(Penulis: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al- Albani)
Pada
suatu kesempatan ada dua pertanyaan yang keduanya bertemu pada satu
titik berkenaan dengan Hizbut Tahrir (selanjutnya disingkat HT).
Pertanyaan Yang Pertama :
Saya banyak membaca tentang Hizbut Tahrir dan saya kagum terhadap banyak
pemikiran-pemikiran mereka, saya ingin Anda menjelaskan atau memberikan
faedah pada kami dengan penjelasan yang ringkas tentang Hizbut Tahrir
ini.
Pertanyaan Yang Kedua :
Sehubungan dengan permasalahan-permasalahan tadi akan tetapi si penanya
menghendaki dariku penjelasan yang sangat luas tentang Hizbut Tahrir,
sasaran, atau tujuan-tujuannya, serta pemikiran-pemikirannya, dan apakah
semua sisi negatifnya merembet ke dalam permasalahan akidah?
Saya (Syaikh Al Albani) menjawab atas dua pertanyaan tadi :
Golongan atau kelompok atau perkumpulan atau jamaah apa saja dari
perkumpulan Islamiyah, selama mereka semua tidak berdiri di atas
Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam serta di atas manhaj (jalan/cara) Salafus Shalih, maka dia
(golongan itu) berada dalam kesesatan yang nyata! Tidak diragukan lagi
bahwasanya golongan (hizb) apa saja yang tidak berdiri di atas tiga
dasar ini (Al Qur’an, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
dan Manhaj Shalafus Shalih) maka akan berakibat atau membawa kerugian
pada akhirnya walaupun mereka itu (dalam dakwahnya) ikhlas.
Pembahasan saya kali ini tentang golongan-golongan Islamiyah yang
mereka semua harus ikhlas kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan menginginkan
nasehat kebaikan bagi umat sebagaimana dalam hadits yang shahih :
“Agama itu adalah nasehat”, kami (para shahabat) berkata : “Bagi siapa
ya Rasulullah?” (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) bersabda :
“Bagi Allah dan bagi Kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, bagi Imam-Imam kaum
Muslimin, dan mereka (kaum Muslimin) pada umumnya.” (Imam Muslim
menyendiri dalam lafadz hadits hadits ini dari hadits Tamim Ad Dari)
Karena Allah telah berfirman dalam Al Qur’an tentang permasalahan ini :
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al
Ankabut : 69)
Maka barangsiapa yang jihadnya karena Allah ‘Azza wa Jalla dan
berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam serta di atas manhaj Salafus Shalih merekalah orang-orang yang
dimaksud dalam ayat :
“Jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu.” (QS. Muhammad : 7)
Manhaj Salafus Shalih ini adalah dasar yang agung maka dakwah setiap
golongan kaum Muslimin harus berada di atasnya. Berdasarkan pengetahuan
saya, setiap golongan atau kelompok yang ada di muka bumi Islam ini,
saya berpendapat sesungguhnya mereka semua tidaklah berdakwah pada dasar
yang ketiga, sementara dasar yang ketiga ini adalah pondasi yang kokoh.
Mereka hanya menyeru kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja, di sisi lain mereka tidak menyeru
(berdakwah) pada manhaj Salafus Shalih kecuali hanya satu jamaah saja.
Dan saya (Al Albani) tidak menyebut satu jamaah tadi sebuah hizb (sekte)
karena mereka tidak berkelompok dan tidak berpecah belah serta tidak
fanatik kecuali kepada Kitabullah, Sunnah Rasul, dan manhaj Salafus
Shalih, dan sungguh saya tahu persis tentang hal ini.
Dan akan lebih jelas bagi kita semua betapa pentingnya dasar yang
ketiga ini dalam kaitannya dengan nash syar’i yang dinukil dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam baik yang berhubungan dengan Al Qur’an
maupun As Sunnah. Pada kenyataannya, jamaah-jamaah Islamiyah sekarang
ini, demikian pula kelompok-kelompok Islamiyah sejak awal munculnya
penyimpangan terus merajalela serta menampakkan taringnya di antara
jamaah-jamaah Islamiyah yang pertama (yaitu mulai timbulnya Khawarij)
pada masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, kemudian
sejak mulainya Jaad bin Dirham mendakwahkan (pemikiran) Mu’tazilah dan
sejak munculnya firqah-firqah yang dikenal nama-namanya di zaman dulu
serta berhubungan dengan wajah-wajah baru di zaman sekarang dengan
nama-nama yang baru pula. Mereka itu baik yang dulu maupun yang sekarang
tidak terdapat padanya perbedaan, tak satupun di antara mereka yang
menyatakan dan mengumandangkan bahwasanya mereka di atas manhaj Salafus
Shalih.
Semua kelompok-kelompok ini dengan perselisihan yang ada pada mereka,
baik dalam masalah akidah, dasar-dasar atau permasalahan-permasalahan
hukum dan furu’ (cabang-cabang), semuanya menyatakan berada di atas
Kitab dan Sunnah, akan tetapi mereka berbeda dengan kita, karena mereka
tidak mengatakan apa yang kita katakan, yang perkataan itu merupakan
kesempurnaan dakwah kita. Yakni (perkataan) berada di atas manhaj
Salafus Shalih. Maka atas dasar ini, siapa yang menghukumi
golongan-golongan ini, yang mereka semua ber-intima’ (menisbatkan diri)
walaupun minimal secara perkataan bahwa dakwahnya di atas Kitab dan
Sunnah, dan bagaimana hukum yang pasti (tentang mereka), karena mereka
semua mengatakan dengan perkataan yang sama?
Jawabannya, tidak ada jalan untuk menghukumi golongan-golongan di
antara mereka bahwa mereka di atas yang haq (benar), kecuali apabila
dibangun di atas manhaj Salafus Shalih. Sekarang pada diri kita timbul
satu pertanyaan : “Dari mana (atas dasar apa, pent.) kita mendatangkan
manhaj Salafus Shalih?”
Jawabannya, sesungguhnya kita mendatangkan dasar yang ketiga ini dari
Kitabullah dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan
sebagaimana yang telah ditempuh oleh Imam-Imam Salaf dari kalangan
shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan Ahlus
Sunnah wal Jamaah seperti halnya yang mereka katakan saat ini. Dalil
yang pertama adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya
dan mengikuti jalan selain jalannya orang-orang Mukmin, Kami palingkan
dia kemana dia berpaling dan Kami masukkan dia ke dalam Jahanam. Dan
Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ((“Dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang Mukmin”)) dihubungkan dengan firman Allah ((“Dan
barangsiapa menentang Rasul”)). Maka seandainya ayat ini berbunyi ((“Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, Kami
palingkan dia kemana dia berpaling dan Kami masukkan dia ke dalam
Jahanam. Dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”)) yakni tanpa
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ((“Dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang Mukmin”)) niscaya ayat ini menunjukkan kebenaran dakwah
golongan-golongan dari kelompok-kelompok tadi baik yang di zaman dahulu
maupun yang sekarang ini, karena mereka mengatakan kami di atas Kitab
dan Sunnah. Mereka tidak mengembalikan permasalahan-permasalahan yang
mereka perselisihkan kepada Kitab dan Sunnah, sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala :
“ … kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As Sunnah),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa : 59)
Apabila Anda mengajak (berdakwah) kepada salah satu dari jumhur ulama
mereka dan salah satu dari da’i mereka kepada Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, maka mereka akan berkata,
“Saya mengikuti madzhabku”, yang lain menyatakan, “madzhabku adalah
Hanafi”, yang lain menyatakan, “madzhabku adalah Syafi’i”, dan
seterusnya.
Mereka taqlid kepada Imam-Imam mereka sebagaimana mereka mengikuti
Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Maka apakah
benar mereka mengamalkan ayat ini? Tidak sama sekali dan sekali-kali
tidak. Oleh sebab itu apa faedahnya pengakuan mereka bahwasanya mereka
di atas Kitab dan Sunnah selama mereka tidak mengamalkan keduanya. Dari
contoh ini, tidaklah saya menghendaki untuk orang-orang yang taqlid
(awam, pent.) dari mereka, akan tetapi yang aku kehendaki dengannya
adalah para da’i Islam yang seharusnya tidak menjadi orang yang taqlid
belaka, yang mengutamakan pendapat para Imam yang tidak ma’shum
keadaannya.
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menyebutkan kalimat di
pertengahan ayat tadi secara sia-sia, hanya saja Allah Subhanahu wa
Ta’ala menginginkan dengannya menanamkan satu pokok yang sangat penting,
suatu patokan yang sangat kokoh yaitu tidak boleh kita semata-mata
bersandar pada akal dalam memahami Kitab Allah (Al Qur’an) dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Kaum Muslimin hanyalah
dikatakan mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah baik secara pokok-pokoknya
dan patokan-patokannya, apabila di samping berpegang pada Al Qur’an dan
Sunnah, mereka juga berpegang dengan apa yang ditempuh oleh Salafus
Shalih. Karena ayat di atas mengandung nash yang jelas tentang
dilarangnya kita menyelisihi jalannya para shahabat.
Artinya wajib bagi kita mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam dan tidak menyelisihi (menentang) beliau, demikian pula wajib
bagi kita untuk mengikuti jalannya kaum Mukminin dan tidak menyimpang
darinya. Dari sini kita menyatakan bahwa wajib atas tiap
golongan/kelompok/jamaah Islamiyah untuk memperbaharui tolok ukur mereka
yakni agar mereka bersandar kepada Al Qur’an dan Sunnah di atas
pemahaman Salafus Shalih. Dan sangat kita sayangkan Hizbut Tahrir tidak
berdiri di atas dasar yang ketiga, demikian pula Ikhwanul Muslimin dan
hizb-hizb Islamiyah lainnya. Sedangkan kelompok-kelompok yang
mengumandangkan perang dengan Islam seperti partai Baats dan partai
komunis, maka mereka tidak (masuk) dalam pembicaraan kita sekarang ini.
Oleh karena itu seyogyanya seorang Muslim dan Muslimah hendaknya
mengetahui bahwa suatu garis kalau sudah bengkok pada awalnya
(pangkalnya) maka akan semakin jauh dari garis yang lurus. Dan setiap ia
melangkahkan kakinya akan semakin bertambahlah penyelewengannya. Maka
jelas yang lurus adalah sebagaimana yang disebutkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala di dalam ayat Al Qur’an :
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al An’am :
153)
Ayat yang mulia ini jelas Qath’iyyatul Ad Dalalah (pasti penunjukkan)
sebagaimana disukai dan biasa diucapkan oleh Hizbut Tahrir dan
sekte-sekte lain dalam dakwahnya, tulisan-tulisan dan
khutbah-khutbahnya. Dalil yang Qath’iyyatul Ad Dalalah (pasti
penunjukkan), karena ayat ini menyatakan : “Sesungguhnya jalan yang bisa
menuju pada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu, dan jalan-jalan yang
lain adalah jalan-jalan yang menjauhkan kaum Muslimin dari jalan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga
menambahkan keterangan dan penjelasan terhadap ayat ini sebagaimana
keberadaan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam itu sendiri
(menjelaskan dan menerangkan Al Qur’an, pent.). Allah Subhanahu wa
Ta’ala menyebutkan dalam Al Qur’anul Karim kepada Nabi-Nya Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam :
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (QS. An Nahl : 44)
Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah penjelas yang
sempurna terhadap Al Qur’an, sedangkan Al Qur’an adalah asal
peraturan/undang-undang dalam Islam. Untuk memperjelas suatu
permasalahan pada kita agar lebih mudah untuk dipahami, saya (Syaikh Al
Albani) berkata : “Al Qur’an bila diibaratkan dengan sistem peraturan
buatan manusia adalah seperti undang-undang dasar dan As Sunnah bila
diibaratkan dengan sistem peraturan buatan manusia adalah seperti
penjelasan terhadap undang-undang dasar tersebut.”
Oleh sebab itu sudah menjadi kesepakatan di kalangan kaum Muslimin,
yang pasti bahwa tidak mungkin bisa memahami Al Qur’an kecuali dengan
penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan ini adalah
perkara yang telah disepakati. Akan tetapi sesuatu yang diperselisihkan
kaum Muslimin sehingga menimbulkan berbagai pengaruh setelahnya yaitu
bahwa semua firqah sesat dahulu tidak mau memperhatikan dasar yang
ketiga ini yaitu mengikuti Salafus Shalih, maka mereka menyelisihi ayat
yang aku sebutkan berulang-ulang :
“ … dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang Mukmin.” (QS. An Nisa : 115)
Mereka menyelisihi jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena jalan
Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu yaitu sebagaimana yang disebut
dalam ayat terdahulu :
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al An’am :
153)
Saya (Syaikh Al Albani) berpendapat, sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam menambahkan penjelasan dan keterangan pada ayat ini
dari riwayat salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam yang terkenal faqih (fahamnya terhadap dien) yaitu Abdullah Ibnu
Mas’ud radhiallahu ‘anhu ketika beliau mengatakan :
Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membuat satu
garis untuk kami, sebuah garis lurus dengan tangan beliau di tanah,
kemudian beliau menggaris disekitar garis lurus itu garis-garis pendek.
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengisyaratkan (menunjuk)
pada garis yang lurus dan beliau membaca ayat (yang artinya : “Dan bahwa
(yang Kami perintah) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia,
dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan
itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya”.
Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sambil menunjuk
jarinya pada garis lurus, “ini adalah jalan Allah”, kemudian menunjuk
pada garis-garis yang pendek di sekitarnya (kanan-kirinya) dan bersabda,
“ini adalah jalan-jalan dan pada setiap pangkal jalan itu ada syaithan
yang menyeru manusia padanya.”
Hadits ini ditafsirkan dengan hadits lain yang telah diriwayatkan oleh
Ahlus Sunan seperti Abu Dawud, Tirmidzi, dan selain dari keduanya dari
Imam-Imam Ahlul Hadits dengan jalan yang banyak dari kalangan para
shahabat seperti Abu Hurairah, Muawiyah, Anas bin Malik, dan yang
selainnya dengan sanad yang jayyid. Sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, dan Nashrani telah terpecah
menjadi 72 golongan, dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73
golongan, semuanya ada di neraka kecuali satu. Maka mereka (para
shahabat) bertanya : “Siapa dia ya Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Dia adalah apa yang aku dan shahabatku
berada di atasnya.”
Hadits ini menjelaskan kepada kita jalannya kaum Mukminin yang disebut dalam ayat tadi.
Siapakah orang-orang Mukmin yang disebutkan dalam ayat itu? Meraka
itulah yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
pada hadits Al Firaq, ketika beliau ditanya tentang Firqatun Najiah
(golongan yang selamat), manhaj, sifat, dan titik tolaknya. Maka
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab, “apa yang aku dan
para shahabatku berada di atasnya.” Maka jawaban ini wajib diperhatikan,
karena merupakan jawaban dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Jika bukan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala maka itu adalah tafsir
dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam terhadap jalannya
orang-orang Mukmin yang terdapat pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasulullah sesudah jelas kebenaran
baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin.”
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan jalannya orang-orang Mukmin. Sementara
itu (dalam hadits, pent.) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
menyebutkan tanda Firqatun Najiah yang tidak termasuk 72 golongan yang
binasa. Sesungguhnya Firqatun Najiah adalah golongan yang berdiri di
atas apa yang ada pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para
shahabat. Maka pada hadits ini kita akan dapati apa yang kita dapati
pula dalam ayat.
Sebagaimana ayat tidak membatasi penyebutan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam saja, demikian pula hadits tidak membatasi penyebutan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja. Di samping itu ayat juga
menyebutkan jalannya orang-orang Mukmin demikian pula dalam hadits
terdapat penyebutan “shahabat Nabi” maka bertemulah hadits dengan Al
Qur’an. Oleh sebab itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda
:
“Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, yang kalian tidak akan tersesat
selama berpegang teguh dengan keduanya, yakni Kitabullah dan Sunnahku
dan tidaklah terpisah keduanya (Al Qur’an dan As Sunnah) sampai keduanya
datang kepadaku di Haudl.” (Diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatha’-nya,
Al Hakim dalam Mustadrak-nya dan dishahihkan oleh Al Albani dalam
Shahihul Jami’ hadits nomor 2937)
Banyak golongan-golongan terdahulu maupun sekarang yang tidak berdiri
di atas dasar yang ketiga ini sebagaimana yang disebutkan di dalam Al
Qur’an dan Hadits. Pada hadits di atas disebutkan tanda golongan yang
selamat yaitu yang berada di atas apa yang ada pada Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya. Semakna dengan
hadits ini adalah hadits Irbadl ibn Sariyyah radhiallahu ‘anhu yang
termasuk salah satu shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
dari kalangan Ahlus Shufah, yakni mereka dari kalangan fuqara’ yang
tetap berada di Masjid dan menghadiri halaqah-halaqah (majelis taklim)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam secara langsung dan bersih.
Berkata Irbadl ibn Sariyyah radhiallahu ‘anhu :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memberi nasehat kepada kami
yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami berlinang (karena
terharu). Kami berkata : “Ya Rasulullah seakan-akan ini adalah nasehat
perpisahan maka berilah kami wasiat.” Maka beliau bersabda : “Aku
wasiatkan kepada kamu sekalian untuk tetap bertakwa kepada Allah ‘Azza
wa Jalla dan senantiasa mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian
adalah seorang budak. Barangsiapa hidup (berumur panjang) di antara
kalian niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena
itu wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah
Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (yang datang) sesudahku,
gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian, dan jauhilah
perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, pent.).
Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah. Dan setiap
bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu di neraka.” (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi. Berkata Tirmidzi, hadits ini hasan)
Hadits ini merupakan (penguat) bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam tidak membatasi perintahnya kepada umatnya untuk berpegang teguh
dengan sunnahnya saja ketika mereka berselisih akan tetapi beliau
menjawab dengan uslub/cara bijaksana, dan siapa yang lebih bijaksana
dari beliau setelah Allah? Oleh sebab itu tatkala Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Barangsiapa di antara kalian yang hidup (berumur panjang) setelahku maka dia akan melihat perselisihan yang banyak.”
Beliau juga memberikan jawaban dari soal yang mungkin akan muncul
(dipertanyakan) : “Apa yang kita lakukan ketika itu wahai Rasulullah?”
Maka Rasulullah menjawab : “Wajib atas kalian mengikuti sunnahku.” Dan
Rasulullah tidak mencukupkan perintahnya terhadap mereka yang hidup pada
waktu terjadi perselisihan dengan hanya mengikuti sunnah beliau, akan
tetapi menggabungkannya dengan sabda beliau :
“ … dan sunnahnya Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk.”
Jika demikian halnya, maka seorang Muslim yang menginginkan kebaikan
pada dirinya dalam masalah akidah, dia harus kembali pada jalannya
orang-orang Mukmin (para shahabat) bersama dengan Kitab (Al Qur’an dan
As Sunnah) yang shahih dengan dalil ayat dan hadits Al Firaq
(perpecahan) serta hadits dari Irbadl ibn Sariyyah radhiallahu ‘anhu.
Inilah kenyataan yang ada dan sangat disesalkan bahwasanya hal ini
banyak dilalaikan oleh semua hizbi-hizbi/sekte-sekte Islamiyah masa
sekarang ini sebagaimana keberadaan firqah-firqah yang sesat, khususnya
kelompok Hizbut Tahrir yang berbeda dengan sekte-sekte lainnya di mana
Hizbut Tahrir dalam melaksanakan Islam menggunakan akal manusia sebagai
tolok ukurnya.
Telah kita ketahui benar, bahwa tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengajak berbicara manusia dengan firman-Nya, Ia hanya berbicara dengan
orang-orang yang berakal, yang berilmu, dan orang-orang yang berpikir.
Akan tetapi kita tahu bahwasanya akalnya manusia itu berbeda, maka akal
tersebut ada dua macam, ada akal orang Muslim, ada pula akal yang kafir.
Adapun akal yang kafir itu bukanlah akal, walaupun mungkin akal tadi
memiliki kepandaian dan kejeniusan, akan tetapi itu semua tidak
menjadikannya sebagai akal, hal ini dikarenakan akal menurut asal bahasa
adalah At Tarbiyah yaitu sesuatu yang mengekang pemiliknya dan
mengikatnya agar tidak lari ke kanan atau ke kiri. Dan tidak mungkin
orang yang berakal tersebut tidak lari ke kanan ke kiri kecuali apabila
dalam memahami Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah dia mengikatnya dengan
pemahaman Salaf. Oleh sebab itu Allah ceritakan tentang pengakuan
orang-orang kafir dan orang-orang musyrik pada hari kiamat bahwasanya
mereka bukanlah orang-orang yang berakal.
Dan mereka berkata : “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan
(peringatan itu) niscaya kami tidaklah termasuk penghuni-penghuni neraka
yang menyala-nyala.” (QS. Al Mulk : 10)
Mereka mengakui bahwa dulu ketika di dunia bukanlah orang-orang yang
berakal, padahal di antara mereka itu ada orang-orang pandai yang
mengetahui perkara-perkara yang nampak dari kehidupan dunia sebagaimana
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Mereka hanya mengetahui yang dhahir saja dari kehidupan dunia sedangkan
mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Ruum : 7)
Maka ada dua akal yaitu akal hakiki dan akal majazi, adapun akal
hakiki adalah akalnya orang Muslim yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya sedangkan akal majazi adalah akalnya orang kafir yang mereka
sendiri mengaku tidak berakal.
“Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya
kami tidaklah termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.”
(QS. Al Mulk : 10)
“ … mereka mempunyai hati tapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah).” (QS. Al A’raf : 179)
Mereka itu memiliki hati tapi tidak mempergunakannya untuk memahami
ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka orang-orang kafir itu punya
hati akan tetapi mereka tidak berakal dengannya yaitu mereka tidak
mempergunakannya untuk memahami al haq (kebenaran). Maka kita telah
mengetahui hakikatnya (bahwa orang-orang kafir tidak berakal) dan saya
kira tidak ada perselisihan padanya, karena perkara ini sudah jelas
dalam Al Qur’an dan Hadits Rasululah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam akan
tetapi saya ingin menyambung suatu hakikat menuju hakikat lain yaitu
suatu pembahasan sehubungan dengan syahid-syahid (penguat) dalil-dalil
ini.
Apabila akal orang kufur bukanlah akal (yang hakiki), maka akal
seorang Muslim juga dibagi menjadi dua yakni akal orang yang alim dan
akal orang jahil. Maka akal seorang Muslim yang jahil tidak mungkin sama
dengan akal seorang Muslim yang alim dalam memahami sesuatu. Oleh sebab
itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“ … dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al Ankabut : 43)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl : 43)
Oleh sebab itu tidak boleh seorang Muslim yang beriman pada Allah dan
Rasul-Nya dengan sebenar-benarnya (keimanan) menjadikan akalnya sebagai
hakim, akan tetapi akal itu harus tunduk terhadap apa yang difirmankan
Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Dari sini kita fokuskan tentang dakwahnya Hizbut Tahrir, bahwasanya
mereka itu terpengaruh dengan Mu’tazilah. Antara Mu’tazilah dengan
Hizbut Tahrir sama dalam Nizham Al Islam (peraturan-peraturan
Islam/jalan menuju kekuasaan), dan Thariqul Iman (jalan menuju
keimanan), ini merupakan bahasan pokok bagi mereka (Hizbut Tahrir) dalam
kitab mereka Nizhamul Islam yang ditulis oleh pimpinan mereka,
Taqiyuddin An Nabhani. Dan saya sering bertemu dengannya lebih dari satu
kali dan saya benar-benar tahu tentang Hizbut Tahrir. Oleh sebab itu
saya akan berbicara di atas ilmu tentang dakwah mereka.
Inilah point pertama, sebagai kritikan atas mereka bahwasanya mereka
itu menjadikan akal suatu keistimewaan yang bukan pada semestinya. Saya
ulangi di sini bahwasanya saya tidak meniadakan kedudukan akal dalam
Islam. Akan tetapi saya tekankan bahwasanya akal tidak bisa menghukumi
Al Qur’an dan Sunnah, tetapi justru akal-lah yang harus tunduk pada Al
Qur’an dan Sunnah serta khabar dari keduanya. Tidaklah kewajiban akal
itu melainkan untuk memahami apa-apa yang datang di dalam Al Qur’an dan
Sunnah. Di sini penyimpangan Mu’tazilah zaman dulu yang mereka itu
mengingkari banyak sekali hakikat syariat yang besar disebabkan mereka
memberi kuasa/kebebasan akal mereka di atas nash-nash Al Qur’an dan
Sunnah. Maka mereka menyelewengkan (nash-nash Al Qur’an dan Sunnah),
mereka mengganti apa-apa yang ada di dalamnya dan merubahnya, dan mereka
meninggalkan/mengabaikan pemahaman ulama Salaf.
Dengan point ini saya ingin menyatukan pandangan pembaca bahwa
seyogyanya akal seorang Muslim tunduk pada nash-nash Al Qur’an dan
Sunnah dalam memahami keduanya. Maka hakim itu adalah Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bukan akal manusia.
Sebagaimana telah kita sebutkan bahwasanya akal itu berbeda antara yang
Muslim dan yang kafir dan berbeda pula antara yang alim dengan yang
jahil. Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, –dan tidak
apa-apa mengulang-ulang dalil– karena pembahasan ini sedikit sekali
dibahas oleh sekian juta dari kaum Muslimin laki-laki lebih-lebih
wanita. Oleh sebab itu saya terpaksa mengulang-ulang point dan dalil
ini, di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“ … dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al Ankabut : 43)
Dari sini kita berhenti sejenak, siapakah orang-orang yang berilmu
itu? Apakah mereka ulama dari orang-orang kafir? Tidak sama sekali! Kita
tidak menghargai mereka karena mereka bukanlah orang-orang yang
berakal. Pada hakikatnya mereka itu orang yang cerdas, karena berhasil
menemukan kemajuan dalam peradaban dan materi, hal ini sudah terkenal di
kalangan umum (menyeluruh). Demikian juga akalnya kaum Muslimin, tentu
tidaklah sama akalnya orang alim dengan akalnya orang jahil. Saya
mengatakan masalah lain yaitu akal orang-orang alim yang beramal dengan
ilmunya. Oleh sebab itu (karena permasalahan akal ini) kaum Mu’tazilah
menyeleweng dalam permasalahan ushul (dasar-dasar agama) yang mereka
tetapkan, meyelisihi jalan syar’i baik Al Qur’an dan Sunnah dan manhaj
Salafus Shalih. Inilah point yang pertama yaitu penyandaran Hizbut
Tahrir atas akal yang melebihi kedudukan yang semestinya.
Point yang kedua, adalah cabang dari point yang pertama. Mereka
(Hizbut Tahrir) membagi nash-nash Al Qur’an dan Sunnah pada dua bagian
dari sisi periwayatan dan dalalah-nya (penunjukkannya). Adapun dari segi
periwayatannya, mereka berkata : “Riwayat kadangkala berbentuk
Qath’iyyatu Ats Tsubut (jelas dan pasti sumbernya dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam) dan kadangkala berbentuk Zhanniyyatu Ad Dalalah
(belum jelas penunjukkannya).”
Kita tidak akan mendiskusikan/mendebat istilah ini karena sebagaimana
dikatakan : “Tidak ada permasalahan dalam istilah.” Akan tetapi kita
akan mendiskusikan dampak yang mereka timbulkan dari istilah ini berupa
penyelisihan terhadap apa-apa yang ada pada generasi pertama kaum
Muslimin (para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam).
Dari sini tampak bagi kita semua betapa pentingnya Sabilul Mukminin
(jalan kaum Mukmin/shahabat) karena hal ini merupakan tolok ukur yang
bisa menjaga orang Muslim yang alim, lebih-lebih Muslim yang jahil
(bodoh) agar tidak terlepas jauh dari nash Al Qur’an dan Sunnah. Karena
kembalinya mereka pada istilah di atas akan menyebabkan mereka berkata
bahwa : “Apabila datang nash dalam Al Qur’an dan nash tersebut tidak
diragukan lagi, yang menurut istilah terdahulu disebut Qath’iyyatu Ats
Tsubut, akan tetapi Zhanniyyatu Ad Dalalah (belum jelas penunjukkannya)
maka tidak wajib seorang Muslim menjalankan makna di dalamnya, karena
ke-Zhanniyyatu Ad Dalalah-annya. Sehingga (menurut mereka) tidak boleh
baginya membangun akidah di atas nash yang Qath’iyyatu Ats Tsubut tetapi
Zhanniyyatu Ad Dalalah. Demikian juga sebaliknya, tatkala datang nash
Qath’iyyatu Ad Dalalah tetapi tidak Qath’iyyatu Ats Tsubut, sebagaimana
hal itu merupakan keberadaan mayoritas hadits-hadits Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam, maka mereka tidak mau mengambilnya sebagai sandaran
akidah.”
Dari sinilah kemudian mereka datang dengan akidah baru yang tidak
dikenal oleh Salafus Shalih dan mereka menggunakan istilah tertentu bagi
mereka dalam kitab-kitab yang mereka tulis. Hal ini sudah diketahui,
maksud saya (Syaikh Albani) adalah kitab-kitab mereka yang dahulu.
Karena (belakangan) mereka melakukan perbaikan di dalam akidah dan saya
termasuk yang paling tahu dengan ini. Akan tetapi pada kenyataannya
hanyalah perbaikan secara teoritis saja, itupun seandainya kita terima
teori tersebut, ini menunjukkan bahwasanya mereka goncang hingga dalam
permasalahan akidahnya, yakni ketika mereka mengatakan : “Sesungguhnya
akidah itu tidak ada kecuali dengan dalil Qath’iyyatu Ats Tsubut dan
Qath’iyyatu Ad Dalalah, yakni hadits yang shahih secara riwayat dan
tidak bisa dijadikan akidah.”
Maka kita katakan pada mereka permasalahan yang kita diskusikan dan
kita debat mereka, dari mana kalian mengatakan akidah (keyakinan)
demikian? Dari mana kalian mendatangkan hal ini? Maka mereka kebingungan
menjawabnya, pembahsaan ini panjang sekali dan mereka mengambil dalil
seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Mereka hanya mengikuti prasangka saja dan apa yang diingini oleh hawa nafsu.” (QS. An Najm : 23)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Sesungguhnya prasangka itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm : 28)
Akan tetapi, pembahasan seperti ini akan mengeluarkan kita dari
penjelasan semestinya mengenai apa yang kita ketahui tentang Hizbut
Tahrir. Karena mendiskusikan kaidah ini dan menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan yang ada padanya akan selalu mendapatkan
bantahan-bantahan. Di samping itu kaidah mereka tersebut ditegakkan di
atas dalil yang tak ubahnya seperti fatamorgana di daerah datar yang
disangka ada airnya oleh orang yang haus.
Oleh sebab itu kami anggap cukup apa yang yang telah kami jelaskan
tentang akidah mereka yang sesat, yang menyatakan : “Tidak benar seorang
Muslim membangun akidahnya di atas hadits shahih yang tidak Qath’iyyatu
Ats Tsubut walaupun Qath’iyyatu Ad Dalalah.” Maka darimana mereka
mendatangkan hal ini? Tidak ada dalil atasnya baik dari Al Qur’an,
Sunnah dan dari Salafus Shalih (Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan
generasi terdahulu yang shalih). Sebaliknya yang diyakini oleh Salaf
bertentangan dengan hal ini.
Firqah ini dibangun oleh sebagian khalaf (generasi akhir), dan mereka
itu adalah Mu’tazilah jaman dulu. Dan pengikut mereka di jaman sekarang
ini (yang serupa) minimal dalam masalah akidah adalah Hizbut Tahrir
(HT)
Saya (Syaikh Albani) berkata : “Setiap kita (tentunya) mengetahui
bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tatkala Allah mengutus
beliau sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.” Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman pada Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam :
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu, dan
jika tidak kamu kerjakan (berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya,
Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (QS. Al Maidah : 67)
Dalam menyampaikan risalah-Nya pada manusia kadang-kadang Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melakukannya secara langsung, yaitu beliau
menghadiri kajian dan perkumpulan manusia, maka Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam pun berkhutbah dengan mereka secara langsung.
Kadang-kadang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengutus utusan
dari shahabat pilihannya untuk menyeru pada kaum musyrikin agar
mengikuti dakwah Nabi yang mulia. Kadang mengirim surat sebagaimana
diketahui dalam sejarah (di antaranya) kepada Heraclius Raja Romawi,
kepada Kisra Raja Persia, kepada Al Mauqauqis, serta kepada
pemimpin-pemimpin Arab sebagimana dijelaskan dalam kitab-kitab sirah.
Salah satu contoh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengutus
Muadz bin Jabbal radhiallahu ‘anhu, Abu Musa Al ‘Asyri radhiallahu
‘anhu, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ke negara Yaman, dan
mengutus Dihyah Al Kalby radhiallahu ‘anhu ke negara Romawi. Mereka itu
adalah personal (sendiri), sehinga kabar mereka itu (kalau menurut
kaidah HT, pent.) tidak menyamai kabar Qath’i, karena mereka perorangan.
Muadz bin Jabbal radhiallahu ‘anhu di suatu tempat, Abu Musa
radhiallahu ‘anhu di tempat lain juga Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu di tempat lain pula. Dan terkadang waktu itu juga berbeda.
Disebutkan dalam Shahihain hadits yang dikeluarkan oleh keduanya
(Bukhari dan Muslim) dengan sanad yang shahih :
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam mengutus Muadz ke negara Yaman, beliau bersabda
kepadanya : “Jadikanlah pertama kalinya yang engkau dakwahkan kepada
mereka adalah syahadat bahwasanya tidak ada sesembahan (yang benar)
kecuali Allah.”
Maka siapa lagi yang ragu dari kalangan Muslimin bahwa syahadat adalah
dasar pertama dari Islam, maksudnya akidah yang pertama kali dibangun di
atas iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Malaikat-Malaikat-Nya,
Kitab-Kitab-Nya, dan Rasul-Rasul-Nya ‘Alaihimus Salam.
Sungguh Muadz bin Jabbal radhiallahu ‘anhu telah pergi ke Yaman
seorang diri untuk menyampaikan dan menyeru kepada kaum musyrikin agar
mereka beriman kepada agama Islam. Muadz menyuruh mereka mendirikan
shalat lima waktu sehari semalam, ada yang dua rakaat, empat rakaat,
tiga rakaat, dan yang lainnya yang telah kita ketahui secara rinci,
serta menyuruh mereka membayar zakat sampai diperinci (kepada) zakat
yang berhubungan dengan emas dan perak, yang berhubungan dengan
buah-buahan, sapi, onta dan yang lainnya. Pertanyaannya sekarang, apakah
hujjah Islam telah ditegakkan atas orang-orang musyrikin dengan
diutusnya Muadz bin Jabbal radhiallahu ‘anhu seorang diri oleh Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam?
Sangat disesalkan bahwasanya menurut Hizbut Tahrir hujjah belum
ditegakkan atas mereka, karena Muadz radhiallahu ‘anhu seorang diri dan
memungkinkan dia dusta sebagaimana yang mereka katakan. Apabila kita
mengatakan, jauh kemungkinan dia itu berdusta, maka mereka mengatakan
minimal dia (Muadz) keliru dan lupa.
Mereka datang dengan filsafat, bahwasanya kita tidak boleh mengambil
hadits shahih sebagai akidah Islamiyah. Jika demikian orang-orang Yaman,
ketika Muadz radhiallahu ‘anhu berdakwah kepada mereka dalam masalah
akidah, belum tegak hujjah atas mereka, disebabkan Muadz radhiallahu
‘anhu seorang diri sementara itu, penduduk Yaman sebagian mereka adalah
penyembah patung, Nashrani, Majusi. Menurut kaidah Hizbut Tahrir,
hujjatullah dalam masalah akidah belum ditegakkan atas mereka (penduduk
Yaman), adapun dalam masalah ahkam (hukum-hukum), Hizbut Tahrir
berpendapat sebagaimana Muslim pada umumnya, (dengan mengatakan) : “Ya,
hadits ahad bisa dipakai dalam masalah ahkam syar’iyyah dan tidak bisa
dipakai dalam masalah akidah (keyakinan) Islamiyah.”
Muadz radhiallahu ‘anhu di sini berperan sebagai pembawa akidah yang
seorang diri dalam Islam secara menyeluruh mencakup (permasalahan)
ushul, furu’ (cabang-cabang), aqidah-aqidah, dan hukum-hukum. Maka
darimana mereka mendatangkan pemilah-milahan tersebut?
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapakmu
mengada-adakannya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk
(menyembah) nya.” (QS. An Najm : 23)
Dari sini saya akan mengakhiri pembahasan sehubungan dengan hadits
ahad yang ditolak oleh Hizbut Tahrir. Puluhan hadits shahih mereka tolak
dengan didasari kaidah yang lemah dan tidak didasari dengan akar yang
kokoh, yaitu hadits-hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam
masalah akidah.
Da’i Hizbut Tahrir Dipermalukan Muslimin Jepang
Saya akhiri dengan permasalahan berikut, disebutkan bahwasanya salah
satu da’i mereka (Hizbut Tahrir) pergi ke Jepang, kemudian memberikan
kajian/ceramah pada mereka (penduduk Jepang) yang salah satu materinya
adalah tentang jalan atau cara untuk beriman. Di dalamnya (ia
mengatakan) bahwasanya hadits ahad tidak bisa dipakai dalam masalah
akidah.
Ketika itu hadir seorang pemuda yang berakal cerdik pandai berkata
kepada si penceramah tadi : “Wahai Ustadz! Engkau datang ke negeri
Jepang sebagai seorang da’i di negeri syirik-kufur seperti yang engkau
katakan. Engkau datang menyeru mereka kepada agama Islam dan engkau
mengatakan kepada mereka bahwa Islam mengatakan : ‘Sesungguhnya hadits
ahad tidak bisa dipakai dalam masalah akidah!’ Padahal yang engkau
terangkan kepada kita sesungguhnya adalah termasuk dari perkara akidah,
(sementara engkau juga mengatakan) dalam masalah akidah jangan memakai
(khabar) dari satu orang. Sedangkan engkau sekarang mendakwahi kami
kepada Islam dan engkau seorang diri, maka pantaskah bagimu menurut
filsafatmu ini?
Hendaklah engkau kembali ke negerimu kemudian engkau datangkan
orang-orang Muslim yang sepertimu, yang mereka berpendapat seperti
pendapatmu sehingga khabarmu menjadi mutawatir.” Maka tercenganglah si
penceramah tadi.
Ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh yang menunjukkan dampak
negatif orang yang menyelisihi manhaj Salafus Shalih. Dalam Shahih
Bukhari telah datang hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
Apabila salah seorang di antara kalian duduk pada tasyahud akhir
(terakhir) maka mintalah perlindungan pada Allah dari empat perkara :
“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung pada-Mu dari siksa Jahanam, siksa
kubur, fitnah hidup dan kematian, dan dari jeleknya fitnah
masihiddajjal.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An Nasa’i dengan sanad
shahih)
Hadits ini adalah salah satu dari hadits-hadits ahad akan tetapi
menurut filsafatnya Hizbut Tahrir adalah hadits yang aneh dan asing.
Karena (dalam hadits ini) satu segi mengandung hukum syar’i yang menurut
Hizbut Tahrir dalam menetapkan hukum syar’i boleh/bisa menggunakan
hadits ahad, di sisi lain mengandung permasalahan akidah (yang
sebagaimana biasa, mereka akan menolak menggunakannya sebagai sandaran).
Di sana disebutkan tentang siksa kubur dan fitnah Dajjal yang besar
yang telah diriwayatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
dengan hadits-hadits yang banyak. Salah satunya adalah sabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Di antara penciptaan Adam dan Hari Akhir akan muncul fitnah atas umatku
yang lebih berbahaya daripada Dajjal.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Al
Hakim)
Mereka (Hizbut Tahrir) tidak meyakini adanya Dajjal ini, karena mereka menganggap ini bukanlah hadits mutawatir.
Kita tanya kepada mereka, bagaimana pendapat kalian terhadap hadits Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu (tersebut) yang di satu sisi mengandung hukum
syar’i, sehingga wajib bagi kalian pada akhir shalatnya mengucapkan :
“Wa a’udzu bika min adzabil qobri.”
Apakah kalian berlindung (kepada Allah) dari siksa kubur sementara
kalian tidak beriman dengan siksa kubur? Ini adalah dua hal berlawanan
yang tidak akan pernah bertemu. Kemudian mereka datang kepada kita
berkelit dengan cara yang dilarang Allah bagi kaum Muslimin dengan
mengatakan : “Kita membenarkan siksa kubur tapi tidak beriman
dengannya.”
Ini adalah filsafat yang aneh dan janggal, apa yang bisa membawa
mereka (pada yang demikian itu). Mereka datang dengan filsafat yang
pertama dan bersambung dengan filsafat yang banyak. Maka keluarlah
mereka dengan filsafatnya dari jalan yang benar/lurus yang para shahabat
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berada di atasnya, dan hadits
sebagaimana yang telah dijelaskan panjang lebar.
Sesungguhnya termasuk dakwah Hizbut Tahrir sebagaimana yang mereka
gembar-gemborkan, bahwasanya mereka mempunyai keinginan untuk menegakkan
hukum Allah di muka bumi ini. Saya ingin mengingatkan bahwa Hizbut
Tahrir tidaklah sendirian dalam tujuan ini, karena tiap kelompok dan
sekte-sekte Islamiyah semuanya mempunyai tujuan akhir dengan ini, yakni
menginginkan tegaknya hukum Allah di muka bumi.
Akan tetapi timbul satu pertanyaan! Apakah sekte-sekte ini dan salah
satunya adalah Hizbut Tahrir berada di atas jalan Allah yang lurus
seperti yang Rasulullah dan para shahabatnya berada di atasnya?
Jawabnya, telah kita tunjukkan berulang-ulang (sebagaimana dalam syair, pent.) :
“Semua mengaku mendapatkan Laila sedangkan Laila tidak mengakui hal itu pada mereka sama sekali.”
Golongan-golongan yang ada ini tidak menggunakan dasar yang ketiga
yaitu pemahaman Salafus Shalih dalam memahami Islam, oleh sebab itu
mereka jauh dari pertolongan Allah karena Allah menolong orang yang
menolong-Nya. Dan jalan untuk mendapatkan pertolongan Allah yaitu dengan
mengikuti Al Qur’an, Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan
jalannya orang-orang Mukmin (para shahabat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam). Syarat ini yang dilalaikan oleh golongan-golongan
sesat terdahulu dan hizb-hizb jaman sekarang ini termasuk Hizbut Tahrir
yang pemikiran-pemikiran mereka dalam masalah akidah menyeleweng.
Oleh sebab itu kita ulangi lagi apa yang telah kita mulai
(sebelumnya), “kelompok mana saja yang tidak menegakkan akidah dan
manhajnya di atas pemahaman Salafush Shalih maka dia tidak akan bisa
menegakkan Islam, baik itu parpol Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, atau
golongan lainnya.” Karena mereka tidak menegakkan dakwahnya dengan tiga
dasar ini, yaitu Al Qur’an, Sunnah Rasul-Nya yang shahih, dan manhaj
Salafus Shalih. Maka dari mana mereka akan mampu menegakkan Islam tanpa
tiga landasan di atas?
Kami cukupkan sampai di sini, mudah-mudahan bermanfaat bagi kaum Mukminin. Wallahu A’lam Bis Shawab.
Dikutip dari buku berjudul “Hizbut Tahrir Mu’tazilah Gaya Baru, Penerbit Cahaya Tauhid Press Malang.
NB : Bukti Nyata dan Terang Hizbut Tahrir memahami Islam sengan akal, bisa buka di : Disini
08 Agustus 2012
Hizbut Tahrir Mu’tazilah Gaya Baru
04.46
Unknown
Diberdayakan oleh Blogger.