Shaum Ramadhan Dan Hari Raya Bersama Penguasa - Syiar Kebersamaan Umat Islam,
Taat
kepada pemerintah dalam perkara kebaikan. Inilah salah satu prinsip
agama yang kini telah banyak dilupakan dan ditinggalkan umat. Yang kini
banyak dilakukan justru berupaya mencari keburukan pemerintah
sebanyak-banyaknya untuk kemudian disebarkan ke masyarakat. Akibat
buruk dari ditinggalkannya prinsip ini sudah banyak kita rasakan. Satu
di antaranya adalah munculnya perpecahan di kalangan umat Islam saat
menentukan awal Ramadhan atau Hari Raya. Taat kepada pemerintah dalam
perkara kebaikan. Inilah salah satu prinsip agama yang kini telah banyak
dilupakan dan ditinggalkan umat. Yang kini banyak dilakukan justru
berupaya mencari keburukan pemerintah sebanyak-banyaknya untuk kemudian
disebarkan ke masyarakat. Akibat buruk dari ditinggalkannya prinsip ini
sudah banyak kita rasakan. Satu di antaranya adalah munculnya
perpecahan di kalangan umat Islam saat menentukan awal Ramadhan atau
Hari Raya. Bulan suci Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat
Islam. Hari-harinya diliputi suasana ibadah; shaum, shalat tarawih,
bacaan Al-Qur`an, dan sebagainya. Sebuah fenomena yang tak didapati di
bulan-bulan selainnya. Tak ayal, bila kedatangannya menjadi dambaan,
dan kepergiannya meninggalkan kesan yang mendalam. Tak kalah
istimewanya, ternyata bulan suci Ramadhan juga sebagai salah satu
syi’ar kebersamaan umat Islam. Secara bersama-sama mereka melakukan
shaum Ramadhan; dengan menahan diri dari rasa lapar, dahaga dan
dorongan hawa nafsu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari,
serta mengisi malam-malamnya dengan shalat tarawih dan berbagai macam
ibadah lainnya. Tak hanya kita umat Islam di Indonesia yang
merasakannya. Bahkan seluruh umat Islam di penjuru dunia pun turut
merasakan dan memilikinya.
Namun syi’ar kebersamaan itu kian hari
semakin pudar, manakala elemen-elemen umat Islam di banyak negeri
saling berlomba merumuskan keputusan yang berbeda dalam menentukan awal
dan akhir bulan Ramadhan. Keputusan itu terkadang atas nama ormas,
terkadang atas nama parpol, dan terkadang pula atas nama pribadi.
Masing-masing mengklaim, keputusannya yang paling benar. Tak pelak,
shaum Ramadhan yang merupakan syi’ar kebersamaan itu (kerap kali)
diawali dan diakhiri dengan fenomena perpecahan di tubuh umat Islam
sendiri. Tentunya, ini merupakan fenomena menyedihkan bagi siapa pun
yang mengidamkan persatuan umat.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Mungkin anda akan berkata: “Itu karena adanya perbedaan pendapat di
antara elemen umat Islam, apakah awal masuk dan keluarnya bulan
Ramadhan itu ditentukan oleh ru`yatul hilal (melihat hilal) ataukah
dengan ilmu hisab?”. Bisa juga anda mengatakan: “Karena adanya
perbedaan pendapat, apakah di dunia ini hanya berlaku satu mathla’
(tempat keluarnya hilal) ataukah masing-masing negeri mempunyai mathla’
sendiri-sendiri?”
Bila kita mau jujur soal penyebab pudarnya
syi’ar kebersamaan itu, lepas adanya realita perbedaan pendapat di atas,
utamanya disebabkan makin tenggelamnya salah satu prinsip penting
agama Islam dari hati sanubari umat Islam. Prinsip itu adalah
memuliakan dan menaati penguasa (pemerintah) umat Islam dalam hal yang
ma’ruf (kebaikan).
Mungkin timbul tanda tanya: “Apa hubungannya antara ketaatan terhadap penguasa dengan pelaksanaan shaum Ramadhan?”
Layak dicatat, hubungan antara keduanya sangat erat. Hal itu karena:
1.
Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam, dan suatu
kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan
terhadap penguasa.
2. Penentuan pelaksanaan shaum Ramadhan
merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan bukan kemaksiatan.
Sehingga menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang
diperintahkan dalam agama Islam. Terlebih ketika penentuannya setelah
melalui sekian proses, dari pengerahan tim ru‘yatul hilal di sejumlah
titik di negerinya hingga digelarnya sidang-sidang istimewa.
3.
Realita juga membuktikan, dengan menaati keputusan penguasa dalam hal
pelaksanaan shaum Ramadhan dan penentuan hari raya ‘Idul Fithri,
benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat.
Sebaliknya, ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya,
perpecahan di tubuh mereka pun sangat mencolok. Maka dari itu, menaati
penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama
Islam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ู
َْู
ุฃَุทَุงุนَِูู ََููุฏْ ุฃَุทَุงุนَ ุงَููู، َูู
َْู ุนَุตَุงِูู ََููุฏْ ุนَุตَูุงَููู،
َูู
َْู ุฃَุทَุงุนَ ุฃَู
ِْูุฑِู ََููุฏْ ุฃَุทَุงุนَِูู، َูู
َْู ุนَุตَู ุฃَู
ِْูุฑِู
ََููุฏْ ุนَุตَุงِูู
“Barangsiapa menaatiku berarti telah
menaati Allah. Barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah.
Barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan
barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku. ”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu
'anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam
hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa
dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah
untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam
perpecahan terdapat kerusakan. ” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
Mungkin
ada yang bertanya, “Adakah untaian fatwa dari para ulama seputar
permasalahan ini?” Maka jawabnya ada, sebagaimana berikut ini:
Fatwa Para Ulama Seputar Shaum Ramadhan Bersama Penguasa
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum
bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca
cerah ataupun mendung. ” Beliau juga berkata: “Tangan Allah Subhanahu
wa Ta'ala bersama Al-Jama’ah. ” (Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah juz 25, hal. 117)
Al-Imam At-Tirmidzi berkata:
“Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini1 dengan ucapan (mereka):
‘Sesungguhnya shaum dan berbukanya itu (dilaksanakan) bersama
Al-Jama’ah dan mayoritas umat Islam’. ” (Tuhfatul Ahwadzi juz 2, hal.
37. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)
Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini
adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan
shaum Ramadhan, berbuka puasa/Iedul Fithri dan Iedul Adha, -pen. )
keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka
untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini
dikembalikan kepada penguasa dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini,
setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat
Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan
sabit) namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk
tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti
mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu. ” (Hasyiyah ‘ala Ibni
Majah, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani2 berkata: “Dan
selama belum (terwujud) bersatunya negeri-negeri Islam di atas satu
mathla’ (dalam menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, -pen. ), aku
berpendapat bahwa setiap warga negara hendaknya melaksanakan shaum
Ramadhan bersama negaranya (pemerintahnya) masing-masing dan tidak
bercerai-berai dalam perkara ini, yakni shaum bersama pemerintah dan
sebagian lainnya shaum bersama negara lain, baik mendahului
pemerintahnya atau pun belakangan. Karena yang demikian itu dapat
mempertajam perselisihan di tengah masyarakat muslim sendiri.
Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara Arab sejak beberapa tahun
yang lalu. Wallahul Musta’an. ” (Tamamul Minnah hal. 398)
Beliau
juga berkata: “Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran,
yang di antara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan
barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang
memicu perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski
menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan
seperti; shaum, Ied, dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat
bahwa sebagian shahabat radhiallahu 'anhum shalat bermakmum di belakang
shahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa
menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh
termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat
demikian?! Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna (4 rakaat)
dalam safar dan di antara mereka pula ada yang mengqasharnya (2 rakaat).
Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat
berjamaah di belakang seorang imam (walaupun berbeda pendapat
dengannya, -pen. ) dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah.
Hal itu karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam
urusan agama lebih buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan
sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat
pribadinya pada momen berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu
semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan)
bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana diriwayatkan
oleh Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan
radhiallahu 'anhu shalat di Mina 4 rakaat (Zhuhur, ‘Ashar, dan Isya’
-pen). Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu
mengingkarinya seraya berkata: “Aku telah shalat (di Mina/hari-hari
haji, -pen. ) bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakr,
‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu
‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan di antara kalian
(sebagian shalat 4 rakaat dan sebagian lagi 2 rakaat, -pen. ), dan
harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat
darinya. ”
Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud
justru shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah
mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, (mengapa) kemudian
engkau shalat 4 rakaat pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Perselisihan itu jelek. ” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh
Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar
radhiallahu 'anhu.
Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar ini
benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang (hobi, -pen.
) berpecah-belah dalam urusan shalat mereka serta tidak mau bermakmum
kepada sebagian imam masjid, khususnya shalat witir di bulan Ramadhan
dengan dalih beda madzhab. Demikian pula orang-orang yang bershaum dan
berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun
mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus
berseberangan dengan mayoritas kaum muslimin. Hendaknya mereka semua
mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Dan semoga ini bisa
menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka.
Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan bersama
saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah Subhanahu wa
Ta'ala bersama Al-Jama’ah. ” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2,
hal. 444-445)
Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz
rahimahullahu pernah ditanya: “Jika awal masuknya bulan Ramadhan telah
diumumkan di salah satu negeri Islam semisal kerajaan Saudi Arabia,
namun di negeri kami belum diumumkan, bagaimanakah hukumnya? Apakah kami
bershaum bersama kerajaan Saudi Arabia ataukah bershaum dan berbuka
bersama penduduk negeri kami, manakala ada pengumuman? Demikian pula
halnya dengan masuknya Iedul Fithri, apa yang harus kami lakukan bila
terjadi perbedaan antara negeri kami dengan negeri yang lainnya? Semoga
Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas engkau dengan kebaikan. ”
Beliau
menjawab: “Setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka bersama
(pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam:
ุงูุตَّْูู
ُ َْููู
َ ุชَุตُْูู
َُْูู، َูุงِْููุทْุฑُ َْููู
َ ุชُْูุทِุฑَُْูู، َูุงْูุฃَุถْุญَู َْููู
َ ุชُุถَุญَُّْูู
“Waktu
shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah
pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari
kalian berkurban. ”
Wabillahit taufiq. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ditanya:
“Umat Islam di luar dunia Islam sering berselisih dalam menyikapi
berbagai macam permasalahan seperti (penentuan) masuk dan keluarnya
bulan Ramadhan, serta saling berebut jabatan di bidang dakwah. Fenomena
ini terjadi setiap tahun. Hanya saja tingkat ketajamannya berbeda-beda
tiap tahunnya. Penyebab utamanya adalah minimnya ilmu agama, mengikuti
hawa nafsu dan terkadang fanatisme madzhab atau partai, tanpa
mempedulikan rambu-rambu syariat Islam dan bimbingan para ulama yang
kesohor akan ilmu dan wara’-nya. Maka, adakah sebuah nasehat yang
kiranya bermanfaat dan dapat mencegah (terjadinya) sekian kejelekan?
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan taufiq dan penjagaan-Nya
kepada engkau. ”
Beliau berkata: “Umat Islam wajib bersatu dan
tidak boleh berpecah-belah dalam beragama. Sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:
ุดَุฑَุนَ َُููู
ْ ู
َِู ุงูุฏِِّْูู ู
َุง َูุตَّู ุจِِู
ُْููุญًุง َูุงَّูุฐِู ุฃَْูุญََْููุง ุฅََِْููู َูู
َุง َูุตََّْููุง ุจِِู
ุฅِุจْุฑَุงِْููู
َ َูู
ُْูุณَู َูุนِْูุณَู ุฃَْู ุฃَِْููู
ُูุง ุงูุฏَِّْูู َููุงَ
ุชَุชََูุฑَُّููุง ِِْููู
“Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang
agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah
Kami wasiatkan kepadamu, Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu:’ Tegakkanlah
agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya’. ” (Asy-Syura:
13)
َูุงุนْุชَุตِู
ُูุง ุจِุญَุจِْู ุงِููู ุฌَู
ِْูุนًุง َููุงَ ุชََูุฑَُّููุง
“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai. ” (Ali ‘Imran: 103)
َููุงَ
ุชَُُْููููุง َูุงَّูุฐَِْูู ุชََูุฑَُّููุง َูุงุฎْุชََُูููุง ู
ِْู ุจَุนْุฏِ ู
َุง
ุฌَุงุกَُูู
ُ ุงْูุจََِّููุงุชُ َูุฃَُْููุฆَِู َُููู
ْ ุนَุฐَุงุจٌ ุนَุธِْูู
ٌ
“Dan
janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan
berselisih setelah keterangan datang kepada mereka, dan bagi mereka
adzab yang pedih. ” (Ali ‘Imran: 105)
Sehingga umat Islam wajib
untuk menjadi umat yang satu dan tidak berpecah-belah dalam beragama.
Hendaknya waktu shaum dan berbuka mereka satu, dengan mengikuti
keputusan lembaga/departemen yang menangani urusan umat Islam dan tidak
bercerai-berai (dalam masalah ini), walaupun harus lebih tertinggal
dari shaum kerajaan Saudi Arabia atau negeri Islam lainnya. ” (Fatawa
Fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52)
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah
Lil-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal-Ifta`: “…Dan tidak mengapa bagi penduduk
negeri manapun, jika tidak melihat hilal (bulan tsabit) di tempat
tinggalnya pada malam ke-30, untuk mengambil hasil ru`yatul hilal dari
tempat lain di negerinya. Jika umat Islam di negeri tersebut berbeda
pendapat dalam hal penentuannya, maka yang harus diikuti adalah
keputusan penguasa di negeri tersebut bila ia seorang muslim, karena
(dengan mengikuti) keputusannya akan sirnalah perbedaan pendapat itu.
Dan jika si penguasa bukan seorang muslim, maka hendaknya mengikuti
keputusan majelis/departemen pusat yang membidangi urusan umat Islam di
negeri tersebut. Hal ini semata-mata untuk menjaga kebersamaan umat
Islam dalam menjalankan shaum Ramadhan dan shalat Id di negeri mereka.
Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa
shahbihi wasallam. ”
Pemberi fatwa: Asy-Syaikh Abdur Razzaq
‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin
Mani’. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 117)
Demikianlah beberapa
fatwa para ulama terdahulu dan masa kini seputar kewajiban bershaum
bersama penguasa dan mayoritas umat Islam di negerinya. Semoga menjadi
pelita dalam kegelapan dan ibrah bagi orang-orang yang mendambakan
persatuan umat Islam.
Mungkin masih ada yang mengatakan
bahwasanya kewajiban menaati penguasa dalam perkara semacam ini hanya
berlaku untuk seorang penguasa yang adil. Adapun bila penguasanya
dzalim atau seorang koruptor, tidak wajib taat kepadanya walaupun dalam
perkara-perkara kebaikan dan bukan kemaksiatan, termasuk dalam hal
penentuan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan ini.
Satu hal yang
perlu digarisbawahi dalam hal ini, jika umat dihadapkan pada polemik
atau perbedaan pendapat, prinsip ‘berpegang teguh dan merujuk kepada
Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam’ haruslah
senantiasa dikedepankan. Sebagaimana bimbingan Allah Subhanahu wa
Ta'ala dalam kalam-Nya nan suci:
َูุงุนْุชَุตِู
ُูุง ุจِุญَุจِْู ุงِููู ุฌَู
ِْูุนًุง َููุงَ ุชََูุฑَُّููุง
“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai. ” (Ali ‘Imran: 103)
Al-Imam
Al-Qurthubi berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan kepada kita
agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan Sunnah Nabi-Nya,
serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan.
Sebagaimana Dia (juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas
Al-Qur`an dan As-Sunnah baik secara keyakinan atau pun amalan…” (Tafsir
Al-Qurthubi, 4/105)
Para pembaca yang mulia, bila anda telah
siap untuk merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah maka simaklah
bimbingan dari Al-Qur`an dan As-Sunnah berikut ini:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
َูุง ุฃَََّููุง ุงَّูุฐَِْูู ุกَุงู
َُููุง ุฃَุทِْูุนُูุง ุงَููู َูุฃَุทِْูุนُูุง ุงูุฑَّุณَُْูู َูุฃُِْููู ุงْูุฃَู
ْุฑِ ู
ُِْููู
ْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kalian. ” (An-Nisa`: 59)
Al-Imam
An-Nawawi berkata: “Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah orang-orang
yang Allah Subhanahu wa Ta'ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan
para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama
terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir dan fiqih serta yang
lainnya. ”(Syarh Shahih Muslim, juz 12, hal. 222)
Adapun baginda
Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau seringkali
mengingatkan umatnya seputar permasalahan ini. Di antaranya dalam
hadits-hadits beliau berikut ini:
1. Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu 'anhu berkata:
َูุง
ุฑَุณَُْูู ุงِููู! ูุงَ َูุณْุฃََُูู ุนَْู ุทَุงุนَุฉِ ู
َِู ุงุชََّูู، ََِْูููู
ู
َْู َูุนََู ََููุนََู- َูุฐََูุฑَ ุงูุดَّุฑَّ- ََููุงَู: ุงุชَُّููุง ุงَููู
َูุงุณْู
َุนُูุง َูุฃَุทِْูุนُูุง
“Wahai Rasulullah, kami tidak
bertanya kepadamu tentang ketaatan (terhadap penguasa) yang bertakwa.
Yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap penguasa yang berbuat
demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekannya). ” Maka
Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah, dengarlah dan
taatilah (penguasa tersebut). ” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab
As-Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul
Jannah Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)
2. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َُُْูููู
ุจَุนْุฏِْู ุฃَุฆِู
َّุฉٌ، ูุงََْููุชَุฏَُْูู ุจُِูุฏَุงَู، َููุงَ َูุณْุชََُّْููู
ุจِุณَُّูุชِْู، َูุณََُْูููู
ُ ِِْูููู
ْ ุฑِุฌَุงٌู، ُُْูููุจُُูู
ْ ُُْูููุจُ
ุงูุดََّูุงุทِِْูู ِْูู ุฌُุซْู
َุงِู ุฅِْูุณٍ. َูุงَู (ุญُุฐََْููุฉُ): ُْููุชُ:
ََْููู ุฃَุตَْูุนُ َูุง ุฑَุณَُْูู ุงِููู ุฅِْู ุฃَุฏْุฑَْูุชُ ุฐََِูู؟ َูุงَู:
ุชَุณْู
َุนُ َูุชُุทِْูุนُ ِููุฃَู
ِْูุฑِ، َูุฅِْู ุถُุฑِุจَ ุธَْูุฑَُู َูุฃُุฎِุฐَ
ู
َุงَُูู، َูุงุณْู
َุนْ َูุฃَุทِุนْ!
“Akan ada sepeninggalku nanti
para imam/penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku
dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada di antara para penguasa
tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia. ”
Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya engkau
mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk
dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah (perintahnya) dan
taatilah (dia). ” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman,
3/1476, no. 1847)
3. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ุดِุฑَุงุฑُ
ุฃَุฆِู
َّุชُِูู
ُ ุงَّูุฐَِْูู ุชُุจْุบِุถَُُْูููู
ْ َُููุจْุบِุถَُُْูููู
ْ
َูุชَْูุนََُُْููููู
ْ ََْูููุนََُُْููููู
ْ. َِْููู: َูุง ุฑَุณَُْูู ุงُููู!
ุฃََููุงَ َُููุงุจِุฐُُูู
ْ ุจِุงูุณَِّْูู؟ ََููุงَู: ูุงَ، ู
َุง ุฃََูุงู
ُูุง ُِْูููู
ُ
ุงูุตَّูุงَุฉَ، َูุฅِุฐَุง ุฑَุฃَْูุชُู
ْ ู
ِْู ُููุงَุชُِูู
ْ ุดَْูุฆًุง ุชَْูุฑََُُْูููู
َูุงْูุฑَُููุง ุนَู
ََُูู َููุงَ ุชَْูุฒِุนُูุง َูุฏًุง ู
ِْู ุทَุงุนَุฉٍ
“Seburuk-buruk
penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci
kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian. ” Lalu
dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi
mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama
mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian
melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka
bencilah perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan
(darinya). ” (HR. Muslim, dari shahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no.
1855)
Para ulama kita pun demikian adanya. Mereka (dengan latar
belakang daerah, pengalaman dan generasi yang berbeda-beda) telah
menyampaikan arahan dan bimbingannya yang amat berharga seputar
permasalahan ini, sebagaimana berikut:
Shahabat Ali bin Abi
Thalib radhiallahu 'anhu berkata: “Urusan kaum muslimin tidaklah stabil
tanpa adanya penguasa, yang baik atau yang jahat sekalipun. ”
Orang-orang berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kalau penguasa yang baik
kami bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan yang jahat?” Ali bin Abi
Thalib berkata: “Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat namun Allah
Subhanahu wa Ta'ala tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di
jalan-jalan dan pemimpin dalam jihad…” (Syu’abul Iman, karya Al-Imam
Al-Baihaqi juz 13, hal. 187, dinukil dari kitab Mu’amalatul Hukkam,
karya Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas hal. 57)
Al-Imam Ibnu
Abil ‘Iz Al-Hanafi berkata: “Adapun kewajiban menaati mereka (penguasa)
tetaplah berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Karena tidak menaati
mereka dalam hal yang ma’ruf akan mengakibatkan kerusakan yang jauh
lebih besar dari apa yang ada selama ini. Dan di dalam kesabaran
terhadap kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta
(mendatangkan) pahala yang berlipat. ” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah
hal. 368)
Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Ketahuilah bahwa
kejahatan penguasa tidaklah menghapuskan kewajiban (menaati mereka,
-pen. ) yang Allah Subhanahu wa Ta'ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya.
Kejahatannya akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan
kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan bersamanya akan mendapat pahala
yang sempurna insya Allah. Yakni kerjakanlah shalat berjamaah, shalat
Jum’at dan jihad bersama mereka, dan juga berpartisipasilah bersamanya
dalam semua jenis ketaatan (yang dipimpinnya). ” (Thabaqat Al-Hanabilah
karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hal.
14)
Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari berkata: “Telah sepakat para
ulama ahli fiqh, ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari kalangan Ubbad
(ahli ibadah) dan Zuhhad (orang-orang zuhud) sejak generasi pertama
umat ini hingga masa kita ini: bahwa shalat Jum’at, Idul Fitri dan Idul
Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad, haji, serta penyembelihan
qurban dilakukan bersama penguasa, yang baik ataupun yang jahat. ”
(Al-Ibanah, hal. 276-281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hal. 16)
Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Aku telah bertemu dengan 1. 000 orang
lebih dari ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith,
Baghdad, Syam dan Mesir…. ” Kemudian beliau berkata: “Aku tidak melihat
adanya perbedaan di antara mereka tentang perkara berikut ini –beliau
lalu menyebutkan sekian perkara, di antaranya kewajiban menaati
penguasa (dalam hal yang ma’ruf)–. ” (Syarh Ushulil I’tiqad
Al-Lalika`i, 1/194-197)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani
berkata: “Di dalam hadits ini (riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari
shahabat Abu Hurairah di atas, -pen. ) terdapat keterangan tentang
kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan
kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan
kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat
kerusakan. ” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
Para pembaca yang mulia, dari bahasan di atas dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya:
1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam yang harus dipelihara.
2.
Syi’ar kebersamaan tersebut akan pudar manakala umat Islam di
masing-masing negeri bercerai-berai dalam mengawali dan mengakhiri shaum
Ramadhannya.
3. Ibadah yang bersifat kebersamaan semacam ini
keputusannya berada di tangan penguasa umat Islam di masing-masing
negeri, bukan di tangan individu.
4. Shaum Ramadhan bersama
penguasa dan mayoritas umat Islam merupakan salah satu prinsip agama
Islam yang dapat memperkokoh persatuan mereka, baik si penguasa
tersebut seorang yang adil ataupun jahat. Karena kebersamaan umat
tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa.
Terlebih manakala ketentuannya itu melalui proses ru‘yatul hilal di
sejumlah titik negerinya dan sidang-sidang istimewa.
5. Realita
membuktikan, bahwa dengan bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama
penguasa (dan mayoritas umat Islam) benar-benar tercipta suasana
persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya ketika umat Islam
berseberangan dengan penguasanya, suasana perpecahan di tubuh umat pun
demikian mencolok. Yang demikian ini semakin menguatkan akan kewajiban
bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat
Islam).
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:
ุงูุตَّْูู
ُ َْููู
َ ุชَุตُْูู
َُْูู, َูุงِْููุทْุฑُ َْููู
َ ุชُْูุทِุฑَُْูู, َูุงْูุฃَุถْุญَู َْููู
َ ุชُุถَุญَُّْูู
“Shaum
itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada
saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/ Iedul Adha di hari kalian
berkurban. ”
2 Beliau merupakan salah satu ulama yang berpendapat
bahwasanya pelaksanaan shaum Ramadhan dan Idul Fithri di dunia ini
hanya dengan satu mathla’ saja, sebagaimana yang beliau rinci dalam
kitab Tamamul Minnah hal. 398. Walaupun demikian, beliau sangat getol
mengajak umat Islam (saat ini) untuk melakukan shaum Ramadhan dan Iedul
Fithri bersama penguasanya, sebagaimana perkataan beliau di atas.
www. asysyariah. com/print. php?idonline=370 sumber: www. darussalaf. or. id, penulis: Al-Ustadz Ruwaifi
07 Agustus 2012
Shaum Ramadhan Dan Hari Raya Bersama Penguasa
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar