Ziarah Kubur yang Disyariatkan
Contoh dari ziarah kubur yang disyariatkan adalah mendoakan si mayit,
sebagaimana dibolehkan juga melaksanakan shalat jenazah untuknya. Dasar
dari hal ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menziarahi kubur
Baqi’ dan kubur pada syuhada’ Uhud. Kemudian beliau mengajari para
sahabatnya, jika mereka menziarahi kubur hendaklah membaca do’a:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إنْ
شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ يَرْحَمُ اللَّهُ
الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَمِنْكُمْ وَالْمُسْتَأْخِرِين نَسْأَلُ
اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ ، اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا
أَجْرَهُمْ وَلَا تَفْتِنَّا بَعْدَهُمْ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُمْ
“Semoga keselamatan bagi kalian wahai negeri (peristirahatan
sementara) kaum mukminin, dan kami insya Allah akan bertemu kalian.
Semoga Allah merahmati kalian yang lebih dahulu dari kami dan kami pun
akan menyusul kalian. Kami memohon pada Allah keselamatan pada kami dan
kalian. Ya Allah, janganlah halangi ganjaran bagi mereka. Janganlah beri
siksaan kepada mereka setelah itu. Ampunilah dosa-dosa kami dan
mereka.”
Demikian pula setiap do’a orang mukmin untuk para nabi dan selainnya,
sebagaimana kita temukan dalam pensyariatan shalawat kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam hadits yang shahih,
إذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ
صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ مَرَّةً وَاحِدَةً
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِي
الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا دَرَجَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إلَّا
لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا ذَلِكَ
الْعَبْدَ فَمَنْ سَأَلَ اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ
شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَمَا مِنْ مُسْلِمٍ يُسَلِّمُ
عَلَيَّ إلَّا رَدَّ اللَّهُ عَلَيَّ رُوحِي حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ
السَّلَامَ
“Jika kalian mendengar muadzin (orang yang mengumandangkan adzan),
maka katakanlah semisal yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah padaku
karena barangsiapa yang bershalawat padaku sekali, maka Allah akan
bershalawat kepadanya sebanyak 10 kali. Kemudian mintalah wasilah pada
Allah untukku karena wasilah adalah suatu derajat di surga yang hanya
diberikan pada hamba-hamba Allah. Aku berharap termasuk hamba yang
mendapatkan wasilah tersebut. Barangsiapa yang meminta pada Allah
wasilah untukku, maka ia pantas mendapatkan syafa’atku pada hari kiamat
nanti. Setiap muslim yang mengucapkan salam untukku, Allah akan
kembalikan ruhku padaku sampai aku balas salam tersebut.”
Ziarah Kubur yang Jauh dari Tuntunan Islam
Ziarah kubur yang jauh dari tuntunan Islam adalah ziarah kubur yang
dilakukan oleh pelaku syirik yang sejenis ziarah kubur yang dilakukan
oleh orang-orang Nashrani. Mereka memaksudkan do’a pada mayit dan
beristi’anah (meminta tolong) melalui mayit yang ada di dalam kubur.
Berbagai hajat diminta melalui perantaraan penghuni kubur.
Mereka pun shalat di sisi kubur dan berdoa melalui perantaraan si
mayit. Perbuatan semacam ini sama sekali tidak pernah dilakukan oleh
ulama masa silam dan para imam besar. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menutup jalan agar tidak memasuki pintu syirik dengan
melakukan semacam ini. Dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata di saat sakit menjelang kematiannya,
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ يُحَذِّرُ مَا فَعَلُوا
“Sungguh Allah melaknat orang Yahudi dan Nashrani yang telah
menjadikan kubur Nabi mereka sebagai masjid (layaknya tempat ibadah).
Dia telah memperingatkan apa yang mereka perbuat.” Aisyah radhiyallahu
‘anha berkata, “Seandainya bukan karena sabda beliau ini, tentu kubur
beliau akan ditampakkan di luar rumah. Sungguh dilarang jika ada yang
menjadikan kuburannya sebagai masjid.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lima hari sebelum kematiannya,
إنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ الْقُبُورَ
مَسَاجِدَ أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ فَإِنِّي
أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah
menjadikan kuburan (para nabi dan orang-orang shalih dari mereka)
sebagai masjid, maka janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan itu
sebagai masjid, karena sungguh aku melarang kalian dari hal itu”.”
Dari sini, kita dapat melihat bahwa ziarah bentuk pertama yang
disebutkan di awal termasuk jenis amalan yang dituntunkan dan bentuk
ihsan (berbuat baik) terhadap sesama.
Ziarah bentuk pertama tersebut dapat mensucikan hati sebagaimana yang
Allah perintahkan (agar berziarah kubur untuk mengingat kematian).
Sedangkan ziarah bentuk kedua termasuk bentuk syirik kepada Allah dan
termasuk tindak kezholiman karena tidak menempatkan hak Allah dan hak
hamba dengan benar. Dalam hadits yang shahih dikatakan,
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ لَمَّا
أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى } الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا
إيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ { شَقَّ ذَلِكَ عَلَى أَصْحَابِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالُوا : أَيُّنَا لَمْ
يَظْلِمْ نَفْسَهُ ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إنَّمَا هُوَ الشِّرْكُ أَلَمْ تَسْمَعُوا قَوْلَ
الْعَبْدِ الصَّالِحِ : } إنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ {
“Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat Allah menurunkan ayat
(yang artinya): “Orang-orang beriman yaitu mereka yang tidak mencampuri
keimanan mereka dengan kezholiman.” (QS. Al An’am: 82) Ketika mendengar
ayat tersebut, para sahabat pun menjadi gelisah. Mereka pun bertanya
pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Lantas siapakah –wahai Rasul-
yang tidak berbuat zholim pada dirinya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Sesungguhnya yang dimaksud zholim dalam ayat tersebut
adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar perkataan seorang hamba yang
sholih (yang artinya), “Sesungguhnya syirik adalah kezholiman yang
paling besar?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ
“Ya Allah, janganlah jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah.”
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq
dan nasr.” (QS. Nuh: 23)
Para ulama salaf mengatakan,
هَؤُلَاءِ كَانُوا قَوْمًا صَالِحِينَ فِي قَوْمِ نُوحٍ فَلَمَّا
مَاتُوا عَكَفُوا عَلَى قُبُورِهِمْ وَصَوَّرُوا تَمَاثِيلَهُمْ
فَكَانَ هَذَا أَوَّلَ عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ
“Berhala-berhala yang disebutkan dalam ayat tersebut dulunya adalah
orang-orang sholih di kaum Nuh. Ketika mereka mati, kaum Nuh beri’tikaf
di kubur mereka dan membuat patung-patung yang menyerupai mereka. Inilah
awal penyembahan berhala.”
Ziarah bentuk kedua ini sejenis dengan ibadahnya orang Nashrani. Hal
semacam ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum
dan para tabi’in. Mereka tidak pernah memanjatkan do’a di sisi kubur
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seperti ini pun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf lainnya.
Bahkan para ulama besar melarang seseorang berdiam diri di sisi kubur
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdo’a di situ. Para ulama
tersebut katakan bahwa amalan semacam ini sangat jauh dari tuntunan
Islam.
Para sahabat dan para tabi’in tidak pernah melakukan hal semacam ini.
Yang mereka lakukan adalah mengucapkan salam pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan penghuni kubur lainnya, selepas itu mereka pun
pergi.
Kalau kita dapat menyaksikan, Abdullah bin ‘Umar ketika memasuki
masjid Nabawi, beliau mengucapkan, “Semoga keselamatan kepadamu wahai
Rasulullah. Semoga keselamatan kepadamu wahai Abu Bakr. Semoga
keselamatan kepadamu wahai ayahku (Umar bin Khottob).” Selepas itu, Ibnu
‘Umar lekas pergi.
Imam Malik dan ulama besar lainnya memiliki perkataan tegas mengenai
hal ini. Abu Yusuf dan ulama lainnya juga memiliki perkataan demikian.
Mereka berkata bahwa tidak boleh bagi seorang pun meminta kepada Allah
dengan menggunakan perantaraan seorang nabi, malaikat atau lainnya. Kaum
muslimin (yaitu para sahabat) dahulu pernah tertimpa kemarau dan
kekeringan. Namun mereka berdo’a memohon pada Allah agar diturunkan
hujan. Mereka pun berdoa atas musuh-musuhnya dan meminta agar diberi
pertolongan melalui do’a orang-orang sholih (yang masih hidup).
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَهَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إلَّا بِضُعَفَائِكُمْ : بِدُعَائِهِمْ وَصَلَاتِهِمْ وَإِخْلَاصِهِمْ
“Sungguh kalian akan diberi pertolongan dan diberi rizki berkat do’a
orang-orang lemah di antara kalian, yaitu berkat do’a, shalat dan
keikhlasan mereka.”
Namun lihatlah, mereka tidak pernah sama sekali memanjatkan do’a di
sisi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang sholih (yang
sudah mati). Mereka pun tidak melaksanakan shalat di sisi kuburan dan
tidak meminta hajat darinya. Mereka pun tidak bersumpah atas nama Allah
melalui perantaraan orang yang sudah mati, semisal dengan mengatakan:
“Aku meminta pada Allah dengan hak si fulan dan si fulan.” Semua ini
sangat jauh dari tuntunan Islam.
Ingatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ الْقُرُونِ الْقَرْنُ الَّذِي بُعِثْت فِيهِمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik generasi adalah generasi yang hidup saat aku diutus
(yaitu para sahabat). Kemudian setelah itu adalah orang-orang setelah
mereka.”
Para ulama telah sepakat bahwa para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah sebaik-baik generasi dari umat ini (itu berarti mereka
yang pantas dijadikan teladan, pen). [Majmu’ Al Fatawa, Abul ‘Abbas
Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 24/326-329, Darul Wafa ’, cetakan
ketiga, tahun 1426 H]
Apa yang dimaksud menjadikan kubur sebagai masjid?
Dalam perkataan lainnya, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni rahimahullah
menjelaskan, “Menjadikan suatu tempat sebagai masjid adalah menjadikan
shalat lima waktu dan ibadah lainnya di tempat tersebut sebagaimana
ibadah-ibadah tersebut diadakan di masjid. Jadi tempat yang dijadikan
sebagai masjid adalah tempat yang dimaksudkan untuk beribadah pada Allah
dan berdo’a kepada-Nya di situ, dan bukan khusus do’a tersebut
ditujukan pada makhluk. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal
semacam ini yaitu menjadikan kubur mereka sebagai masjid dengan maksud
melakukan shalat di sana sebagaimana ibadah yang dilakukan di masjid.
Walaupun orang yang melakukan ibadah di kubur tersebut
memaksudkannya sebagai ibadah kepada Allah semata. Ini tetap terlarang
agar tidak sampai terjerumus dalam keharaman yang lebih parah.
Kecuali jika memang orang tersebut menjadikan ibadah di sana
ditujukan pada penghuni kubur, berdoa untuknya, menjadikannya sebagai
perantara dalam berdoa dan berdoa di sisi kubur, (yang semacam ini jelas
terlarangnya, pen). Intinya perbuatan menjadikan kuburan sebagai masjid
(yaitu untuk beribadah kepada Allah semata) itu terlarang sebagaimana
dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dilarang
karena dapat mengantarkan pada syirik pada Allah. Perlu diingat bahwa
setiap perbuatan yang bisa mengantarkan pada mafsadat (bahaya) dan
tidak ada maslahat yang dominan, maka hal tersebut terlarang.” [Majmu’
Al Fatawa, 1/163]
Dalam kesempatan yang lain, beliau rahimahullah juga berkata, “Tidak
ada silang pendapat di antara para ulama salaf dan ulama-ulama besar
yang ada mengenai terlarangnya menjadikan kubur sebagai masjid. Seperti
dimaklumi bersama bahwa masjid dibangun untuk shalat, dzikir, dan
membaca al Qur’an. Jika kubur difungsikan untuk sebagian ibadah-ibadah
tadi, maka ini termasuk dalam larangan menjadikan kubur sebagai masjid.”
[Majmu’ Al Fatawa, 24/302]
Akhir Kata
Dari penjelasan ini, silakan para pembaca bandingkan ziarah kubur
yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin saat ini di kuburan para habib
dan para wali. Apakah seperti itu termasuk disyariatkan atau malah
termasuk menjadikan kubur sebagai masjid?
Semoga sajian yang singkat ini bisa jadi renungan bagi yang ingin meraih hidayah. Hanya Allah yang memberi taufik.
Sumber: http://www.rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/3005-ziarah-kubur-yang-jauh-dari-tuntunan-islam.html
16 Desember 2012
Ziarah Kubur yang Jauh dari Tuntunan Syariat
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar