Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah
TAQDIM
Dakwah
Ilallah adalah jalan semua rasul dan para pengikut mereka, untuk
mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan kepada cahaya yang terang
benderang, dari kekufuran kepada keimanan, dari kesyirikan kepada
tauhid, dan dari neraka ke surga.
Dakwah para rasul inilah yang wajib diikuti oleh setiap juru dakwah,
agar dakwah mereka membuahkan hasil yang baik, barang siapa berdakwah
tanpa memakai asas-asas dakwah para rasul maka dakwah itu tidak bernilai
sama sekali di sisi Allah dan menjadikan daya upaya yang dicurahkan
padanya sia-sia.
Di antara jama’ah-jama’ah dakwah yang menyelisihi manhaj para rasul
adalah Hizbut Tahrir yang mengonsentrasikan dakwahnya untuk merebut
kekuasaan dan mendirikan Khilafah Islamiyyah (negara Islam) dan mengabaikan sisi-sisi penting dari syari’at Islam seperti aqidah, akhlak, dan yang lainnya.
Mengingat begitu gencarnya dakwah mereka pada hari ini dan di sisi
lain banyak dari kaum muslimin yang belum mengetahui hakikat dakwah
mereka maka insya Allah di dalam bahasan kali ini akan kami paparkan
studi kritis terhadap manhaj kelompok ini dengan menukil dari
tulisan-tulisan mereka sendiri dan penjelasan-penjelasan para ulama
tentang hakikat mereka.
SEJARAH PENDIRIAN HIZBUT TAHRIR
Kelompok ini didirikan oleh Taqiyddin bin Ibrahim an-Nabhani. Dia
dilahirkan tahun 1909 M di Desa Ijzam yang terletak di sebelah selatan
Kota Jifa, Yordania. Dia banyak terpengaruh oleh kakeknya, Yusuf Isma’il
an-Nabhani yang dikenal dengan pemikiran sufinya dan permusuhannya
kepada Salafush Shalih sebagaimana di dalam banyak tulisan-tulisannya
seperti Syawahidul Haqqi fi Istighatsah Bisayyidil Khalqi.
Pada tahun 1952 dia mengajukan permohonan resmi kepada Kementerian
Dalam Negeri Yordania untuk mendapatkan izin bagi partainya yang bernama
Hizbut Tahrir al-Islami, tetapi permohonannya ditolak. Sesudahnya,
kelompok Hizbut Tahrir melakukan aktivitas politik secara rahasia.
Taqiyuddin an-Nabhani meninggal pada tanggal 10 Desember 1977 di
Lebanon dengan meninggalkan karangan yang cukup banyak yang menjadi
referensi acuan gerakan dan pemikiran Hizbut Tahrir, di antaranya :
- Nizhamul Islam (Peraturan hidup dalam Islam)
- Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam)
- Nizhamul Iqtishadi fil Islam (Sistem Ekonomi Islam)
- Nizhamul Ijtima’i fil Islam (Sistem Pergaulan Dalam Islam)
- At-Takattul Hizbi (Pembentukan Partai)
- Asy-Syakhshiyah al-Islamiyyah (Kepribadian Islam)
- Nida’ul Har ila Alamil Islami (Seruan Kepada Dunia Islam)
Dan beberapa kitab lainnya. Kitab-kitab diatas banyak sekali
menyelisihi pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan terpengaruh oleh
filsafat Mu’tazilah (lihat al-Jama’at al-Islamiyyah hlm. 282 dan Mausu’ah al-Muyassarah hlm. 344).
RASIONALISME HIZBUT TAHRIR
Merupakan hal yang dimaklumi bahwa sumber kesesatan dari setiap kelompok bid’ah adalah karena mereka meninggalkan Sabilil Mukminin yaitu jalan para sahabat di dalam memahami dan mengamalkan Islam. Allah Ta’ala berfirman :
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan
Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahanam, itulah seburuk-buruk tempat
kembali. (QS. an-Nisa [4]:115).
Kalimat (Sabiilul mu’miniin) artinya adalah jalan orang-orang mukmin, yang pertama kali masuk dalam makna ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam sabdanya :
“Dan sesungguhnya umatku ini akan berpecah belah menjadi 73
kelompok, semuanya di neraka kecuali satu kelompok, ia adalah
al-Jama’ah.” Di dalam riwayat lain, “Ia adalah jalan yang aku tempuh dan
para sahabatku.”[1]
Dari sinilah jelas bagi kita bahwa biang keladi kesesatan semua
kelompok dalam Islam, sejak dahulu sampai sekarang, yaitu bahwasanya
mereka tidak menghiraukan ayat dan hadits-hadits di atas sehingga mereka
menyeleweng dri jalan yang lurus dan memilih jalan-jalan yang sesat.
Mereka mengandalkan akal dan pemikiran mereka tanpa merujuk kepada
pemahaman sahabat dan ulama yang mengikuti jalan mereka. Padahal, jalan
keselamatan adalah manhaj para sahabat dan as-salaf ash-shalih yaitu
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Kelompok Hizbut Tahrir di dalam memahami Islam secara terang-terangan meninggalkan pemahaman para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menggantinya dengan pemahaman pemimpin pertama mereka dan pendiri kelompok mereka yaitu Taqiyuddin an-Nabhani yang banyak terpengaruh oleh pemikiran Mu’tazilah. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah
berkata : “Dari sini kita meletakkan satu titik dalam dakwah Hizbut
Tahrir bahwasanya mereka terpengaruh oleh Mu’tazilah dalam dasar pijakan
mereka mengenai jalan keimanan (thariqul iman). Jalan keimanan
(thariqul iman) ini adalah sebuah judul pembahasan mereka yang terdapat
dalam kitab Nizhamul Islam yang dikarang oleh pemimpin mereka, yaitu
Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah. Saya (Syaikh al-Albani) pernah
berjumpa dengannya (Taqiyuddin an-Nabhani) beberapa kali. Saya
mengenalnya dengan baik dan mengenal dengan sangat baik jalan yang
ditempuh oleh Hizbut Tahrir. Karena itu, Insya Allah saya berbicara
berdasarkan ilmu tentang segala hal yang dakwah mereka tegak di
atasnya.”[2]
Taqiyuddin an-Nabhani berkata di dalam kitabnya, Nizhamul Islam hlm. 10 :
“Dan berdasarkan atas hal itu maka iman kepada Allah adalah
datang dari jalan akal, dan tidak boleh tidak bahwa iman ini terjadi
dari jalan akal. Maka adalah dengan hal itu tonggak utama yang berdiri
di atasnya keimanan kepada seluruh perkara-perkara gaib dan semua yang
Allah kabarkan kepada kita.”
Hizbut Tahrir berkata di dalam kitab mereka Nidaun Harrun ilal Muslimin min Hizbut Tahrir dari website resmi mereka :
“Maka Islam sebagai pemikiran-pemikiran maka asasnya adalah akal.”
Demikianlah, Hizbut Tahrir banyak terpengaruh dengan kelompok
Mu’tazilah yang merupakan pionir semua kelompok rasionalis dalam Islam.
Mu’tazilah menjadikan akal sebagai hakim secara mutlak. Mereka
mempromosikan akan setinggi-tingginya, sebagaimana sering terungkap
dalam perkataan gembong-gembong mereka:
Al-Qadhi Abdul Jabbar menyebutkan urutan dalil-dalil syar’i menurutnya, “Yang pertama adalah akal,
karena dengannya bisa dibedakan baik dan buruk, dan dengan akallah
diketahui bahwa Kitab adalah hujjah, demikian juga sunnah dan ijma’!!” (Fadhlul I’tizal hlm. 139).
Amr bin Ubaid[3] menyebut hadits Shadiqul Mashduq
dan berkomentar, “Seandainya aku mendengar hadits ini langsung dari
A’masy pasti akan kudustakan, seandainya aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakannya pasti akan kutolak! dan seandainya aku mendengar Allah
mengatakannya maka akan kukatakan, ‘Bukan atas ini Engkau mengambil mitsaq (perjanjian) dari kami.”!!
Az-Zamakhsyari berkata, “Berjalanlah dalam agamamu di bawah panji akal, jangan engkau merasa cukup dengan riwayat dari Fulan dan Fulan.”! (Athwaqu Dzahab fil Mawaizh wal Khuthab hlm. 28).
Demikianlah kaum rasionalis. Mereka menjadikan akal semata sebagai
sumber ilmu mereka, mengagungkan akal, dan menjadikan iman dan al-Qur’an
tunduk di bawah akal. (Majmu Fatawa Syaikhul Islam 5/338).
Syubhat mereka ini telah dikikis habis dan dihancurkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitabnya yang agung yang berjudul Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wan Naql yang tersusun dalam 10 jilid, kemudian diringkas oleh muridnya al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Shawa’iq Mursalah yang tersusun dalam dua jilid. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya tersebut 54 argumen dalam membantah syubhat mereka ini, diantaranya :
- Perkataan mereka bahwa akal adalah landasan naql adalah batil karena apa yang dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah shahih dari dirinya,
entah kita ketahui dengan akal kita atau tidak kita ketahui, entah
dibenarkan oleh manusia atau didustakan oleh mereka, sebagaimana
Rasulullah adalah haq meskipun didustakan oleh manusia, dan sebagaimana
wujud Allah dan keberadaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah haq,
entah akal kita mengetahui atau tidak.
- Mendahulukan akal atas naql adalah cela pada akan dan naql
sekaligus, karena akan telah bersaksi bahwa wahyu lebih tahu
dibandingkan akal. Jika hukum akal didahulukan atas hukum wahyu maka itu
adalah cela pada persaksian akal, jika persaksiannya batal maka tidak
boleh diterima ucapannya, maka mendahulukan akal atas wahyu adalah cela pada akal dan wahyu sekaligus.
- Syari’at diambil dari Allah dengan perantaraan malaikat dan
Rasul-Nya, dengan membawa ayat-ayat, mukjizat-mukjizat, dan bukti-bukti
atas kebenarannya, hal ini diakui oleh akal
Lalu bagaimana perkataan Allah pencipta semesta alam ditentang dengan
pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles, Ibnu Sina dan pengikut-pengikut
mereka?
Bagaimana perkataan seorang Rasul ditentang dengan perkataan filosof,
padahal filosof wajib mengikuti Rasul, bukan Rasul yang mengikuti
filosof, karena Rasul diutus oleh Allah, dan filosof adalah umatnya.[4]
MENOLAK HADITS AHAD DALAM MASALAH AQIDAH
Hizbut Tahrir termasuk kelompok Inkarus Sunnah, mereka menolak hadits-hadits Ahad di dalam masalah aqidah, mereka berkata di dalam kitab ad-Dusiyah
hlm. 3, “Terdapat perbedaan antara hukum-hukum syariat dan
perkara-perkara aqidah dari sisi dalil. Hukum-hukum syar’iyyah boleh
ditetapkan dengan dalil zhanni dan boleh dengan dalil qath’i kecuali
aqidah, karena harus ditetapkan dengan dalil qath’i tidak boleh
ditetapkan dengan dalil zhanni sedikitpun. Aqidah tidak boleh diambil
melainkan harus dengan dalil yakin, apabila dalilnya qath’i maka wajib
diimani dan mengingkarinya adalah kafir, namun jika dalilnya zhanni maka
haram bagi tiap muslim mengimaninya…, maka wajib menetapkan aqidah
dengan dalil qath’i…“
Hizbut Tahrir berkata di dalam kitab ad-Dusiyah hlm. 4:
“Dan hadist ahad adalah zhanni.”
KAMI KATAKAN : Sesungguhnya dalil-dalil dari Kitab,
Sunnah, dan amalan sahabat, dan perkataan para ulama menunjukkan tentang
wajibnya berhujjah dengan hadits ahad dalam syari’at Islam tanpa
memperbedakannya dalam ‘aqidah ‘ilmiyyah atau ahkam ‘amaliyyah, dan bahwasanya pendapat yang membedakan antara keduanya adalah pendapat yang bid’ah yang tidak pernah dikenal oleh salaf. Karena itulah al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
Pendapat yang membedakan antara keduanya adalah pendapat yang batil dengan kesepakatan umat karena umat tidak henti-hentiny berhujjah dengan hadits-hadits ahad dalam khabar-khabar ilmiyyah yang berhubungan dengan aqidah, sebagaimana mereka berhujjah dengan khabar-khabar amaliyyah,
terutama hukum-hukum amaliah yang mengandung kabar dari Allah
bahwasanya Allah mensyari’atkan ini dan itu, mewajibkannya, dan
meridhainya sebagai agama, … Tidak henti-hentinya para sahabat, tabi’in,
tabi’ut tabi’in, dan ahli hadits dan sunnah berhujjah dengan
hadits-hadits ahad dalam masalah-masalah sifat, qadar, asma, dan ahkam, …
(Mukhtashar Shawa’iq Mursalah 2/412).
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
“Kaum muslimin sejak dahulu hingga sekarang telah sepakat atas menetapkan hadits ahad dan berhenti padanya.” (ar-Risalah hlm. 457).
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah, “Telah tersebar secara luas tentang amalan sahabat dan tabi’un akan khabar (hadits) ahad; tanpa ada pengingkaran, bahkan sudah terjadi ittifaq untuk menerimanya.” (Lihat Fathul Bari 13/234)
Berkata al-Imam Ibnu Abil Izz al-Hanafi rahimahullah “Tentang hadit ahad, telah sepakat umat menerimanya, baik sebagaimana amal dan wajib untuk dibenarkan; dan juga memberi faedah ilmu yaqin
di kalangan ulama umat ini. Hal tersebut karena hadits ahad merupakan
bahagian dari hadits mutawatir, dan tidak terdapat perbedaan di kalangan
salaf umat ini.” (Lihat Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyyah hlm. 399-400-takhriij Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah).
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Seandainya argumen tidak tegak dengan khabar ahad maka tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu ke Yaman seorang diri, demikian juga ini dikatakan pada hadits-hadits dalam Shahihain yang mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu sebagai
da’i-da’i yang diutus untuk mendakwahkan Islam ke negeri-negeri
tertentu dalam keadaan sendirian. Merupakan hal yang tidak diragukan
lagi bahwa keseluruhan termasuk di dalamnya masalah-masalah aqidah.”[5]
MENOLAK TAQDIR ALLAH TA’ALA
Taqiyyuddin an-Nabhani berkata di dalam kitabnya, Syakhshiyyah Islamiyyah 1/71-72
“Perbuatan-perbuatan ini-yaitu perbuatan-perbuatan manusia-tidak
ada hubungan sama sekali dengan qadha’, karena manusia adalah yang
melakukan sendiri perbuatan-perbuatan ini dengan kehendak dan
pilihannya, dan berdasarkan atas hal itu maka fi’il-fi’il ikhtiyariyyah
tidak masuk di bawah qadha’.”
Dia Nizhamul Islam :
“Maka digantungkannya pahala atau hukuman dengan petunjuk dan
kesesatan menunjukkan bahwa petunjuk dan kesesatan keduanya termasuk
perbuatan manusia dan keduanya bukan dari Allah.”
Perkataan ini jelas sekali menyelisihi nash-nash al-Qur’an dan
as-Sunnah yang menyatakan bahwa segala sesuatu telah telah ditakdirkan
Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman :
Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan takdir-takdir (ukuran-ukurannya) dengan serapi-rapinya. (QS. al-Furqan [25] :2)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS. ash-Shaffat [37] :96)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan takdir. (QS. al-Qamar [54] : 49).
MENGADOPSI PEMAHAMAN KHAWARU
Hizut Tahrir mengikuti pemahaman Khawarij di dalam masalah takfir dan bolehnya khuruj (pemberontakan, red) kepada penguasa muslim. Di dalam kitab Manhaj Hizbit Tahrir fit Taghyir
hlm. 36 mereka berkata, “Hizb tidak berkompromi dengan para penguasa
dan tidak memberikan loyalitas kepada mereka, termasuk konstitusi dan
perundang-undangan mereka walau dengan alasan kelancaran dakwah. Sebab
syara’ mengharamkan mempergunakan sarana yang haram untuk memenuhi suatu
kewajiban. Sebaliknya hizb mengoreksi dan mengkritik penguasa dengan
tegas. Hizb menganggap bahwa peraturan yang mereka terapkan itu adalah
peraturan kufur sehingga harus dimusnakan dan diganti dengan hukum
Islam. Hizb juga menganggap bahwa mereka pada hakikatnya adalah
orang-orang yang fasik dan zalim…”
Dalam hlm. 37, “… Hizb juga menolak membantu mereka melakukan ishlah
baik di bidang ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan maupun di
bidang moral…”
Dalam hlm. 42, “Aktivitas hizb adalah menentang para penguasa di
negara-negara Arab maupun negara-negara Islam lainnya. Mengungkapkan
makar-makar jahat mereka, mengoreksi dan mengkritik mereka…”
Inilah pemahaman Hizbut Tahrir yang menyelisihi perintah Allah kepada setiap muslim agar taat kepada waliyyul amr-sebagaimana dalam firman-Nya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kalian. (QS. an-Nisa [4]:59),
Demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memerintahkan agar selalu taat kepada waliyyul amr, tidak membatalkan bai’at dan sabar atas kecurangan para penguasa :
Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami maka kami
membai’atnya, di antara yang diambil atas kami bahwasanya kami berbai’at
atas mendengar dan taat dalam keadaan yang lapang dan sempit, dalam
keadaan sulit dan mudah, dan atas sikap egois atas kami, dan agar kami
tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya. Beliau bersabda, ‘Kecuali jika
kalian melihat kekufuran yang jelas dan nyata yang kalian punya bukti di
hadapan Allah.” (Shahih Muslim 1709).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Ini
adalah perintah agar selalu taat walaupun ada sikap egois dari waliyyul
amr, yang ini merupakan kezaliman darinya, dan larangan dari merebut
kekuasaan dari pemiliknya, yaitu larangan dari memberontak kepadanya,
karena pemiliknya adalah para waliyul amr yang diperintahkan agar
ditaati, dan mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk
memerintah”[6]
Hizbut Tahrir juga mengatakan bahwa seluruh negeri Islam saat ini adalah Darul Kufur wal Harb, sebagaimana dalam buku mereka, Manhaj Hizbit Tahrir fit Taghyir
hlm. 5, “Adapun kondisi negeri-negeri yang hidup didalamnya kaum
muslimin saat ini di seluruh negeri, adalah darul kufr bukan darul
Islam.”
Asy-Syaikh Abdurrahman ad-Dimasyqy berkata dalam kitabnya. Hizbut Tahrir Munaqasyah Ilmiyyah li Ahammi Mababdi’il hizbi wa Raddu Ilmi Mufashshal Haula Khabari Wahid hlm. 47.
Aku bertanya kepada salah seorang di antara mereka (Hizbut Tahrir),
‘Bagaimanakah (menurutmu) dengan Makkah dan Madinah? Apakah termasuk
Darul Iman ataukah Darul Kufur wal Harb??’ Dia menjawab, ‘Termasuk Darul
Kufur dan Harb!’ Aku berkata lagi, ‘Lantas apakah boleh aku berhaji ke
darul Kufur?? Lantas dimanakah Darul Iman jika Makkah dan Madinah
termasuk Darul Kufur!!’ Dia pun kebingunan … Ada seorang juga bertanya
kepada mereka (Hizbut Tahrir), ‘Apakah ada Darul Islam di dunia saat
ini?’ Mereka menjawab, “Tidak ada!!’ Ia bertanya lagi, “Saya ingin
berhijrah, ke manakah gerangan aku harus berhijrah (jika tidak ada Darul
Islam)??’ mereka kebingungan menjawabnya.”
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
“Tidaklah terputus hijrah hingga terputusnya taubat dan tidak
terputus taubat hingga terbitnya matahari dari baratnya (hari kiamat).”[7]
Dari Isham al-Muzani radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata :
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengutus suatu
pasukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, jika kalian
melihat masjid atau mendengar adzan maka janganlah kalian membunuh
seorang pun.’”[8]
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini
menunjukkan bahwa sekadar keberadaan sebuah masjid di suatu negeri maka
ini cukup menjadi dalil atas keislaman penduduknya, walaupun belum
didengar adzan dari mereka, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pasukan-pasukannya agar mencukupkan dengan salah satu dari dua hal : adanya masjid atau mendengar adzan.” (Nailul Authar 7/287)
Berdasarkan uraian diatas maka jika dengar adzan di suatu
negeri atau didapati suatu masjid, dan penduduknya muslim, maka negeri
tersebut adalah darul Islam, meskipun para penguasanya tidak menerapkan
syari’at Islam. Hal inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
beliau berkata, “Keberadaan suatu tempat sebagai negeri kafir atau
negeri iman atau negeri orang-orang fasik, bukanlah sifat yang tidak
terpisah darinya, tetapi ia adalah sifat yang insidental sesuai dengan
keadaan penduduknya. Setiap jengkal bumi yang penduduknya orang-orang
mukmin yang bertakwa maka tempat tersebut adalah negeri para wali Allah
di saat itu. Setiap jengkal tanah yang penduduknya orang-orang fasik,
maka ia adalah negeri kefasikan di saat itu. Dan jika para penduduknya
selain yang kita sebutkan tadi, dan berubah dengan selain mereka, maka
negeri itu adalah negeri mereka.”[9]
PENEGAKAN DAULAH DENGAN MENGORBANKAN SYARI’AT ISLAM
Hizbut Tahrir memprioritaskan penegakan Daulah Islamiyyah dan
kekuasaan ketimbang perbaikan aqidah dan tauhid. Mereka telah menjadikan
penegakan daulah saat ini hukumnya paling wajib dan paling urgen
(mendesak). Mereka berpandangan bahwa segala kemerosotan, kehancuran,
dan kekacauan yang melanda umat saat ini dikarenakan tidak adanya payung
yang melindungi umat dari kaum kuffar, yakni daulah khilafah. Maka
semenjak Kesultanan Utsmani runtuh, pada tahun 1924 di Turki, maka umat
Islam semuanya dalam keadaan berdosa dan umat wajib ‘ain
mengembalikannya.
Taqiyuddin an-Nabhani berkata di dalam kitabnya Syakhshiyyah Islamiyyah 2/92 :
Dan demikianlah maka seluruh kamu muslimin sejak tahun 1924 yaitu
sejak hilangnya Khilafah Islamiyyah dari Turki maka mereka mati dan
akan mati jahiliyyah.”
Maka mereka mengonsentrasikan segala daya dan upaya untuk meraih
kembali kekuasaan. Namun, di sisi lain mereka banyak meremehkan
syari’at-syari’at Islam. Lihatlah, bagaiman tokoh-tokoh mereka tidak
menampakkan penampilan Islam sama sekali. Mereka cukur habis
jenggot-jenggot mereka. Mereka tidak memperhatikan shalat jama’ah dan
yang lainnya dari syari’at Islam. Jika engkau ingatkan mereka tentang
hal itu maka mereka mengatakan bahwa hal itu akan mereka lakukan kalau
sudah tegak Daulah Islam!! (Lihat Jama’at Islamiyyah hlm. 288-289).
Padahal Daulah Islam adalah sarana untuk menegakkan
syari’at Islam, pantaskah jika seorang muslim berjuang mewujudkan daulah
Islam dengan jalan mengorbankan syari’at Islam?!
Daulah adalah anugerah Allah kepada kaum muslimin karena keteguhan
mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban seperti jihad, melaksanakan
syari’at dan perkara-perkara yang disyari’atkan Allah kepada mereka.
Anugerah inilah yang diperoleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya, karena kesabaran mereka dalam menempuh manhaj
dakwah yang haq, menghadapi kekejian dan kebrutalan kaum musyrikin.
Allah menolong Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya, memenangkan din mereka, dan pengokohkan mereka di muka
bumi, sebagai perwujudan janji Allah dalam Kitab-Nya :
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh
Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk
mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah
mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap
menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan aku. (QS. an-Nur [24] : 55)[10]
PENDAPAT-PENDAPAT GANJIL HIZBUT TAHRIR
Sesungguhnya pendapat-pendapat Hizbut Tahrir yang ganjil amatlah
banyak sekali dan bertebaran di dalam kitab-kitab mereka, di antaranya :
- Hizbut Tahrir memperbolehkan berjabat tangan lelaki dan perempuan yang bukan mahram. Taqiyuddin berkata dalam Nizhamul Ijtima’i fil Islam,
“Seorang pria pada dasarnya boleh menjabat tangan seorang wanita,
demikian pula sebaliknya, seorang wanita boleh menjabat tangan seorang
pria tanpa ada penghalang di antara keduanya.” Hal ini juga diperkuat
dengan nusyrah sual jawab mereka no. 24/Rabi’ul Wal/1390 atau 29/5/1970, no.8/Muharram/1390 atau 16/3/1970 dan nusyrah al-ajwibah wal as’ilah tanggal 26/4/1970.
- Hizbut Tahrir memperbolehkan memandang wajah wanita, karena
menurut mereka wajah tidak termasuk aurat. Taqiyuddin berkata dalam Nizhamul Ijtima’i fil Islam, “Allah Ta’ala berfirman : ‘Katakanlah kepada mukmin laki-laki hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka.’
(QS. an-Nur [24]:30), maksudnya tentu adalah menundukkan pandangan
terhadap wanita pada selain wajah dan kedua telapak tangan, sebab
memandang wajah dan telapak tangan adalah mubah.”
- Hizbut Tahrir menghalalkan musik dan nyanyian (walau diiringi alat musik) sebagaimana dalam nusyrah jawab wa sual no.
9 (20/Shafar/1390 atau 26/4/1970), “Suara wanita tidak termasuk aurat
dan nyanyian mubah hukumnya serta mendengarkannya mubah. Adapun
hadits-hadits yang warid (datang) mengenai larangan musik adalah tidak
shahih haditsnya. Yang benar adalah musik tidak haram dan hadits-hadits
yang memperbolehkan musik adalah shahih.”
Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat aneh Hizbut Tahrir lainnya (Lihat al-Jama’at al-Islamiyyah hlm. 345-348).
PENUTUP
Inilah sedikit yang bisa kami paparkan tentang
penyimpangan-penyimpangan Hizbut Tahrir, sebetulnya masih banyak hal-hal
lain yang belum kami cantumkan karena keterbatasan tempat, semoga yang
kami paparkan di atas bisa menjadikan kewaspadaan kepada kita semua
tentang bahaya kelompok ini, dan sekaligus menyadarkan saudara-saudara
kami yang hingga saat ini masih terperdaya dengan kelompok ini serta
membuka mata mereka tentang jati diri kelompok ini. Semoga Allah selalu
menunjukkan kita kepada jalan yang lurus, yaitu jalannya para nabi, para
shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Amin
Sumber: Majalah AL FURQONEdisi 4 no. 118 thn ke 11 Dzulqo’dah 1432H/Okt-Nov 2011M
08 Agustus 2012
Menyibak Selubung Hizbut Tahrir
04.39
Unknown
[1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 2/503-504 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah ash-Shahihah 203, 204, dan 1492).
[2] “Hizbut Tahrir Mu’tazilah judud” dari Majalah Salafiyyah, Riyadh, Edisi Kedua, tahun 1417 H, hlm. 17-32.
[3] Taqiyuddin an-Nabhani di dalam kitabnya Syakhshiyyah Islamiyyah memuji Amr bin Ubaid ini dan mengatakan bahwa dia tidak memiliki penyelewengan sama sekali dalam aqidah.
[4] Lihat bahasan “Kedudukan Akal di Dalam Islam” di dalam Majalah Al-Furqon IV/4 rubrik Manhaj.
[5] Al-Hadits Hujjatun Binafsihi fil ‘Aqaid wal Ahkam hlm. 59. untuk pembahasan lebih rinci dalam masalah ini silakan melihat bahasan “Hadits Ahad dalam Sorotan” didalam Majalah Al Furqon VIII/Edisi Khusus rubrik Manhaj.
[6] Mihhajus Sunnah 3/395
dan untuk bahasan yang lebih rinci tentang masalah ini silahkan melihat
bahasan “Renungan Bagi Para Pemberontak” di dalam Majalah AL FURQON V/6 rubrik Manhaj
[7] Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya 2/312 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam Irwaul Ghalil 5/33 no. 1208.
[8]
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya 3/448, Abu Dawud dalam
Sunan-nya 2635, dan Tirmidzi dalam Jami-nya 1545, dan dilemahkan oleh
Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Dha’if Sunan Abu Dawud hlm. 202.
[9] Majmu Fatawa 18/282
dan untuk bahasan yang lebih rinci tentang masalah ini silakan melihat
bahasan “Darul Islam dan Darul Kufur” di dalam Majalah Al-Furqon IV/9 Rubrik Manhaj.
Diberdayakan oleh Blogger.