Dari Abu Malik Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Sungguh, akan ada orang-orang dari ummatku yang meminum khamr, mereka
menamakannya dengan selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan
alunan suara biduanita. Allah akan membenamkan mereka ke dalam bumi dan
Dia akan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi” (HR. Ibnu Majah
dan Ibnu Hibban. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Imam Syafi’i dalam kitabnya Al Qadha’ berkata: “Nyanyian adalah kesia-siaan yang dibenci, bahkan menyerupai perkara batil. Barangsiapa memperbanyak nyanyian maka dia adalah orang dungu, syahadat (kesaksiannya) tidak dapat diterima.”
Siapa saja yang hidup di akhir zaman, tidak lepas dari lantunan suara musik atau nyanyian. Bahkan mungkin di antara kita –dulunya- adalah orang-orang yang sangat gandrung
terhadap lantunan suara seperti itu. Bahkan mendengar lantunan tersebut
juga sudah menjadi sarapan tiap harinya. Itulah yang juga terjadi pada
sosok si fulan. Hidupnya dulu tidaklah bisa lepas dari gitar dan musik. Namun, sekarang hidupnya jauh berbeda. Setelah Allah mengenalkannya dengan Al haq (penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah), dia pun perlahan-lahan menjauhi berbagai nyanyian. Alhamdulillah, dia pun mendapatkan ganti yang lebih baik yaitu dengan kalamullah (Al Qur’an) yang semakin membuat dirinya mencintai dan merindukan perjumpaan dengan Rabbnya.
Lalu, apa yang menyebabkan hatinya bisa berpaling kepada kalamullah
dan meninggalkan nyanyian? Tentu saja, karena taufik Allah kemudian
siraman ilmu. Dengan ilmu syar’i yang dia dapati, hatinya mulai tergerak
dan mulai sadarkan diri. Dengan mengetahui dalil Al Qur’an dan Hadits
yang membicarakan bahaya lantunan yang melalaikan, dia pun mulai
meninggalkannya perlahan-lahan. Juga dengan bimbingan perkataan para
ulama, dia semakin jelas dengan hukum keharamannya.
Alangkah baiknya jika kita melihat dalil-dalil yang dimaksudkan, beserta perkataan para ulama masa silam mengenai hukum nyanyian karena mungkin di antara kita ada yang masih gandrung
dengannya. Maka, dengan ditulisnya risalah ini, semoga Allah membuka
hati kita dan memberi hidayah kepada kita seperti yang didapatkan si
fulan tadi. Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolonglah dan mudahkanlah).
Beberapa Ayat Al Qur’an yang Membicarakan “Nyanyian”
Pertama: Nyanyian dikatakan sebagai “lahwal hadits” (perkataan yang tidak berguna)
Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي
لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ وَإِذَا تُتْلَى
عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ
فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab
yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia
berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya,
seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah
padanya dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 6-7)
Ibnu Jarir Ath Thabariy -rahimahullah- dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para pakar tafsir berselisih pendapat apa yang dimaksud dengan لَهْوَ الْحَدِيثِ “lahwal hadits” dalam ayat tersebut. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah nyanyian dan mendengarkannya. Lalu setelah itu Ibnu Jarir menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf mengenai tafsir ayat tersebut. Di antaranya adalah dari Abu Ash Shobaa’ Al Bakri –rahimahullah-. Beliau mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu Mas’ud ditanya mengenai tafsir ayat tersebut, lantas beliau –radhiyallahu ‘anhu- berkata,
الغِنَاءُ، وَالَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ، يُرَدِّدُهَا ثَلاَث َمَرَّاتٍ.
“Yang dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi selain Dia.” Beliau menyebutkan makna tersebut sebanyak tiga kali.[1]
Penafsiran senada disampaikan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, dan Qotadah. Dari Ibnu Abi Najih, Mujahid berkata bahwa yang dimaksud lahwu hadits adalah bedug (genderang).[2]
Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Lahwal hadits
adalah segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari berbuat baik. Hal
itu bisa berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita bohong dan setiap
kemungkaran.” Lalu, Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi yang mengatakan bahwa tafsiran yang paling bagus untuk makna lahwal hadits adalah nyanyian. Inilah pendapat para sahabat dan tabi’in.[3]
Jika ada yang mengatakan, “Penjelasan tadi kan hanya penafsiran sahabat, bagaimana mungkin bisa jadi hujjah (dalil)?”
Maka, cukup kami katakan bahwa tafsiran sahabat terhadap suatu ayat bisa menjadi hujjah, bahkan bisa dianggap sama dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (derajat marfu’). Simaklah perkataan Ibnul Qayyim setelah menjelaskan penafsiran mengenai “lahwal hadits” di atas sebagai berikut,
“Al Hakim Abu ‘Abdillah dalam kitab tafsirnya di Al Mustadrok
mengatakan bahwa seharusnya setiap orang yang haus terhadap ilmu
mengetahui bahwa tafsiran sahabat –yang mereka ini menyaksikan turunnya
wahyu- menurut Bukhari dan Muslim dianggap sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di tempat lainnya, beliau mengatakan bahwa menurutnya, penafsiran sahabat tentang suatu ayat sama statusnya dengan hadits marfu’ (yang sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Lalu, Ibnul Qayyim
mengatakan, “Walaupun itu adalah penafsiran sahabat, tetap penafsiran
mereka lebih didahulukan daripada penafsiran orang-orang sesudahnya. Alasannya, mereka adalah umat yang paling mengerti tentang maksud dari ayat yang diturunkan oleh Allah karena Al Qur’an turun di masa mereka hidup”.[4]
Jadi, jelaslah bahwa pemaknaan لَهْوَ الْحَدِيثِ /lahwal hadits/ dengan nyanyian patut kita terima karena ini adalah perkataan sahabat yang statusnya bisa sama dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Orang-orang yang bernyanyi disebut “saamiduun”
Allah Ta’ala berfirman,
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ , وَتَضْحَكُونَ وَلا تَبْكُونَ , وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ , فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا
“Maka, apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka, bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).” (QS. An Najm: 59-62)
Apa yang dimaksud سَامِدُونَ/saamiduun/?
Menurut salah satu pendapat, makna saamiduun adalah bernyanyi dan ini berasal dari bahasa orang Yaman. Mereka biasa menyebut “ismud lanaa” dan maksudnya adalah: “Bernyanyilah untuk kami”. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas.[5]
‘Ikrimah
mengatakan, “Mereka biasa mendengarkan Al Qur’an, namun mereka malah
bernyanyi. Kemudian turunlah ayat ini (surat An Najm di atas).”[6]
Jadi, dalam dua ayat ini teranglah bahwa mendengarkan “nyanyian” adalah suatu yang dicela dalam Al Qur’an.
Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengenai Nyanyian
Hadits Pertama
Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu dia menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى
أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ
بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ
فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ
الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ
“Sungguh, benar-benar akan
ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera,
khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di
lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir
mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata,
‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan
kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah
sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”[7] Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti musik itu haram.
Hadits di atas dinilai shahih oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Penilaian senada disampaikan An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukani –rahimahumullah-.
Memang, ada sebagian ulama semacam Ibnu Hazm dan orang-orang yang mengikuti pendapat beliau sesudahnya seperti Al Ghozali yang menyatakan bahwa hadits di atas memiliki cacat sehingga mereka pun menghalalkan musik. Alasannya, mereka mengatakan bahwa sanad hadits ini munqothi’ (terputus) karena Al Bukhari tidak memaushulkan sanadnya (menyambungkan sanadnya). Untuk menyanggah hal ini, kami akan kemukakan 5 sanggahan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah:
Pertama, Al Bukhari betul bertemu dengan Hisyam bin ‘Ammar dan beliau betul mendengar langsung darinya. Jadi, jika Al Bukhari mengatakan bahwa Hisyam berkata, itu sama saja dengan perkataan Al Bukhari langsung dari Hisyam.
Kedua, jika Al Bukhari belum pernah mendengar hadits itu dari Hisyam, tentu Al Bukhari tidak akan mengatakan dengan lafazh jazm (tegas). Jika beliau mengatakan dengan lafazh jazm,
sudah pasti beliau mendengarnya langsung dari Hisyam. Inilah yang
paling mungkin, karena sangat banyak orang yang meriwayatkan (hadits)
dari Hisyam. Hisyam adalah guru yang sudah sangat masyhur. Adapun Al
Bukhari adalah hamba yang sangat tidak mungkin melakukan tadlis (kecurangan dalam periwayatan).
Ketiga, Al Bukhari memasukkan hadits ini dalam kitabnya yang disebut dengan kitab shahih, yang tentu saja hal ini bisa dijadikan hujjah
(dalil). Seandainya hadits tersebut tidaklah shahih menurut Al Bukhari,
lalu mengapa beliau memasukkan hadits tersebut dalam kitab shahih?
Keempat, Al Bukhari membawakan hadits ini secara mu’allaq (di bagian awal sanad ada yang terputus). Namun, di sini beliau menggunakan lafazh jazm (pasti, seperti dengan kata qoola yang artinya dia berkata) dan bukan tamridh (seperti dengan kata yurwa atau yudzkaru, yang artinya telah diriwayatkan atau telah disebutkan). Jadi, jika Al Bukhari mengatakan, “Qoola: qoola Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ...]”, maka itu sama saja beliau mengatakan hadits tersebut disandarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelima, seandainya berbagai alasan di atas kita buang, hadits ini tetaplah shahih dan bersambung karena dilihat dari jalur lainnya, sebagaimana akan dilihat pada hadits berikutnya.[8]
Hadits Kedua
Dari Abu Malik Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ
أُمَّتِى الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلَى
رُءُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَالْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللَّهُ بِهِمُ
الأَرْضَ وَيَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ
“Sungguh, akan ada
orang-orang dari umatku yang meminum khamr, mereka menamakannya dengan
selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan alunan suara biduanita.
Allah akan membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk
mereka menjadi kera dan babi.”[9]
Hadits Ketiga
Dari Nafi’ –bekas budak Ibnu ‘Umar-, beliau berkata,
عُمَرَ سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ
إِصْبَعَيْهِ فِى أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ وَهُوَ
يَقُولُ يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ فَأَقُولُ نَعَمْ. قَالَ فَيَمْضِى حَتَّى
قُلْتُ لاَ. قَالَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ وَأَعَادَ الرَّاحِلَةَ إِلَى
الطَّرِيقِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا
Ibnu ‘Umar
pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau
menyumbat kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah
ke jalan yang lain. Lalu Ibnu ‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu
masih mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’) berkata, “Iya, aku masih
mendengarnya.”
Kemudian, Ibnu ‘Umar terus berjalan. Lalu, aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.”
Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar
melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu
berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau
melakukannya seperti tadi.”[10]
Keterangan Hadits
Dari dua hadits pertama,
dijelaskan mengenai keadaan umat Islam nanti yang akan menghalalkan
musik,berarti sebenarnya musik itu haram kemudian ada yang menganggap
halal. Begitu pula pada hadits ketiga yang menceritakan kisah Ibnu ‘Umar
bersama Nafi’. Ibnu ‘Umar mencontohkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang sama dengannya yaitu menjauhkan manusia dari mendengar musik. Hal ini menunjukkan bahwa musik itu jelas-jelas terlarang.
Jika ada yang mengatakan bahwa
sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar tadi hanya menunjukkan bahwa itu
adalah cara terbaik dalam mengalihkan manusia dari mendengar suara
nyanyian atau alat musik, namun tidak sampai menunjukkan keharamannya, jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) rahimahullah berikut ini,
اللَّهُمَّ إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي سَمَاعِهِ ضَرَرٌ دِينِيٌّ لَا يَنْدَفِعُ إلَّا بِالسَّدِّ
“Demi Allah, bahkan mendengarkan
nyanyian (atau alat musik) adalah bahaya yang mengerikan pada agama
seseorang, tidak ada cara lain selain dengan menutup jalan agar tidak
mendengarnya.”[11]
Kalam Para Ulama Salaf Mengenai Nyanyian (Musik)
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.”
Al Qasim bin Muhammad pernah ditanya tentang nyanyian, lalu beliau menjawab, “Aku melarang nyanyian padamu dan aku membenci jika engkau mendengarnya.” Lalu orang yang bertanya tadi mengatakan, “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim pun mengatakan,”Wahai
anak saudaraku, jika Allah telah memisahkan yang benar dan yang keliru,
lantas pada posisi mana Allah meletakkan ‘nyanyian’?”
‘Umar bin ‘Abdul Aziz pernah menulis surat kepada guru yang mengajarkan anaknya, isinya adalah, ”Hendaklah
yang pertama kali diyakini oleh anak-anakku dari budi pekertimu adalah
kebencianmu pada nyanyian. Karena nyanyian itu berasal dari setan dan
ujung akhirnya adalah murka Allah. Aku mengetahui dari para ulama yang
terpercaya bahwa mendengarkan nyanyian dan alat musik serta gandrung
padanya hanya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air
menumbuhkan rerumputan. Demi Allah, menjaga diri dengan meninggalkan
nyanyian sebenarnya lebih mudah bagi orang yang memiliki kecerdasan
daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati.”
Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.”
Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”
Yazid bin Al Walid mengatakan, “Wahai
anakku, hati-hatilah kalian dari mendengar nyanyian karena nyanyian itu
hanya akan mengobarkan hawa nafsu, menurunkan harga diri, bahkan
nyanyian itu bisa menggantikan minuman keras yang bisa membuatmu mabuk
kepayang. … Ketahuilah, nyanyian itu adalah pendorong seseorang untuk
berbuat zina.”[12]
Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian
- Imam Abu Hanifah. Beliau membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai suatu perbuatan dosa.[13]
- Imam Malik bin Anas. Beliau berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.”[14]
- Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”[15]
- Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.”[16]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.”[17]
Bila Engkau Sudah Tersibukkan dengan Nyanyian dan Nasyid
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Beliau mengatakan,
“Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan
dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang
bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat.
Hal ini jauh berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya untuk
melakukan hal yang disyari’atkan. Pasti orang ini akan semakin cinta dan
semakin mendapatkan manfaat dengan melakukan amalan tersebut, agama dan
islamnya pun akan semakin sempurna.”
Lalu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, ”Oleh karena itu, banyak sekali orang yang terbuai dengan
nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan semula adalah untuk menata hati.
Maka, pasti karena maksudnya, dia akan semakin berkurang semangatnya
dalam menyimak Al Qur’an. Bahkan sampai-sampai dia pun membenci untuk
mendengarnya.”[18]
Jadi, perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni
(yang dijuluki Syaikhul Islam) memang betul-betul terjadi pada
orang-orang yang sudah begitu gandrung dengan nyanyian, gitar dan bahkan
dengan nyanyian “Islami” (yang disebut nasyid). Tujuan mereka mungkin
adalah untuk menata hati. Namun, sayang seribu sayang, jalan yang
ditempuh adalah jalan yang keliru karena hati mestilah ditata dengan
hal-hal yang masyru’ (disyariatkan) dan bukan dengan hal-hal yang tidak masyru’, yang membuat kita sibuk dan lalai dari kalam Robbul ‘alamin yaitu Al Qur’an.
Tentang nasyid yang dikenal di kalangan sufiyah dan bait-bait sya’ir, Syaikhul Islam mengatakan,
“Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang
kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, mereka
pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun
tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan
kenikmatan tatkala mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar
bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al Qur’an,
hatinya pun menjadi lalai, begitu pula dengan lisannya akan sering
keliru.”[19]
Adapun melatunkan bait-bait syair (alias nasyid) asalnya
dibolehkan, namun tidak berlaku secara mutlak. Melatunkan bait syair
(nasyid) yang dibolehkan apabila memenuhi beberapa syarat berikut:
- Bukan lantunan yang mendayu-dayu sebagaimana yang diperagakan oleh para wanita.
- Nasyid tersebut tidak sampai melalaikan dari mendengar Al Qur’an.
- Nasyid tersebut terlepas dari nada-nada yang dapat membuat orang yang mendengarnya menari dan berdansa.
- Tidak diiringi alat musik.
- Maksud mendengarkannya bukan mendengarkan nyanyian dan nadanya, namun tujuannya adalah untuk mendengar nasyid (bait syair).
- Diperbolehkan bagi wanita untuk memukul rebana pada acara-acara yang penuh kegembiraan dan masyru’ (disyariatkan) saja.[20]
- Maksud nasyid ini adalah untuk memberi dorongan semangat ketika keletihan atau ketika berjihad.
- Tidak sampai melalaikan dari yang wajib atau melarang dari kewajiban.[21]
Penutup
Kami hanya ingin mengingatkan bahwa pengganti nyanyian dan
musik adalah Al Qur’an. Dengan membaca, merenungi, dan mendengarkan
lantunan Al-Qur’anlah hati kita akan hidup dan tertata karena inilah
yang disyari’atkan.
Ingatlah bahwa Al Qur’an dan musik sama sekali tidak bisa
bersatu dalam satu hati. Kita bisa memperhatikan perkataan murid
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau
mengatakan, “Sungguh nyanyian dapat memalingkan hati seseorang dari
memahami, merenungkan dan mengamalkan isi Al Qur’an. Ingatlah, Al Qur’an
dan nyanyian selamanya tidaklah mungkin bersatu dalam satu hati karena
keduanya itu saling bertolak belakang. Al Quran melarang kita untuk
mengikuti hawa nafsu, Al Qur’an memerintahkan kita untuk menjaga
kehormatan diri dan menjauhi berbagai bentuk syahwat yang menggoda jiwa.
Al Qur’an memerintahkan untuk menjauhi sebab-sebab seseorang melenceng
dari kebenaran dan melarang mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan
nyanyian memerintahkan pada hal-hal yang kontra (berlawanan) dengan
hal-hal tadi.”[22]
Dari sini, pantaskah Al Qur’an
ditinggalkan hanya karena terbuai dengan nyanyian? Ingatlah, jika
seseorang meninggalkan musik dan nyanyian, pasti Allah akan memberi
ganti dengan yang lebih baik.
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
“Sesungguhnya jika engkau
meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti
padamu dengan sesuatu yang lebih baik.”[23]
Tatkala Allah memerintahkan
pada sesuatu dan melarang dari sesuatu pasti ada maslahat dan manfaat di
balik itu semua. Sibukkanlah diri dengan mengkaji ilmu dan mentadaburri
Al Quran, niscaya perlahan-lahan perkara yang tidak manfaat semacam
nyanyian akan ditinggalkan. Semoga Allah membuka hati dan memberi
hidayah bagi setiap orang yang membaca risalah ini.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi robbil ‘alamin.
***
Disempurnakan di Pangukan-Sleman, 16 Rabi’ul Awwal 1431 H (02/03/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id, dipublish ulang oleh www.rumaysho.com
[1] Lihat Jami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, 20/127, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[2] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 5/105, Mawqi’ At Tafasir.
[3] Lihat Fathul Qadir, Asy Syaukani, 5/483, Mawqi’ At Tafasir.
[4] Lihat Ighatsatul Lahfan min Masho-idisy Syaithon, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/240, Darul Ma’rifah, Beirut, cetakan kedua, 1395 H
[5] Lihat Zaadul Masiir, 5/448.
[6] Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/258.
[7] Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan lafazh jazm/ tegas.
[8] Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/259-260.
[9] HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[10] HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[11] Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroini, 11/567, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[12] Lihat Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, hal. 289, Darul Kutub Al ‘Arobi, cetakan pertama, 1405 H
[13] Lihat Talbis Iblis, 282.
[14] Lihat Talbis Iblis, 284.
[15] Lihat Talbis Iblis, 283.
[16] Lihat Talbis Iblis, 280.
[17] Majmu’ Al Fatawa, 11/576-577.
[18]
Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim li Mukholafati Ash-haabil Jahiim,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq & Ta’liq: Dr. Nashir ‘Abdul
Karim Al ‘Aql, 1/543, Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah, cetakan ketujuh,
tahun 1419 H
[19] Majmu’ Al Fatawa, 11/567.
[20]
Seperti terdapat riwayat dari ‘Umar bahwa beliau membolehkan memukul
rebana (ad-duf) pada acara nikah dan khitan. Dan ini adalah pengkhususan
dari dalil umum yang melarang alat musik. Sehingga tidak tepat jika
rebana ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan alat musik yang lain. (Lihat
An Nur Al Kaasyif fii Bayaani Hukmil Ghina wal Ma’azif, hal. 61, Asy Syamilah)
[21] Lihat An Nur Al Kaasyif fii Bayaani Hukmil Ghina wal Ma’azif, hal. 44-45, Asy Syamilah.
[22] Ighatsatul Lahfan, 1/248-249.
[23] HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
0 komentar:
Posting Komentar