia seseorang juga semakin senja. Penyakit-penyakit
kronis ini semakin membahayakan kehamilan dan proses persalinan, bahkan
kadangkala menjadi penghalang keduanya.<br />
Apa yang dijelaskan di atas ini adalah berkaitan dengan diri
perempuan. Sedangkan berkenaan dengan diri laki-laki, maka salah satu
efek negatif yang ditimbulkan oleh penundaan nikah adalah munculnya
perbuatan zina dan liwath (homoseks). Perbuatan liwath ini bahkan
mungkin banyak terjadi di sebagian pedesaan akibat tingginya nilai
mahar, apalagi untuk mereka yang fakir dan tidak mampu membayar
maskawin. Maka bagaimana jadinya kalau ada undang-undang yang melarang
pernikahan dini. Sudah tentu pula ini akan mengakibatkan para pemuda
yang kaya untuk terjerembab pada kenistaan yang sama.<br />
<strong>3. Ketentuan-ketentuan Pernikahan Dini</strong><br />
Mengatakan bahwa pernikahan dini itu pada asalnya diperbolehkan dalam
syariat Islam, tidak berarti kemudian ia dibolehkan secara mutlak
dengan semua perempuan dan pada segala keadaan. Sebab pada sebagian
perempuan, terdapat beberapa kondisi yang menunjukkan bahwa lebih baik
ia tidak menikah secara dini. Yang kami ingkari tidak lain hanyalah
penetapan undang-undang umum yang melarang semua perempuan secara mutlak
untuk melakukan pernikahan dini -sekalipun perempuan itu sendiri
sebenarnya memiliki kesanggupan- tanpa melihat perbedaan keadaan yang
ada.<br />
Di sini kami akan menyebutkan beberapa ketentuan yang perlu
disertakan dalam sebuah pernikahan dini agar ia tidak mengakibatkan
hal-hal yang tidak diinginkan. Di antara ketentuan tersebut adalah:<br />
<strong>Pertama,</strong> si perempuan harus sudah siap secara fisik.
Berapa banyak perempuan yang berusia 9, 10, 15 tahun atau lebih, namun
ia tidak siap untuk menikah karena tubuhnya yang kemah atau penyakit
yang membuatnya ringkih sehingga tidak mampu menjalankan peran sebagai
istri.<br />
<strong>Kedua,</strong> perempuan tersebut sudah matang secara mental
dan terdidik untuk dapat memenuhi tanggung jawab. Ini tidak berarti
bahwa ia harus menguasai seluk beluk kehidupan berumah tangga seperti
bagaimana berinteraksi dengan suami, bagaimana mengasuh anak dan
sebagainya. Sebab hal-hal seperti ini juga masih butuh untuk dikuasai
bahkan oleh para wanita dewasa terutama di zaman sekarang. Kalau
pernikahan dini itu dilarang karena alasan ini maka berarti kita harus
melarang pernikahan secara mutlak. Jadi yang kami maksud adalah bahwa
perempuan tersebut sudah memahami arti tanggung jawab. Kalau ada
beberapa kekurangan tersebut setelah menikah, sambil terus belajar dari
ibu, mertua atau wanita lainnya.<br />
Salah satu dalil yang menunjukkan perlunya memperhatikan dua aspek di
atas, yaitu kesiapan fisik dan kematangan mental, adalah bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tidak memerintahkan seluruh
pemuda untuk menikah. Beliau hanya memerintahkan mereka yang sudah siap
menikah dengan memiliki al-ba’ah, yaitu kemampuan memberi nafkah. Ini
menunjukkan bahwa kesiapan untuk menikah itu diperoleh dengan kemampuan
menafkahi (berdasarkan nash hadits) dan hal-hal selain nafkah
(berdasarkan qiyas atas nafkah tersebut).<br />
<strong>Ketiga,</strong> pada pernikahan perempuan yang masih muda
belia, lebih utama kalau usia si calon suami tidak jauh dari usia si
perempuan, kecuali untuk suatu maksud yang dapat dibenarkan. Imam
An-Nasai telah mengeluarkan sebuah riwayat di dalam Sunan-nya, demikian
pula Ibnu Hibban di dalam Shahih-nya serta Al-Hakim di dalam
Al-Mustadrak dan ia menilai shahih riwayat tersebut berdasarkan syarat
Bukhari dan Muslim dan disepakati oleh adz-Dzahabi, dari Buraidah, ia
berkata: “Abu Bakar dan Umar melamar Fathimah. Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Fathimah masih kecil.” Lalu Ali
melamar Fathimah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam kemudian
menikahkan Fathimah dengan Ali.” Sanad hadits ini shahih. An-Nasai
meletakkan hadits ini di bawah bab berjudul: Menikahkan Perempuan dengan
Seorang Pria yang Seusia.<br />
Dari hadits tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa usia si calon
suami perlu diperhatikan, yaitu tidak jauh dengan usia si perempuan.
Karena kedekatan jarak usia ini akan lebih dapat melahirkan keserasian
di antara sepasang suami istri, dan lebih dapat melanggenkan pernikahan
mereka. Sedangkan pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam
dengan Aisyah radhiyallahu ‘anha, maka beberapa hadits telah menunjukkan
bahwa pernikahan tersebut dilandasi oleh sebuah mimpi. Dan mimpi para
Nabi itu adalah benar. Jadi ia merupakan hal yang dikehendaki oleh Allah
Subhanallahu wa Ta’ala bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan
Aisyah radhiyallahu ‘anha. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah
meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:<br />
“Engkau diperlihatkan kepadaku di dalam mimpi selama tiga hari.
Seorang malaikat datang membawanu di dalam sepotong kain sutera.
Malaikat itu berkata: “Ini adalah istrimu.” Aku lalu menyingkap wajahmu,
ternyata wanita itu adalah engkau. Aku pun beqkata: Kalau ini berasal
dari Allah, maka Dia akan mewujudkannya.” (Redaksi hadits ini dari Imam
Muslim)<br />
Pernikahan yang penuh berkah itu pun menghasilkan kebaikan yang
sangat besar. Namun demikian, kami tidak mengklaim bahwa ia hanya
dikhususkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam saja. Sebab
kami memang tidak memiliki dalil atas hal tersebut. Dan tidak ada
seorang pun yang dapat melarang pernikahan seperti itu selama ia memang
akan menghasilkan suatu kemaslahatan. Pandangan ini berdasarkan pendapat
yang dipegang oleh An-Nasai pada saat menentukan bab untuk hadits di
atas, sebagaimana yang telah diterangkan.<br />
(Sumber: <a href="http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=377113">http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=377113</a>)<br />
<strong>Dari:</strong> Majalah Akhwat Shalihah vol. 11/1432 H/2011, hal. 63-67 & 96.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-74096087128554638252012-12-16T08:52:00.000+07:002012-12-16T08:52:18.257+07:007 Syubhat Penghalang Pernikahan Dini<header class="entry-header">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipB0Q24c7rUrQo4Q9N9GZsROpCKiyHpi6Bm691Qy0FOuGq4jylneL8snHuId02rWzoBb_xwR3iB9Ps1Po8Juk-hGcOxPWmHK97wqbwcYr-p1zMuIeQWPyWGyqbbpDVHi1L6hE7Bie4bAnm/s1600/427062_3510833018107_1701437058_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="250" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipB0Q24c7rUrQo4Q9N9GZsROpCKiyHpi6Bm691Qy0FOuGq4jylneL8snHuId02rWzoBb_xwR3iB9Ps1Po8Juk-hGcOxPWmHK97wqbwcYr-p1zMuIeQWPyWGyqbbpDVHi1L6hE7Bie4bAnm/s400/427062_3510833018107_1701437058_n.jpg" width="400" /></a></div>
<h1 class="entry-title">
<br /></h1>
<div class="entry-meta">
<span class="sep"><br /></span><span class="author vcard"><a class="url fn n" href="http://yaaukhti.wordpress.com/author/fadhlihsan/" title="Tampilkan semua tulisan oleh Fadhl Ihsan"></a></span> </div>
</header>
<span style="font-size: small;">Oleh: Al-Fadhil Abu Ammar Ali Al-Hudzaifi hafizhahullah</span><br />
<span style="font-size: small;">Maha benar Allah Subhanallahu wa Ta’ala ketika berfirman:</span><br />
<span style="font-size: small;">“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan.” (Al-Baqarah: 268)</span><br />
<span style="font-size: small;">Syubhat-syubhat yang akan disebutkan dan yang semisalnya tidak lain
dihembuskan oleh syetan dan para pengikutnya dari kalangan orang-orang
Yahudi dan kelompok sekuler, kepada mereka yang lemah iman agar menjadi
takut terhadap syariat.<span id="more-722"></span></span><br />
<span style="font-size: small;"><strong>Syubhat pertama:<br />
Kalau si perempuan hamil pada usia muda belia, maka kehamilannya tidak
akan sempurna sampai sembilan bulan, karena pertumbuhan tubuh perempuan
itu sendiri masih belum sempurna sehingga ia dimungkinkan akan menjalani
aborsi berulang kali.</strong></span><br />
<span style="font-size: small;">Ini merupakan pandangan yang keliru. Karena seorang perempuan tidak
akan mengalami haid atau kehamilan melainkan Allah Subhanallahu wa
Ta’ala telah menjadikan tubuhnya siap untuk mengemban tugas tersebut.
Bagaimana bisa dikatakan bahwa seorang perempuan yang sudah mengalami
haid, belum siap hamil? Ini menyelisihi pendapat para pakar kesehatan
dan kalangan ilmuwan lainnya.</span><br />
<span style="font-size: small;">Hal mengherankan yang patut direnungkan oleh orang-orang berakal
adalah bahwa Allah Subhanallahu wa Ta’ala menjadikan tubuh janin sesuai
dengan tubuh sang ibu dan perutnya. Sehingga ketika janin dari seorang
ibu berusia 15 tahun dan janin dari seorang ibu berusia 30 tahun
dilahirkan pada waktu yang sama, janin dari ibu pertama itu lebih kecil
dari janin ibu kedua. Dan hanya selang waktu beberapa hari, tubuh kedua
janin itu akan menjadi sama besar. Subhanallah.</span><br />
<span style="font-size: small;"><strong>Syubhat kedua:<br />
Pernikahan dini dapat mengakibatkan cacat pada janin.</strong></span><br />
<span style="font-size: small;">Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu telah menjawab pertanyaan
yang senada dengan syubhat di atas, dan mengatakan di dalam Majmu’
Fatawa beliau: “Ini merupakan sesuatu yang tidak pernah terjadi
sepanjang pengetahuan kami. Pernikahan dini itu dianjurkan. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:</span><br />
<span style="font-size: small;">“Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa dari kalian ada yang sudah
dapat memberikan nafkah, hendaklah ia menikah. Karena menikah itu akan
membuatnya lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.” (HR.
Bukhari dan Muslim)</span><br />
<span style="font-size: small;">Inilah yang disyariatkan. Maka kalau seseorang menikah pada saat ia
memang sudah sanggup menikah dan perlu menyalurkan syahwatnya, berarti
ia telah melakukan hal yang baik dan tidak berdosa. Sedangkan apa yang
telah dikatakan oleh orang tersebut bahwa janin dari pernikahan dini
akan memiliki cacat, adalah sesuatu yang mengada-ada. Ia sama sekali
tidak memiliki landasan bukti. Tidak lain itu hanyalah pemberian stigma
negatif atas pernikahan dini tanpa kebenaran dan pengetahuan sama
sekali. Kami sendiri dan banyak orang telah menikahkan anak-anak kami
secara dini. Tidak ada sesuatu apapun yang nampak kecuali kebaikan. Dan
kami tidak beranggapan bahwa pernikahan dini itu akan mengakibatkan
keburukan seperti yang dikatakan oleh orang itu.</span><br />
<span style="font-size: small;"><strong>Syubhat ketiga:<br />
Sang ibu bisa jadi akan mengalami kekurangan darah, terutama selama masa kehamilan.</strong></span><br />
<span style="font-size: small;">Syubhat ini tidak berbeda dengan yang sebelumnya. Ia hanya memberi
stigma negatif terhadap pernikahan dini. Banyak pakar kesehatan yang
menyangkal klaim tersebut. Dan ada cukup banyak wanita yang menikah di
usia dini namun mereka sama sekali tidak mengalami hal-hal yang
diklaimkan.</span><br />
<span style="font-size: small;"><strong>Syubhat keempat:<br />
Angka kematian bayi dari ibu-ibu muda dapat bertambah dengan angka
prosentase lebih besar dari kematian bayi dari ibu-ibu yang berusia
lebih tua. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya pengetahuan dan
kesadaran mengenai perawatan dan pemberian asupan makanan untuk janin.</strong></span><br />
<span style="font-size: small;">Klaim ini, kalau memang benar, bukanlah problem yang dimunculkan oleh
pernikahan dini. Akan tetapi ia adalah problem minimnya kesadaran dan
pengajaran mengenar besarnya tanggung jawab yang diemban. Namun kami
katakan: Sesungguhnya kalau perempuan-perempuan muda belia itu
melahirkan, mereka tidak akan memikul tanggung jawab terhadap anaknya
yang masih kecil sendirian. Akan ada wanita-wanita lain yang membantu
mengurusi anaknya dan memberikan saran-saran mengenai apa yang harus
dilakukan, dalam hal menyusui, mencuci pakaian atau menjaga si anak
ketika ia sedang sakit dan sebagainya. Terutama ibu mertua yang tidak
lain adalah nenek si anak yang baru dilahirkan itu.</span><br />
<span style="font-size: small;">Rasa kasih dan sayang sang nenek terhadap anak tersebut adalah
seperti rasa kasih dan sayang sang ibu. Wanita-wanita ini akan
senantiasa ikut memberikan perhatian mereka sampai sang ibu menjadi
terampil untuk mengurusi anaknya sendirian pada kehamilan berikutnya,
sekalipun usianya masih sangat muda. Ini adalah hal yang sudah biasa
kami dapatkan. Dengan mata kepala kami sendiri, kami pernah melihat
perempuan-perempuan yang masih sangat muda, mengajarkan wanita lebih tua
yang baru menikah kemudian tentang bagaimana mengasuh anak.
Perempuan-perempuan muda itu menikah di usia dini, sehingga mereka sudah
cukup trampil mengasuh anak.</span><br />
<span style="font-size: small;"><strong>Syubhat kelima:<br />
Pernikahan dini menghalangi perempuan untuk melanjutkan pendidikan.</strong></span><br />
<span style="font-size: small;">Perkataan ini kami sanggah dengan beberapa hal: Pertama, keyakinan
bahwa setiap perempuan harus meneruskan pendidikannya ke tingkat
perguruan tinggi adalah sesuatu yang tidak dapat diterima secara
syariat, akal atau juga adat kebiasaan. Karena sudah dimaklumi bahwa ada
perempuan yang tidak hendak melanjutkan pendidikannya. Dan banyak
perempuan yang tidak memiliki keinginan untuk meneruskan studi,
sekalipun ia belum menikah. Maka menjadikan pernikahan dini sebagai
sebab perempuan tidak dapat melanjutkan studi merupakan sebuah
kesalahan.</span><br />
<span style="font-size: small;">Kedua, pernikahan dini sama sekali tidak menghalangi seorang
perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Perempuan tersebut atau ayahnya
bisa saja mempersyaratkan kepada calon suami bahwa ia akan melanjutkan
pendidikan syar’i yang tetap dalam koridor syariat. Cukup banya
perempuan yang menikah dan tetap melanjutkan pendidikan serta memiliki
pengalaman yang sukses. Salah satu bukti yang menunjukkan hal tersebut
adalah pengalaman beberapa lembaga pendidikan salafi yang berada di
Yaman dan sebagian perguruan tinggi yang tidak memberlakukan koedukasi
(ikhtilat antara pelajar laki-laki dan perempuan) di beberapa negara
Arab. Banyak perempuan yang belajar di lembaga-lembaga pendidikan
tersebut, mereka menghafal Al-Qur’an, mempelajari beberapa materi dalam
bidang Fiqh, Hadits, Nahwu dan sebagainya. Dan di saat yang sama, mereka
adalah istri yang harus melayani suami, juga seorang ibu yang mesti
mengasuh anak-anak.</span><br />
<span style="font-size: small;">Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu pernah ditanya: “Apa pendapat anda
mengenai pernikahan seorang pelajar yang memang mampu untuk menikah, dan
ia menjalani studi di perguran tinggi, apakah pernikahan itu akan
memengaruhi belajarnya?” Beliau menjawab: “Saya menasehatkan untuk
menikah pada usia dini karena ia tidak mempengaruhi belajar seseorang.
As-Salaf ash-Shalih sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam
sampai masa kita sekarang ini, mereka belajar, menuntut ilmu dan
menikah. Menikah justru akan membantunya dalam kebaikan. Kalau ia
memiliki kemampuan, maka pernikahan itu akan membantunya dalam kebaikan
dan tidak menghalanginya untuk belajar. Juga tidak akan menyibukkannya
dari belajar.</span><br />
<span style="font-size: small;">Bahkan pernikahan akan menundukkan pandangan matanya dan membawa
ketentraman dalam jiwanya serta kenyamanan dalam hatinya. Pernikahan itu
juga akan menghindarkan dirinya dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah
Subhanallahu wa Ta’ala. Kalau memang mudah baginya untuk menikah, maka
saya nasehatkan ia untuk menikah. Dan hendaknya ia bertakwa kepada Allah
Subhanallahu wa Ta’ala dalam urusan tersebut, sekaligus mengamalkan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam:</span><br />
<span style="font-size: small;">“Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa dari kalian ada yang sudah
dapat memberikan nafkah, hendaklah ia menikah. Karena menikah itu akan
membuatnya lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.” (HR.
Bukhari dan Muslim)</span><br />
<span style="font-size: small;">Ketiga, dengan menikah di usia dini, seorang perempuan bisa jadi
tidak dapat belajar. Akan tetapi di waktu yang bersamaan, sesungguhnya
ia sedang menyiapkan generasi ulama, pembelajar dan cerdik-cendekia.
Sebagian besar ilmuwan dan orang-orang besar, kalau anda mencari tahu
perihal ibu-ibu mereka, maka akan anda dapatkan bahwa para ibu itu tidak
dapat membaca dan menulis.</span><br />
<span style="font-size: small;"><strong>Syubhat keenam:<br />
Anak-anak muda yang masih dalam masa pubertas dianggap tidak mampu mengambil keputusan yang tepat.</strong></span><br />
<span style="font-size: small;">Jawabnya: Alasan ini lemah karena beberapa hal: Pertama, karena si
perempuan dapat meminta pendapat dan saran dari walinya dalam segala
urusan terutama urusan pernikahan. Dan masyarakat islami adalah
masyarakat yang dipenuhi dengan rasa kasih sayang, persaudaraan dan
ketulusan serta sikap saling membantu. Bukan yang penuh dengan sikap
egois. Kedua, bagaimana halnya dengan laki-laki atau perempuan yang
sakit jiwa, apakah mereka ini tidak dinikahkan? Ataukah orang-orang
pelontar syubhat itu berpandangan bahwa golongan orang seperti ini tidak
dinikahkan sampai mereka dapat mengambil keputusan tepat sendiri?</span><br />
<span style="font-size: small;"><strong>Syubhat ketujuh:<br />
Si perempuan tidak akan bisa menyesuaikan diri dengan sang suami atau
keluarga suaminya, karena usianya yang masih kecil. Sehingga pernikahan
dini hanya akan berarti perceraian dini.</strong></span><br />
<span style="font-size: small;">Jawaban atas hal ini dari beberapa sudut: Pertama,
penelitian-penelitian modern menerangkan bahwa seorang perempuan muda
belia memiliki faktor-faktor penunjang dan sebab-sebab yang membuatnya
dapat menyesuaikan diri dengan sang suami dan keluarga suami, yang mana
faktor dan sebab itu tidak ada pada diri wanita dewasa. Hal demikian ini
disebabkan oleh beberapa perkara. Di antaranya ialah bahwa seorang
wanita dewasa akan memandang dirinya memiliki kemerdekaan pribadi,
apalagi dengan adanya klaim pembebasan wanita dan kesetaraan kaum wanita
dengan kaum pria.</span><br />
<span style="font-size: small;">Pada saat yang sama, sebagian wanita dewasa pun ada yang sudah
menikah namun masih tidak dapat menyesuaikan diri dengan suami dan
keluarga suami dikarenakan berbagai macam sebab seperti perbedaan adat
kebiasaan kebiasaan, perbedaan kepribadian, cara berpikir dan
sebagainya. Kemudian, kenyataan menjelaskan kepada kita bahwa pernikahan
dini lebih jauh dari kemungkinan perceraian. Maka penundaan menikah
bagi seorang perempuan justru berarti semakin dekatnya pernikahan
tersebut dengan kemungkinan perceraian. Kedua, penjelasan penting; Kami
hendak menyinggung beberapa persoalan penting di bagian akhir tulisan
ini, yaitu:</span><br />
<span style="font-size: small;">Sebenarnya, sebagian dari syubhat-syubhat di atas tidak ada kaitannya
dengan pernikahan dini itu sendiri. Sehingga ia tidak dapat menjadi
syubhat dan tidak selayaknya dimunculkan untuk membuat pernikahan dini
menjadi tampak buruk. Syubhat-syubhat itu justru mungkin juga untuk
dilontarkan pada semua bentuk pernikahan.</span><br />
<span style="font-size: small;">Mayoritas syubhat-syubhat di atas dilancarkan tidak lain oleh para
musuh Islam, dan mereka jelas tidak dapat dijadikan sebagai kepercayaan.
Bahkan mereka dapat dikenakan tuduhan memberikan stigma negatif
terhadap pernikahan dini.</span><br />
<span style="font-size: small;">Kalau ada sebuah pernikahan dini -seandainya istilah ini dapat
dibenarkan-, kemudian di dalamnya terjadi sebuah kegagalan atau
perceraian, maka sebab dari kegagalan dan perceraian itu harus dilihat.
Dan tidak selayaknya pernikahan dini itu sendiri yang dijadikan sebagai
sebab kegagalan. Hal-hal yang menyebabkan kegagalan itu bisa terdapat di
semua bentuk pernikahan. Misalnya, ada yang tidak dapat berinteraksi
dengan baik terhadap si perempuan di malam pengantin. Hal seperti ini
jelas juga bisa ada pada selain pernikahan dini. Demikian juga kalau si
perempuan tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik,
dalam urusan hubungan suami istri atau mengurus rumah dan sebagainya.</span><br />
<span style="font-size: small;"><strong>Tinjauan Ulang Atas Undang-undang Pembatasan Usia Nikah</strong></span><br />
<span style="font-size: small;">Pembatasan usia nikah pada umur 17 tahun adalah sebuah kekeliruan karena beberapa hal. Saya cukupkan dengan tiga hal saja:</span><br />
<span style="font-size: small;"><strong>Pertama,</strong> larangan menikah di bawah umur 17 tahun
bagi seorang perempuan adalah larangan atas sesuatu yang dihalalkan dan
dibolehkan oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Sehingga ia tidak dapat
diterima dari sisi ini. Kalau memang dapat dibuktikan bahwa pernikahan
dini dapat menyebabkan mudarat bagi sekian banyak perempuan, maka harus
dibedakan antara dua hal: Apakah mudarat tersebut terjadi akibat
pernikahan dini itu sendiri ataukah karena hal lain yang terpisah
darinya?</span><br />
<span style="font-size: small;">Para orang tua berkewajiban untuk mengatasi dan mencegah terjadinya
mudarat tersebut dari putri mereka tanpa harus melarang putri mereka itu
untuk menikah di usia dini. Dan perlu diingat, ketetapan bahwa
pernikahan dini itu membawa mudarat tidak bersandar pada penelitian yang
memadai dan argumen yang dapat diterima. Ia hanya memenuhi tuntutan
sekian banyak organisasi yang melancarkan desakan-desakan sehingga
lahirlah ketetapan-ketetapan semacam itu.</span><br />
<span style="font-size: small;"><strong>Kedua,</strong> efek-efek negatif yang menimpa kaum perempuan
sebagaimana yang diklaim oleh mereka yang memberlakukan undang-undang
pembatasan usia nikah, kalau memang benar, maka ia dihadapkan pada
mudarat-mudarat lain yang lebih besar. Sehingga mudarat yang lebih
ringan perlu dikedepankan untuk mencegah mudarat yang lebih berat. Sejak
mencapai usia baligh dengan mengalami haid sampai usia 17 tahun,
seorang perempuan menjalani masa-masa pergulatan dengan
dorongan-dorongan naluriahnya. Terutama di dalam kondisi masyarakat yang
penuh dengan godaan-godaan nafsu seksual dan penyimpangan-penyimpangan
moral. Ini merupakan mudarat yang harus dihindarkan dari kaum perempuan.
Bahkan ia lebih besar dari mudarat-mudarat yang disebutkan sebelumnya.
Karena mudarat ini bersifat umum, menyangkut pribadi dan masyarakat.
Mudarat tersebut harus dihilangkan dan ia tak dapat dihilangkan kecuali
melalui jalur pernikahan.</span><br />
<span style="font-size: small;"><strong>Ketiga,</strong> usia baligh pada perempuan kadangkala jauh
sebelum umur 17 tahun. Mungkin saja ia sudah baligh pada usia 8 tahun
atau lebih sedikit. Dengan demikian, ini merupakan pembedaan antara usia
baligh dan usia nikah. Seolah-olah usia baligh itu tidak menandakan
kesiapan seorang perempuan untuk menikah. Tentu tidak ada seorang pun
yang akan mengatakan demikian. Semua orang jelas akan sepakat bahwa
dengan mencapai usia baligh, seorang perempuan dikatakan telah siap
untuk menikah dan hamil.</span><br />
<span style="font-size: small;">Larangan menikah sebelum usia 17 tahun mengandung mudarat bagi sekian
banyak keluarga. Karena cukup banyak keluarga di Yaman dan selainnya
yang menikahkan anak-anak perempuan mereka karena beberapa maksud
tertentu, di antaranya adalah agar si perempuan dapat membantu mengurus
keluarga suaminya. Demikian.</span><br />
<span style="font-size: small;">Wa shallallahu wa sallama wa baarak ‘ala nabiyyina muhammad wa ‘ala aalihii wa shahbih.</span><br />
<span style="font-size: small;">(Sumber: <a href="http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=377113">http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=377113</a>)</span><br />
<span style="font-size: small;"><strong>Dari:</strong> Majalah Akhwat Shalihah vol. 11/1432 H/2011, hal. 41-46.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-43737320402859180122012-11-25T03:07:00.004+07:002012-11-25T03:07:52.221+07:00HTI YANG LUCU DIMANA AKIDAH IKHTILATMU??<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<img alt="" class="spotlight" height="266" src="http://sphotos-e.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/248851_302781459832683_1098442555_n.jpg" style="height: 383px; width: 574px;" width="400" /><i><span style="font-size: large;"><span class="fbPhotosPhotoCaption" id="fbPhotoSnowliftCaption" tabindex="0"><span class="hasCaption">HTI
berjuang menerapkan syariat Islam secara kaffah, tapi dalam acara
silahturahmi muharrram 1433 H, di jawa tengah, para peserta ikhwan dan
akhwat satu ruangan tanpa hijab, satu sama lainnya, bisa memandang.
apakah pantas, Hizbut Tahrir pantas sebagai pejuang syariah Islam ?
aneh. lihat fotonya di : <a href="http://m.hizbut-tahrir.or.id/2011/12/26/foto-silaturahmi-muharam-1433-jawa-tengah/" rel="nofollow nofollow" target="_blank"><span>http://</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>m.hizbut-tahrir.or.id/2011/</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>12/26/</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>foto-silaturahmi-muharam-14</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span>33-jawa-tengah/</a></span></span><span class="fbPhotoTagList" id="fbPhotoSnowliftTagList"><span class="fcg"> —</span></span></span></i>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-74102197900139977842012-11-23T04:02:00.000+07:002012-11-23T04:02:03.927+07:00**Ketika Kelak Allaah Memilihmu Untukku (Edisi Romantis)**<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLw7ImUJz4ct2YFWzuk7DmBwgMnWbURHyt7pRE0fgSYs_dvDUTMG8K49834XFw7bS8tXqyMNptX7jmkgpPuE2bWVzvQFUgzbqa6aIyz6ZhhYlEFsTkrj3zfA_EYwbTf99ezjsdYtT_nLH_/s1600/254332_3864429097788_314355867_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="179" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLw7ImUJz4ct2YFWzuk7DmBwgMnWbURHyt7pRE0fgSYs_dvDUTMG8K49834XFw7bS8tXqyMNptX7jmkgpPuE2bWVzvQFUgzbqa6aIyz6ZhhYlEFsTkrj3zfA_EYwbTf99ezjsdYtT_nLH_/s320/254332_3864429097788_314355867_n.jpg" width="320" /></a></div>
<i><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><span class="hasCaption"><br /> <br /> <br /> <span style="color: magenta;">Padamu yang kelak Allah pilihkan dalam hidupku..</span> </span></span></span></i><br />
<div class="text_exposed_show">
<i><span style="font-size: small;"><span style="color: magenta;"> Ingin ku beri tahu padamu..<br /><br /> Aku hidup dan besar dari keluarga tak berpunya dan mengarah sederhana..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Orang tua yg begitu sempurna walau ada kekurangannya..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Dengan cinta yg begitu membuncah tak terkisah..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Aku dibesarkan degan limpahan kasih yang tak terhingga jika di tadah..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Maka, padamu ku katakan..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Saat esok Allah memilihmu dalam hidupku,</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Maka saat itu Dia berharap, kau pun sanggup melimpahkan cinta padaku dengan</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> sabarmu..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Memperlakukanku dengan sayang yang begitu indah walau yang ku tuntut bukanlah</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> sempurna..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /><br /><br /> Padamu yang suatu hari anti Allah pilihkan untukku..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Ketahuilah, aku hanya lelaki biasa biasa dengan begitu banyak kekurangan dalam</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> diriku,</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Aku bukanlah lelaki sempurna, seperti yang mungkin kau harapkan..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Bukan pula lelaki tampan seperti tokoh romann picisan</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Atau lelaki tangguh nan shalih seperti kisah nyata para pejuang islam</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Maka, ketika Dia memilihmu untukku,</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Maka saat itu, Dia ingin menyempurnakan kekuranganku dengan keberadaanmu</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> disisiku.</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Dan aku tahu, Kaupun bukanlah wanita yang sempurna seperti dalam dialek novel asmara..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Dan aku juga tau kau bukan wanita tersabar seperti istri para syuhada di medan perang</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Dan ku berharap ketidaksempurnaanku mampu menyempurnakan dirimu..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Begitupun seujung kuku kelebihan yang ada padamu menyatu dengan sedikit kelebihan yang ada padaku</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Karena kelak kita akan satu..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Aibmu adalah aibku, dan indahmu adalah indahku,</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Kau dan aku akan menjadi ‘kita’..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /><br /><br /> Padamu yang kelak insyaAllaah Allah pilihkan untukku..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Ketahuilah, sejak kecil aku ditempa dengan peluh dan susah payah,</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Membentukku menjadi lelaki yang berusaha selalu mencintai Rabbnya..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Maka ketika Dia memilihmu untukku,</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Maka saat itu, Allah mengetahui bahwa kaupun telah menempa dirimu dengan kehendakNya..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Maka gandeng tanganku dalam mengibarkan panji-panji dakwah dalam hidup kita..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Itulah visi pernikahan kita.. Ibadah pada-Nya Ta’ala semata..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /><br /><br /> Padamu yang esok Allah tetapkan sebagai makmumku..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Ingatlah.. Aku adalah mahlukNya dari anak cucu adam yang pasti memiliki salah dan dosa..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Ada kalanya aku akan begitu membuatmu marah..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Maka, ketahuilah.. Saat itu Dia menghendaki kau menasihatiku dengan hikmah,</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Sungguh hatiku tetaplah lelaki yang lemah pada kelembutan..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Namun jangan kau coba mengikuti khilafku, karena aku akan patah jalan..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Dan jangan pula membiarkanku begitu saja, karena akan selamanya aku salah..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Namun tatap mataku, tersenyumlah..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Tenangkan aku dengan genggaman tanganmu..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Dan nasihati aku dengan bijak dan hikmah..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Niscaya, kau akan menemukanku tersungkur menangis di pengakuanku di hadapan Rabbku..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Maka ketika itu, kau kembali memiliki hatiku..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /><br /><br /> Padamu yang kelak akan Allah tetapkan sebagai atap sandar lelahku..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Ketahuilah, ketika ijab atas namamu telah ku lontarkan dalam ucap..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Maka dimataku kau adalah yang terindah,</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Kata-katamumu adalah titah penyemangat untukku,</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Selama tak bermaksiat pada Allah, akan ku penuhi semua perintahmu selagi aku mampu..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Maka kalau kau berkenan ku meminta..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Jadilah hunian yg indah serta ladang yang rindang di pandangan,dan bangunan yang kokoh…</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Yang mampu membuatku dan anak-anak kita nyaman dan aman di dalamnya..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /><br /><br /> Padamu yang akan Allah pilih menjadi pendamping hidupku…</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Dalam istana kecil kita akan hadir buah hati-buah hati kita..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Maka didiklah mereka menjadi generasi yg dirindukan syurga dengan ilmunya..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Yang di pundaknya akan diisi dgn amanah-amanah dakwah,</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Yang ruh dan jiwanya selalu merindukan jihad..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Yang darahnya mengalir darah syuhada..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Dan di lisan mereka mengalir nasehat-nasehat Tauhid</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Dan di tangan jemari mereka meretas sunnah-sunnah yang shahih</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Dan ku yakin dari tanganmu yang penuh tadah,dan lisamu yang hikmah</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> kau mampu membentuk mereka..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Dengan hatimu yg penuh cinta,</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> kau mampu merengkuh hati mereka..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Dan aku akan selalu jatuh cinta padamu..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /><br /><br /> Padamu yang Allah pilih sebagai makmumku…</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Ku memohon padamu..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Ridhalah padaku,pada kekuranganku, dan pada ketiadaanku</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Mudahkanlah jalanku ke Surga-Nya..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Karena bagiku kau adalah jembatan syurgaku..</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> Untukmu yang kelak Allaah pilihkan Untukku </span> <span style="color: magenta;"><span id="goog_876778657"></span><span id="goog_876778658"></span><br /><br />
Ingatlah pesanku ini Imam ibnu Qudamah Rahimahullahu berkata : ''
Ketahuilah jika engkau mencari seseorang yang bersih dari kekurangan
niscaya engkau tidak akan mendapatkannya. Barangsiapa yang kebaikannya
mendominasi daripada kejelekannya maka itulah yang seharusnya dicari. ''
[ Mukhtashar Minhajil Qashidin hal.10]</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> —–@***@—–</span> <span style="color: magenta;"><br /><br />
Dari Asy'ats bin Said dari Ibnu Aun : " Tidaklah seorang hamba dikatakan
ridho yang sebenarnya sebelum ridhonya kepada kemiskinan sama dengan
ridhonya kepada kekayaan, bagaimana bisa dikatakan menerima takdir Allah
dalam urusanmu jika engkau benci dengan takdir yang berlawanan dengan
keinginanmu.? bisa jadi sesuatu yang engkau inginkan seandainya hal itu
terlaksana maka hal itu akan menghancurkanmu dan jika engkau ridho
dengan takdir yang sesuai dengan keinginanmu berarti engkau tidak
bijaksana dengan dirimu dan berarti pula engkau tidak memiliki ridho
yang sebenarnya ". (jawahir sifatus shafwah).</span> <span style="color: magenta;"><br /><br /> [By Abu Abdillaah ibnu Abbas/ Ar-Riauniy Pekanbaru 9 Muharram 23-11-12] </span> </span></i></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-11373169787987825172012-11-20T00:54:00.002+07:002012-11-20T00:54:34.351+07:00... " Untukmu Hati, Renungkan !!! " ..<div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGz4MFV7SHfdFNMPxfggYenBf6QsIAVi7IiEMv-s8bho_ks7WlKtpyl6sgQvSJ9rwXFRRer1slTcfRmDk_mPGPdaohA0jtWId5OAbR2o0RKp1RGOJoiCs4f43tPaF0gNzPlHpt599nONPW/s1600/370819_100002774790559_1498495688_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGz4MFV7SHfdFNMPxfggYenBf6QsIAVi7IiEMv-s8bho_ks7WlKtpyl6sgQvSJ9rwXFRRer1slTcfRmDk_mPGPdaohA0jtWId5OAbR2o0RKp1RGOJoiCs4f43tPaF0gNzPlHpt599nONPW/s320/370819_100002774790559_1498495688_n.jpg" width="320" /></a></div>
<h2 class="uiHeaderTitle">
<br /></h2>
</div>
<div class="clearfix">
<div class="mbs uiHeaderSubTitle lfloat fsm fwn fcg">
<br /><span class="timelineUnitContainer"></span></div>
</div>
<div class="mbl notesBlogText clearfix">
<span><div>
Duhai hati..<br />
<br />
Letih
yang engkau rasakan selama ini mungkin tak sebanding dengan letihnya
hati mereka dalam menapaki kehidupan ini. Di dalam keletihan itu,
mereka memahami bahwa letihnya mereka akan membuat mereka menjadi
orang-orang seperti yang dicitakan. Lalu bagaimana denganmu wahai
hatiku.. Baru sebentar saja engkau merasa letih tapi kau sudah merintih
bagai seribu tahun kau mengalaminya.. Malulah pada mereka yang merasa
letih tetapi mereka memaknai letihnya sebagai sesuatu yang dapat
mengantarkannya pada sebuah kebahagiaan.. Bukankah orang yang berjuang
dan berkorban itu letih? Bukankah akhir dari perjalanan orang yang
berjuang dan berkorban itu sebuah kebahagiaan jika dijalani dengan
ikhlas dan penuh kesungguhan??<br />
<br />
Duhai hati..<br />
<br />
Lelah
memang terus menerus hal-hal kurang mengenakkan itu menerpa hidupmu.
Tetapi jika kau renungi kembali kisah di atas, perjuangan mereka tidak
mengenal lelah. Setiap lelah menghinggapi mereka, mereka beristirahat
dan kemudian bangkit berjuang kembali. Mereka paham kalau diamnya
mereka tak dapat membuahkan hasil apapun bagi kehidupannya. Mereka
yakin perjuangan dan pengorbanannya selama ini, berlelah-lelahan, akan
berbuah sebuah kebahagiaan yang tak dapat tergantikan nikmatnya. Lalu
bagaimana denganmu wahai hatiku.. Baru sebentar saja kau diberi cobaan
dan ujian tapi kau sudah merasa lelah dan menyerah.. Malulah kau pada
mereka yang tak punya apa-apa tapi mereka tetap istiqamah berjuang dan
berkorban hingga cita-cita mereka tercapai.. Bukankah orang yang
berjuang dan berkorban itu lelah? Bukankah akhir dari kelelahan orang
yang berjuang dan berkorban itu sebuah kebahagiaan jika dijalani dengan
ikhlas dan penuh kesungguhan??<br />
<br />
Duhai hati..<br />
<br />
Sakit
yang terus menyapamu selama ini adalah ujian dan cobaan dari Allah
seberapa kokohnya engkau menjalani apa-apa yang engkau yakini atas-Nya.
Dia ingin tahu seberapa seriuskah engkau dalam menapaki jalan
kehidupan yang sudah Dia gariskan. Sakit yang Dia berikan adalah sebuah
perhatian khusus-Nya kepadamu. Dia masih sayang kepadamu dengan
memberikan ujian dan cobaan. Andai saja kau tak merasa diuji dan diberi
cobaan, maka kau akan merasa aman-aman saja, padahal kau sedang berada
di tepian jurang yang menganga lebar dan siap menerkammu kapan saja kau
lengah..<br />
<br />
Duhai hati..<br />
<br />
Capeknya dirimu
menghadapi segala permasalahan yang engkau temui di sekitarmu, itulah
yang terus mengajarkanmu untuk dapat memahami sekelilingmu dengan lebih
baik lagi. Di kananmu ada orang-orang yang engkau sayangi dan kasihi.
Di depanmu ada orang-orang yang engkau hormati. Di kirimu ada
orang-orang yang engkau senantiasa bercengkerama dengannya. Di
belakangmu ada orang-orang yang selalu mendukungmu dalam tiap doanya
meski kau tak pernah tahu.<br />
Duhai hati..<br />
<br />
Seorang
ustadz pernah menyampaikan, jika tak senang dengan sepatumu yang lusuh,
ingatlah mereka yang tak berkaki namun tak mengeluh. Semoga kita
selalu dapat mengingatnya duhai hati.. Seberapa letih, lelah, dan
sakitnya engkau.. Masih ada orang-orang yang merasakan itu lebih dari
kita tetapi mereka tetap tak mengeluh.. Ada saja cara mereka untuk
menyemangati diri.. Ada saja sugesti untuk membuat diri mereka
semangat.. Ada saja pemikiran positif yang mereka punya hingga mereka
tetap bersemangat.. Ada saja cita-cita yang ingin mereka gapai hingga
semangat itu tetap terpatri di dada mereka..<br />
<br />
Duhai hati..<br />
<br />
Tetaplah istiqamah..<br />
<br />
Walau itu berat bagimu..<br />
<br />
Percayalah kau mampu menjalaninya..<br />
<br />
Asalkan kau selalu menyertai Allah dalam segala hal..<br />
<br />
Terpautnya kau duhai hatiku pada Sang Khalik..<br />
<br />
Akan membuatmu semakin cantik dan tangguh..<br />
<br />
Karena kau adalah mutiara di lautan..<br />
<br />
Yang akan terus terjaga sampai masa memisahkan..<br />
<br />
Duhai hati.. Tetaplah istiqamah..<br />
[pertengahan Muharram 20-11-12 Pekanbaru]<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<span class=""><img alt="" class="photo_img img" src="http://sphotos-g.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc7/399902_337348609619066_2127891691_n.jpg" /></span></div>
</span></div>
<br />Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-84227312116446601512012-11-20T00:29:00.003+07:002012-11-20T00:29:48.802+07:00Seputar Air Madzi<h1>
<strong><br /></strong></h1>
<div style="text-align: center;">
<img alt="" class="aligncenter" height="420" src="http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/9/9d/Water_drop_on_a_leaf.jpg/568px-Water_drop_on_a_leaf.jpg" title="WATER DROP" width="398" /></div>
<strong>Pertanyaan:</strong><br />
<strong>1. Apakah nama lain dari sesuatu atau cairan yang keluar dari
alat kelamin (laki-laki) bila melihat sesuatu yang merangsang syahwat?</strong><br />
<strong>2. Apakah wajib mandi atau tidak, bila itu keluar?</strong><br />
<strong>3. Kalau dipandang dari segi medis, normal atau tidak?</strong><br />
<strong>Dijawab oleh Al-Ustadz Dzulqarnain:</strong><br />
1. Cairan yang dimaksud dikenal dengan nama<strong> ‘</strong><em><strong>madzi’</strong></em><strong>. </strong>Ciri air <em>madzi</em>
adalah bening, lembut dan agak lengket. Keluar tatkala mengingat
hal-hal yang menjurus ke lawan jenis (hub.intim) atau sedang melakukan
pendahuluan-pendahuluan dalam berhubungan intim. Kadang-kadang terasa
tatkala keluarnya dan kadang tidak terasa dan setelah keluar tidak
diikuti dengan rasa letih.<span id="more-1491"></span><br />
Lihat : <strong><em>Al-Mughny </em></strong>1/413 karya Imam Ibnu Qud<span style="text-decoration: underline;">a</span>mah Al-Maqdasy dan <strong><em>Al-Majm<span style="text-decoration: underline;">u</span>’ </em></strong>2/161
karya Imam An-Nawawy.Dan perlu diketahui bahwa cairan ini tidak hanya
keluar dari laki-laki tetapi wanita pun bisa mengalami hal yang sama.<br />
2. Orang yang keluar darinya madzi ini tidaklah wajib baginya untuk
mandi tapi hanya wajib baginya untuk berwudhu dan membersihkan pakaian
atau bagian tubuh yang terkena <em>madzi</em> tersebut. Sebab <em>madzi</em>
itu adalah merupakan najis dan salah satu pembatal wudhu menurut
kesepakatan para ulama. Dalil akan hal ini adalah hadits ‘Ali bin Abi Th<span style="text-decoration: underline;">o</span>lib riwayat <strong>Bukhary-Muslim</strong>, Beliau berkata :<br />
<div align="right">
<strong>كُنْتُ</strong><strong> </strong><strong>رَجُلاً</strong><strong> </strong><strong>مَذَّاءً</strong><strong> </strong><strong>فَأَمَرْتُ</strong><strong> </strong><strong>الْمِقْدَادَ</strong><strong> </strong><strong>أَنْ</strong><strong> </strong><strong>يَسْأَلَ</strong><strong> </strong><strong>النَّبِيَّ</strong><strong> </strong><strong>صَلَّى</strong><strong> </strong><strong>اللهُ</strong><strong> </strong><strong>عَلَيْهِ</strong><strong> </strong><strong>وَآلِهِ</strong><strong> </strong><strong>وَسَلَّمَ</strong><strong> </strong><strong>فَسَأَََََلَهُ</strong><strong> </strong><strong>فَقَالَ</strong><strong> </strong><strong>فِيْهِ</strong><strong> </strong><strong>الْوُضُوْءُ</strong></div>
<em>“Saya adalah seorang lelaki yang banyak keluar madzi maka saya perintahkan Al-Miqd<span style="text-decoration: underline;">a</span>d untuk bertanya kepada Nabi shollall<span style="text-decoration: underline;">a</span>hu ‘alaihi wa <span style="text-decoration: underline;">a</span>lihi wa sallam (tentang hal tersebut) maka ia pun bertanya padanya maka beliau menjawab : “wajib untuk berwudhu”.</em>Lihat : <strong><em>Al Ausath </em></strong>1/134 karya Ibnul Mundzir, <strong><em>Syarah Muslim </em></strong>3/213, <strong><em>Al Majm<span style="text-decoration: underline;">u</span>’</em></strong> 2/142 keduanya karya imam Nawawi dan <strong><em>Al I’l<span style="text-decoration: underline;">a</span>m </em></strong>1/650 karya Ibnul Mulaqqin.<br />
3. Dalam keadaan yang diterangkan di atas tentang sebab keluarnya <em>madzi </em>itu
adalah perkara yang normal dan orang-orang berbeda tingkat kepekaannya
dalam hal ini. Tetapi hal tersebut menjadi tidak normal apabila ia
selalu membiarkan dirinya ketika mengalami sesuatu yang membangkitkan
syahwatnya sehingga menjadi sebab air <em>madzi </em>tersebut keluar dan menjadi terbiasa. <em>Wallahu A’lam</em>.<br />
Diambil dari <a href="http://www.an-nashihah.com/index.php?op=NEArticle&sid=15">http://www.an-nashihah.com/index.php?op=NEArticle&sid=15</a>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4133392241546578835.post-82748412277457206172012-11-20T00:27:00.000+07:002012-11-20T00:27:24.069+07:00INILAH CONTOH PEMIKIRAN JIL YANG BERBAHAYA<br /><h1>
<span style="font-size: 20px; line-height: 30px;"><span style="color: lime;">Bahaya Kebebasan Berpikir</span></span>
<span style="color: #555555;"><strong></strong></span></h1>
<span style="color: #555555;"><strong>Oleh Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 95 Tahun II</strong></span><br />
<span style="color: #555555;"><strong><a href="http://kaahil.files.wordpress.com/2009/06/picture-of-brain2.jpg"><img alt="picture-of-brain2" class="aligncenter size-full wp-image-1281" src="http://kaahil.files.wordpress.com/2009/06/picture-of-brain2.jpg?w=570" title="picture-of-brain2" /></a><br />
</strong></span><br />
<img alt="" src="http://ahlussunnah-jakarta.com/images/bismillaah.gif" /><br />
Beberapa hari yang lalu kami memungut selembar koran harian Tribun
Timur(edisi Jumat, 4 Juli 2008 M). Sejenak kami membolak-balik koran
bekas itu, tiba-tiba kami menemukan pada (hal.4), di bawah rubrik Tribun
Opini terdapat sebuah tulisan yang nampaknya cukup “ilmiah”. Hal itu
terlihat dari judulnya yang tertulis <strong>“Islam: Inovasi atau Stagnasi?” </strong>yang ditulis oleh <strong>Ismail Amin</strong>, seorang mahasiswa Mostafa Internasional University Islamic Republic of Iran. Selanjutnya kami sebut dengan “si Penulis”<br />
Nampaknya ilmiah, namun ternyata tulisan ini memuat beberapa perkara
yang menunjukkan bahwa tulisan ini tidak ilmiah menurut tinjauan
syari’at, bahkan bersifat tendensial. Si Penulis dalam artikel itu
berusaha mengomentari kondisi kemunduran teknologi dan perekonomian kaum
muslimin yang dikaitkan dengan agama.<br />
Tulisan ini mengingatkan kami dengan sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah-radhiyallahu ‘anhu- dari Rasulullah -Shallallahu
‘alaihi wa sallam- bersabda,<br />
<div style="text-align: right;">
</div>
سَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ, يُصَدَّقُ
فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ, وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا
الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا اْلأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا
الرُّوَيْبِضَةُ . قِيْلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قال: الرَّجُلُ
التَّافِهُ فِيْ أَمْرِ العَامَّةِ<br />
<br />
“Akan datang pada manusia tahun-tahun yang menipu; di dalamnya
pendusta dibenarkan, orang jujur didustakan; orang yang penipu
dipercaya, dan orang yang amanah dianggap pengkhianat, serta ruwaibidhoh
ikut berbicara”. Ada yang bertanya, “Apa itu ruwaibidhoh (orang
lemah)?” Beliau bersabda, “Dia adalah seorang hina (dungu) berkomentar
tentang urusan umum”. [HR. Ibnu Majah dalam Kitab Al-Fitan (4036).
Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah
(no.1887)]<br />
Tulisan ini sengaja kami angkat & komentari sebagai contoh
sederhana bahwa seorang yang belajar kepada orang-orang Syi’ah-Rofidhoh
di Repulik Iran, akan mengalami perubahan dalam gaya bahasa dan berpikir
bebas, tanpa kontrol dalam mengeritik perkara yang sudah baku, dan tak
ada hak otoritas baginya dalam hal itu. Sampai Nabi -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- pun berusaha dikritik. Pembaca akan melihat sepak terjangnya
dalam beberapa poin berikut:<br />
<strong>* Tertipu dengan Kemajuan kaum kafir, dan Bersedih atas Kemunduran Kaum Muslimin dalam Perkara Keduniaan </strong><span id="more-1280"></span><br />
Para pembaca yang budiman, si Penulis termasuk rangkaian para korban
yang tertipu dengan kemajuan kaum kafir –semisal USA- dalam teknologi
dan perekonomian, dan sebaliknya menyedihkan ketertinggalan dan
kemunduran kaum muslimin dalam hal itu. Dengarkan ia bersedih, <strong>“Ketertinggalan
bangsa kita, khususnya umat Islam, dalam pengembangan ilmu pengetahuan
tidak terbantahkan. Etos keilmuan masyarakat kita sangat rendah”. [Lihat
Tribun Timur (hal.4)] </strong><br />
Sebelumnya ia mengawali kesedihannya dengan menukil ucapan orang yang
sepemikiran dengannya, yaitu Nurcholis Madjid saat ia berkata, <strong>“Praktis
di semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam
adalah yang paling rendah dalam sains dan teknologi”.[Tribun (hal.4)] </strong><br />
Seorang yang menyinari dirinya dengan cahaya Al-Qur’an & Sunnah
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sebenarnya tak perlu terlalu
menyedihkan hal itu. Allah -Ta’ala- berfirman,<br />
“Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang
kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara,
kemudian tempat tinggal mereka ialah jahannam; dan Jahannam itu adalah
tempat yang seburuk-buruknya”. (QS. Ali Imraan: 196-197).<br />
Kebebasan dan kemajuan orang-orang kafir dalam perdagangan dan
teknologi tidak perlu menyedihkan kita, karena mereka hanya
bersenang-senang dalam waktu pendek. Adapun orang-orang beriman mereka
akan mendapatkan kesenangan abadi. Kalian Cuma bisa berusaha di dunia,
Allah yang menentukan kemenangan [Lihat Taisir Al-Karim (hal. 162)]<br />
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
<br />
<div style="text-align: right;">
</div>
فَوَاللهِ لاَ الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنْ أَخْشَى
عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ
كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوْهَا كَمَا تَنَافَسُوْهَا وَتُهْلِكَكُمْ
كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ<br />
“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas diri
kalian. Tapi khawatirkan kalau dibukakan dunia bagi kalian sebagaimana
telah dibukakan bagi orang-orang (kafir) sebelum kalian, lalu mereka pun
berlomba-lomba meraihnya sebagaimana mereka berlomba-lomba meraihnya;
(aku juga khawatirkan) kalau dunia itu akan membinasakan kalian
sebagaimana dunia telah membinasakan mereka”. [HR. Al-Buhkoriy dalam
Shohih-nya (3158, 4015 & 6425), dan Muslim (2961)]<br />
Yang perlu disedihkan adalah terjadinya kemunduran beragama . Kalian
akan melihat kemunduran beragama ini dengan merebaknya kesyirikan
dimana-mana, bid’ah, maksiat, dan kekafiran sebagaimana yang terlihat di
negeri kita, bahkan di negeri yang dikagumi oleh si Penulis, yaitu
Iran. Di Iran –khususnya bulan Muharram- banyak terjadi kesyirikan,
bid’ah, maksiat, kekafiran dan pelanggaran agama ketika memperingati
hari kematian Husain.<br />
Di hari itu mereka (Syi’ah-Rofidhoh) di Karbala’ ( Irak) berpesta
pora sambil menzalimi diri mereka dengan melukai kepala mereka sebagai
ungkapan belasungkawa atas penderitaan Husain saat ia dibunuh menurut
sangkaan mereka yang batil. Di hari itu mereka melakukan acara ritual
yang aneh dengan meletakkan dahi mereka dan bersujud di tanah sambil
merangkak, menuju pusara Husain yang mereka pertuhankan. Belum lagi
kebencian mereka yang amat ekstrim kepada para pejuang Islam, yakni para
sahabat, seperti Abu Bakr, Umar, Utsman, Abu Hurairah, A’isyah dan
lainnya -radhiyallahu ‘anhum- .<br />
<strong>* Pesantren Dianggap sebagai Tempat Pembelengguan Akal </strong><br />
Di mata si Penulis, pesantren dianggap tempat pembelengguan akal. Ini nampak dalam ucapannya, “<strong>Kebanyakan
lembaga pendidikan Islam (baca: pesantren) justru menjadi tempat
pembelengguan potensi kreatif anak didik yang paling efektif”. [Tribun
hal.4] </strong><br />
Pesantren merupakan pusat pendidikan Islam dari dulu sampai kini yang
menciptakan banyak kader ulama, bukan tempat pembelengguan akal. Jika
sebagian pesantren memusatkan perhatiannya dengan masalah agama sehingga
mereka minim pengetahuan umumnya, maka ini bukanlah suatu celaan bagi
pesantren.<br />
Sama halnya, jika ada lembaga pendidikan umum yang memusatkan
perhatiannya dengan ilmu pengetahuan umum sehingga lebih minim ilmu
agamanya, maka ini juga bukanlah celaan baginya. Masing-masing lembaga
mengembangkan kemampuannya dalam membangun Islam. Perlu diketahui oleh
si Penulis, pesantren kini juga telah mengembangkan sayapnya dalam ilmu
pengetahuan umum. Lalu mengapa si Penulis menyudutkan pesantren? Apakah
si Penulis menginginkan kita semua sibuk dengan ilmu dunia sehingga kita
meninggalkan ilmu agama dan semua jahil? Ataukah sekedar cari jalan
mencela Islam & ulama agar ia naik pamor?! Wallahu a’lam.<br />
Sebenarnya yang perlu disalahkan (baca: dikritik) oleh si Penulis
jika umat Islam terbelakang dalam teknologi adalah para inteketual dan
cendekiawan yang berkiprah di ilmu pengetahuan umum. Jangan malah
pesantren dikambinghitamkan sehingga pada gilirannya memberikan opini
bahwa Islam tidak relevan , statis, dan tidak menerima perkembangan
teknologi yang membangun Islam. Jika ada yang memusatkan diri belajar
agama, maka tak ada salahnya agar kaum muslimin juga kuat dalam segi
agama. Sebab kejayaan itu ada pada kekuatan pemeluknya berpegang teguh
dengan agamanya.<br />
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
<br />
<div style="text-align: right;">
</div>
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ
الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ
عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَيَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ<br />
“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah, memegang ekor-ekor sapi
(sibuk ternak), ridho dengan bercocok tanam (sibuk tani), dan kalian
meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan kehinaan atas diri
kalian; tak akan dicabut oleh Allah sampai kalian kembali kepada agama
kalian”. [HR. Abu Dawud dalam Kitabul Ijaroh (3462). Hadits ini
di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (11)]<br />
Dengan kembali kepada agama-Nya, maka Allah akan bukakan bagi mereka
pintu-pintu kebaikan dan berkah duniawi dan ukhrawi, seperti yang
dialami oleh negeri Saudi Arabia.<br />
<strong>* Berburuk Sangka kepada Ulama & Tidak Menghargai Jasa Para Ulama</strong><br />
Kebiasaan orang Syi’ah-Rofidhoh dalam mencela ulama, ini diadopsi dan
diserap oleh si Penulis. Lihat saja ia merendahkan ulama dan menutup
mata dari jasa baik mereka saat si Penulis berkata, <strong>“Selain itu,
apapun dari ustadz dan ulama selalu dianggap benar tanpa studi kritis
yang berarti. Islam yang kita kenal dari mereka tidak lebih dari deretan
aturan hitam putih”.[Lihat Tribun (hal.4)] </strong><br />
Apa yang dinyatakan oleh si Penulis tidak bisa dibenarkan secara
mutlak. Sebab kaum muslimin paham bahwa para ulama bukan nabi dan rasul
sehingga harus taqlid sepenuhnya. Kaum muslimin paham bahwa seorang
ulama hanyalah pewaris para nabi dalam menyampaikan risalah Islam, namun
mereka tak maksum (tak bersih dari dosa dan kesalahan). Mereka manusia
biasa seperti kita, bisa jadi benar atau salah. Jika ia benar karena
mengikuti Sunnah, maka kita wajib mengikutinya. Sebaliknya, jika mereka
keliru karena menyelisihi sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
maka kita tinggalkan ucapan ulama tersebut, dengan tetap memuliakannya
sesuai posisinya, tanpa ekstrim dalam mendudukkan mereka seperti nabi
atau tuhan !! Al-Imam Malik -rahimahullah- berkata, “Setiap orang boleh
diambil ucapan dan pendapatnya, dan juga boleh ditinggalkan kecuali
penghuni kubur ini (yakni Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-)”. [Lihat
Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih (2/91)oleh Ibnu Abdil Barr]<br />
Jadi, para ulama adalah pewaris para nabi dalam menyampaikan risalah
Islam, didudukkan pada tempatnya, tanpa mengkultuskannya, dan tidak pula
merendahkan dan menghinakannya. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
<br />
<div style="text-align: right;">
</div>
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ, وَإِنَّ
اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا, وَرَّثُوْا
الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ<br />
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Sedang para nabi
tidaklah mewariskan dinar dan dirham. Tapi mereka hanya mewariskan ilmu
(agama). Jadi, barang siapa yang mengambilnya, maka sungguh ia telah
mengambil bagian yang banyak”. [HR. Al-Bukhoriy secara mu’allaq dalam
Kitabul Ilmi (1/37), Abu Dawud dalam Kitab Al-Ilmi (3641), At-Tirmidziy
dalam Kitabul Ilmi (2682), dan Ibnu Majah (223). Lihat Shohih Al-Jami’
(6297)]<br />
Si Penulis bukan Cuma ulama masa kini yang direndahkan, bahkan
sahabat dan murid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yaitu sahabat
Abu Hurairah. Tak heran jika si Penulis melakukan hal itu, sebab para
pendahulu mereka dan guru mereka di Iran yang beragama Syi’ah-Rofidhoh,
amat besar kebenciannya kepada para sahabat, utamanya Abu Hurairah,
karena beliaulah yang banyak meriwayatkan hadits yang berisi ajaran
Islam. Mereka mencela Abu Hurairah agar dapat menjauhkan kaum muslimin
dari Islam.<br />
Dengarkan si Penulis merendahkan sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, <strong>“Maksimalisme
agama pada dasarnya hanya menempatkan otak hanya sebagai isi kepala
tanpa peran berarti… Maksimalisme agama hanya akan menyeret manusia
zaman Bill Gates ini ke zaman Abu Hurairah”. [Lihat Tribun (hal.4)]<br />
</strong><br />
Ini merupakan pelecehan kepada sahabat Abu Hurairah, sebab ucapan ini
menjelaskan bahwa Abu Hurairah termasuk orang yang terpasung otaknya,
hanya membebek buta kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Bahkan
ini merupakan pelecehan kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
sebab menuduh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memasung otak
dan akal para sahabatnya, tanpa dibiarkan berpikir. Sungguh ini adalah
ucapan kufur yang bisa membuat seorang murtad, sebab mengolok-olok Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam-.<br />
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka
lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah
bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan
Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”Tidak usah
kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman”. (QS. At-Taubah:
65-66).<br />
Syaikh Ibnu Nashir As-Sa’diy -rahimahullah- berkata ketika
menafsirkan ayat ini, “Sesungguhnya mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya,
dan Rasul-Nya adalah kekafiran yang mengeluarkan orang dari agamanya,
karena prinsip agama ini terbangun di atas pengagungan kepada Allah,
agama, dan Rasul-Nya. Sedangkan mengolok sesuatu di antara perkara itu
adalah merobohkan prinsip ini, dan menentangnya dengan
sekeras-kerasnya”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 343)]<br />
Demikian pula mengolok-olok sahabat, apalagi sampai merendahkan dan
mencelanya, bahkan sampai mengkafirkannya. Perbuatan seperti hanyalah
dilakukan kaum zindiq (munafiq). Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda dalam menerangkan martabat para sahabat,
<br />
<div style="text-align: right;">
</div>
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَلَوْا أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ<br />
“Janganlah kalian mencela para sahabatku. Andaikan seorang di antara
kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, niscaya infaq itu tak mampu
mencapai satu mud infaq mereka, dan tidak pula setengahnya”.
[HR.Al-Bukhary dalam Ash-Shahih (3470), Muslim (2541)].<br />
<blockquote>
<strong>Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Rozy -rahimahullah-
berkata, “Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang sahabat
Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam-, maka ketahui bahwa orang itu
zindiq. Karena Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam- di sisi kami benar,
dan Al-Qur’an adalah kebenaran. Sedangkan yang menyampaikan Al-Qur’an
ini kepada kami adalah para sahabat Rasulullah -shollallahu ‘alaihi
wasallam-. Mereka (para pencela tersebut) hanyalah berkeinginan untuk
menjatuhkan saksi-saksi kami agar mereka bisa membatalkan Al-Kitab dan
As-Sunnah. Padahal celaan itu lebih pantas bagi mereka, sedang mereka
adalah orang-orang zindiq”. [Lihat Al-Kifayah, (hal. 49)] </strong></blockquote>
Terakhir, kami nasihatkan melalui ucapan Al-Hafizh Ibnu Asakir
-rahimahullah-, “Ketahuilah bahwa daging para ulama -rahmatullah alaih-
adalah beracun. Diantara sunnnatullah dalam menyingkap aib orang yang
merendahkan mereka adalah telah dimaklumi, karena mencela mereka dengan
sesuatu yang tak ada pada mereka adalah perkaranya besar”. [Lihat
Tabyiin Kadzib Al-Muftari (hal. 29)]<br />
Mudah-mudahan torehan pena ini menjadi nasihat bagi si Penulis dan
orang-orang yang tertipu dengan agama Syi’ah-Rofidhoh. Kami berharap
kepada Allah Yang Maha Pemurah lagi Penyayang agar kami dimatikan di
atas Islam yang dibawa oleh para sahabat.<br />
Sumber :<br />
http://almakassari.com/?p=320Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/14679605248429460351noreply@blogger.com0