Syaikh berkata, “Ini merupakan tulisan ringkas tentang apa yang harus
dilakukang orang yang sedang sakit dalam thaharah dan shalatnya. Orang
yang sakit mempunyai hukum-hukum yang khusus, dan keadaannya mendapat
perhatian yang khusus pula dalam syariat Islam. Sebab Allah telah
mengutus Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa
kebenaran dan kelonggaran yang didasarkan kepada kemudahan. Allah
berfirman:
“Dia sekali-kali tidak menjadikam untuk kalian dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78)
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (Al-Baqarah: 185)
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupam kalian dan dengarlah serta taatlah.” (At-Taghabun: 16)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya agama itu adalah mudah.”
Beliau juga bersabda,
“Jika aku memerintahkan suatu perintah kepada kalian, maka lakukanlah menurut kesanggupan kalian.”
Berdasarkan kaidah yang fundamental ini, Allah memberi keringanan
dalam beribadah kepada orang-orang yang lemah, menurut kadar
kelemahannya, agar mereka tetap bisa beribadah kepada Allah tanpa merasa
kesulitan dan keberatan. Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin.
Adapun cara bersuci bagi orang yang sakit adalah:
1. Orang yang sakit harus bersuci dengan air, wudhu dan hadats kecil dan mandi dari hadats besar.
2. Jika tidak sanggup bersuci dengan menggunakan air karena
kondisinya yang memang lemah atau karena khawatir sakitnya bertambah
parah atau menunda kesembuhannya, maka dia boleh bertayammum.
3. Adapun cara bertayammum: Telapak tangan ditempelkan di debu yang
bersih dengan sekali tempelan, lalu ditepis-tepiskan agar debunya tidak
terlalu banyak, lalu mengusap ke seluruh wajah. Kemudian menempelkan
lagi di debu, lalu saling diusapkan tangan antara yang satu dan lainnya.
4. Jika dia sendiri tidak bisa wudhu atau tayammum, maka orang lain bisa mewudhukan atau menayammuminya.
5. Jika di sebagian anggota thaharah terdapat luka, maka dia tetap
harus membasuhinya dengan air. Namun jika terkena air, luka itu
bertambah parah, maka tangannya cukup dibasahi air, lalu diusapkan di
permukaan luka sekedarnya saja. Jika ini pun tidak memungkinkan, maka
dia bisa bertayammum.
6. Jika anggota thaharah ada yang patah, lalu ditutup perban atau
digips, maka dia cukup mengusapnya dengan air dan tidak perlu
bertayammum. Sebab usapan itu sudah dianggap sebagai pengganti dari
mandi.
7. Boleh mengusapkan tangan ke dinding saat tayammum, atau ke tempat
lain yang memang suci dan juga mengandung debu. Jika dinding itu
dilapisi sesuatu yang bukan dari jenis tanah, seperti dicat, maka tidak
boleh tayammum padanya, kecuali memang di situ ada unsur debunya.
8. Jika tidak memungkinkan tayammum di tanah atau di dinding atau
sesuatu yang ada debunya, maka boleh saja meletakkan tangan di sapu
tangan umpamanya, yang di atasnya ditaburi debu.
9. Jika dia tayammum untuk satu shalat, kemudian tetap dalam keadaan
suci hingga masak waktu shalat berikutnya, maka dia bisa shalat dengan
tayammum untuk shalat yang pertama. Sebab dia masih dalam keadaan suci
dan tidak ada sesuatu pun yang membatalkannya.
10. Orang yang sakit harus membersihkan badannya dari berbagai jenis
najis selagi dia sanggup untuk melakukannya. Jika tidak bisa, maka dia
bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun, dan tidak perlu mengulang
shalatnya setelah suci.
11. Orang yang sakit harus shalat dengan pakaian yang suci. Jika di
pakaiannya ada najis, maka dia harus mencucinya atau menggantinya dengan
pakaian lain yang suci. Jika tidak memungkinkan, maka dia bisa shalat
dalam keadaan seperti apa pun, dan tidak perlu mengulang shalatnya
setelah suci.
12. Orang yang sakit harus shalat di atas sesuatu atau di tempat yang
suci. Jika tempatnya itu ada najisnya, maka harus dicuci atau diganti
dengan yang suci atau dilapisi sesuatu yang suci. Apabila tidak
memungkinkan, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun dan
tidak perlu mengulang shalatnya setelah suci.
13. Orang yang sakit tidak boleh menangguhkan shalatnya dari waktunya
karena alasan ketidakmampuan dalam bersuci. Dia harus bersuci menurut
kesanggupannya, kemudian shalat pada waktunya, sekalipun di badan,
pakaian atau tempatnya terdapat najis.
Adapun cara shalatnya sebagai berikut:
1. Orang yang sakit harus mendirikan shalat wajib dalam keadaan
berdiri, sekalipun agak miring atau sambil bersandar ke dinding atau ke
tongkat.
2. Jika tidak bisa berdiri, dia bisa mendirikan shalat sambil duduk.
Yang paling baik ialah duduk sambil menyilangkan kaki kiri di bawah paha
kanan di tempat ruku’ dan sujud.
3. Jika tidak bisa shalat sambil duduk, maka dia berbaring pada
lambungnya dengan menghadap ke arah kiblat. Yang paling baik adalah pada
lambung kanan. Jika tidak memungkinkan berbaring pada lambung bagian
kanan dan tidak bisa menghadap ke arah kiblat, dia bisa shalat seperti
apa pun keadaannya, dan tidak perlu mengulang shalatnya.
4. Jika tidak bisa berbaring pada lambungnya, maka dia bisa berbaring
menghadap ke atas, dan kedua kakinya menghadap ke arah kiblat. Yang
paling baik ialah sedikit mengangkat kepalanya, agar bisa menghadap ke
arah kiblat. Jika cara ini tidak memungkinkan, maka dia bisa shalat
seperti apa pun keadaannya, dan tidak perlu mengulang shalatnya.
5. Orang yang sakit harus ruku’ dan sujud dalam shalatnya. Jika tidak
sanggup, maka dia bisa menganggukkan kepala, dan anggukan sujud lebih
rendah daripada anggukan ruku’. Jika dia bisa ruku’ dan tidak bisa
sujud, maka dia harus tetap ruku’, sedangkan sujud cukup dengan
menganggukkan kepala. Jika bisa sujud dan tidak bisa ruku’, maka dia
harus sujud dan menganggukan kepala tatkala ruku’.
6. Jika tidak bisa menganggukkan kepala tatkala ruku’ dan sujud, maka
dia bisa memberi isyarat dengan matanya, dengan sedikit memejam tatkala
ruku’ dan lebih banyak memejamkan mata tatkala sujud. Sedangkan memberi
isyarat dengan tangan seperti yang biasa dilakukan sebagian orang
adalah tidak benar, sebab memang tidak ada dasarnya di dalam Al-Qur’an,
Sunnah maupun pendapat para ulama.
7. Jika tidak bisa menganggukkan kepala atau memberi isyarat dengan
matanya, maka dia bisa shalat dengan hatinya. Dia niat, bertakbir,
membaca, ruku’, sujud, berdiri dan duduk dengan gerakan hatinya.
8. Orang yang sakit harus mengerjakan setiap shalat tepat pada
waktunya dan mengerjakannya menurut kesanggupannya. Jika kesulitan
melakukan shalat tepat pada waktunya, maka dia bisa menjama’ shalat
zhuhur dan ashar, maghrib dan isya’, boleh jama’ taqdim dengan
mengerjakan shalat ashar pada waktu shalat zhuhur dan shalat isya’ pada
waktu shalat maghrib, maupun jama’ ta’khir, yaitu dengan mengerjakan dua
pasangan ini pada waktu shalat yang kedua. Dia bisa memilih mana yang
lebih mudah baginya. Sedangkan shalat subuh tidak bisa dijama’.
9. Jika orang yang sakit dalam perjalanan, karena dia hendak berobat
di luar daerahnya, maka dia bisa meng-qashar shalat yang terdiri dari
empat rakaat, sehingga dia bisa shalat zhuhur, ashar dan isya’ dengan
dua rakaat, hingga kembali ke daerahnya, baik masanya lama maupun
sebentar.
[Catatan: Kalau orang yang sakit secara tiba-tiba dalam shalat
membaik, lalu bisa melakukan seluruh gerakan yang sebelumnya tidak bisa
dilakukan, seperti berdiri, duduk, rukuk, sujud atau sekedar memberi
isyarat, maka ia harus beralih ke cara normal untuk sisa shalatnya.
-pen.]
Fatwa-fatwa tentang Thaharah dan Shalatnya Orang Sakit
1. Orang yang tidak mengerjakan beberapa shalat wajib, bagaimana cara mengqadha’nya?
Syaikh Muhammad bin Utsaimin ditanya tentang orang sakit yang
dioperasi, sehingga dia tidak sempat mengerjakan beberapa shalat. Apakah
dia harus mengerjakan (mengqadha’) shalat-shalat itu semuanya setelah
sembuh sekaligus, ataukah mengerjakannya sesuai dengan waktunya
masing-masing? Dengan kata lain, apakah dia harus mengqadha’ shalat
subuh yang tertinggal pada waktu shalat subuh setelah dia sembuh, shalat
zhuhur pada waktu shalat zhuhur dan seterusnya?
Syaikh menjawab, “Dia harus mengqadha’nya sekaligus pada satu waktu.
Sebab tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sempat mengerjakan
shalat ashar pada saat perang Khandaq, maka beliau mengerjakan
(mengqadha’)nya sebelum shalat maghrib. Jadi, jika seseorang ketinggalan
tidak mengerjakan beberapa shalat wajib, maka dia harus mengerjakannya
sekaligus semuanya dan tidak boleh
menangguhkannya.”
2. Thaharah dan shalat orang yang tidak kuat menahan keluarnya kencing.
Syaikh berkata, “Dia tidak boleh wudhu untuk shalat kecuali setelah
masuk waktu shalat. Setelah mencuci kemaluannya, dia bisa melapisi
dengan sesuatu agar air kencingnya tidak mengenai pakaian dan badannya.
Sesudah itu dia bisa wudhu dan shalat. Dia bisa shalat beberapa kali
shalat wajib dan nafilah. Jika ingin mengerjakan shalat nafilah bukan
pada waktu shalat, maka dia bisa mengerjakan cara serupa, lalu wudhu dan
shalat.”
3. Orang yang terus-menerus kentut, bagaimana cara bersuci dan shalatnya?
Syaikh berkata, “Jika tidak memungkinkan baginya untuk menahan
kentut, artinya kentut itu keluar tanpa disengaja, maka hukumnya sama
dengan hukum orang yang tidak kuat menahan keluarnya kencing. Dia bisa
wudhu setelah masuk waktu shalat lalu mendirikan shalat. Jika waktu
kentut itu disertai keluarnya kotoran tepat pada waktu shalat, maka
shalatnya tidak batal. Allah telah berfirman:
“Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (At-Taghabun: 16)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
4. Apakah wudhu menjadi batal karena pingsan?
Syaikh menjawab pertanyaan ini, “Benar. Pingsan membatalkan wudhu,
sebab pingsan lebih parah daripada tidur. Sementara tidur sendiri
membatalkan wudhu jika terlalu lelap. Sebab orang yang tidur terlelap
tidak bisa tahu andaikata ada sesuatu yang keluar darinya.”
5. Jika ada di badan orang yang sakit, bisakah dia bertayammum?
Syaikh menjawab pertanyaan ini, “Dia tidak boleh bertayammum dalam
keadaan seperti itu. Jika memungkinkan, dia harus mencuci najis itu.
Jika tidak, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun tanpa
harus tayammum. Sebab tayammum tidak berpengaruh terhadap hilangnya
najis. Yang dituntut darinya adalah kebersihan badannya dari najis.
Jadi, sekalipun dia tayammum, toh najisnya tidak hilang dari badan dan
tidak bisa menghilangkan najis dari badan.”
6. Jika orang yang sakit mengalami junub, padahal dia tidak memungkinkan menggunakan air, maka apakah dia boleh tayammum?
Syaikh menjawab, “Jika orang yang sakit junub, padahal dia tidak bisa
menggunakan air, maka dia boleh bertayammum. Hal ini didasarkan kepada
firman Allah,
“Dan, jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak
memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih),
sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah itu.” (Al-Maidah: 6)
7. Qadha shalat orang yang hilang kesadarannya karena bius atau penyakit.
Syaikh berkata tentang masalah ini, “Selagi kesadaran orang yang
sakit itu hilang karena bius atau karena penyakitnya yang sudah akut,
maka dia harus mengqadha’ semua shalatnya yang tertinggal setelah
kesadarannya menjadi normal, secara berurutan dan sesegera mungkin
mengerjakannya menurut kesanggupannya. Hal ini didasarkan kepada hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Barangsiapa tidur dan tidak mengerjakan shalat atau lupa
mengerjakannya, maka hendaklah dia mengerjakannya selagi dia
mengingatnya, tidak ada kafarat bagi shalatnya itu kecuali hanya itu.”
Tidak dapat diragukan, orang yang pingsan karena sakit, atau karena
dibius selama sehari, dua hari, tiga hari dan seterusnya, hukumnya sama
dengan hukum orang yang tidur. Dia tidak boleh menangguhkan
shalat-shalat yang tertinggal itu hingga dia mengerjakan yang sama.
Bahkan dia harus langsung mengerjakan (mengqadha’)nya setelah
kesadarannya menjadi normal. Tak berbeda dengan orang yang tertidur
setelah bangun dan orang yang lupa setelah ingat. Jika tidak bisa
menggunakan air, maka dia boleh bertayammum.”
8. Orang yang pingsan harus mengqadha’ shalat, jika jangka waktu pingsannya tidak lama.
Syaikh Abdul Aziz diberi sebuah pertanyaan, “Sebagian orang ada yang
mengalami kecelakaan mobil atau lainnya, lalu mengalami gegar otak dan
tidak sadar selama tiga hari, atau boleh jadi seseorang pingsan selama
itu. Apakah orang semacam ini harus mengqadha’ shalat-shalat yang tidak
sempat dikerjakan jika kesadarannya sudah pulih?”
Syaikh menjawab, “Jika jangka waktunya hanya sebentar, seperti tiga hari atau lebih sedikit dari itu, maka dia harus mengqadha’
shalat-shalatnya. Sebab pingsan atau tidak sadar selama jangka waktu itu
bisa diserupakan dengan tidur, sehingga tidak ada alasan untuk tidak
mengqadha’. Pernah diriwayatkan dari sejumlah shabat, bahwa mereka
pernah pingsan selama kurang dari tiga hari, dan mereka mengqadha’
shalatnya.
Namun jika jangka waktunya lebih dari tiga hari, maka dia tidak perlu
mengqadha’. Hal ini didasarkan kepada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam,
“Kewajiban dibebaskan dari tiga orang, yaitu dari orang tidur hingga
bangun, dari anak kecil hingga baligh, dari orang gila hingga kembali
sadar.”
Orang yang tidak sadar lebih dari tiga hari, diserupakan dengan orang gila yang hilang kesadarannya secara total.”
9. Orang yang sakit tidak boleh menangguhkan shalatnya hingga sembuh, dengan alasan tidak mampu bersuci atau karena sulit
menghindari najis.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata tentang masalah ini, “Sakit tidak
menghalangi untuk melaksanakan shalat, dengan alasan tidak mampu
bersuci, selagi ingatannya masih normal. Orang yang sakit harus shalat
menurut kesanggupannya. Dia harus bersuci dengan menggunakan air selagi
sanggup. Jika tidak sanggup menggunakan air, maka dia bertayammum lalu
shalat. Dia juga harus menghilangkan najis dari badan dan pakaiannya
waktu shalat, atau menggantinya dengan pakaian lain yang tidak ada
najisnya. Jika tidak sanggup menghilangkan najis atau mengganti dengan
pakaian lain yang suci, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti itu,
karena Allah telah berfirman,
“Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (At-Taghabun: 16)
10. Sakit syaraf tidak membebaskan kewajiban, selagi kesadarannya normal.
Syaikh Ibnu Utsaimin mendapat lontaran pertanyaan, “Seseorang yang
mendapat gangguan syaraf setelah sekian lama menurut analisis dokter,
sehingga penyakitnya itu menyebabkan berbagai masalah, seperti suka
menggertak orang tuanya sendiri, takut secara berlebihan, gelisah dan
hanya diam saja, apakah tidak perlu mengerjakan kewajiban-kewajiban
syariat? Apakah dia berdosa karenanya? Apa nasehat Syaikh?”
Syaikh menjawab, “Dia tidak terbebas dari hukum-hukum syariat selagi
kesadarannya masih normal. Namun jika kesadaran dan ingatannya sudah
hilang serta tidak bisa menguasai ingatannya, maka dia terbebas dari
segala kewajiban. Nasehat kami, hendaklah dia banyak berdoa dan memohon
ampunan kepada Allah, berlindung kepada Allah dari bisikan syetan yang
terlaknat tatkala emosinya tak terkendali. Siapa tahu Allah akan
menganugerahkan kesembuhan kepadanya.”
11. Muntah bukan najis dan tidak membatalkan wudhu.
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang muntah, apakah ia najis dan membatalkan wudhu?
Syaikh menjawab, “Yang benar, muntah itu tidak membatalkan wudhu, dan
segala hal yang keluar dari badan manusia tidak membatalkan wudhu,
kecuali dari dua jalan: kemaluan dan dubur. Karena memang dalil tidak
ada. Lalu apakah muntah itu najis? Menurut jumhur, muntah adalah najis.
Tetapi kami tidak mendapatkan satu dalil pun yang mendukung pendapat
ini. Kalau begitu, pada dasarnya muntah adalah suci hingga ada dalil
yang menunjukkan bahwa ia adalah najis. Muntah ini tidak bisa diqiyaskan
kepada kencing atau kotoran, karena ada perbedaan hakekat antara
keduanya jika dilihat dari segi kotor, bau dan kebusukannya. Maka kentut
yang keluar dari dubur (anus) membatalkan wudhu, sedangkan sendawa
tidak membatalkan wudhu, sekalipun
kedua-duanya berupa angin yang keluar dari perut. Jadi apa yang ada di
dalam perut bukanlah kotoran. Sebab kalau tidak, tidak ada perbedaan
antara keduanya. Memang tidak diragukan, jika harus berhati-hati dengan
menghindarinya atau mencuci pakaian atau badan yang terkena muntah.”
12. Bagaimana shalatnya orang yang sakit, jika tempat tidur para pasien tidak menghadap ke arah kiblat?
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh
menjawab, “Memang para penanggung jawab di rumah sakit harus menaruh
perhatian hingga masalah ini. Mereka harus merancang tempat tidur pasien
mengarah ke kiblat, sehingga tidak merepotkan para pasien. Jika orang
yang sakit bisa mengubah tempat tidur ke arah kiblat, maka hendaklah dia
melakukannya. Jika tidak dapat, maka dia bisa shalat dalam keadaan
seperti apa pun, sehingga hal ini bisa dimasukkan ke dalam keumuman
firman Allah,
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115)
13. Jika kasurnya empuk, sahkah orang yang sakit shalat di atasnya?
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh
menjawab, “Jika kasurnya amat empuk, maka boleh saja shalat di atasnya,
asalkan dilapisi sesuatu di tempat kening dan tangannya. Sebab bila
dilapisi, maka permukaannya menjadi keras. Jika kening ditempelkan di
kasur yang empuk, tentu letak penempelan itu tidak layak, sehingga
sujudnya juga tidak sah.”
14. Kapankah posisi berdiri memjadi gugur, karena keadaan yang lemah ataukah karena kesulitan berdiri?
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh
menjawab, “Kedua-duanya bisa menggugurkannya. Jika seseorang tidak kuat
berdiri, maka dia boleh tidak berdiri, dan jika dia kesulitan untuk
berdiri, dalam pengertian kekhusyukannya akan terganggu jika berdiri,
maka dia juga boleh tidak berdiri. Hal ini didasarkan kepada keumuman
firman Allah,
“Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.”
Di samping itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
“Shalatlah dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan duduk. Jika tidak mampu, maka dengan telentang di atas lambung.”
15. Jika tidak bisa memberi isyarat dengan kepala, bolehkah memberi isyarat dengan mata?
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh
menjawab, “Tidak pernah disebutkan di dalam Sunnah yang shahih, bahwa
orang yang tidak bisa memberi isyarat dengan kepalanya, bisa memberi
isyarat dengan matanya. Hadits yang dijadikan dalil para fuqaha mengenai
hal ini adalah hadits dha’if. Maka dari itu Syaikhul Islam berpendapat,
tidak perlu shalat sambil memberi isyarat dengan mata. Yang jelas, jika
tidak ada dalil yang shahih, maka orang yang sakit tidak boleh memberi
isyarat dengan matanya. Karena shalat itu merupakan ibadah, berarti
harus ada perkenan dari syariat. Berdasarkan kaidah ini, maka dapat kami
katakan, jika tidak dapat memberi isyarat dengan kepala, maka gerakan
macam apa pun menjadi gugur, dan cukup hanya dengan hati saja.” [1]
Footnote:
[1] Berarti ada perbedaan pendapat antara pendapat Syaikh Ibnu
Utsaimin dengan pengarang, sebagaimana yang diuraikan sebelum ini, pent.
NB: Tulisan dalam tanda [...] adalah tambahan dari admin, diambil
dari buku “Berbahagialah Wahai Orang Sakit!” karya Dr. Muhammad
Al-Burkan, terbitan Pustaka At-Tibyan hal. 49.
Sumber: Hiburan Bagi Orang Sakit karya Abdullah bin Ali Al-Ju’aitsin
(penerjemah: Kathur Suhardi), penerbit: Pustaka Al-Kautsar cet. Kelima,
November 1999, hal. 191-206.
16 Desember 2012
Cara Thaharah dan Shalat Bagi Orang yang Sakit
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar