Bismillah,
Kebanyakan, orang jahil, yang boleh jadi mereka itu ahlul bid’ah, pelaku bid’ah, ahlul hawa dll, bahkan orang awam tapi sudah berani bicara soal agama, mereka sering berkata sekitar perkataan ini kepada orang-orang yang berada diatas manhaj yang haq, di jalan yang lurus :
Kebanyakan, orang jahil, yang boleh jadi mereka itu ahlul bid’ah, pelaku bid’ah, ahlul hawa dll, bahkan orang awam tapi sudah berani bicara soal agama, mereka sering berkata sekitar perkataan ini kepada orang-orang yang berada diatas manhaj yang haq, di jalan yang lurus :
“Kalian menganggap bahwa semua bid’ah itu dholalah
(sesat), padahal kalian sendiri berbuat bid’ah, main FB, pake HP, pake
Mikrofon buat adzan, naik haji pake pesawat..dll, yang semua itu tidak
ada tuntunannya dalam Al Qur’an dan Hadits. Kalau mau gak bid’ah, maka
sono..naik onta aja kalau pergi haji !”
MAKA KITA JAWAB :
Orang2 yang berkata seperti itu maka ia adalah orang JAHIL MURAKKAB (jahil kwadrat).
Semoga Allah memberi mereka hidayah diatas ilmu dan pemahaman yang benar.
Maka terhadap perkataan seperti itu, kita jawab dan kita berikan penjelasan :
Hukum sarana tergantung tujuan, pemakaian teknologi juga tergantung
tujuan, apakah dipakai dalam perkara yang halal/jaiz atau yang haram.
Tidak ada bid’ah dalam agama untuk perkara penemuan manusia yang terkait
dengan terus berkembangnya peradaban dan teknologi. Termasuk metodologi
dalam berdakwah.
Berdakwah merupakan ibadah, namun
sarana yang dipakai untuk berdakwah bukanlah bid’ah menurut istilah
agama, seperti penggunaan microphone untuk pengeras suara, email sebagai
pengganti surat-menyurat, video ceramah dsb.
Dalam masalah dunia (peradaban dan
teknologi), hukum asalnya adalah mubah (boleh), kecuali ada dalil yang
melarang atau mengharamkannya.
Adapun bid’ah, ucapan itu telah
disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alahi was salam, dimana dalam hadits
beliau bersabda, potongan haditsnya adalah : “setiap bidah itu adalah
sesat”. Begitu juga yang dipahami oleh para sahabat, imam mazhab yang 4
dan ulama-ulama lain yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya dengan baik.
Maka, Motor atau Mobil buat ke masjid,
Pesawat terbang buat naik haji, Hand Phone, Komputer dan FB buat dakwah,
kertas buat nulis Qur’an dan hadits, Sekolah Madrasah buat belajar
agama, microphone di masjid buat khutbah dll adalah sarana/washillah
untuk ibadah, BUKAN IBADAHNYA ITU SENDIRI.
Itu yang disebut dengan Mashlahatul Marsalah.
Sebab untuk urusan dunia, yang
menyangkut ilmu pengetahuan, teknologi (apa saja), dan peradaban
manusia, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam
peristiwa penyilangan serbuk sari kurma yang sangat masyhur :
“Kamu lebih mengetahui tentang berbagai urusan duniamu”. [Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim (1366)]
Jadi benda-benda yang disebutkan diatas
itu adalah urusan dunia yang merupakan hasil kemajuan peradaban manusia
secara umum dan pengembangan teknologi seiring dengan berjalannya
waktu, yang mana orang kafir juga menggunakannya, dan tidak ada
kaitannya dengan agama secara langsung.
Sesuatu yang berhubungan dengan masalah duniawi, itu bukanlah bid’ah yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jadi , silahkan mau buat mikrofon masjid, pesawat buat pergi haji, software dll,
Akan tetapi yang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallaam larang di sini adalah segala macam perkara baru
dalam bentuk amalan/keyakinan agama dan syari’at, entah itu
amalan-amalan (Fi’liyah) maupun Ucapan (Qouliyah) baik mengurangi atau
menambahkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
”Barang siapa yang mengada-adakan
sesuatu amalan dalam urusan agama yang bukan datang dari kami (Allah dan
Rasul-Nya), maka tertolaklah amalnya itu”. (SHAHIH, riwayat Muslim Juz
5,133)
dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Dan jauhilah olehmu hal-hal (ciptaan)
yang baru (dalam agama). Maka sesungguhnya setiap hal (ciptaan) baru
(dalam agama) itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR
Abu daud dan At-Tirmidzi, dia berkata Hadits hasan shahih).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk
bertakwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun dipimpin budak Habasyi,
karena siapa yang masih hidup dari kalian maka akan melihat perselisihan
yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah pada
Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah kepadanya
dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan waspadalah terhadap
perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan) kepada hal-hal yang baru
itu adalah kebid’ahan dan setiap kebid’ahan adalah kesesatan”. [SHAHIH.
HR.Abu Dawud (4608), At-Tirmidziy (2676) dan Ibnu Majah (44,43),Al-Hakim
(1/97)]
Wallahu a’lam.
sumber: http://abuayaz.blogspot.com/2011/02/perkataan-mereka-kalau-tidak-mau-bidah.html
Jawab : khutbah Jum’at dengan selain bahasa Arab ketika dibutuhkan adalah karena hal tersebut merupakan ketentuan pokok dalam syari’at kita yaitu firman Allah ta’ala,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (٤)
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (Ibrahim: 4).
Diantara dalil akan hal tersebut adalah realita para sahabat tatkala memerangi negeri ajam seperti Persia dan Romawi, mereka tidak memerangi kaum tersebut setelah mengajak mereka kepada Islam dengan perantaraan para penerjemah.[Fatawa Asy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz 12/372]
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Apabila dia berkhutbah di negeri Arab, maka dia harus menyampaikannya dengan bahasa Arab.
Apabila dia berkhutbah di luar negeri Arab, maka sebagian ulama mengatakan bahwa sang khatib harus menyampaikannya dengan bahasa Arab barulah kemudian berkhutbah dengan menggunakan bahasa kaum setempat.
Sebagian ulama mengatakan (dalam kondisi tersebut) tidak dipersyaratkan khutbah disampaikan dengan bahasa Arab bahkan wajib menyampaikannya dengan bahasa kaum setempat. Inilah pendapat yang tepat berdasarkan firman Allah ta’ala,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (٤)
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (Ibrahim: 4).
Tidak mungkin menarik perhatian manusia untuk memperhatikan sebuah nasehat sedangkan mereka tidak memahami apa yang dikatakan oleh sang khatib? Dua khutbah yang terdapat dalam khutbah Jum’at, lafadznya tidaklah termasuk lafadz-lafadz yang digunakan sebagai media ibadah (seperti layaknya Al Quran), sehingga kita mengharuskan khutbah tersebut harus diucapkan dengan bahasa Arab. Akan tetapi, apabila melewati suatu ayat Al Quran, maka harus mengucapkannya dengan bahasa Arab, karena Al Quran tidak boleh dirubah dari bahasa Arab.”[Asy Syarh al Mumti’ 5/78]
0 komentar:
Posting Komentar