Maraknya
konser musik dan festival lagu di negri kita serta nyanyian yang kian
digandrungi, bukan saja oleh para remaja, tetapi juga diminati dan
dinikmati oleh para orang tua, bahkan anak-anak, baik lewat televisi,
radio, Hand phone, dan media-media elektronik lainnya, mendorong tim
redaksi an-Nur untuk kembali mengangkat tema yang berkaitan dengannya.
Harapan kami agar kaum Muslimin mengerti dengan jelas bagaimana
sebenarnya kedudukan musik yang seakan tidak pernah sepi dan tak
terpisahkan dalam kehidupan mereka.
Pandangan al-Qur’an Dan as- Sunnah
Allah Subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Dan di antara manusia (ada) yang memper-gunakan lahwul hadits untuk menyesat-kan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu bahan olok-olokan.” (QS. Luqman: 6).
Allah Subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Dan di antara manusia (ada) yang memper-gunakan lahwul hadits untuk menyesat-kan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu bahan olok-olokan.” (QS. Luqman: 6).
Sebagian besar mufassir berko-mentar,
yang dimaksud dengan lahwul hadits dalam ayat tersebut adalah nyanyian.
Hasan al-Basri berkata, “Ayat itu turun dalam masalah musik dan lagu.”
Allah Subhanahu wata’ala berfirman kepada setan, artinya, “Dan hasunglah
siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu.” Maksudnya
dengan lagu (nyanyian) dan musik.
RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam
telah bersabda, “Kelak akan ada dari umatku beberapa kaum yang
menghalalkan zina, sutera, minum-an keras dan musik.” (HR. al-Bukhari
dan Abu Daud)
Dengan kata lain, akan datang suatu masa,
ketika beberapa golongan dari umat Islam mempercayai bahwa zina,
memakai sutera asli, minum-minuman keras, dan musik hukumnya halal,
padahal semua itu adalah haram.
Adapun yang dimaksud dengan musik di sini
adalah segala sesuatu yang menghasilkan bunyi dan suara yang indah
serta menyenangkan. Seperti kecapi, gendang, rebana, seruling, dan
berbagai alat musik modern yang kini sangat banyak dan beragam. Bahkan
termasuk di dalamnya jaros (lonceng, bel, klentengan).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Lonceng adalah nyanyian setan.” (HR. Muslim)
Di masa dahulu orang-orang hanya
mengalungkan klentengan pada leher binatang. Hadits di atas menunjukkan
betapa dibencinya suara bel tersebut. Penggunaan lonceng juga berarti
menyerupai orang-orang nasrani. Lonceng bagi mereka merupakan suatu yang
prinsip dalam aktivitas gereja.
Imam Syafi’i dalam kitabnya al- Qadha’
berkata, “Nyanyian adalah kesia-siaan yang dibenci, bahkan menyerupai
perkara batil. Barangsiapa memperba-nyak nyanyian, maka dia adalah orang
dungu, syahadat (kesaksiannya) tidak dapat diterima.”
Nyanyian di Masa Kini:
Kebanyakan lagu dan musik pada saat ini manggung di berbagai pesta juga dalam tayangan televisi dan siaran radio. Mayoritas sya’ir-sya’irnya berisi tentang asmara, kecantikan, ketampanan dan hal lain yang lebih banyak mengarah kepada eksploitasi biologis, sehingga mem-bangkitkan nafsu birahi, terutama bagi kawula muda dan remaja. Selanjutnya hal itu membuat mereka lupa segala-galanya, sehingga terjadilah kemaksiat-an, zina dan dekadensi moral lainnya.
Kebanyakan lagu dan musik pada saat ini manggung di berbagai pesta juga dalam tayangan televisi dan siaran radio. Mayoritas sya’ir-sya’irnya berisi tentang asmara, kecantikan, ketampanan dan hal lain yang lebih banyak mengarah kepada eksploitasi biologis, sehingga mem-bangkitkan nafsu birahi, terutama bagi kawula muda dan remaja. Selanjutnya hal itu membuat mereka lupa segala-galanya, sehingga terjadilah kemaksiat-an, zina dan dekadensi moral lainnya.
Tak diragukan lagi hura-hura musik baik
dari dalam atau manca negara sangat merusak dan banyak menimbulkan
bencana besar bagi generasi muda. Lihatlah betapa setiap ada pesta
kolosal musik, selalu ada saja yang menjadi korban. Baik berupa mobil
yang hancur, kehilangan uang atau barang lainnya, cacat fisik hingga
korban meninggal dunia. Orang-orang berjejal dan mau saja membayar meski
dengan harga tiket yang tinggi. Bagi yang tak memiliki uang terpaksa
mencari berbagai cara yang penting bisa masuk stadion. Akhirnya merusak
pagar, memanjat dinding atau merusak barang lainnya demi bisa
menyaksikan pertunjukan musik kolosal tersebut.
Jika pentas dimulai, seketika para
penonton hanyut bersama alunan musik. Ada yang menghentak, menjerit
histeris bahkan pingsan karena mabuk musik.
Para pemuda itu mencintai para penyanyi
idola mereka melebihi kecintaan mereka kepada Allah Subhanahu wata’ala
yang menciptakannya. Ini adalah fitnah yang amat besar.
Tersebutlah pada saat terjadi perang
antara Bangsa Arab dengan Yahudi tahun 1967, para pembakar semangat
menyeru kepada para pejuang, “Maju terus, bersama kalian biduan fulan
dan biduanita fulanah … “, kemudian mereka menderita kekalahan di tangan
para Yahudi yang pendosa.
Seharusnya diserukan, “Maju terus, Allah
Subhanahu wata’ala bersama kalian. Allah Subhanahu wata’ala akan
menolong kalian.” Dalam peperangan itu pula, salah seorang biduanita
memaklumkan, jika mereka menang, maka ia akan menyelenggarakan pentas
bulanannya di Tel Aviv, ibukota Israel, padahal biasanya digelar di
Mesir. Sebaliknya yang dilakukan orang-orang Yahudi setelah merperoleh
kemenangan adalah mereka bersimpuh di Ha’ith Mabka (dinding ratapan)
sebagai tanda syukurnya kepada Tuhan mereka.
Semua nyanyian itu hampir sama, bahkan
hingga nyanyian-nyanyian yang bernafaskan Islam sekalipun, tidak akan
lepas dari kemungkaran.Bahkan di antara sya’ir lagunya ada yang
berbunyi,
“Dan besok akan dikatakan, setiap nabi berada pada kedudukannya …
Ya Muhammad inilah Arsy, terima-lah.”
Bait terakhir dari sya’ir tersebut merupakan suatu kebohongan besar terhadap Allah Subhanahu wata’ala dan RasulNya. Tidak sesuai dengan kenyataan dan termasuk salah satu bentuk pengultusan terhadap diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal semacam itu dilarang.
“Dan besok akan dikatakan, setiap nabi berada pada kedudukannya …
Ya Muhammad inilah Arsy, terima-lah.”
Bait terakhir dari sya’ir tersebut merupakan suatu kebohongan besar terhadap Allah Subhanahu wata’ala dan RasulNya. Tidak sesuai dengan kenyataan dan termasuk salah satu bentuk pengultusan terhadap diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal semacam itu dilarang.
Kiat Mengobati virus nyanyian dan musik.
Beberapa langkah yang dianjurkan, diantaranya:
1. Jangan mendengarkan musik, baik dari radio, televisi atau lainnya. Apalagi jika syair-syairnya tak sesuai dengan akhlak Islam dan diiringi dengan musik.
Di antara lawan paling jitu untuk menangkal ketergantungan kepada musik adalah dengan selalu mengingat Allah Subhanahu wata’ala dan membaca al-Qur’an, terutama surat Al Baqarah. Dalam hal ini Allah Subhanahu wata’ala telah berfirman, artinya, “Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan sebagai penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Sesungguhnya setan itu lari dari rumah yang di dalamnya surat Al Baqarah dibaca.” (HR. Muslim)
Beberapa langkah yang dianjurkan, diantaranya:
1. Jangan mendengarkan musik, baik dari radio, televisi atau lainnya. Apalagi jika syair-syairnya tak sesuai dengan akhlak Islam dan diiringi dengan musik.
Di antara lawan paling jitu untuk menangkal ketergantungan kepada musik adalah dengan selalu mengingat Allah Subhanahu wata’ala dan membaca al-Qur’an, terutama surat Al Baqarah. Dalam hal ini Allah Subhanahu wata’ala telah berfirman, artinya, “Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan sebagai penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Sesungguhnya setan itu lari dari rumah yang di dalamnya surat Al Baqarah dibaca.” (HR. Muslim)
2. Membaca sirah Shallallahu ‘alaihi
wasallam (riwayat hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam).
Demikian pula sejarah hidup para sahabat beliau.
Nyanyian yang Diperbolehkan
Ada beberapa nyanyian yang diperbolehkan, yaitu:
1. Menyanyi pada hari raya. Hal itu berdasarkan hadits A’isyah,”Suatu ketika Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke bilik ‘Aisyah, sedang di sisinya ada dua orang hamba sahaya wanita yang masing-masing memukul rebana (dalam riwayat lain ia berkata, “… dan di sisi saya terdapat dua orang hamba sahaya yang sedang menyanyi.”), lalu Abu Bakar mencegah keduanya. Tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam justru bersabda, “Biarkanlah mereka karena sesung-guhnya masing-masing kaum memiliki hari raya, sedangkan hari raya kita adalah pada hari ini.” (HR. al-Bukhari).
Ada beberapa nyanyian yang diperbolehkan, yaitu:
1. Menyanyi pada hari raya. Hal itu berdasarkan hadits A’isyah,”Suatu ketika Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke bilik ‘Aisyah, sedang di sisinya ada dua orang hamba sahaya wanita yang masing-masing memukul rebana (dalam riwayat lain ia berkata, “… dan di sisi saya terdapat dua orang hamba sahaya yang sedang menyanyi.”), lalu Abu Bakar mencegah keduanya. Tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam justru bersabda, “Biarkanlah mereka karena sesung-guhnya masing-masing kaum memiliki hari raya, sedangkan hari raya kita adalah pada hari ini.” (HR. al-Bukhari).
2. Menyanyi dengan rebana ketika
berlangsung pesta pernikahan, untuk menyemarakkan suasana sekaligus
memperluas kabar pernikahannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Pembeda antara yang halal dengan yang haram adalah memukul
rebana dan suara (lagu) pada saat pernikahan.” (Hadits shahih riwayat
Ahmad). Yang dimaksud di sini adalah khusus untuk kaum wanita.
3. Nasyid Islami (nyanyian Islami tanpa
diiringi dengan musik) yang disenandungkan saat bekerja sehingga bisa
lebih membangkitkan semangat, terutama jika di dalamnya terdapat do’a.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyenandungkan sya’ir Ibnu
Rawahah dan menyemangati para sahabat saat menggali parit. Beliau
bersenandung, “Ya Allah tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat, maka
ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin.” Seketika kaum Muhajirin dan Anshar
menyambutnya dengan senandung lain, “Kita telah membai’at Muhammad,
kita selamanya selalu dalam jihad.”
Ketika menggali tanah bersama para sahabatnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersenandung dengan sya’ir Ibnu Rawahah yang lain,
“Demi Allah, jika bukan karena Allah, tentu kita tidak mendapat petunjuk, tidak pula kita bersedekah, tidak pula mengerjakan shalat.
Maka turunkanlah ketenangan kepada kami, mantapkan langkah dan pendirian kami jika bertemu (musuh)
Orang-orang musyrik telah men durhakai kami, jika mereka mengingin-kan fitnah, maka kami menolaknya.”
Dengan suara koor dan tinggi mereka balas bersenandung, “Kami menolaknya,…kami menolaknya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Ketika menggali tanah bersama para sahabatnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersenandung dengan sya’ir Ibnu Rawahah yang lain,
“Demi Allah, jika bukan karena Allah, tentu kita tidak mendapat petunjuk, tidak pula kita bersedekah, tidak pula mengerjakan shalat.
Maka turunkanlah ketenangan kepada kami, mantapkan langkah dan pendirian kami jika bertemu (musuh)
Orang-orang musyrik telah men durhakai kami, jika mereka mengingin-kan fitnah, maka kami menolaknya.”
Dengan suara koor dan tinggi mereka balas bersenandung, “Kami menolaknya,…kami menolaknya.” (Muttafaq ‘Alaih)
4. Nyanyian yang mengandung pengesaan
Allah Subhanahu wata’ala, kecintaan kepada Rasululah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dengan menyebutkan sifat-sifat beliau yang terpuji; atau
mengandung anjuran berjihad, teguh pendirian dan memperbaiki akhlak;
atau seruan kepada saling mencintai, tolong- menolong di antara sesama;
atau menyebutkan beberapa kebaikan Islam, berbagai prinsipnya serta
hal-hal lain yang bermanfaat buat masyarakat Islam, baik dalam agama
atau akhlak mereka.
Di antara berbagai alat musik yang
diperbolehkan hanyalah rebana. Itupun penggunaannya terbatas hanya saat
pesta pernikahan dan khusus bagi para wanita. Kaum laki-laki sama sekali
tidak dibolehkan memakainya. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak memakainya. Demikian pula halnya dengan para sahabat
beliau radhiallahu ‘anhum ajma’in.
Orang-orang Sufi memperbolehkan rebana,
bahkan mereka berpendapat bahwa menabuh rebana ketika dzikir hukumnya
sunnat, padahal ia adalah bid’ah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan, karena
sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah. dan setiap
bid’ah adalah sesat.” (HR. Turmudzi, beliau berkata, “Hadits hasan
sha-hih.”).(Tim Redaksi an-Nur)
Sumber: Rasa’ilut Taujihat Al Islamiyah, 1/ 514 – 516.
Oleh: Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
http://abuyahya8211.wordpress.com/2009/06/15/musik-dalam-kaca-mata-islam/
0 komentar:
Posting Komentar