-->

26 Agustus 2012

Motivasi Seseorang Dalam Amalnya & Hakikat Mempertuhankan Ulama’




Selanjutnya merupakan gabungan dari dua bab pendek dari penulis Kitab Tauhid menjelaskan bahwa motivasi amal seseorang dapat menimbulkan suatu kesyirikan. Lalu bab yang satu lagi mengenai Ahlul Kitab yang mempertuhankan ulama’ (rahib-rahib) mereka. Bagaimana kedua hal ini bisa terjadi? Mari simak keterangan beliau berikut ini.

Termasuk Syirik: Motivasi Seseorang Dalam Amalnya Kepentingan Duniawi


Allah Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepadanya balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali Neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Hud: 15 – 16).

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan celakalah hamba khamilah.[1] Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi, ia marah. Celakalah ia dan tersungkurlah! Apabila terkena duri semoga tidak dapat mencabutnya. Berbahagialah seorang hamba yang memacu kudanya (berjihad di jalan Allah), dengan kusut rambutnya dan berlumur debu kedua kakinya. Bila dia berada di pos penjagaan, dia tetap setia berada di pos penjagaan itu; dan bila ditugaskan di garis belakang dia akan tetap setia berada di garis belakang itu. Jika dia meminta permisi (untuk menemui raja atau penguasa) tidak diperkenankan,[2] dan jika bertindak sebagai perantara tidak diterima perantaranya.”

Kandungan Bab Ini

  1. Motivasi seseorang dalam amal ibadahnya, yang semestinya untuk akhirat malah untuk kepentingan duniawi [termasuk syirik dan menjadikan pekerjaan itu sia-sia tidak diterima oleh Allah].
  2. Tafsiran ayat dalam surah Hud.[3]
  3. Manusia muslim, disebut sebagai hamba dinar, dirham khamishah dan khamilah [jika menjadikan kesenangan duniawi sebagai tujuan].
  4. Tafsiran hal tersebut, yaitu jika diberi senang, tetapi jika tidak, marah.
  5. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mendoakan, "Celakalah ia dan tersungkurlah."
  6. Juga mendo’akan, "Apabila terkena duri semoga tidak dapat mencabutnya."
  7. Pujian untuk mujahid yang memiliki sifat-sifat sebagaimana tersebut dalam hadits.


Barangsiapa Mentaati Ulama’ dan Umara’ Dalam Mengharamkan Apa yang Dihalalkan Allah, atau Menghalalkan Apa yang Diharamkan Allah,
Berarti Ia Telah Mempertuhankan Mereka


Ibnu ‘Abbas berkata, “Aku khawatir bila kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku menuturkan, Telah bersabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tetapi kalian malah mengatakan, "Kata Abu Bakar dan ‘Umar (apa)?!"

Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Aku merasa heran dengan orang yang tahu tentang isnad hadits dan ke-shahih-annya, tetapi mereka menjadikan pendapat Sufyan (Ats-Tsauri) sebagai acuannya, padahal Allah telah berfirman,
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa siksa yang pedih.”
Tahukah kamu apakah pengertian fitnah di sini? Yaitu syirik. Bisa jadi apabila dia menolak sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam, akan terjadi dalam hatinya suatu kesesatan, sehingga celakalah dia.”

Diriwayatkan dari ‘Adiy bin Hatim bahwa ia mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam membaca firman Allah, “Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah …” (An-Nur: 63).
Tutur ‘Adiy selanjutnya, Maka aku berkata kepada beliau, Sungguh kami tidaklah menyembah mereka. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bertanya, Tidakkah mereka itu mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah, lalu kamu pun mengharamkannya? Dan tidakkah mereka itu menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah, lalu kamu pun menghalalkannya? Aku menjawab, "Ya." Maka beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Itulah ibadah (penyembahan) kepada mereka."[4]


Kandungan Bab Ini

  1. Tafsiran ayat dalam surah An-Nur.[5]
  2. Tafsiran ayat dalam surah Bara’ah.[6]
  3. Contoh kasus yang dikemukakan Ibnu ‘Abbas dengan menyebut Abu Bakar dan ‘Umar; dan yang dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dengan menyebut Sufyan (Ats-Tsauri).
  4. Hal tersebut telah berkembang sedemikian rupa, sehingga terjadi pada kebanyakan orang, penyembahan orang-orang shalih yang dianggap sebagai amal afdhal dan dipercayai sebagai wali [yang dapat mendatangkan suatu manfaat atau menjauhkan bencana] serta penyembahan orang-orang alim melalui ilmu pengetahuan dan fiqh [dengan diikuti apa saja yang mereka katakan, baik sesuai dengan firman Allah dan sabda RasulNya atau tidak].


Hal ini pun kemudian berkembang lebih parah lagi, sehingga disembah pula orang-orang yang tidak shalih [dengan dipercayai sebagai wali meski perbuatannya melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya] dan disembah juga orang-orang yang bodoh yang tidak berilmu [dengan dipatuhi saja pendapatnya, bahkan bid'ah dan syirik yang mereka lakukan juga diikuti].

Catatan Kaki

[1] Khamishah dan khamilah adalah pakaian yang terbuat dari wol atau sutera dengan diberi sulaman atau garis-garis yang menarik dan indah.
Maksud ungkapan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan sabdanya tersebut ialah untuk menunjukkan orang yang sangat ambisi dengan kekayaan dan duniawi, sehingga menjadi hamba harta benda. Mereka itulah orang-orang yang celaka dan sengsara.
[2] Tidak diperkenankan dan tidak diterima perantaraannya, yaitu dia tidak mempunyai kedudukan atau pangkat dan tidak terkenal; soalnya, perbuatan dan amal yang dilakukannya diniati Lillah semata-mata .
[3] Ayat ini menjelaskan tentang hukum orang yang motivasinya hanya kepentingan dan kenikmatan duniawi dan akibat yang akan diterimanya baik di dunia maupun di akhirat nanti.
[4] Hadits riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi dengan menyatakan hasan.
[5] Ayat ini mengandung suatu peringatan supaya kita jangan sampai menyalahi Kitab (Al-Qur’an -red. vbaitullah) dan Sunnah.
[6] Ayat dalam surah Bara’ah menunjukkan bahwa barangsiapa mentaati seseorang dengan menyalahi hukum yang telah ditetapkan Allah berarti telah mengangkatnya sebagai tuhan selain Allah.

Berhakim Kepada Selain Allah Dan RasulNya


Memasuki bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan secara singkat mengenai status orang yang berhakim kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Apa saja dan bagaimana bentuknya? Simak penjelasannya berikut ini.

Firman Allah,
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah kamu (tunduk) kepada hokum Allah yang telah diturunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna." (An-Nisa: 60 – 62).

“Dan bila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi"[1], mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." (Al-Baqarah: 11).

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya …” (Al-A’raf: 56).

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50).

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah beriman (sempurna) seseorang di antara kamu, sebelum keinginan dirinya menuruti apa yang telah aku bawa (dari Allah).” [2]

Asy-Sya’bi menuturkan,
“Pernah terjadi pertengkaran antara orang munafik dan seorang Yahudi. Berkatalah orang Yahudi itu, "Mari kita berhakim kepada Muhammad!", karena ia mengerti bahwa beliau tidak mengambil risywah (sogok). Sedangkan orang munafik itu berkata, "Mari kita berhakim kepada orang-orang Yahudi!", karena ia tahu bahwa mereka mau menerima risywah. Maka bersepakatlah keduanya untuk datang berhakim kepada seorang dukun di Juhainah. Lalu turunlah ayat,
“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku … (dan seterusnya).
”[3]

Dikatakan pula bahwa ayat di atas diturunkan berkenaan dengan dua orang yang bertengkar. Salah seorang mengatakan, "Mari kita bersama-sama mengadukan kepada Nabi!", sedangkan yang lainnya mengatakan, "Kepada Ka’ab Al-Asyraf."
Kemudian keduanya mengadukan perkara mereka kepada ‘Umar. Salah seorang di antara keduanya menjelaskan kepadanya tentang kasus yang terjadi. Lalu ‘Umar bertanya kepada orang yang tidak rela dengan keputusan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, "Benarkah demikian?" Ia menjawab, "Ya." Akhirnya, dihukumlah orang itu oleh ‘Umar dengan dipancung pakai pedang.”


Kandungan Bab Ini

  1. Tafsiran ayat dalam surah An-Nisa’.[4] Dan ayat ini dapat membantu untuk memahami pengertian thaghut.
  2. Tafsiran ayat dalam surat Al-Baqarah.[5]
  3. Tafsiran ayat dalam surat Al-A’raf. [6]
  4. Tafsiran ayat dalam surat Al-Maidah.[7]
  5. Sebab turunnya ayat-ayat yang pertama, sebagaimana dijelaskan Asy-Sya’bi.
  6. Pengertian iman yang benar dan iman yang palsu. [Iman yang benar yaitu berhakim kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta menerima hukumya dengan tunduk dan ridha. Dan iman yang palsu yaitu mengaku beriman tetapi tidak mau berhakim kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, bahkan berhakim kepada thaghut].
  7. Kisah ‘Umar dengan orang munafik, [bahwa 'Umar memenggal leher orang munafik tersebut karena tidak rela dengan keputusan Rasulullah].
  8. Seseorang tidak akan beriman (sempurna dan benar) sebelum keinginan dirinya mengikuti tuntunan yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Catatan Kaki

[1] Maksudnya, janganlah kamu membuat kerusuhan di muka bumi dengan kekafiran dan perbuatan maksiat lainnya.
[2] Kata An-Nawawi, "Hadits shahih, kami riwayatkan dari kitab Al-Hujjah dengan isnad shahih.
[3] Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya.
[4] Ayat ini menunjukkan kewajiban berhakim kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, dan menerima hukum keduanya dengan ridha dan tunduk. Barangsiapa yang berhukum kepada selainnya, berarti berhakim kepada thaghut, apapun sebutannya.
Dan menunjukkan kewajiban mengingkari thaghut serta menjauhkan diri dan waspada terhadap tipu daya setan. Menunjukkan kepada bahwa barangsiapa diajak berhakim dengan hukum Allah dan Rasul-Nya haruslah menerima; apabila menolak maka dia adalah munafik, dan apa pun dalih yang dikemukakan seperti menghendaki penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna bukanlah merupakan alasan baginya untuk menerima selain hukum Allah dan Rasul-Nya.
[5] Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengajak berhukum kepada selain hukum yang diturunkan Allah, maka ia telah berbuat kerusakan yang sangat berat di muka bumi. Dan dalih mengadakan perbaikan bukan alasan sama sekali untuk meninggalkan hukumNya.
Menunjukkan pula bahwa orang yang sakit hatinya akan memutar balik nilai-nilai, di mana yang baik dijadikan bathil dan yang bathil dijadikan baik.
[6] Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengajak berhukum kepada selain hukum Allah maka ia telah berbuat kerusakan yang sangat berat di muka bumi. Dan menunjukkan bahwa perbaikan di muka bumi adalah dengan menerapkan hukum yang diturunkan Allah.
[7] Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang menghendaki selain hukum Allah, berarti dia menghendaki hukum Jahiliyah.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.