BANTAHAN ILMIYAH TERHADAP MEREKA YANG MENUDUH WAHABY/SALAFY TELAH MEMALSUKAN ISI KITAB AL IBAANAH
Lagi-lagi lagu lama mereka, mereka berkata: “Kitab
Al-Ibanah Karya Imam Abul Hasan Al-Asy’ariy Itu Telah
Dipalsukan/Didistorsi”???
Oleh : Ust. Abu Al-Jauzaa’
Wahabi’ Telah Memalsukan Kitab Al-Ibaanah ?
Ini adalah tuduhan yang getol dikampanyekan oleh kaum Asy’ariyyah kepada Ahlus-Sunnah. Sebelum ini mereka menolak penisbatan kitab Al-Ibaanah kepada Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Namun karena bukti-bukti yang ada sedemikian kuat menunjukkan bahwa kitab tersebut memang benar-benar karya Al-Imam Al-Asy’ariy[12], maka mereka beralih kepada tuduhan lain tentang adanya pemalsuan kitab tersebut. Saya ambil sedikit contoh dari perkataan mereka (yaitu perkataan orang yang sangat benci kepada dakwah salaf : Abu Syafiq Al-Ahbasyiy – yang kemudian banyak ditaqlidi oleh seorang jahil yang menamakan dirinya Salafytobat) :
Al-Allamah al-Kauthari ada menyatakan pada pada muqaddimah kitab tabyin kizb al-muftari : Naskhah kitab al-Ibanah yang dicetak di India adalah merupakan naskhah yang telah dipalsukan sebahagian dari isinya, adalah menjadi kewajipan untuk mencetak semula sebagaimana yang asal dari manuskrip yang dipercayai.
Dr Abd rahman Badawi didalam kitabnya berjodol mazahib islamiyyin menyokong pandangan al-Kauthari dengan katanya :
“Apa yang telah disebut oleh al-Kauthari adalah merupakan suatu yang benar , dimana kitab al-Ibanah telah dicetak semula di India dengan permainan pehak-pehak jahat”
Kita katakan :
Bagaimana bisa Al-Kautsariy (yang kemudian diamini oleh Abdurrahman Badawiy) mengatakan bahwa manuskrip yang ada di India adalah cetakan yang salah padahal ia tidak melakukan perbandingan dan penelitian di antara manuskrip-manuskrip yang ada ? Tidak lain ia mengatakan hal itu karena bertentangan dengan ‘aqidahnya yang Jahmiyyah. Bagi para peneliti, tentu tidak asing bagaimana talbis yang biasa dilakukan oleh Al-Kautsari ini, sebagaimana ia lakukan pada kitab Al-Baihaqiy yang berjudul Al-Asmaa’ wash-Shifaat. Sudah sangat dimaklumi bahwa tahqiq (penelitian) kitab tidaklah berkembang di kalangan ahlul-bida’. Mereka banyak menghukumi bukan berdasarkan ilmu, namun hanya berdasarkan hawa nafsu. Memang benar ada beberapa ‘kekeliruan’ pada manuskrip di India, namun itu jumlahnya sedikit. Dr. Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiy hafidhahullah telah menulis desertasi S3 tentang kitab Al-Ibaanah. Beliau banyak menelaah beberapa manuskrip kitab Al-Ibaanah diantaranya : Manuskrip yang tersimpan di Daarul-Kutub Al-Quumiyyah Al-Mishriyyah di Kairo, bernomor 107 & 377; manuskrip Hindiyyah yang tersimpan di Maktabah Jaami’ah ‘Utsmaniyyah di Heidar-Abad, nomor 502; manuskrip yang tersimpan di Maktabah Azhariyyah, nomor 904; dan lain-lain. Juga beberapa cetakan dari beberapa penerbit seperti : Cetakan Dr. Fauqiyyah Mahmud, Cet. Daarul-Bayan Beirut dengan pentahqiq Basyir ‘Uyuun, Cet. Daarun-Nafaais Beirut dengan pentahqiq ‘Abbas Shabbaagh, dan yang lainnya.
Oleh karena itu, perkataan mereka (= Abu Syafiq Al-Ahbasyiy) : “Setelah merujuk kepada semua cetakan kitab Al-Ibanah”
“Adalah merupakan bualan semata. Kita ketahui bahwa seorang Abu Syafiq Al-Ahbasyiy tidak mempunyai kapasitas sebagai seorang pentahqiq. Selain disebabkan banyaknya kedustaan yang telah ia lakukan dalam banyak tulisannya, juga perlu kita tanyakan : ‘Dari mana ia mendapati semua cetakan ataupun manuskrip kitab Al-Ibaanah sebagai bahan untuk men-tahqiq satu kitab ? Sedangkan dalam tulisannya hanya tersebut dua cetakan saja (yaitu Cet. Dr. Fauqiyyah dan Cet. Universitas Islam Madinah !?! Bagaimana ia bisa melakukan perbandingan dan penelitian ?”
Wahabi’ Telah Memalsukan Kitab Al-Ibaanah ?
Ini adalah tuduhan yang getol dikampanyekan oleh kaum Asy’ariyyah kepada Ahlus-Sunnah. Sebelum ini mereka menolak penisbatan kitab Al-Ibaanah kepada Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Namun karena bukti-bukti yang ada sedemikian kuat menunjukkan bahwa kitab tersebut memang benar-benar karya Al-Imam Al-Asy’ariy[12], maka mereka beralih kepada tuduhan lain tentang adanya pemalsuan kitab tersebut. Saya ambil sedikit contoh dari perkataan mereka (yaitu perkataan orang yang sangat benci kepada dakwah salaf : Abu Syafiq Al-Ahbasyiy – yang kemudian banyak ditaqlidi oleh seorang jahil yang menamakan dirinya Salafytobat) :
Al-Allamah al-Kauthari ada menyatakan pada pada muqaddimah kitab tabyin kizb al-muftari : Naskhah kitab al-Ibanah yang dicetak di India adalah merupakan naskhah yang telah dipalsukan sebahagian dari isinya, adalah menjadi kewajipan untuk mencetak semula sebagaimana yang asal dari manuskrip yang dipercayai.
Dr Abd rahman Badawi didalam kitabnya berjodol mazahib islamiyyin menyokong pandangan al-Kauthari dengan katanya :
“Apa yang telah disebut oleh al-Kauthari adalah merupakan suatu yang benar , dimana kitab al-Ibanah telah dicetak semula di India dengan permainan pehak-pehak jahat”
Kita katakan :
Bagaimana bisa Al-Kautsariy (yang kemudian diamini oleh Abdurrahman Badawiy) mengatakan bahwa manuskrip yang ada di India adalah cetakan yang salah padahal ia tidak melakukan perbandingan dan penelitian di antara manuskrip-manuskrip yang ada ? Tidak lain ia mengatakan hal itu karena bertentangan dengan ‘aqidahnya yang Jahmiyyah. Bagi para peneliti, tentu tidak asing bagaimana talbis yang biasa dilakukan oleh Al-Kautsari ini, sebagaimana ia lakukan pada kitab Al-Baihaqiy yang berjudul Al-Asmaa’ wash-Shifaat. Sudah sangat dimaklumi bahwa tahqiq (penelitian) kitab tidaklah berkembang di kalangan ahlul-bida’. Mereka banyak menghukumi bukan berdasarkan ilmu, namun hanya berdasarkan hawa nafsu. Memang benar ada beberapa ‘kekeliruan’ pada manuskrip di India, namun itu jumlahnya sedikit. Dr. Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiy hafidhahullah telah menulis desertasi S3 tentang kitab Al-Ibaanah. Beliau banyak menelaah beberapa manuskrip kitab Al-Ibaanah diantaranya : Manuskrip yang tersimpan di Daarul-Kutub Al-Quumiyyah Al-Mishriyyah di Kairo, bernomor 107 & 377; manuskrip Hindiyyah yang tersimpan di Maktabah Jaami’ah ‘Utsmaniyyah di Heidar-Abad, nomor 502; manuskrip yang tersimpan di Maktabah Azhariyyah, nomor 904; dan lain-lain. Juga beberapa cetakan dari beberapa penerbit seperti : Cetakan Dr. Fauqiyyah Mahmud, Cet. Daarul-Bayan Beirut dengan pentahqiq Basyir ‘Uyuun, Cet. Daarun-Nafaais Beirut dengan pentahqiq ‘Abbas Shabbaagh, dan yang lainnya.
Oleh karena itu, perkataan mereka (= Abu Syafiq Al-Ahbasyiy) : “Setelah merujuk kepada semua cetakan kitab Al-Ibanah”
“Adalah merupakan bualan semata. Kita ketahui bahwa seorang Abu Syafiq Al-Ahbasyiy tidak mempunyai kapasitas sebagai seorang pentahqiq. Selain disebabkan banyaknya kedustaan yang telah ia lakukan dalam banyak tulisannya, juga perlu kita tanyakan : ‘Dari mana ia mendapati semua cetakan ataupun manuskrip kitab Al-Ibaanah sebagai bahan untuk men-tahqiq satu kitab ? Sedangkan dalam tulisannya hanya tersebut dua cetakan saja (yaitu Cet. Dr. Fauqiyyah dan Cet. Universitas Islam Madinah !?! Bagaimana ia bisa melakukan perbandingan dan penelitian ?”
Ia (Abu Syafiq Al-Ahbasyiy) mengatakan :
“Bahkan tertera pada cetakan kitab Al-Ibanah ‘An Usuli Ad-Diyanah
oleh Imam Abu Hasan Al-Asya’ry yang diTahkik Oleh Dr. Fauqiyah Husain
Mahmoud , Prof Di Universiti ‘ain Syam Kaherah Mesir cetakan 2 Tahun
1987 M didapati dalam kitab Al-Ibanah tersebut Al-Imam Abu Hasan
Al-Asya’ary menyatakan : ‘Istiwa Allah bukan bersentuhan, bukan menetap,
bukan mengambil tempat, bukan meliputi Arasy, bukan bertukar tempat,
bukanlah Allah diangkat oleh Arasy bahkan Arasy dan malaikat pemikul
arasy-lah yang diangkat oleh Allah dengan kekuasaan-Nya, dan mereka
dikuasai oleh Allah dengan keagungan-Nya”
Pernyataannya dan nukilannya ini justru semakin memperjelas
pernyataan bahwa Abu Syafiq bukan merupakan orang berilmu yang mempunyai
kemampuan melakukan penelitian terhadap kitab para ulama. Ia hanya
membaca, menukil, dan membenarkan satu pernyataan yang berkesesuaian
dengan hawa nafsunya.
Saya katakan : Justru cetakan Dr. Fauqiyyah Mahmud yang ia nukil –
dan kemudian ia benarkan – tersebut merupakan cetakan yang terdapat
banyak kekeliruan. Termasuk diantaranya adalah kalimat yang ia nukil di
atas. Kalimat yang ia nukil tersebut merupakan tambahan yang tidak
terdapat dalam manuskrip yang mahfudh. Perhatikan lafadh cetakan Dr.
Fauqiyyah di bawah :
ูุฃู ุงููู ุชุนุงูู ุงุณุชูู ุนูู ุงูุนุฑุด ุนูู ุงููุฌู ุงูุฐู ูุงูู ูุจุงูู
ุนูู ุงูุฐู
ุฃุฑุงุฏู ุงุณุชูุงุก ู
ูุฒูุง ุนู ุงูู
ู
ุงุฑุณุฉ ูุงูุงุณุชูุฑุงุฑ ูุงูุชู
ูู ูุงูุญููู ูุงูุงูุชูุงู ูุง
ูุญู
ูู ุงูุนุฑุด، ุจู ุงูุนุฑุด ูุญู
ูุชู ู
ุญู
ูููู ุจูุทู ูุฏุฑุชู ูู
ูููุฑูู ูู ูุจุถุชู ููู
ููู ุงูุนุฑุด ูููู ูู ุดูุก ุฅูู ุชุฎูู
ุงูุซุฑู ููููุฉ ูุง ุชุฒูุฏู ูุฑุจุง ุฅูู ุงูุนุฑุด
ูุงูุณู
ุงุก ุจู ูู ุฑููุน ุงูุฏุฑุฌุงุช ุนู ุงูุนุฑุด ูู
ุง ุฃูู ุฑููุน ุงูุฏุฑุฌุงุช ุนู ุงูุซุฑู ููู ู
ุน
ุฐูู ูุฑูุจ ู
ู ูู ู
ูุฌูุฏ ููู ุฃูุฑุจ ุฅูู ุงูุนุจุฏ ู
ู ุญุจู ุงููุฑูุฏ ููู ุนูู ูู ุดูุก
ุดููุฏ
“Dan bahwasannya Allah ta’ala ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy dalam
bentuk sebagaimana yang Ia firmankan. Adapun makna istiwaa’ sebagaimana
yang dimaksudkan adalah : Terbebas dari bersentuhan, menetap, bertempat
tinggal, mendiami, serta berpindah (tempat). ‘Arsy tidak
membawa/mengangkat Allah, namun ‘Arsy dan malaikat pemikulnya lah yang
dibawa/diangkat oleh Allah dengan kekuasaannya, serta dikuasai dalam
genggaman-Nya; sedangkan Ia berada di atas ‘Arsy. Dan Allah berada di
atas segala sesuatu. Keberadaan Allah di atas segala sesuatu (fauqiyyah)
tidaklah menambah dekat kepada ‘Arsy dan langit. Namun hal itu
menunjukkan makna tingginya kedudukan Allah dari ‘Arsy sebagaimana juga
ketinggian kedudukan Allah dari muka bumi. Bersamaan dengan itu, Allah
sangat dekat dengan segala sesuatu. Dia lebih dekat dengan hamba dari
urat lehernya. Dan Allah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu”
[selesai].
Yang mahfudh dari perkataan Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy
rahimahullah sebagaimana terdapat dalam beberapa manuskrip – sebagaimana
ditegaskan oleh Dr. Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiy dalam desertasinya –
adalah sebagai berikut :
ูุฃู ุงููู ุงุณุชูู ุนูู ุนุฑุดู ูู
ุง ูุงู : (ุงูุฑุญู
ู ุนูู ุงูุนุฑุด ุงุณุชูู).
“Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana
firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas
‘Arsy’ (QS. Thaha : 5)” [lihat Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah oleh
Abul-Hasan Al-Asy’ary hal. 9; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1] – perhatikan
kalimat yang saya garis bawah !!
Apalagi hal itu dikuatkan dari nukilan Adz-Dzahabi rahimahullah
dalam kitab Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar sebagaimana telah lewat
penyebutannya – yang persis seperti kalimat di atas tanpa ada
penambahan. Hal yang sama oleh Ibnu ‘Asaakir dalam Tabyiin
Kadzibil-Muftariy hal. 158[13]; Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Al-Fataawaa
5/142, Dar’ut-Ta’arudl Al-‘Aql wan-Naql 7/104, dan Bayaan
Talbiisil-Jahmiyyah 2/15; Ibnul-Qayyim dalam Ijtimaa’ul-Juyuusy
Al-Islaamiyyah hal. 169; Ibnul-‘Imad dalam Syadzdzaraatudz-Dzahab 2/304;
Al-Alusiy dalam Ruuhul-Ma’aaniy 1/60 (dengan peringkasan); ‘Abdul-Baqiy
Al-Hanbaliy dalam Al-‘Ain wal-Atsar fii Mawaahibi Ahlil-Atsar hal. 111;
dan lain-lain – dimana semua menukil/menyebutkan tanpa adanya
penambahan kalimat dalam cetakan Dr. Fauqiyyah.
Perlu diketahui bahwa kalimat tambahan di atas hanya ada dalam
naskah/manuskrip yang terdapat di Iskandariyyah yang kemudian dijadikan
acuan dalam cetakan Dr. Fauqiyyah. Adapun dalam naskah-naskah
(manuskrip) yang lain tidak terdapat tambahan kalimat tersebut. Selain
itu, kelemahan naskah/manuskrip ini adalah tidak diketahuinya siapa yang
menulisnya/menyalinnya dan tanggal penulisannya. Banyak hal yang
menunjukkan kelemahan tambahan ini. Apalagi tambahan lafadh tersebut
merupakan gaya khas Mu’tazilah yang banyak melakukan ta’wil (seperti
Asy’ariyyuun) dimana madzhab ini telah ditinggalkan – dan bahkan dicela –
oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Kuat penunjukkannya adanya
tambahan ini berasal dari Al-Ghazaliy rahimahullah, karena tambahan
lafadh ini hanya tertulis dalam tiga buah kitabnya, yaitu : Ihyaa
‘Uluumiddin 1/90, Al-Arba’iin fii Ushuuliddiin hal. 7-8, dan
Qawaaidul-‘Aqaaid hal. 52.
Scan kitab Al-Ibaanah hal. 9 (Daar Ibni Zaiduun) dapat dilihat di bawah :
Kalangan salaf rahimahullah telah sepakat bahwa Allah ta’ala
ber-istiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy dan tidak ada sesuatu apapun
yang tersembunyi dari-Nya di antara perbuatan-perbuatan mereka. Makna
istiwaa’ Allah adalah hakiki, bukan seperti istiwaa’ (bersemayam)-nya
makhluk.
Dalam menafsirkan kata istiwaa’, kalangan salaf mempunyai empat
ungkapan : al-‘ulluw (ketinggian), al-irtifa’ (meninggi), as-su’uud
(naik), dan al-istiqrar (menetap). Allah ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy
bukan karena Dia membutuhkan ‘Arsy.
Banyak dalil yang mendasari tentang ‘aqidah ini, diantaranya :
Firman Allah ta’ala :
ุฅَِّู ุฑَุจَُّูู
ُ ุงَُّููู ุงَّูุฐِู ุฎَََูู ุงูุณَّู
َุงَูุงุชِ َูุงูุฃุฑْุถَ ِูู ุณِุชَّุฉِ ุฃََّูุงู
ٍ ุซُู
َّ ุงุณْุชََูู ุนََูู ุงْูุนَุฑْุดِ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy” [QS. Al-A’raf : 54].
ุฅَِّู ุฑَุจَُّูู
ُ ุงَُّููู ุงَّูุฐِู ุฎَََูู ุงูุณَّู
َุงَูุงุชِ َูุงูุฃุฑْุถَ ِูู
ุณِุชَّุฉِ ุฃََّูุงู
ٍ ุซُู
َّ ุงุณْุชََูู ุนََูู ุงْูุนَุฑْุดِ ُูุฏَุจِّุฑُ ุงูุฃู
ْุฑَ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk
mengatur segala urusan” [QS. Yunus : 3].
ََُููู ุงَّูุฐِู ุฎَََูู ุงูุณَّู
َุงَูุงุชِ َูุงูุฃุฑْุถَ ِูู ุณِุชَّุฉِ ุฃََّูุงู
ٍ
ََููุงَู ุนَุฑْุดُُู ุนََูู ุงْูู
َุงุกِ َِููุจَُُْูููู
ْ ุฃَُُّููู
ْ ุฃَุญْุณَُู ุนَู
َูุง
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara
kamu yang lebih baik amalnya” [QS. Huud : 7].
Juga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
ุฅู ุงููู ูู
ุง ูุถู ุงูุฎูู، ูุชุจ ุนูุฏู ููู ุนุฑุดู: ุฅู ุฑุญู
ุชู ุณุจูุช ุบุถุจู
“Sesungguhnya Allah ketika Dia selesai menciptakan ciptaan-Nya, Dia
menulis di sisi-Nya di atas ‘Arsy-Nya : Sesungguhnya rahmat-Ku
mendahului murka-Ku” [HR. Al-Bukhari no. 7422 dan Muslim no. 2751].
ุนู ุฃูุณ ูุงู : ููุงูุช ุฒููุจ ุชูุฎุฑ ุนูู ุฃุฒูุงุฌ ุงููุจู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
ุชููู: ุฒَّูุฌَّูู ุฃูุงَّูููู، ูุฒูุฌูู ุงููู ุชุนุงูู ู
ู ููู ุณุจุน ุณู
ุงูุงุช
Dari Anas ia berkata : Adalah Zainab membanggakan dirinya atas
istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Yang
menikahkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga-keluargamu, sedangkan yang
menikahkan aku adalah Allah ta’ala yang berada di atas tujuh langit”
[HR. Al-Bukhari no. 7420].
Diriwayatkan oleh Syaikhul-Islaam Abul-Hasan Al-Hakariy dan
Al-Haafidh Abu Muhammad Al-Maqdisiy melalui isnad mereka yang sampai
kepada Abu Tsaur dan Abu Syu’aib; mereka berdua dari Al-Imam Muhammad
bin Idris Asy-Syaafi’iy, seorang pembela hadits rahimahullah. Beliau
berkata :
ุงูููู ูู ุงูุณูุฉ ุงูุชู ุฃูุง ุนูููุง، ูุฑุฃูุช ุนูููุง ุงูุฐูู ุฑุฃูุชูู
، ู
ุซู ุณููุงู
ูู
ุงูู ูุบูุฑูู
ุง، ุงูุฅูุฑุงุฑ ุจุดูุงุฏุฉ ุฃู ูุง ุฅูู ุฅูุง ุงููู، ูุฃู ู
ุญู
ุฏุง ุฑุณูู ุงููู،
ูุฃู ุงููู ุนูู ุนุฑุดู ูู ุณู
ุงุฆู، ููุฑุจ ู
ู ุฎููู ููู ุดุงุก، ูููุฒู ุฅูู ุงูุณู
ุงุก
ุงูุฏููุง ููู ุดุงุก…. ูุฐูุฑ ุณุงุฆุฑ ุงูุงุนุชูุงุฏ.
“Pendapatku tentang Sunnah, dimana aku berpegang kepadanya, dan
juga berpegang kepadanya orang-orang yang aku lihat semisal Sufyan,
Malik, dan lain-lain; yaitu pengakuan terhadap persaksian bahwa tidak
ada tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah dan bahwa Muhammad itu
utusan Allah, dan bahwa Allah itu berada di atas ‘Arsy-Nya yang ada di
langit-Nya. Dia mendekat kepada makhluk-Nya menurut apa yang Dia
kehendaki dan turun ke langit terendah menurut apa yang Dia kehendaki”.
Lalu beliau (Al-Imam Asy-Syafi’iy) pun menyebutkan seleuruh i’tiqad-nya”
[Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 176].
Oleh karena itu, makna istiwaa’ adalah sebagaimana dhahirnya. Bukan
di-ta’wil dengan istilaa’ (menguasai) sebagaimana diyakini oleh
Asy’ariyyah – yang hal ini justru dibantah oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy
rahimahullah dalam kitab Al-Ibaanah dan Maqaalatul-Islaamiyyiin,
sebagaimana telah berlalu penyebutannya.
Mereka (ahlul-bida’) juga berkata :
Para pengkaji mendapati dua pasal dari kitab al-Ibanah yang telah
dimuatkan di dalam kitab tabyin kizb al-muftari karangan Imam Ibnu
Asakir dan kitab al-Ibanah yang berada dipasaran ternyata dengan jelas
terdapat pemalsuan.
Contoh pemalsuan kitab al-Ibanah:
Kitab Ibanah yang berada dipasaran : halaman 16 (ูุฃููุฑูุง ุฃู ูููู ูู ุนููุงู…. )
Kalimah ุนููุงู dengan lafaz tathniah(menunjukkan dua).
Kitab Ibanah cetakkan Dr Fauqiyyah : halaman 22 (ูุฃู ูู ุนูููู ุจูุง ููู….)
Kalimah yang digunakan juga adalah dari lafaz tathniah(menunjukkan dua).
Kitab Ibnu Asakir halaman 158 : (ูุฃู ูู ุนููุง ุจูุง ููู….)
Kalimah yang digunakan adalah lafaz mufrad ( satu )
Kalimah mufrad adalah bertepatan dan tidak bertentangan dengan
al-Kitab ,al-Sunnah dan pendapat-pendapat salaf.Ini kerana lafaz ุนูููู
tidak warid (datang) di dalam al-Kitab dan al-Sunnah. Ini kerana
menduakan kalimah ุนูู adalah dianggap mengkiaskan Allah dengan makhluk
yang sesuatu yang dapat disaksikan secara zahir .Maha suci Allah dari
yang demikian itu.
Ini adalah satu kedustaan sekaligus kejahilan dari si empunya
kalam. Orang ini – dengan tulisannya di atas – semakin menunjukkan
minimnya pengetahuan yang dimiliki. Namun sungguh disayangkan jika ia
berpuas diri dengan statement tanpa arti.
Sudah sangat lazim bahwa di alam percetakan kitab terdapat banyak
perbedaan lafadh. Jangan buru-buru menuduh adanya pemalsuan. Mungkin
disebabkan oleh faktor teknis pencetakan ataupun memang perbedaan
manuskrip yang dijadikan acuan. Ini terjadi dalam cetakan kitab para
ulama. Misalnya, tahqiq yang dilakukan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dan
Mahmud Syaakir – ahli hadits Mesir - terhadap Tafsir Ath-Thabariy;
Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth terhadap Jaami’ul-Ulum wal-Hikaam;
Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman terhadap Al-I’tishaam
lisy-Syaathibi; dan yang lainnya yang semuanya menjelaskan pada kita
adanya perbedaan lafadh dalam beberapa cetakan kitab yang beredar.
Kemudian, para muhaqqiq tersebut melakukan tashhih (koreksi) atas
beberapa manuskrip atau cetakan yang ada untuk menghasilkan satu matan
kitab yang sesuai dengan aslinya.
Tentu saja kenyataan ini berbeda dengan ahlul-bid’ah yang
jarang/tidak pernah melakukan penelitian, sebagaimana telah dikatakan
sebelumnya. Jika ia menemukan perbedaan lafadh dalam satu cetakan kitab,
maka ia pilih yang sesuai dengan hawa nafsunya serta melemparkan
tuduhan kepada pihak yang beseberangan dengannya sebagai pihak yang
telah memalsukan kitab.
Kembali kepada kitab Al-Ibaanah, jika yang dipermasalahkan adalah
kata mata/‘ain (ุนٌَْูู) yang merupakan salah satu sifat dzatiyyah bagi
Allah – apakah ia berbentuk mufrad (tunggal) atau mutsanna (mempunyai
pengertian dua) –, maka seharusnya kita kembalikan kepada matan kitab
Al-Ibaanah itu sendiri. Segala nukilan yang ada di kitab lain, maka itu
bukan menjadi acuan utama. Bahkan jika ada perbedaan antara nukilan
dengan matan kitab asli, kita harus mengembalikannya kepada matan kitab
asli dan mengoreksi nukilan tersebut. Tidak terkecuali dalam
permasalahan ini. Terdapat perbedaan lafadh dari manuskrip yang ada. Dr.
Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiy hafidhahullah dalam desertasinya
terhadap kitab Al-Ibaanah telah menjelaskan bahwa bentuk mufrad
(tunggal) memang terdapat dalam salah satu naskah/manuskrip. Namun dalam
naskah/manuskrip lainnya menggunakan bentuk mutsannaa (ุนََِْْูููู). Dan
inilah yang mu’tamad (sah) :
ูุฃู ูู ุณุจุญุงูู ุนูููู ุจูุง ููู ูู
ุง ูุงู ุณุจุญุงูู : ( ุชุฌุฑู ุจุฃุนูููุง ) ู
ู ุงูุขูุฉ ( 14 )
“Allah mempunyai dua mata tanpa ditanyakan bagaimananya, sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14)”.
Dan seperti itulah yang dinukil oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw
(hal. 262) dari kitab At-Tabyiin karangan Ibnu ‘Asaakir (sebagaimana
telah disebutkan di atas).
Kalaulah hal ini dianggap sebagai satu perbedaan, maka perbedaan
ini tidaklah bertentangan karena Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy
rahimahullah ingin menetapkan sifat ‘ain/mata pada Allah ta’ala – dimana
hal itu dinafikkan oleh Asy’ariyyah dan semisalnya.
Dalam Al-Qur’an, kata ‘ain disebutkan dalam bentuk mufrad yang
di-idlafah-kan kepada dlamir mufrad, dan juga dalam bentuk jamak yang
di-idlafah-kan kepada dlamir jamak.
Contoh kata ‘ain yang disebutkan dalam bentuk mufrad yang di-idlafah-kan kepada dlamir mufrad adalah :
َِููุชُุตَْูุนَ ุนََูู ุนَِْููู
“Dan supaya kamu diasuh di bawah mata (pengawasan)-Ku” [QS. Thaha : 39].
Penyebutan kata ‘ain (mata) dalam bentuk mufrad di sini tidak
berarti hanya menunjukkan satu ‘ain (mata) saja, sebagaimana firman
Allah ta’ala :
َูุฅِْู ุชَุนُุฏُّูุง ِูุนْู
َุฉَ ุงَِّููู ูุง ุชُุญْุตَُููุง
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya” [QS. Ibraahiim : 34].
Yang dimaksud adalah, kenikmatan-Nya yang bemacam-macam yang tidak termasuk dalam pembatasan dan bilangan.
Contoh kata ‘ain yang disebutkan dalam bentuk jamak yang di-idlafah-kan kepada dlamir jamak adalah :
َูุงุตْุจِุฑْ ِูุญُْูู
ِ ุฑَุจَِّู َูุฅََِّูู ุจِุฃَุนَُِْูููุง َูุณَุจِّุญْ ุจِุญَู
ْุฏِ ุฑَุจَِّู ุญَِูู ุชَُููู
ُ
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka
sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan
memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri” [QS. Ath-Thuur : 48].
Adapun penetapan sifat bahwasannya Allah mempunyai dua mata
(‘ainaan – ุนََْููุงِู) adalah hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma,
bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ุฅู ุงููู ูุง ูุฎูู ุนูููู
، ุฅู ุงููู ููุณ ุจุฃุนูุฑ – ูุฃุดุงุฑ ุจูุฏู ุฅูู ุนููู – ูุฅู ุงูู
ุณูุญ ุงูุฏุฌุงู ุฃุนูุฑ ุงูุนูู ุงููู
ูู، ูุฃู ุนููู ุนูุจุฉ ุทุงููุฉ
“Sesungguhnya Allah tidaklah tersembunyi darimu. Sesungguhnya Allah
itu tidak buta sebelah mata-Nya” – Beliau mengatakan sambil berisyarat
kepada matanya – . “Sesungguhnya Al-Masih Ad-Dajjal itu buta sebelah
matanya yang kanan, seakan-akan buah anggur yang mengapung (menonjol
keluar)” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Perkataan : ‘beliau mengatakan sambil berisyarat kepada matanya’
dalam hadits Dajjaal di atas menunjukkan bahwa makna ‘ain (mata) yang
dinisbahkan kepada Allah adalah makna dhahir, bukan ta’wil sebagaimana
diyakini oleh Asy’ariyyah. Mereka (Asy’ariyyah) menakwilkan sifat mata
(‘ain) dengan ilmu (al-‘ilmu).
Hal senada dengan di atas adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
ุนู ุนุทุงุก : ุนู ุงุจู ุนุจุงุณ ุฑุถู ุงููู ุนูู ูู ูููู ุนุฒ ูุฌู : (ุชَุฌْุฑِْู ุจِุฃَุนَُِْูููุง) [ุงููู
ุฑ : ูกูค]. َูุงَู : ุฃุดุงุฑ ุจูุฏู ุฅูู ุนูููู.
Dari ‘Athaa’ : Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma mengenai
firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS.
Al-Qamar : 14), maka ‘Athaa’ berkata : Ibnu ‘Abbas berisyarat dengan
tangannya kepada dua matanya’ [Diriwayatkan oleh Al-Laalika’iy, 3/411;
di dalam sanadnya terdapat ‘Aliy bin Shadaqah yang tidak diketemukan
biografinya, adapun perawi yang lainnya adalah tsiqah – dinukil melalui
perantaraan Al-Asyaa’irah fii Mizaani Ahlis-Sunnah oleh Faishal bin
Qazaar Al-Jaasim, hal. 90; Al-Mabarratul-Khairiyyah li-‘Uluumil-Qur’an
was-Sunnah, Cet. Thn. 1428, Kuwait].
Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah berdalil dengan hadits Ibnu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhuma di atas untuk menetapkan sifat dua mata bagi
Allah ta’ala, dengan perkataannya :
َูุฃََُّูู َููุณَ ุจِุฃَุนَْูุฑَ ุจَِِููู ุงَّููุจِِّู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
ุฅِุฐْ ุฐََูุฑَ ุงูุฏَّุฌَّุงَู ََููุงَู : ุฅَُِّูู ุฃَุนَْูุฑُ، َูุฅَِّู ุฑَุจَُّูู
ْ
َْููุณَ ุจِุฃَุนَْูุฑَ.
“Bahwasannya Allah itu tidak buta sebelah mata-Nya dengan dasar
sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan perihal
Dajjaal, beliau bersabda : ‘Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah
matanya, dan sesungguhnya Rabb kalian tidak buta sebelah mata-Nya”
[Thabaqaatul-Hanaabilah oleh Al-Qadli Abu Ya’la Al-Farraa’, 2/269,
tahqiq : Dr. ‘Abdurrahman bin Sulaiman Al-‘Utsaimin; Terbitan Univ.
Ummul-Qurra’, Cet. Thn. 1419].
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah juga berdalil dengan hadits di atas
ketika menetapkan sifat ‘ain (mata) sebagai salah satu sifat dzatiyyah
bagi Allah ta’ala [lihat Al-Asmaa’ wash-Shifaat oleh Ahmad bin Al-Husain
Al-Baihaqiy, 2/114-115, tahqiq : ‘Abdullah bin Muhammad Al-Haasyidiy;
Maktabah As-Suwadiy].
I’tiqad bahwasannya Allah mempunyai dua mata adalah i’tiqad para imam salaf Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah :
ููุงู ุฃูู ุงูุณูุฉ ูุฃุตุญุงุจ ุงูุญุฏูุซ: ููุณ ุจุฌุณู
ููุง ูุดุจู ุงูุฃุดูุงุก ูุฃูู ุนูู
ุงูุนุฑุด ูู
ุง ูุงู ุนุฒ ูุฌู: ”ุงูุฑุญู
ู ุนูู ุงูุนุฑุด ุงุณุชูู” ููุง ููุฏู
ุจูู ูุฏู
ุงููู ูู ุงูููู ุจู ูููู ุงุณุชูู ุจูุง ููู ูุฃูู ููุฑ ูู
ุง ูุงู ุชุนุงูู: ”ุงููู ููุฑ
ุงูุณู
ุงูุงุช ูุงูุฃุฑุถ” ูุฃู ูู ูุฌูุงً ูู
ุง ูุงู ุงููู: ”ููุจูู ูุฌู ุฑุจู” ูุฃู
ูู ูุฏูู ูู
ุง ูุงู: ”ุฎููุช ุจูุฏู” ูุฃู ูู ุนูููู ูู
ุง ูุงู: ”ุชุฌุฑู
ุจุฃุนูููุง”
“Telah berkata Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits : Allah tidak
bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia
menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di
atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘(Yaitu) Tuhan Yang
Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak
mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami
mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan
bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai cahaya sebagaimana
firman-Nya ta’ala : ‘Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi’
(QS. An-Nuur : 35). Dan bahwasannya Dia mempunyai wajah sebagaimana
firman Allah : ‘Dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu’ (QS. Ar-Rahmaan : 27).
Dan bahwasannya Dia mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya :
‘Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75).
Dan bahwasannya Dia mempunyai dua mata sebagaimana firman-Nya : ‘Yang
berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14)”
[Maqaalatul-Islaamiyyiin oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy, hal. 260-261,
tahqiq : Muhammad Muhyiddin ‘Abdul-Hamiid; Maktabah An-Nahdlah
Al-Mishriyyah, Cet. 1/1369 H].
Scan kitab Maqaalatul-Islaamiyyiin karya Al-Imam Abul-Hasan
Al-Asy’ariy rahimahullah, hal. 260-261 (Maktabah An-Nahdlah
Al-Mishriyyah, Cet. 1/1369 H) dapat dilihat di bawah :
Telah berkata Al-Imam Al-Laalika’iy rahimahullah :
ุณูุงู ู
ุง ุฏู ู
ู ูุชุงุจ ุงููู ุนุฒ ูุฌู ูุณูุฉ ุฑุณููู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
ุนูู ุฃู ู
ู ุตูุงุช ุงููู ุนุฒ ูุฌู ุงููุฌู ูุงูุนูููู ูุงููุฏูู
“Pembicaraan yang ditunjukkan oleh Kitabullah ‘azza wa jalla dan
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah : Termasuk
sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla adalah (bahwa Dia mempunyai) wajah, dua
mata, dan dua tangan” [Tahqiq Kitaab Syarh Ushuulil-I’tiqaad
Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah li-Abil-Qaasim Hibatullah Al-Laalikaiy oleh
Ahmad bin Mas’ud Al-Hamdaan, 3/412; desertasi S3 Universitas
Ummul-Qurra’].
Telah berkata Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah :
ููุงุฌุจ ุนูู ูู ู
ุคู
ู ุฃู ูุซุจุช ุงูุฎุงููู ูุจุงุฑุฆู ู
ุง ุซุจّุช ุงูุฎุงูู ุงูุจุงุฑุฆ
ูููุณู، ู
ู ุงูุนูู، ุบูุฑ ู
ุคู
ู : ู
ู ูููู ุนู ุงููู ุชุจุงุฑู ูุชุนุงูู ู
ุง ูุฏ ุซุจุชู ุงููู
ูู ู
ุญูู
ุชูุฒููู، ุจุจูุงู ุงููุจู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
ุงูุฐู ุฌุนูู ุงููู ู
ุจًููุง
ุนูู، ุนุฒ ูุฌู، ูู ูููู : (ูุฃูุฒููุง ุฅููู ุงูุฐูุฑ ูุชุจูู ูููุงุณ ู
ุง ูุฒู ุฅูููู
)،
ูุจูู ุงููุจู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
ุฃู ุงููู ุนูููู، ููุงู ุจูุงูู ู
ูุงًููุง ูุจูุงู
ู
ุญูู
ุงูุชูุฒูู، ุงูุฐู ูู ู
ุณุทูุฑ ุจูู ุงูุฏูุชูู، ู
ูุฑูุก ูู ุงูู
ุญุงุฑูุจ ุงููุชุงุชูุจ.
“Maka, wajib bagi setiap mukmin untuk menetapkan bagi Al-Khaaliq
Al-Baari (Allah) apa-apa yang telah ditetapkan oleh Al-Khaaliq Al-Baari
bagi diri-Nya, yaitu sifat ‘ain (mata). Sebaliknya, bukan termasuk
golongan mukmin orang yang menafikkan dari Allah tabaaraka wa ta’ala
apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam Muhkam At-Tanzil-Nya
(Al-Qur’an) dan ditambah penjelasan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam yang memang dijadikan Allah sebagai juru penerang untuk setiap
khabar yang berasal dari-Nya, melalui firman-Nya : ‘Dan Kami turunkan
kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka’ (QS. An-Nahl : 44). Maka, Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan bahwa bagi Allah itu
mempunyai dua mata, dan penjelasannya itu sejalan dengan penjelasan
Muhkam At-Tanzil (Al-Qur’an) yang tertera di antara lembaran-lembaran
yang dibaca di mihrab-mihrab ataupun di tempat-tempat pengajian”
[Kitaabut-Tauhiid wa Itsbaati Shifaatir-Rabb ‘Azza wa Jalla oleh Ibnu
Khuzaimah, hal. 97, tahqiq : Dr. ‘Abdul-‘Aziiz bin Ibrahim Asy-Syahwaan;
Daar Ar-Rusyd, Cet. 1/1408 H].
Menetapkan sifat dua mata, dua tangan, wajah, kaki, jari-jari, dan
yang lainnya dari sifat dzatiyyah Allah sebagaimana dhahir maknanya
bukan merupakan tasybih (penyerupaan Allah kepada makhluk-Nya). Apalagi
sampai menuduh sebagai mujassimah atau musyabbihah !
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata :
ุฅูู
ุง ูููู ุงูุชุดุจูู ุฅุฐุง ูุงู : ูุฏ ู
ุซู ูุฏู ุฃู ุณู
ุน ูุณู
ุนู، ููุฐุง ุชุดุจูู.
ูุฃู
ุง ุฅุฐุง ูุงู ูู
ุง ูุงู ุงููู : ูุฏ ูุณู
ุน ูุจุตุฑ، ููุง ูููู : ููู، ููุงูููู : ู
ุซู،
ููุฐุง ูุง ูููู ุชุดุจููุงً، ูุงู ุชุนุงูู : (َْููุณَ َูู
ِุซِِْูู ุดَْูุกٌ ََُููู
ุงูุณَّู
ِْูุนُ ุงْูุจَุตِْูุฑُ
”Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan :
”Tangan (Allah) seperti tanganku, pendengaran (Allah) seperti
pendengaranku”. Inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika
seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran,
penglihatan’ , kemudian ia tidak menyatakan : ’bagaimana’ dan ’seperti’;
maka itu tidak termasuk tasybih. Allah berfirman : ”Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat” [Mukhtashar Al-’Ulluw lidz-Dzahabi, hal. 69].
Al-Imam Nu’aim bin Hammad Al-Khuzaa’iy Al-Haafidh rahimahullah berkata :
ู
ู ุดุจู ุงููู ุจุฎููู، ููุฏ ููุฑ، ูู
ู ุฃููุฑ ู
ุง ูุตู ุจู ููุณู ููุฏ ููุฑ، ูููุณ ู
ุง ูุตู ุจู ููุณู، ููุง ุฑุณُููู ุชุดุจููุงً
”Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia
telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang disifatkan Allah
bagi diri-Nya, maka ia telah kafir. Dan tidaklah apa yang disifatkan
Allah bagi diri-Nya dan (yang disifatkan) Rasul-Nya itu sebagai satu
penyerupaan (tasybih)” [Mukhtashar Al-’Uluuw, hal. 184 no. 216, dengan
sanad shahih].
Tuduhan mereka (ahlul-bid’ah) kepada Ahlus-Sunnah sebagai kaum
Musyabbihah sudah terjadi semenjak beratus-ratus tahun yang lalu,
sebagaimana dikatakan oleh Abu ‘Utsman Ash-Shabuniy rahimahullah :
ูุนูุงู
ุงุช ุงูุจุฏุน ุนูู ุฃูููุง ุจุงุฏูุฉ ุธุงูุฑุฉ، ูุฃุธูุฑ ุขูุงุชูู
ูุนูุงู
ุงุชูู
ุดุฏุฉ
ู
ุนุงุฏุงุชูู
ูุญู
ูุฉ ุฃุฎุจุงุฑ ุงููู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
، ูุงุญุชูุงุฑูู
ููู
ูุชุณู
ูุชูู
ุฅูุงูู
ุญุดููุฉ ูุฌููุฉ ูุธุงูุฑูุฉ ูู
ุดุจูุฉ، ุงุนุชูุงุฏุง ู
ููู
ูู ุฃุฎุจุงุฑ ุงูุฑุณูู ุตูู ุงููู
ุนููู ูุณูู
ุฃููุง ุจู
ุนุฒู ุนู ุงูุนูู
، ูุฃู ุงูุนูู
ู
ุง ููููู ุงูุดูุทุงู ุฅูููู
ู
ู ูุชุงุฆุฌ
ุนููููู
ุงููุงุณุฏุฉ، ููุณุงูุณ ุตุฏูุฑูู
ุงูู
ุธูู
ุฉ، ูููุงุฌุณ ูููุจูู
ุงูุฎุงููุฉ ู
ู ุงูุฎูุฑ،
ูุญุฌุฌูู
ุงูุนุงุทูุฉ. ุฃููุฆู ุงูุฐูู ูุนููู
ุงููู
“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas.
Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap
pembawa khabar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu para
ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka sebagai
hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah. Mereka
meyakini bahwa hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
mengandung ilmu. Dan bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa
setan kepada mereka dalam bentuk hasil pemikiran aka-akal rusak mereka,
was-was yang terbisikkan dalam hati-hati mereka yang penuh kegelapan,
dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong dari kebaikan
dan hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah” [selesai].
Kesimpulan yang ingin ditekankan di point ini adalah bahwa klaim
pemalsuan kitab Al-Ibaanah yang mereka tuduhkan kepada ‘Wahabi’ sama
sekali tidak berdasar. Omong kosong belaka. Semakin banyak tuduhan
mereka justru semakin mengungkap siapa sebenarnya mereka dan seberapa
jauh keilmuan yang mereka miliki. Akhirnya, kita hanya berharap kepada
Allah agar memberikan keistiqamahan kepada kita semua di atas manhaj
yang haq, sekaligus memberikan petunjuk kepada mereka yang telah
tersesat dari jalan-Nya yang lurus.