-->

16 Desember 2012

Hikmah & Ketentuan Pernikahan Dini


Oleh: Al Fadhil Abu Ammar Ali Al-Hudzaifi hafizhahullah
1. Efek Positif Pernikahan Dini
Di antaranya:
Pertama, pernikahan dini akan meminimalisir terjadinya perbuatan asusila dan perilaku menyimpang di kalangan muda-mudi. Prosentase hubungan di luar nikah (zina) dan perilaku homoseksual di daerah-daerah pedesaan, lebih kecil dibandingkan dengan daerah-daerah perkotaan. Ini merupakan sebuah fakta yang begitu nyata. Pernikahan dini sudah menjadi hal yang biasa di desa-desa. Anak-anak muda yang melakukan liwath (hubungan sesama jenis), kebanyakan disebabkan oleh adanya faktor yang menghalangi mereka untuk menikah secara dini, seperti nilai mahar yang tinggi dan sebagainya.
Kedua, dekatnya jarak usia antara orang tua dan anak sehingga perbedaan umur di antara mereka tidak terlalu jauh. Dengan begitu, orang tua masih cukup kuat memperhatikan dan merawat anak-anak, sebagaimana anak-anak itu pun nanti akan dapat mengurus dan melayani mereka.
Di dalam buku ‘Man, The Unknown’ hal. 215, Dr. Alexis Carell -yang mengkritik peradaban materialistik Barat melalui buku tersebut- mengatakan: “Semakin dekat jarak waktu yang memisahkan antara dua generasi, semakin kuat pula pengaruh moral orang tua terhadap anak-anak. Oleh karena itu, para wanita seharusnya menjadi ibu di usia muda, agar mereka tidak terpisahkan dari anak-anak mereka oleh jurang begitu lebar yang tidak mungkin ditutup sekalipun dengan cinta.”
Ketiga, saat belum mampu menikah, anak-anak muda akan senantiasa dihinggapi lintasan-lintasan pikiran yang mengganggu. Pelampiasan nafsu akan menjadi maksud dan tujuan yang paling penting. Apalagi saat mereka keluar bersama teman-teman sepergaulan yang tidak baik, ditambah keadaan perilaku mereka sendiri yang buruk. Hal ini akan berdampak negatif terhadap agama mereka. Dan bekas dari dampak negatif ini akan tetap ada sekalipun mereka telah menikah. Ada sebagian dari mereka yang belum juga dapat mengatasi sisa dampak negatif tersebut. Sedangkan pernikahan dini akan menghindarkan mereka dari dampak-dampak negatif itu dan memalingkan perhatian mereka kepada hal-hal yang lebih utama untuk diri mereka sendiri.
Oleh karena itu, anda dapat menemukan anak-anak muda belia dari pedesaan yang datang ke kota untuk berusaha dan bekerja keras, mereka memeras keringat dan membanting tulang agar dapat mengirimkan uang kepada istri, anak dan orang tuanya di kampung. Di samping itu, anda juga dapat menemukan anak-anak muda perkotaan yang lebih tinggi usianya, menghabiskan waktu berjam-jam di depan internet, menjalin hubungan dengan perempuan, di saat mereka sendiri masih menjadi beban tanggungan orang tua.
Keempat, memiliki tingkat kemungkinan hamil yang tinggi. Kehamilan pada masa menikah bagi perempuan di usia dini lebih tinggi tingkat kemungkinannya dibandingkan pada usia lain sebagaimana yang dapat dilihat nanti dari keterangan para dokter.
Kelima, meningkatkan jumlah populasi suatu umat. Umat yang kaum mudanya melakukan pernikahan dini, akan mengalami peningkatan jumlah populasi yang lebih besar dari umat lain.
Keenam, meringankan beban para ayah yang tergolong fakir, dan menyalurkan hasrat sang suami dengan cara yang syar’i.
Ketujuh, memenuhi kebutuhan sebagian keluarga, misalnya akan keberadaan seorang perempuan yang mengurus dan menangani keperluan rumah tangga mereka.
Kedelapan, kemandirian kedua suami istri dalam memikul tanggung jawab, dengan tidak bergantung kepada orang lain.
2. Efek Negatif Menunda Pernikahan
Menunda pernikaham memiliki dampak-dampak negatif yang diakui sendiri oleh musuh-musuh Islam. Dampak negatif tersebut cukup banyak, di antaranya:
Pertama, studi ilmiah dan riset internasional menetapkan bahwa tidak ada peningkatan komplikasi kehamilan pada wanita yang berusia antara 15 sampai 19 tahun. Sedangkan komplikasi yang terjadi pada wanita hamil yang berusia kurang dari 15 tahun, relatif sedikit.” Ini adalah temuan seorang ilmuwan Amerika, Satin, dari Rumah Sakit Parkland di Texas.
Kedua, menunda-nunda pernikahan dapat mengakibatkan keengganan atau lemahnya semangat para pemuda untuk menikah sehingga fenomena hidup melajang menjadi marak. Surat kabar al-Hayah mempublikasikan sebuah hasil penelitian dari pusat studi sebuah universitas di Amerika yang menerangkan bahwa prosentase pernikahan di Amerika Serikat telah mengalami penurunan drastis sampai di bawah angka perbandingan terendah di akhir abad ini. Penurunan ini disebabkan oleh penangguhan usia pernikahan orang-orang Amerika sampai usia yang lebih besar. Pada tahun 1960, usia rata-rata orang menikah di sana adalah 20 tahun untuk perempuan, dan 23 tahun untuk laki-laki. Sedangkan pada tahun 1997, naik menjadi 25 tahun untuk perempuan, dan 27 tahun untuk laki-laki.
Ini tidak hanya terjadi di negara-negara Barat saja, tapi juga di negara-negara Arab. Di dalam buku al-’Unusah Mu’aanah Insaniyyah Tuhaddid al-Bina’ al-Ijtima’i, Dr. Nuha ‘Adnan Qathraji mengatakan: “Realita perawan/jejaka tua yang mencapai angka cukup mengkhawatirkan di negara-negara Arab sekarang, memberi kita informasi tentang cukup membahayakannya permasalahan ini. Dan bahwa ia sangat membutuhkan solusi. Salah satu sumber data statistik mengenai hal tersebut adalah dari Badan Pusat Logistik dan Statistik di Mesir yang menerangkan bahwa 9 juta laki-laki dan perempuan Mesir tergolong sebagai perawan/jejaka tua, dari total jumlah penduduk sebesar 76 juta jiwa. Sedangkan di Saudi, angka ini mencapa 1 juta orang dari total jumlah penduduk sekitar 25 juta. Lembaga Penelitian Sosial Salman di Riyadh melakukan riset seputar fenomena perawan/jejaka tua di negara-negara teluk dan didapatkan bahwa angka perawan/jejaka tua di Qatar mencapai 15 %, di Kuwait 18 % dan di Bahrain 20 %.
Kemudian Badan Statistik di Al-Jazair menerangkan bahwa terdapat 4 juta perempuan yang belum menikah, padahal usia mereka sudah lewat 34 tahun. Sedangkan jumlah jejaka tua mencapai angka 18 juta dari total jumlah penduduk sebesar 30 juta jiwa.
Di Saudi, sebuah riset ilmiah yang dilaktkan oleh Dr. Abdullah Al-Fauzan, dosen sosiologi di Universitas King Saud di Riyadh, memberikan peringatan akan ancaman bahaya fenomena lajang tua. Ia menuturkan bahwa kalau fenomena penundaan pernikahan terjadi terus menerus di masyarakat, maka akan ada 4 juta perempuan yang menjadi perawan tua pada lima tahun mendatang, di saat angka perawan tua yang ada sekarang ini telah mencapai satu setengah juta perempuan. Jadi secara global, negara-negara yang memberlakukan penangguhan usia nikah, di dalamnya akan banyak terjadi fenomena perawan/jejaka tua.
Ketiga, laporan dari pusat studi sebuah universitas di Amerika, mengatakan bahwa semakin mundur usia nikah, maka akan semakin menurun semangat orang untuk menikah. Dan inilah yang terjadi di negara-negara Barat. Akibatnya, banyak perempuan Amerika yang melahirkan dan merawat anak tanpa melalui proses pernikahan. Di tahun 60-an, 25,3 % dari global jumlah kelahiran anak di Amerika, adalah dari para ibu yang tidak menikah. Angka ini terus meningkat sampai tingkat paling tinggi di tahun 1997, yaitu 32 %.
Keempat, kanker. Kanker payudara dan kanker rahim lebih sedikit terjadi pada wanita-wanita yang sudah mengalami kehamilan dan persalinan di usia muda.
Kelima, kehamilan ‘di luar rahim’. Seorang ilmuwan Amerika, Rubin, menetapkan di dalam risetnya pada tahun 1983, bahwa kondisi kehamilan di luar rahim adalah 17,2/1000 pada perempuan-perempuan yang berusia lebih dari 35 tahun. Angka ini menurun sampai 4,5/1000 pada wanita yang berusia antara 15 sampai 24 tahun.
Keenam, aborsi. Ilmuwan Amerika, Hawen, menyatakan bahwa perbandingan jumlah kasus aborsi pada wanita di atas usia 35 tahun, bisa mencapai 2 sampai 4 kali lipat lebih besar.
Ketujuh, operasi caesar, kelahiran prematur, cacat fisik, kematian janin di dalam rahim atau setelah lahir, semuanya secara relatif akan semakin besar kemungkinannya, manakala usia sang ibu hamil juga bertambah.
Sesungguhnya kehamilan dan persalinan adalah kondisi yang terjadi berulang-ulang. Dan seorang wanita membutuhkan waktu yang lama untuk kembali melahirkan anak-anak. Sedangkan wanita yang terlambat menikah, akan melahirkan pada usia yang tidak lagi muda. Secara medis sudah dimaklumi bahwa penyakit-penyakit kronis mulai tampak atau semakin bertambah tatkala usia seseorang juga semakin senja. Penyakit-penyakit kronis ini semakin membahayakan kehamilan dan proses persalinan, bahkan kadangkala menjadi penghalang keduanya.
Apa yang dijelaskan di atas ini adalah berkaitan dengan diri perempuan. Sedangkan berkenaan dengan diri laki-laki, maka salah satu efek negatif yang ditimbulkan oleh penundaan nikah adalah munculnya perbuatan zina dan liwath (homoseks). Perbuatan liwath ini bahkan mungkin banyak terjadi di sebagian pedesaan akibat tingginya nilai mahar, apalagi untuk mereka yang fakir dan tidak mampu membayar maskawin. Maka bagaimana jadinya kalau ada undang-undang yang melarang pernikahan dini. Sudah tentu pula ini akan mengakibatkan para pemuda yang kaya untuk terjerembab pada kenistaan yang sama.
3. Ketentuan-ketentuan Pernikahan Dini
Mengatakan bahwa pernikahan dini itu pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam, tidak berarti kemudian ia dibolehkan secara mutlak dengan semua perempuan dan pada segala keadaan. Sebab pada sebagian perempuan, terdapat beberapa kondisi yang menunjukkan bahwa lebih baik ia tidak menikah secara dini. Yang kami ingkari tidak lain hanyalah penetapan undang-undang umum yang melarang semua perempuan secara mutlak untuk melakukan pernikahan dini -sekalipun perempuan itu sendiri sebenarnya memiliki kesanggupan- tanpa melihat perbedaan keadaan yang ada.
Di sini kami akan menyebutkan beberapa ketentuan yang perlu disertakan dalam sebuah pernikahan dini agar ia tidak mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan. Di antara ketentuan tersebut adalah:
Pertama, si perempuan harus sudah siap secara fisik. Berapa banyak perempuan yang berusia 9, 10, 15 tahun atau lebih, namun ia tidak siap untuk menikah karena tubuhnya yang kemah atau penyakit yang membuatnya ringkih sehingga tidak mampu menjalankan peran sebagai istri.
Kedua, perempuan tersebut sudah matang secara mental dan terdidik untuk dapat memenuhi tanggung jawab. Ini tidak berarti bahwa ia harus menguasai seluk beluk kehidupan berumah tangga seperti bagaimana berinteraksi dengan suami, bagaimana mengasuh anak dan sebagainya. Sebab hal-hal seperti ini juga masih butuh untuk dikuasai bahkan oleh para wanita dewasa terutama di zaman sekarang. Kalau pernikahan dini itu dilarang karena alasan ini maka berarti kita harus melarang pernikahan secara mutlak. Jadi yang kami maksud adalah bahwa perempuan tersebut sudah memahami arti tanggung jawab. Kalau ada beberapa kekurangan tersebut setelah menikah, sambil terus belajar dari ibu, mertua atau wanita lainnya.
Salah satu dalil yang menunjukkan perlunya memperhatikan dua aspek di atas, yaitu kesiapan fisik dan kematangan mental, adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tidak memerintahkan seluruh pemuda untuk menikah. Beliau hanya memerintahkan mereka yang sudah siap menikah dengan memiliki al-ba’ah, yaitu kemampuan memberi nafkah. Ini menunjukkan bahwa kesiapan untuk menikah itu diperoleh dengan kemampuan menafkahi (berdasarkan nash hadits) dan hal-hal selain nafkah (berdasarkan qiyas atas nafkah tersebut).
Ketiga, pada pernikahan perempuan yang masih muda belia, lebih utama kalau usia si calon suami tidak jauh dari usia si perempuan, kecuali untuk suatu maksud yang dapat dibenarkan. Imam An-Nasai telah mengeluarkan sebuah riwayat di dalam Sunan-nya, demikian pula Ibnu Hibban di dalam Shahih-nya serta Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak dan ia menilai shahih riwayat tersebut berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim dan disepakati oleh adz-Dzahabi, dari Buraidah, ia berkata: “Abu Bakar dan Umar melamar Fathimah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Fathimah masih kecil.” Lalu Ali melamar Fathimah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam kemudian menikahkan Fathimah dengan Ali.” Sanad hadits ini shahih. An-Nasai meletakkan hadits ini di bawah bab berjudul: Menikahkan Perempuan dengan Seorang Pria yang Seusia.
Dari hadits tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa usia si calon suami perlu diperhatikan, yaitu tidak jauh dengan usia si perempuan. Karena kedekatan jarak usia ini akan lebih dapat melahirkan keserasian di antara sepasang suami istri, dan lebih dapat melanggenkan pernikahan mereka. Sedangkan pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dengan Aisyah radhiyallahu ‘anha, maka beberapa hadits telah menunjukkan bahwa pernikahan tersebut dilandasi oleh sebuah mimpi. Dan mimpi para Nabi itu adalah benar. Jadi ia merupakan hal yang dikehendaki oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Engkau diperlihatkan kepadaku di dalam mimpi selama tiga hari. Seorang malaikat datang membawanu di dalam sepotong kain sutera. Malaikat itu berkata: “Ini adalah istrimu.” Aku lalu menyingkap wajahmu, ternyata wanita itu adalah engkau. Aku pun beqkata: Kalau ini berasal dari Allah, maka Dia akan mewujudkannya.” (Redaksi hadits ini dari Imam Muslim)
Pernikahan yang penuh berkah itu pun menghasilkan kebaikan yang sangat besar. Namun demikian, kami tidak mengklaim bahwa ia hanya dikhususkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam saja. Sebab kami memang tidak memiliki dalil atas hal tersebut. Dan tidak ada seorang pun yang dapat melarang pernikahan seperti itu selama ia memang akan menghasilkan suatu kemaslahatan. Pandangan ini berdasarkan pendapat yang dipegang oleh An-Nasai pada saat menentukan bab untuk hadits di atas, sebagaimana yang telah diterangkan.
(Sumber: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=377113)
Dari: Majalah Akhwat Shalihah vol. 11/1432 H/2011, hal. 63-67 & 96.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.