“Perselisihan umatku adalah rahmat“. Hampir tidak ada di antara kita yang tak pernah mendengar atau membaca had
its ini.
Ia sangat begitu akrab dan populer sekali, baik di kalangan penceramah, aktivis dakwah, penulis, bahkan oleh masyarakat biasa masa kini. Hanya saja, sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban:
Apakah kemasyhuran ungkapan tersebut berarti kualitasnya bisa dipertanggung jawabkan?!
Pernahkah terlintas dalam benak kita untuk mengkritisi ungkapan tersebut dari sudut sanad dan matan-nya?! Tulisan berikut mencoba untuk mengorek jawabannya.
Semoga Allah menambahkan ilmu yang bermanfaat kepada kita. Aamiin.
Teks Hadist
اخْتِلاَفُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
“Perselisihan umatku adalah rahmat.”
Penjelasan:
Hadits ini TIDAK ADA ASALNYA. Para pakar hadits telah berusaha untuk mendapatkan sanadnya, tetapi mereka tidak mendapatkannya, sehingga al-Hafizh as-Suyuthi berkata dalam al-Jami’ ash-Shaghir:
“Barangkali saja hadits ini dikeluarkan dalam sebagian kitab ulama yang belum sampai kepada kita!” [1]
Syaikh Al-Albani berkata, “Menurutku ini sangat jauh sekali, karena konsekuensinya bahwa ada sebagian hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang luput dari umat Islam. Hal ini tidak layak diyakini seorang muslim”.
Al-Munawi menukil dari as-Subki bahwa dia berkata: “Hadits ini tidak dikenal ahli hadits dan saya belum mendapatkannya baik dengan sanad shahih, dha’if (lemah), maupun maudhu’ (palsu).” Dan disetujui oleh Syaikh Zakariya al-Anshori dalam Ta’liq Tafsir Al-Baidhowi 2/92. [2]
Sebagian ulama berusaha untuk menguatkan hadits ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
“Hadits ini sangat populer sekali. Sering ditanyakan dan banyak di kalangan imam hadits menilai bahwa ungkapan ini tidak ada asalnya, tetapi al-Khothobi menyebutkan dalam Ghoribul Hadits… Ucapannya kurang memuaskan dalam penisbatan hadits ini tetapi saya merasa bahwa hadits ini ada asalnya”. [3]
Sungguh, ini adalah suatu hal yang sangat aneh sekali dari Al-Hafizh Ibnu Hajar –semoga Allah mengampuninya-. Bagaimana beliau merasa bahwa hadits ini ada asalnya, padahal tidak ada sanadnya?! Bukankah beliau sendiri mengakui bahwa mayoritas ulama ahli hadits telah menilai hadits ini tidak ada asalnya?! Lantas, kenapa harus menggunakan perasaan?!
Kami juga mendapati sebuah risalah yang ditulis oleh Syaikh Su’ud al-Funaisan berjudul “Ikhtilaf Ummati Rohmah, Riwayatan wa Diroyatan”, beliau menguatkan bahwa hadits ini adalah shohih dari Nabi.
Ini juga suatu hal yang aneh, karena semua ulama yang beliau katakan mengeluarkan hadits ini seperti Al-Khothobi, Nashr al-Maqdisi dan lain-lain. Mereka hanyalah menyebutkan tanpa membawakan sanad. Lantas, mungkinkah suatu hadits dikatakan shohih tanpa adanya sanad?! [4]
Mengkritisi Matan Hadits
Makna hadits ini juga dikritik oleh para ulama. Berkata al-Allamah Ibnu Hazm setelah menjelaskan bahwasanya ini bukanlah hadits: “Dan ini adalah perkataan yang paling rusak.
Sebab, jika perselisihan itu adalah rahmat, maka berarti persatuan adalah adzab. Ini tidak mungkin dikatakan seorang muslim, karena tidak akan berkumpul antara persatuan dan perselisihan, rahmat dan adzab”. [5]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani juga berkata: “Termasuk diantara dampak negatif hadits ini adalah banyak diantara kaum muslimin yang terus bergelimang dalam perselisihan yang sangat runcing diantara madzhab empat, dan mereka tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan hadits yang shohih sebagaimana perintah para imam mereka, bahkan menganggap madzhab seperti syariat yang berbeda-beda!!
Mereka mengatakan hal ini padahal mereka sendiri mengetahui bahwa di antara perselisihan mereka ada yang tidak mungkin disatukan kecuali dengan mengembalikan kepada dalil, inilah yang tidak mereka lakukan!
Dengan demikian mereka telah menisbatkan kepada syari’at suatu kontradiksi! Kiranya, ini saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ini bukanlah dari Allah bila mereka merenungkan firman Allah tentang Al-Qur’an:
“Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa: 82)
Ayat ini secara tegas menunjukkan bahwa perselisihan bukanlah dari Allah, lantas bagaimana kiranya dijadikan sebagai suatu syari’at yang diikuti dan suatu rahmat?!
Karena sebab hadits ini dan hadits-hadits serupa, banyak diantara kaum muslimin semenjak imam empat madzhab selalu berselisih dalam banyak masalah, baik dalam aqidah maupun ibadah.
Seandainya mereka menilai bahwa perselisihan adalah tercela sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ud dan selainnya serta didukung dengan banyak ayat Al-Qur’an dan hadits yang banyak sekali, maka niscaya mereka akan berusaha untuk bersatu. Namun, apakah mereka akan melakukannya bila mereka meyakini bahwa perselisihan adalah rohmat?!!
Kesimpulannya, perselisihan adalah tercela dalam syari’at [6]. Maka sewajibnya bagi setiap muslim untuk berusaha semaksimal mungkin untuk melepaskan diri dari belenggu perselisihan, karena hal itu merupakan faktor lemahnya umat, sebagaimana firman Allah:
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Anfal: 46)
Adapun ridho dengan perselisihan, apalagi menamainya sebagai suatu rohmat, maka jelas ini menyelisihi ayat-ayat Al-Qur’an yang secara tegas mencela perselisihan, tidak ada sandarannya kecuali hadits yang tidak ada asalnya dari Rasulullah ini.” [7]
Salah Menyikapi Perselisihan
Saudaraku seiman yang kami cintai, kita semua mengetahui bahwa perselisihan adalah suatu perkara yang tidak bisa dielakkan, baik dalam aqidah, ibadah maupun muamalat.
Allah berfirman:
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.” (QS. Hud: 118-119)
Fakta di atas mengharuskan kita untuk memahami masalah perselisihan, karena ternyata banyak juga orang yang terpeleset dan salah dalam memahaminya;
Ada yang menjadikan perselisihan sebagai senjata pamungkas untuk menyuburkan kesalahan, kebid’ahan bahkan kekufuran, sehingga mereka memilih pendapat-pendapat nyeleneh seperti bolehnya acara tahlilan, manakiban, bahkan berani menentang hukum-hukum Islam dengan alasan :
“Ini adalah masalah khilafiyyah“,
“Jangan mempersulit manusia”.
Bahkan, betapa banyak sekarang yang mengkritisi masalah-masalah aqidah dan hukum yang telah mapan dengan alasan ”kemodernan zaman” dan “kebebasan berpendapat” sebagaimana didengungkan oleh para cendekiawan zaman sekarang. [8]
Sebaliknya, ada juga yang sesak dada menghadapi perselisihan, sekalipun dalam masalah fiqih dan ruang lingkup ijtihad ulama, sehingga ada sebagian mereka yang tidak mau sholat di belakang imam yang berbeda pendapat dengannya seperti masalah sedekap ketika i’tidal, mendahulukan lutut ketika sujud, menggerakan jari ketika tasyahhud dan lain sebagainya. Ini juga termasuk kesalahan.
Memahami Persilisihan.
Oleh karena itu, sangat penting kiranya kita jelaskan sikap yang benar dalam menyikapi perselisihan agar kita tidak berlebihan dan tidak juga meremehkan. Dari keterangan para ulama tentang masalah ini [9], dapat kami tarik suatu kesimpulan bahwa perselisihan itu terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Perselisihan tercela yaitu setiap perselisihan yang menyelisihi dalil yang jelas dari Al-Qur’an atau hadits atau ijma’ ulama.
Hal ini memiliki beberapa gambaran:
1). Perselisihan dalam masalah aqidah atau hukum yang telah mapan, seperti perselisihan ahli bid’ah dari kalangan Syi’ah, Khowarij, Mu’tazilah dan sebagainya. [10]
2). Perselisihan orang-orang yang tidak memiliki alat ijtihad seperti perselisihan orang-orang yang sok pintar, padahal mereka adalah bodoh. [11]
3). Perselisihan yang ganjil sekalipun dari seorang tokoh ulama, karena ini terhitung sebagai ketergelinciran seorang ulama yang tidak boleh diikuti. [12]
Jadi, tidak semua perselisihan itu dianggap. Misalnya, perselisihan Iblis Liberal bahwa semua agama sama, ingkar hukum rajam dan potong tangan, hukum waris, jilbab dan sebagainya, ini adalah perselisihan yang tidak perlu dianggap dan didengarkan.
Demikian juga perselisihan Mu’tazilah modern bahwa tidak ada siksa kubur, Nabi Isa tidak turun di akhir zaman, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang tidak perlu dilirik.
Demikian pula perselisihan sebagian orang yang berfiqih ganjil bahwa wanita nifas tetap wajib sholat, daging ayam haram, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang tak perlu digubris.
‘Tidak seluruh perselisihan itu dianggap Kecuali perselisihan yang memang memiliki dalil yang kuat.’ [13]
Kedua: Perselisihan yang tidak tercela yaitu perselisihan di kalangan ulama yang telah mencapai derajat ijtihad dalam masalah-masalah ijtihadiyyah, biasanya dalam masalah-masalah hukum fiqih.
Imam Syafi’i berkata: “Perselisihan itu ada dua macam, pertama hukumnya haram dan saya tidak mengatakannya pada yang jenis kedua”. [14] Hal ini memiliki beberapa gambaran:
1). Masalah yang belum ada dalilnya secara tertentu.
2). Masalah yang ada dalilnya tetapi tidak jelas.
3). Masalah yang ada dalilnya yang jelas tetapi tidak shohih atau diperselisihkan keabsahannya atau ada penentangnya yang lebih kuat. [15]
Jadi, dalam masalah-masalah yang diperselisihkan ulama hendaknya kita sikapi dengan lapang dada dengan tetap saling menghormati saudara kita yang tidak sependapat, tanpa saling menghujat dan mencela sehingga menyulut api perselisihan.
Imam Qotadah: “Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan ulama, maka hidungnya belum mencium bau fiqih.” [16]
Imam Syafi’i pernah berkata kepada Yunus ash-Shadafi: “Wahai Abu Musa, apakah kita tidak bisa untuk tetap bersahabat sekalipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?!” [17]
Sekalipun hal ini tidak menutup pintu dialog ilmiyah yang penuh adab untuk mencari kebenaran dan pendapat terkuat, karena yang kita cari semua adalah kebenaran.
Camkanlah firman Allah, yang artinya:
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)
Ia sangat begitu akrab dan populer sekali, baik di kalangan penceramah, aktivis dakwah, penulis, bahkan oleh masyarakat biasa masa kini. Hanya saja, sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban:
Apakah kemasyhuran ungkapan tersebut berarti kualitasnya bisa dipertanggung jawabkan?!
Pernahkah terlintas dalam benak kita untuk mengkritisi ungkapan tersebut dari sudut sanad dan matan-nya?! Tulisan berikut mencoba untuk mengorek jawabannya.
Semoga Allah menambahkan ilmu yang bermanfaat kepada kita. Aamiin.
Teks Hadist
اخْتِلاَفُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
“Perselisihan umatku adalah rahmat.”
Penjelasan:
Hadits ini TIDAK ADA ASALNYA. Para pakar hadits telah berusaha untuk mendapatkan sanadnya, tetapi mereka tidak mendapatkannya, sehingga al-Hafizh as-Suyuthi berkata dalam al-Jami’ ash-Shaghir:
“Barangkali saja hadits ini dikeluarkan dalam sebagian kitab ulama yang belum sampai kepada kita!” [1]
Syaikh Al-Albani berkata, “Menurutku ini sangat jauh sekali, karena konsekuensinya bahwa ada sebagian hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang luput dari umat Islam. Hal ini tidak layak diyakini seorang muslim”.
Al-Munawi menukil dari as-Subki bahwa dia berkata: “Hadits ini tidak dikenal ahli hadits dan saya belum mendapatkannya baik dengan sanad shahih, dha’if (lemah), maupun maudhu’ (palsu).” Dan disetujui oleh Syaikh Zakariya al-Anshori dalam Ta’liq Tafsir Al-Baidhowi 2/92. [2]
Sebagian ulama berusaha untuk menguatkan hadits ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
“Hadits ini sangat populer sekali. Sering ditanyakan dan banyak di kalangan imam hadits menilai bahwa ungkapan ini tidak ada asalnya, tetapi al-Khothobi menyebutkan dalam Ghoribul Hadits… Ucapannya kurang memuaskan dalam penisbatan hadits ini tetapi saya merasa bahwa hadits ini ada asalnya”. [3]
Sungguh, ini adalah suatu hal yang sangat aneh sekali dari Al-Hafizh Ibnu Hajar –semoga Allah mengampuninya-. Bagaimana beliau merasa bahwa hadits ini ada asalnya, padahal tidak ada sanadnya?! Bukankah beliau sendiri mengakui bahwa mayoritas ulama ahli hadits telah menilai hadits ini tidak ada asalnya?! Lantas, kenapa harus menggunakan perasaan?!
Kami juga mendapati sebuah risalah yang ditulis oleh Syaikh Su’ud al-Funaisan berjudul “Ikhtilaf Ummati Rohmah, Riwayatan wa Diroyatan”, beliau menguatkan bahwa hadits ini adalah shohih dari Nabi.
Ini juga suatu hal yang aneh, karena semua ulama yang beliau katakan mengeluarkan hadits ini seperti Al-Khothobi, Nashr al-Maqdisi dan lain-lain. Mereka hanyalah menyebutkan tanpa membawakan sanad. Lantas, mungkinkah suatu hadits dikatakan shohih tanpa adanya sanad?! [4]
Mengkritisi Matan Hadits
Makna hadits ini juga dikritik oleh para ulama. Berkata al-Allamah Ibnu Hazm setelah menjelaskan bahwasanya ini bukanlah hadits: “Dan ini adalah perkataan yang paling rusak.
Sebab, jika perselisihan itu adalah rahmat, maka berarti persatuan adalah adzab. Ini tidak mungkin dikatakan seorang muslim, karena tidak akan berkumpul antara persatuan dan perselisihan, rahmat dan adzab”. [5]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani juga berkata: “Termasuk diantara dampak negatif hadits ini adalah banyak diantara kaum muslimin yang terus bergelimang dalam perselisihan yang sangat runcing diantara madzhab empat, dan mereka tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan hadits yang shohih sebagaimana perintah para imam mereka, bahkan menganggap madzhab seperti syariat yang berbeda-beda!!
Mereka mengatakan hal ini padahal mereka sendiri mengetahui bahwa di antara perselisihan mereka ada yang tidak mungkin disatukan kecuali dengan mengembalikan kepada dalil, inilah yang tidak mereka lakukan!
Dengan demikian mereka telah menisbatkan kepada syari’at suatu kontradiksi! Kiranya, ini saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ini bukanlah dari Allah bila mereka merenungkan firman Allah tentang Al-Qur’an:
“Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa: 82)
Ayat ini secara tegas menunjukkan bahwa perselisihan bukanlah dari Allah, lantas bagaimana kiranya dijadikan sebagai suatu syari’at yang diikuti dan suatu rahmat?!
Karena sebab hadits ini dan hadits-hadits serupa, banyak diantara kaum muslimin semenjak imam empat madzhab selalu berselisih dalam banyak masalah, baik dalam aqidah maupun ibadah.
Seandainya mereka menilai bahwa perselisihan adalah tercela sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ud dan selainnya serta didukung dengan banyak ayat Al-Qur’an dan hadits yang banyak sekali, maka niscaya mereka akan berusaha untuk bersatu. Namun, apakah mereka akan melakukannya bila mereka meyakini bahwa perselisihan adalah rohmat?!!
Kesimpulannya, perselisihan adalah tercela dalam syari’at [6]. Maka sewajibnya bagi setiap muslim untuk berusaha semaksimal mungkin untuk melepaskan diri dari belenggu perselisihan, karena hal itu merupakan faktor lemahnya umat, sebagaimana firman Allah:
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Anfal: 46)
Adapun ridho dengan perselisihan, apalagi menamainya sebagai suatu rohmat, maka jelas ini menyelisihi ayat-ayat Al-Qur’an yang secara tegas mencela perselisihan, tidak ada sandarannya kecuali hadits yang tidak ada asalnya dari Rasulullah ini.” [7]
Salah Menyikapi Perselisihan
Saudaraku seiman yang kami cintai, kita semua mengetahui bahwa perselisihan adalah suatu perkara yang tidak bisa dielakkan, baik dalam aqidah, ibadah maupun muamalat.
Allah berfirman:
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.” (QS. Hud: 118-119)
Fakta di atas mengharuskan kita untuk memahami masalah perselisihan, karena ternyata banyak juga orang yang terpeleset dan salah dalam memahaminya;
Ada yang menjadikan perselisihan sebagai senjata pamungkas untuk menyuburkan kesalahan, kebid’ahan bahkan kekufuran, sehingga mereka memilih pendapat-pendapat nyeleneh seperti bolehnya acara tahlilan, manakiban, bahkan berani menentang hukum-hukum Islam dengan alasan :
“Ini adalah masalah khilafiyyah“,
“Jangan mempersulit manusia”.
Bahkan, betapa banyak sekarang yang mengkritisi masalah-masalah aqidah dan hukum yang telah mapan dengan alasan ”kemodernan zaman” dan “kebebasan berpendapat” sebagaimana didengungkan oleh para cendekiawan zaman sekarang. [8]
Sebaliknya, ada juga yang sesak dada menghadapi perselisihan, sekalipun dalam masalah fiqih dan ruang lingkup ijtihad ulama, sehingga ada sebagian mereka yang tidak mau sholat di belakang imam yang berbeda pendapat dengannya seperti masalah sedekap ketika i’tidal, mendahulukan lutut ketika sujud, menggerakan jari ketika tasyahhud dan lain sebagainya. Ini juga termasuk kesalahan.
Memahami Persilisihan.
Oleh karena itu, sangat penting kiranya kita jelaskan sikap yang benar dalam menyikapi perselisihan agar kita tidak berlebihan dan tidak juga meremehkan. Dari keterangan para ulama tentang masalah ini [9], dapat kami tarik suatu kesimpulan bahwa perselisihan itu terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Perselisihan tercela yaitu setiap perselisihan yang menyelisihi dalil yang jelas dari Al-Qur’an atau hadits atau ijma’ ulama.
Hal ini memiliki beberapa gambaran:
1). Perselisihan dalam masalah aqidah atau hukum yang telah mapan, seperti perselisihan ahli bid’ah dari kalangan Syi’ah, Khowarij, Mu’tazilah dan sebagainya. [10]
2). Perselisihan orang-orang yang tidak memiliki alat ijtihad seperti perselisihan orang-orang yang sok pintar, padahal mereka adalah bodoh. [11]
3). Perselisihan yang ganjil sekalipun dari seorang tokoh ulama, karena ini terhitung sebagai ketergelinciran seorang ulama yang tidak boleh diikuti. [12]
Jadi, tidak semua perselisihan itu dianggap. Misalnya, perselisihan Iblis Liberal bahwa semua agama sama, ingkar hukum rajam dan potong tangan, hukum waris, jilbab dan sebagainya, ini adalah perselisihan yang tidak perlu dianggap dan didengarkan.
Demikian juga perselisihan Mu’tazilah modern bahwa tidak ada siksa kubur, Nabi Isa tidak turun di akhir zaman, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang tidak perlu dilirik.
Demikian pula perselisihan sebagian orang yang berfiqih ganjil bahwa wanita nifas tetap wajib sholat, daging ayam haram, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang tak perlu digubris.
‘Tidak seluruh perselisihan itu dianggap Kecuali perselisihan yang memang memiliki dalil yang kuat.’ [13]
Kedua: Perselisihan yang tidak tercela yaitu perselisihan di kalangan ulama yang telah mencapai derajat ijtihad dalam masalah-masalah ijtihadiyyah, biasanya dalam masalah-masalah hukum fiqih.
Imam Syafi’i berkata: “Perselisihan itu ada dua macam, pertama hukumnya haram dan saya tidak mengatakannya pada yang jenis kedua”. [14] Hal ini memiliki beberapa gambaran:
1). Masalah yang belum ada dalilnya secara tertentu.
2). Masalah yang ada dalilnya tetapi tidak jelas.
3). Masalah yang ada dalilnya yang jelas tetapi tidak shohih atau diperselisihkan keabsahannya atau ada penentangnya yang lebih kuat. [15]
Jadi, dalam masalah-masalah yang diperselisihkan ulama hendaknya kita sikapi dengan lapang dada dengan tetap saling menghormati saudara kita yang tidak sependapat, tanpa saling menghujat dan mencela sehingga menyulut api perselisihan.
Imam Qotadah: “Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan ulama, maka hidungnya belum mencium bau fiqih.” [16]
Imam Syafi’i pernah berkata kepada Yunus ash-Shadafi: “Wahai Abu Musa, apakah kita tidak bisa untuk tetap bersahabat sekalipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?!” [17]
Sekalipun hal ini tidak menutup pintu dialog ilmiyah yang penuh adab untuk mencari kebenaran dan pendapat terkuat, karena yang kita cari semua adalah kebenaran.
Camkanlah firman Allah, yang artinya:
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)
0 komentar:
Posting Komentar