(oleh Abu Namira Hasna Al-Jauziyah)
Benar
sekali apa yang dikatakan Muhaddits abad ini, Syaikh Muhammad
Nasaruddin Al-Albani, bahwa Hizbut Tahrir adalah Mutazilah gaya baru.
ana akan nukil lengkap(sesuai aslinya, tanpa mengubah sedikitpun)tulisan
Syamsuddin Ramadhan(Lajnah Tsaqofiyah Hizbut Tahrir Indonesia) yang
merupakan tokoh Hizbut Tahrir Indonesia. ana akan warnai tulisan
yang menandakan bahwa Hizbut Tahrir memahami Islam dengan akal dengan
warna merah, ditebali dan garisbawahi. sumber ini, ana ambil di :Di sini!!! Hati-hati terhadap situs ini, karena penuh Syubhat dan kedustaan.
Perhatian : Kedudukan Akal menurut Islam yang benar sesuai dengan pemahaman Salafusholeh, bisa buka di :Kedudukan Akal Dalam Islam
Soal:
Bagaimana kedudukan akal dalam Islam? Apakah akal tunduk kepada wahyu atau sebaliknya?
Jawab:
Pada
dasarnya, akal merupakan asas untuk (1) membuktikan kebenaran Islam,
dan (2) untuk memahami ajaran Islam, serta semua hal yang berhubungan
dengan Islam.
Pertama, jika semesta pembicaraannya adalah akal
sebagai alat untuk membuktikan keabsahan Islam sebagai agama, maka kita
bisa menyatakan bahwa peran akal di sini berfungsi sebagai dalil (alat
bukti). Misalnya, keimanan seorang muslim terhadap eksistensi Allah,
Muhammad Utusan Allah, serta al-Qur’an sebagai kalamullah didasarkan
pada dalil ‘aqliy. Artinya, akal sebagai dalil untuk membuktikan apakah
Allah SWT itu eksis atau tidak, al-Qur’an itu kalamullah atau tidak, dan
Muhammad itu utusan Allah atau bukan. Dalam tiga hal ini, Islam telah menggariskan bahwa
akal berfungsi sebagai dalil atau alat untuk menguji ketiganya.
Keimanan terhadap eksistensi Allah, al-Qur’an sebagai kalamullah, dan
Mohammad sebagai utusan Allah, adalah fundamen paling mendasar yang akan
membangun keseluruhan ajaran Islam. Sedangkan ketiga hal mendasar ini
dibangun di atas pembuktian akal. Berarti, Islam adalah ajaran yang
disangga di atas akal.
‘Aqidah dan Syariah==
||
* Keimanan terhadap eksistensi Allah
* Keimanan terhadap Muhammad sebagai utusan Allah
* Keimanan terhadap al-Qur’an sebagai Kalamullah
||
Akal (sebagai alat bukti)
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa kedudukan akal di atas wahyu. Tidak boleh dipahami demikian. Peran akal di sini hanyalah sebagai alat untuk membuktikan kebenaran dan keshahihan ajaran Islam.
Setelah, terbukti bahwa Allah itu eksis, Muhammad itu benar-benar
utusan Allah, dan al-Qur’an adalah kalamullah, akal bisa menetapkan,
bahwa semua hal yang terkandung di dalam al-Qur’an merupakan kebenaran
yang tidak bisa disanggah lagi. Semua yang terkandung di dalam al-Quran
mesti diyakini kebenarannya dan diamalkan oleh seluruh kaum muslim.
Misalnya, keyakinan terhadap jin, malaikat, dan hari akhir tidak lagi didasarkan pada akal, akan tetapi didasarkan pada dalil naqliy
yang telah dibuktikan kebenarannya melalui jalan akal,
yakni al-Qur’an dan sunnah mutawatir. Setiap muslim harus tunduk dengan
apa yang dibawa oleh Muhammad Saw. Akalnya harus tunduk dan menerima
dengan pasrah semua perkara yang dibawa oleh Muhammad Saw, meskipun itu
bertentangan dengan akalnya. Akal tidak bisa menjangkau, mengapa Allah
SWT menciptakan surga, mengapa sholat mesti lima waktu dan seterusnya.
Dalam perkara semacam ini, akal mesti tunduk di bawah wahyu, akalnya
tidak boleh didudukkan sejajar atau lebih tinggi dibandingkan wahyu.
Kedua, adapun peran akal yang kedua adalah memahami wahyu (ajaran Islam) dan semua hal yang berhubungan dengannya.
Tatkala seorang telah percaya kepada al-Qur’an dan Nabi Saw, maka ia
dituntut untuk melaksanakan semua yang terkandung di dalamnya. Kewajiban
untuk melaksanakan kandungan isi al-Qur’an mengharuskan seseorang untuk
memahami teks-teks al-Qur’an serta semua hal yang berhubungan
dengannya; misalnya memahami fakta yang hendak dihukumi dan sebagainya.
Misalnya, seseorang tidak mungkin bisa mengerjakan sholat lima waktu
sesuai dengan sunnah, jika ia tidak memahami dengan akalnya tatacara
sholat yang telah digariskan oleh Rasulullah Saw. Seorang muslim juga
tidak akan bisa menghukumi dengan tepat status suatu perbuatan atau
benda jika ia tidak memahami secara rinci fakta dari perbuatan dan benda
tersebut.
Demikianlah, kedudukan akal tidak lebih hanyalah sekadar sebagai alat pembukti dan alat untuk memahami wahyu. Pembuktian terhadap eksistensi Allah, Muhammad utusan Allah, dan al-Qur’an sebagai kalamullah, didasarkan pada akal.
Sedangkan, penetapan hukum atas suatu perbuatan dan benda —yang
dikaitkan dengan halal haram— harus didasarkan pada wahyu, bukan akal. Akal hanya berfungsi untuk memahami, bukan berkedudukan sebagai dalil. Dalilnya tetap al-Qur’an dan sunnah,
sedangkan akal hanya berfungsi untuk memahami dalil dan fakta yang hendak dihukum
i.Wallahu a’lam bi al-shawab.
[Syamsuddin Ramadhan] Lajnah Tsaqofiyah Hizbut Tahrir Indonesia
Di Gabungkan oleh : Abu Namira Hasna Al-Jauziyah untuk :Maktanah Online Abu Namira
08 Agustus 2012
Beginilah Cara Hizbut Tahrir Memahami Islam
04.49
Unknown
Diberdayakan oleh Blogger.