-->

16 Desember 2012

Cara Thaharah dan Shalat Bagi Orang yang Sakit


Inilah beberapa hukum yang dikhususkan bagi orang yang sakit, dalam kaitannya dengan thaharah (bersuci) dan shalat, sebagaimana yang ditulis Fadhilatusy Syaikh Al-Utsaimin.
Syaikh berkata, “Ini merupakan tulisan ringkas tentang apa yang harus dilakukang orang yang sedang sakit dalam thaharah dan shalatnya. Orang yang sakit mempunyai hukum-hukum yang khusus, dan keadaannya mendapat perhatian yang khusus pula dalam syariat Islam. Sebab Allah telah mengutus Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa kebenaran dan kelonggaran yang didasarkan kepada kemudahan. Allah berfirman:
“Dia sekali-kali tidak menjadikam untuk kalian dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78)
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (Al-Baqarah: 185)
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupam kalian dan dengarlah serta taatlah.” (At-Taghabun: 16)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya agama itu adalah mudah.”
Beliau juga bersabda,
“Jika aku memerintahkan suatu perintah kepada kalian, maka lakukanlah menurut kesanggupan kalian.”
Berdasarkan kaidah yang fundamental ini, Allah memberi keringanan dalam beribadah kepada orang-orang yang lemah, menurut kadar kelemahannya, agar mereka tetap bisa beribadah kepada Allah tanpa merasa kesulitan dan keberatan. Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin.
Adapun cara bersuci bagi orang yang sakit adalah:
1. Orang yang sakit harus bersuci dengan air, wudhu dan hadats kecil dan mandi dari hadats besar.
2. Jika tidak sanggup bersuci dengan menggunakan air karena kondisinya yang memang lemah atau karena khawatir sakitnya bertambah parah atau menunda kesembuhannya, maka dia boleh bertayammum.
3. Adapun cara bertayammum: Telapak tangan ditempelkan di debu yang bersih dengan sekali tempelan, lalu ditepis-tepiskan agar debunya tidak terlalu banyak, lalu mengusap ke seluruh wajah. Kemudian menempelkan lagi di debu, lalu saling diusapkan tangan antara yang satu dan lainnya.
4. Jika dia sendiri tidak bisa wudhu atau tayammum, maka orang lain bisa mewudhukan atau menayammuminya.
5. Jika di sebagian anggota thaharah terdapat luka, maka dia tetap harus membasuhinya dengan air. Namun jika terkena air, luka itu bertambah parah, maka tangannya cukup dibasahi air, lalu diusapkan di permukaan luka sekedarnya saja. Jika ini pun tidak memungkinkan, maka dia bisa bertayammum.
6. Jika anggota thaharah ada yang patah, lalu ditutup perban atau digips, maka dia cukup mengusapnya dengan air dan tidak perlu bertayammum. Sebab usapan itu sudah dianggap sebagai pengganti dari mandi.
7. Boleh mengusapkan tangan ke dinding saat tayammum, atau ke tempat lain yang memang suci dan juga mengandung debu. Jika dinding itu dilapisi sesuatu yang bukan dari jenis tanah, seperti dicat, maka tidak boleh tayammum padanya, kecuali memang di situ ada unsur debunya.
8. Jika tidak memungkinkan tayammum di tanah atau di dinding atau sesuatu yang ada debunya, maka boleh saja meletakkan tangan di sapu tangan umpamanya, yang di atasnya ditaburi debu.
9. Jika dia tayammum untuk satu shalat, kemudian tetap dalam keadaan suci hingga masak waktu shalat berikutnya, maka dia bisa shalat dengan tayammum untuk shalat yang pertama. Sebab dia masih dalam keadaan suci dan tidak ada sesuatu pun yang membatalkannya.
10. Orang yang sakit harus membersihkan badannya dari berbagai jenis najis selagi dia sanggup untuk melakukannya. Jika tidak bisa, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun, dan tidak perlu mengulang shalatnya setelah suci.
11. Orang yang sakit harus shalat dengan pakaian yang suci. Jika di pakaiannya ada najis, maka dia harus mencucinya atau menggantinya dengan pakaian lain yang suci. Jika tidak memungkinkan, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun, dan tidak perlu mengulang shalatnya setelah suci.
12. Orang yang sakit harus shalat di atas sesuatu atau di tempat yang suci. Jika tempatnya itu ada najisnya, maka harus dicuci atau diganti dengan yang suci atau dilapisi sesuatu yang suci. Apabila tidak memungkinkan, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun dan tidak perlu mengulang shalatnya setelah suci.
13. Orang yang sakit tidak boleh menangguhkan shalatnya dari waktunya karena alasan ketidakmampuan dalam bersuci. Dia harus bersuci menurut kesanggupannya, kemudian shalat pada waktunya, sekalipun di badan, pakaian atau tempatnya terdapat najis.
Adapun cara shalatnya sebagai berikut:
1. Orang yang sakit harus mendirikan shalat wajib dalam keadaan berdiri, sekalipun agak miring atau sambil bersandar ke dinding atau ke tongkat.
2. Jika tidak bisa berdiri, dia bisa mendirikan shalat sambil duduk. Yang paling baik ialah duduk sambil menyilangkan kaki kiri di bawah paha kanan di tempat ruku’ dan sujud.
3. Jika tidak bisa shalat sambil duduk, maka dia berbaring pada lambungnya dengan menghadap ke arah kiblat. Yang paling baik adalah pada lambung kanan. Jika tidak memungkinkan berbaring pada lambung bagian kanan dan tidak bisa menghadap ke arah kiblat, dia bisa shalat seperti apa pun keadaannya, dan tidak perlu mengulang shalatnya.
4. Jika tidak bisa berbaring pada lambungnya, maka dia bisa berbaring menghadap ke atas, dan kedua kakinya menghadap ke arah kiblat. Yang paling baik ialah sedikit mengangkat kepalanya, agar bisa menghadap ke arah kiblat. Jika cara ini tidak memungkinkan, maka dia bisa shalat seperti apa pun keadaannya, dan tidak perlu mengulang shalatnya.
5. Orang yang sakit harus ruku’ dan sujud dalam shalatnya. Jika tidak sanggup, maka dia bisa menganggukkan kepala, dan anggukan sujud lebih rendah daripada anggukan ruku’. Jika dia bisa ruku’ dan tidak bisa sujud, maka dia harus tetap ruku’, sedangkan sujud cukup dengan menganggukkan kepala. Jika bisa sujud dan tidak bisa ruku’, maka dia harus sujud dan menganggukan kepala tatkala ruku’.
6. Jika tidak bisa menganggukkan kepala tatkala ruku’ dan sujud, maka dia bisa memberi isyarat dengan matanya, dengan sedikit memejam tatkala ruku’ dan lebih banyak memejamkan mata tatkala sujud. Sedangkan memberi isyarat dengan tangan seperti yang biasa dilakukan sebagian orang adalah tidak benar, sebab memang tidak ada dasarnya di dalam Al-Qur’an, Sunnah maupun pendapat para ulama.
7. Jika tidak bisa menganggukkan kepala atau memberi isyarat dengan matanya, maka dia bisa shalat dengan hatinya. Dia niat, bertakbir, membaca, ruku’, sujud, berdiri dan duduk dengan gerakan hatinya.
8. Orang yang sakit harus mengerjakan setiap shalat tepat pada waktunya dan mengerjakannya menurut kesanggupannya. Jika kesulitan melakukan shalat tepat pada waktunya, maka dia bisa menjama’ shalat zhuhur dan ashar, maghrib dan isya’, boleh jama’ taqdim dengan mengerjakan shalat ashar pada waktu shalat zhuhur dan shalat isya’ pada waktu shalat maghrib, maupun jama’ ta’khir, yaitu dengan mengerjakan dua pasangan ini pada waktu shalat yang kedua. Dia bisa memilih mana yang lebih mudah baginya. Sedangkan shalat subuh tidak bisa dijama’.
9. Jika orang yang sakit dalam perjalanan, karena dia hendak berobat di luar daerahnya, maka dia bisa meng-qashar shalat yang terdiri dari empat rakaat, sehingga dia bisa shalat zhuhur, ashar dan isya’ dengan dua rakaat, hingga kembali ke daerahnya, baik masanya lama maupun sebentar.
[Catatan: Kalau orang yang sakit secara tiba-tiba dalam shalat membaik, lalu bisa melakukan seluruh gerakan yang sebelumnya tidak bisa dilakukan, seperti berdiri, duduk, rukuk, sujud atau sekedar memberi isyarat, maka ia harus beralih ke cara normal untuk sisa shalatnya. -pen.]
Fatwa-fatwa tentang Thaharah dan Shalatnya Orang Sakit
1. Orang yang tidak mengerjakan beberapa shalat wajib, bagaimana cara mengqadha’nya?
Syaikh Muhammad bin Utsaimin ditanya tentang orang sakit yang dioperasi, sehingga dia tidak sempat mengerjakan beberapa shalat. Apakah dia harus mengerjakan (mengqadha’) shalat-shalat itu semuanya setelah sembuh sekaligus, ataukah mengerjakannya sesuai dengan waktunya masing-masing? Dengan kata lain, apakah dia harus mengqadha’ shalat subuh yang tertinggal pada waktu shalat subuh setelah dia sembuh, shalat zhuhur pada waktu shalat zhuhur dan seterusnya?
Syaikh menjawab, “Dia harus mengqadha’nya sekaligus pada satu waktu. Sebab tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sempat mengerjakan shalat ashar pada saat perang Khandaq, maka beliau mengerjakan (mengqadha’)nya sebelum shalat maghrib. Jadi, jika seseorang ketinggalan tidak mengerjakan beberapa shalat wajib, maka dia harus mengerjakannya sekaligus semuanya dan tidak boleh
menangguhkannya.”
2. Thaharah dan shalat orang yang tidak kuat menahan keluarnya kencing.
Syaikh berkata, “Dia tidak boleh wudhu untuk shalat kecuali setelah masuk waktu shalat. Setelah mencuci kemaluannya, dia bisa melapisi dengan sesuatu agar air kencingnya tidak mengenai pakaian dan badannya. Sesudah itu dia bisa wudhu dan shalat. Dia bisa shalat beberapa kali shalat wajib dan nafilah. Jika ingin mengerjakan shalat nafilah bukan pada waktu shalat, maka dia bisa mengerjakan cara serupa, lalu wudhu dan shalat.”
3. Orang yang terus-menerus kentut, bagaimana cara bersuci dan shalatnya?
Syaikh berkata, “Jika tidak memungkinkan baginya untuk menahan kentut, artinya kentut itu keluar tanpa disengaja, maka hukumnya sama dengan hukum orang yang tidak kuat menahan keluarnya kencing. Dia bisa wudhu setelah masuk waktu shalat lalu mendirikan shalat. Jika waktu kentut itu disertai keluarnya kotoran tepat pada waktu shalat, maka shalatnya tidak batal. Allah telah berfirman:
“Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (At-Taghabun: 16)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
4. Apakah wudhu menjadi batal karena pingsan?
Syaikh menjawab pertanyaan ini, “Benar. Pingsan membatalkan wudhu, sebab pingsan lebih parah daripada tidur. Sementara tidur sendiri membatalkan wudhu jika terlalu lelap. Sebab orang yang tidur terlelap tidak bisa tahu andaikata ada sesuatu yang keluar darinya.”
5. Jika ada di badan orang yang sakit, bisakah dia bertayammum?
Syaikh menjawab pertanyaan ini, “Dia tidak boleh bertayammum dalam keadaan seperti itu. Jika memungkinkan, dia harus mencuci najis itu. Jika tidak, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun tanpa harus tayammum. Sebab tayammum tidak berpengaruh terhadap hilangnya najis. Yang dituntut darinya adalah kebersihan badannya dari najis. Jadi, sekalipun dia tayammum, toh najisnya tidak hilang dari badan dan tidak bisa menghilangkan najis dari badan.”
6. Jika orang yang sakit mengalami junub, padahal dia tidak memungkinkan menggunakan air, maka apakah dia boleh tayammum?
Syaikh menjawab, “Jika orang yang sakit junub, padahal dia tidak bisa menggunakan air, maka dia boleh bertayammum. Hal ini didasarkan kepada firman Allah,
“Dan, jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah itu.” (Al-Maidah: 6)
7. Qadha shalat orang yang hilang kesadarannya karena bius atau penyakit.
Syaikh berkata tentang masalah ini, “Selagi kesadaran orang yang sakit itu hilang karena bius atau karena penyakitnya yang sudah akut, maka dia harus mengqadha’ semua shalatnya yang tertinggal setelah kesadarannya menjadi normal, secara berurutan dan sesegera mungkin mengerjakannya menurut kesanggupannya. Hal ini didasarkan kepada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Barangsiapa tidur dan tidak mengerjakan shalat atau lupa
mengerjakannya, maka hendaklah dia mengerjakannya selagi dia mengingatnya, tidak ada kafarat bagi shalatnya itu kecuali hanya itu.”
Tidak dapat diragukan, orang yang pingsan karena sakit, atau karena dibius selama sehari, dua hari, tiga hari dan seterusnya, hukumnya sama dengan hukum orang yang tidur. Dia tidak boleh menangguhkan shalat-shalat yang tertinggal itu hingga dia mengerjakan yang sama. Bahkan dia harus langsung mengerjakan (mengqadha’)nya setelah kesadarannya menjadi normal. Tak berbeda dengan orang yang tertidur setelah bangun dan orang yang lupa setelah ingat. Jika tidak bisa menggunakan air, maka dia boleh bertayammum.”
8. Orang yang pingsan harus mengqadha’ shalat, jika jangka waktu pingsannya tidak lama.
Syaikh Abdul Aziz diberi sebuah pertanyaan, “Sebagian orang ada yang mengalami kecelakaan mobil atau lainnya, lalu mengalami gegar otak dan tidak sadar selama tiga hari, atau boleh jadi seseorang pingsan selama itu. Apakah orang semacam ini harus mengqadha’ shalat-shalat yang tidak sempat dikerjakan jika kesadarannya sudah pulih?”
Syaikh menjawab, “Jika jangka waktunya hanya sebentar, seperti tiga hari atau lebih sedikit dari itu, maka dia harus mengqadha’
shalat-shalatnya. Sebab pingsan atau tidak sadar selama jangka waktu itu bisa diserupakan dengan tidur, sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengqadha’. Pernah diriwayatkan dari sejumlah shabat, bahwa mereka pernah pingsan selama kurang dari tiga hari, dan mereka mengqadha’ shalatnya.
Namun jika jangka waktunya lebih dari tiga hari, maka dia tidak perlu mengqadha’. Hal ini didasarkan kepada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Kewajiban dibebaskan dari tiga orang, yaitu dari orang tidur hingga bangun, dari anak kecil hingga baligh, dari orang gila hingga kembali sadar.”
Orang yang tidak sadar lebih dari tiga hari, diserupakan dengan orang gila yang hilang kesadarannya secara total.”
9. Orang yang sakit tidak boleh menangguhkan shalatnya hingga sembuh, dengan alasan tidak mampu bersuci atau karena sulit
menghindari najis.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata tentang masalah ini, “Sakit tidak menghalangi untuk melaksanakan shalat, dengan alasan tidak mampu bersuci, selagi ingatannya masih normal. Orang yang sakit harus shalat menurut kesanggupannya. Dia harus bersuci dengan menggunakan air selagi sanggup. Jika tidak sanggup menggunakan air, maka dia bertayammum lalu shalat. Dia juga harus menghilangkan najis dari badan dan pakaiannya waktu shalat, atau menggantinya dengan pakaian lain yang tidak ada najisnya. Jika tidak sanggup menghilangkan najis atau mengganti dengan pakaian lain yang suci, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti itu, karena Allah telah berfirman,
“Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (At-Taghabun: 16)
10. Sakit syaraf tidak membebaskan kewajiban, selagi kesadarannya normal.
Syaikh Ibnu Utsaimin mendapat lontaran pertanyaan, “Seseorang yang mendapat gangguan syaraf setelah sekian lama menurut analisis dokter, sehingga penyakitnya itu menyebabkan berbagai masalah, seperti suka menggertak orang tuanya sendiri, takut secara berlebihan, gelisah dan hanya diam saja, apakah tidak perlu mengerjakan kewajiban-kewajiban syariat? Apakah dia berdosa karenanya? Apa nasehat Syaikh?”
Syaikh menjawab, “Dia tidak terbebas dari hukum-hukum syariat selagi kesadarannya masih normal. Namun jika kesadaran dan ingatannya sudah hilang serta tidak bisa menguasai ingatannya, maka dia terbebas dari segala kewajiban. Nasehat kami, hendaklah dia banyak berdoa dan memohon ampunan kepada Allah, berlindung kepada Allah dari bisikan syetan yang terlaknat tatkala emosinya tak terkendali. Siapa tahu Allah akan menganugerahkan kesembuhan kepadanya.”
11. Muntah bukan najis dan tidak membatalkan wudhu.
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang muntah, apakah ia najis dan membatalkan wudhu?
Syaikh menjawab, “Yang benar, muntah itu tidak membatalkan wudhu, dan segala hal yang keluar dari badan manusia tidak membatalkan wudhu, kecuali dari dua jalan: kemaluan dan dubur. Karena memang dalil tidak ada. Lalu apakah muntah itu najis? Menurut jumhur, muntah adalah najis. Tetapi kami tidak mendapatkan satu dalil pun yang mendukung pendapat ini. Kalau begitu, pada dasarnya muntah adalah suci hingga ada dalil yang menunjukkan bahwa ia adalah najis. Muntah ini tidak bisa diqiyaskan kepada kencing atau kotoran, karena ada perbedaan hakekat antara keduanya jika dilihat dari segi kotor, bau dan kebusukannya. Maka kentut yang keluar dari dubur (anus) membatalkan wudhu, sedangkan sendawa tidak membatalkan wudhu, sekalipun
kedua-duanya berupa angin yang keluar dari perut. Jadi apa yang ada di dalam perut bukanlah kotoran. Sebab kalau tidak, tidak ada perbedaan antara keduanya. Memang tidak diragukan, jika harus berhati-hati dengan menghindarinya atau mencuci pakaian atau badan yang terkena muntah.”
12. Bagaimana shalatnya orang yang sakit, jika tempat tidur para pasien tidak menghadap ke arah kiblat?
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh menjawab, “Memang para penanggung jawab di rumah sakit harus menaruh perhatian hingga masalah ini. Mereka harus merancang tempat tidur pasien mengarah ke kiblat, sehingga tidak merepotkan para pasien. Jika orang yang sakit bisa mengubah tempat tidur ke arah kiblat, maka hendaklah dia melakukannya. Jika tidak dapat, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun, sehingga hal ini bisa dimasukkan ke dalam keumuman firman Allah,
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115)
13. Jika kasurnya empuk, sahkah orang yang sakit shalat di atasnya?
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh menjawab, “Jika kasurnya amat empuk, maka boleh saja shalat di atasnya, asalkan dilapisi sesuatu di tempat kening dan tangannya. Sebab bila dilapisi, maka permukaannya menjadi keras. Jika kening ditempelkan di kasur yang empuk, tentu letak penempelan itu tidak layak, sehingga sujudnya juga tidak sah.”
14. Kapankah posisi berdiri memjadi gugur, karena keadaan yang lemah ataukah karena kesulitan berdiri?
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh menjawab, “Kedua-duanya bisa menggugurkannya. Jika seseorang tidak kuat berdiri, maka dia boleh tidak berdiri, dan jika dia kesulitan untuk berdiri, dalam pengertian kekhusyukannya akan terganggu jika berdiri, maka dia juga boleh tidak berdiri. Hal ini didasarkan kepada keumuman firman Allah,
“Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.”
Di samping itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
“Shalatlah dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan duduk. Jika tidak mampu, maka dengan telentang di atas lambung.”
15. Jika tidak bisa memberi isyarat dengan kepala, bolehkah memberi isyarat dengan mata?
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh menjawab, “Tidak pernah disebutkan di dalam Sunnah yang shahih, bahwa orang yang tidak bisa memberi isyarat dengan kepalanya, bisa memberi isyarat dengan matanya. Hadits yang dijadikan dalil para fuqaha mengenai hal ini adalah hadits dha’if. Maka dari itu Syaikhul Islam berpendapat, tidak perlu shalat sambil memberi isyarat dengan mata. Yang jelas, jika tidak ada dalil yang shahih, maka orang yang sakit tidak boleh memberi isyarat dengan matanya. Karena shalat itu merupakan ibadah, berarti harus ada perkenan dari syariat. Berdasarkan kaidah ini, maka dapat kami katakan, jika tidak dapat memberi isyarat dengan kepala, maka gerakan macam apa pun menjadi gugur, dan cukup hanya dengan hati saja.” [1]
Footnote:
[1] Berarti ada perbedaan pendapat antara pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin dengan pengarang, sebagaimana yang diuraikan sebelum ini, pent.
NB: Tulisan dalam tanda [...] adalah tambahan dari admin, diambil dari buku “Berbahagialah Wahai Orang Sakit!” karya Dr. Muhammad Al-Burkan, terbitan Pustaka At-Tibyan hal. 49.
Sumber: Hiburan Bagi Orang Sakit karya Abdullah bin Ali Al-Ju’aitsin (penerjemah: Kathur Suhardi), penerbit: Pustaka Al-Kautsar cet. Kelima, November 1999, hal. 191-206.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.