1. Efek Positif Pernikahan Dini
Di antaranya:
Pertama, pernikahan dini akan meminimalisir
terjadinya perbuatan asusila dan perilaku menyimpang di kalangan
muda-mudi. Prosentase hubungan di luar nikah (zina) dan perilaku
homoseksual di daerah-daerah pedesaan, lebih kecil dibandingkan dengan
daerah-daerah perkotaan. Ini merupakan sebuah
fakta yang begitu nyata. Pernikahan dini sudah menjadi hal yang biasa
di desa-desa. Anak-anak muda yang melakukan liwath (hubungan sesama
jenis), kebanyakan disebabkan oleh adanya faktor yang menghalangi mereka
untuk menikah secara dini, seperti nilai mahar yang tinggi dan
sebagainya.
Kedua, dekatnya jarak usia antara orang tua dan anak
sehingga perbedaan umur di antara mereka tidak terlalu jauh. Dengan
begitu, orang tua masih cukup kuat memperhatikan dan merawat anak-anak,
sebagaimana anak-anak itu pun nanti akan dapat mengurus dan melayani
mereka.
Di dalam buku ‘Man, The Unknown’ hal. 215, Dr. Alexis Carell -yang
mengkritik peradaban materialistik Barat melalui buku tersebut-
mengatakan: “Semakin dekat jarak waktu yang memisahkan antara dua
generasi, semakin kuat pula pengaruh moral orang tua terhadap anak-anak.
Oleh karena itu, para wanita seharusnya menjadi ibu di usia muda, agar
mereka tidak terpisahkan dari anak-anak mereka oleh jurang begitu lebar
yang tidak mungkin ditutup sekalipun dengan cinta.”
Ketiga, saat belum mampu menikah, anak-anak muda
akan senantiasa dihinggapi lintasan-lintasan pikiran yang mengganggu.
Pelampiasan nafsu akan menjadi maksud dan tujuan yang paling penting.
Apalagi saat mereka keluar bersama teman-teman sepergaulan yang tidak
baik, ditambah keadaan perilaku mereka sendiri yang buruk. Hal ini akan
berdampak negatif terhadap agama mereka. Dan bekas dari dampak negatif
ini akan tetap ada sekalipun mereka telah menikah. Ada sebagian dari
mereka yang belum juga dapat mengatasi sisa dampak negatif tersebut.
Sedangkan pernikahan dini akan menghindarkan mereka dari dampak-dampak
negatif itu dan memalingkan perhatian mereka kepada hal-hal yang lebih
utama untuk diri mereka sendiri.
Oleh karena itu, anda dapat menemukan anak-anak muda belia dari
pedesaan yang datang ke kota untuk berusaha dan bekerja keras, mereka
memeras keringat dan membanting tulang agar dapat mengirimkan uang
kepada istri, anak dan orang tuanya di kampung. Di samping itu, anda
juga dapat menemukan anak-anak muda perkotaan yang lebih tinggi usianya,
menghabiskan waktu berjam-jam di depan internet, menjalin hubungan
dengan perempuan, di saat mereka sendiri masih menjadi beban tanggungan
orang tua.
Keempat, memiliki tingkat kemungkinan hamil yang
tinggi. Kehamilan pada masa menikah bagi perempuan di usia dini lebih
tinggi tingkat kemungkinannya dibandingkan pada usia lain sebagaimana
yang dapat dilihat nanti dari keterangan para dokter.
Kelima, meningkatkan jumlah populasi suatu umat.
Umat yang kaum mudanya melakukan pernikahan dini, akan mengalami
peningkatan jumlah populasi yang lebih besar dari umat lain.
Keenam, meringankan beban para ayah yang tergolong fakir, dan menyalurkan hasrat sang suami dengan cara yang syar’i.
Ketujuh, memenuhi kebutuhan sebagian keluarga,
misalnya akan keberadaan seorang perempuan yang mengurus dan menangani
keperluan rumah tangga mereka.
Kedelapan, kemandirian kedua suami istri dalam memikul tanggung jawab, dengan tidak bergantung kepada orang lain.
2. Efek Negatif Menunda Pernikahan
Menunda pernikaham memiliki dampak-dampak negatif yang diakui sendiri
oleh musuh-musuh Islam. Dampak negatif tersebut cukup banyak, di
antaranya:
Pertama, studi ilmiah dan riset internasional
menetapkan bahwa tidak ada peningkatan komplikasi kehamilan pada wanita
yang berusia antara 15 sampai 19 tahun. Sedangkan komplikasi yang
terjadi pada wanita hamil yang berusia kurang dari 15 tahun, relatif
sedikit.” Ini adalah temuan seorang ilmuwan Amerika, Satin, dari Rumah
Sakit Parkland di Texas.
Kedua, menunda-nunda pernikahan dapat mengakibatkan
keengganan atau lemahnya semangat para pemuda untuk menikah sehingga
fenomena hidup melajang menjadi marak. Surat kabar al-Hayah
mempublikasikan sebuah hasil penelitian dari pusat studi sebuah
universitas di Amerika yang menerangkan bahwa prosentase pernikahan di
Amerika Serikat telah mengalami penurunan drastis sampai di bawah angka
perbandingan terendah di akhir abad ini. Penurunan ini disebabkan oleh
penangguhan usia pernikahan orang-orang Amerika sampai usia yang lebih
besar. Pada tahun 1960, usia rata-rata orang menikah di sana adalah 20
tahun untuk perempuan, dan 23 tahun untuk laki-laki. Sedangkan pada
tahun 1997, naik menjadi 25 tahun untuk perempuan, dan 27 tahun untuk
laki-laki.
Ini tidak hanya terjadi di negara-negara Barat saja, tapi juga di
negara-negara Arab. Di dalam buku al-’Unusah Mu’aanah Insaniyyah
Tuhaddid al-Bina’ al-Ijtima’i, Dr. Nuha ‘Adnan Qathraji mengatakan:
“Realita perawan/jejaka tua yang mencapai angka cukup mengkhawatirkan di
negara-negara Arab sekarang, memberi kita informasi tentang cukup
membahayakannya permasalahan ini. Dan bahwa ia sangat membutuhkan
solusi. Salah satu sumber data statistik mengenai hal tersebut adalah
dari Badan Pusat Logistik dan Statistik di Mesir yang menerangkan bahwa 9
juta laki-laki dan perempuan Mesir tergolong sebagai perawan/jejaka
tua, dari total jumlah penduduk sebesar 76 juta jiwa. Sedangkan di
Saudi, angka ini mencapa 1 juta orang dari total jumlah penduduk sekitar
25 juta. Lembaga Penelitian Sosial Salman di Riyadh melakukan riset
seputar fenomena perawan/jejaka tua di negara-negara teluk dan
didapatkan bahwa angka perawan/jejaka tua di Qatar mencapai 15 %, di
Kuwait 18 % dan di Bahrain 20 %.
Kemudian Badan Statistik di Al-Jazair menerangkan bahwa terdapat 4
juta perempuan yang belum menikah, padahal usia mereka sudah lewat 34
tahun. Sedangkan jumlah jejaka tua mencapai angka 18 juta dari total
jumlah penduduk sebesar 30 juta jiwa.
Di Saudi, sebuah riset ilmiah yang dilaktkan oleh Dr. Abdullah
Al-Fauzan, dosen sosiologi di Universitas King Saud di Riyadh,
memberikan peringatan akan ancaman bahaya fenomena lajang tua. Ia
menuturkan bahwa kalau fenomena penundaan pernikahan terjadi terus
menerus di masyarakat, maka akan ada 4 juta perempuan yang menjadi
perawan tua pada lima tahun mendatang, di saat angka perawan tua yang
ada sekarang ini telah mencapai satu setengah juta perempuan. Jadi
secara global, negara-negara yang memberlakukan penangguhan usia nikah,
di dalamnya akan banyak terjadi fenomena perawan/jejaka tua.
Ketiga, laporan dari pusat studi sebuah universitas
di Amerika, mengatakan bahwa semakin mundur usia nikah, maka akan
semakin menurun semangat orang untuk menikah. Dan inilah yang terjadi di
negara-negara Barat. Akibatnya, banyak perempuan Amerika yang
melahirkan dan merawat anak tanpa melalui proses pernikahan. Di tahun
60-an, 25,3 % dari global jumlah kelahiran anak di Amerika, adalah dari
para ibu yang tidak menikah. Angka ini terus meningkat sampai tingkat
paling tinggi di tahun 1997, yaitu 32 %.
Keempat, kanker. Kanker payudara dan kanker rahim
lebih sedikit terjadi pada wanita-wanita yang sudah mengalami kehamilan
dan persalinan di usia muda.
Kelima, kehamilan ‘di luar rahim’. Seorang ilmuwan
Amerika, Rubin, menetapkan di dalam risetnya pada tahun 1983, bahwa
kondisi kehamilan di luar rahim adalah 17,2/1000 pada
perempuan-perempuan yang berusia lebih dari 35 tahun. Angka ini menurun
sampai 4,5/1000 pada wanita yang berusia antara 15 sampai 24 tahun.
Keenam, aborsi. Ilmuwan Amerika, Hawen, menyatakan
bahwa perbandingan jumlah kasus aborsi pada wanita di atas usia 35
tahun, bisa mencapai 2 sampai 4 kali lipat lebih besar.
Ketujuh, operasi caesar, kelahiran prematur, cacat
fisik, kematian janin di dalam rahim atau setelah lahir, semuanya secara
relatif akan semakin besar kemungkinannya, manakala usia sang ibu hamil
juga bertambah.
Sesungguhnya kehamilan dan persalinan adalah kondisi yang terjadi
berulang-ulang. Dan seorang wanita membutuhkan waktu yang lama untuk
kembali melahirkan anak-anak. Sedangkan wanita yang terlambat menikah,
akan melahirkan pada usia yang tidak lagi muda. Secara medis sudah
dimaklumi bahwa penyakit-penyakit kronis mulai tampak atau semakin
bertambah tatkala usia seseorang juga semakin senja. Penyakit-penyakit
kronis ini semakin membahayakan kehamilan dan proses persalinan, bahkan
kadangkala menjadi penghalang keduanya.
Apa yang dijelaskan di atas ini adalah berkaitan dengan diri
perempuan. Sedangkan berkenaan dengan diri laki-laki, maka salah satu
efek negatif yang ditimbulkan oleh penundaan nikah adalah munculnya
perbuatan zina dan liwath (homoseks). Perbuatan liwath ini bahkan
mungkin banyak terjadi di sebagian pedesaan akibat tingginya nilai
mahar, apalagi untuk mereka yang fakir dan tidak mampu membayar
maskawin. Maka bagaimana jadinya kalau ada undang-undang yang melarang
pernikahan dini. Sudah tentu pula ini akan mengakibatkan para pemuda
yang kaya untuk terjerembab pada kenistaan yang sama.
3. Ketentuan-ketentuan Pernikahan Dini
Mengatakan bahwa pernikahan dini itu pada asalnya diperbolehkan dalam
syariat Islam, tidak berarti kemudian ia dibolehkan secara mutlak
dengan semua perempuan dan pada segala keadaan. Sebab pada sebagian
perempuan, terdapat beberapa kondisi yang menunjukkan bahwa lebih baik
ia tidak menikah secara dini. Yang kami ingkari tidak lain hanyalah
penetapan undang-undang umum yang melarang semua perempuan secara mutlak
untuk melakukan pernikahan dini -sekalipun perempuan itu sendiri
sebenarnya memiliki kesanggupan- tanpa melihat perbedaan keadaan yang
ada.
Di sini kami akan menyebutkan beberapa ketentuan yang perlu
disertakan dalam sebuah pernikahan dini agar ia tidak mengakibatkan
hal-hal yang tidak diinginkan. Di antara ketentuan tersebut adalah:
Pertama, si perempuan harus sudah siap secara fisik.
Berapa banyak perempuan yang berusia 9, 10, 15 tahun atau lebih, namun
ia tidak siap untuk menikah karena tubuhnya yang kemah atau penyakit
yang membuatnya ringkih sehingga tidak mampu menjalankan peran sebagai
istri.
Kedua, perempuan tersebut sudah matang secara mental
dan terdidik untuk dapat memenuhi tanggung jawab. Ini tidak berarti
bahwa ia harus menguasai seluk beluk kehidupan berumah tangga seperti
bagaimana berinteraksi dengan suami, bagaimana mengasuh anak dan
sebagainya. Sebab hal-hal seperti ini juga masih butuh untuk dikuasai
bahkan oleh para wanita dewasa terutama di zaman sekarang. Kalau
pernikahan dini itu dilarang karena alasan ini maka berarti kita harus
melarang pernikahan secara mutlak. Jadi yang kami maksud adalah bahwa
perempuan tersebut sudah memahami arti tanggung jawab. Kalau ada
beberapa kekurangan tersebut setelah menikah, sambil terus belajar dari
ibu, mertua atau wanita lainnya.
Salah satu dalil yang menunjukkan perlunya memperhatikan dua aspek di
atas, yaitu kesiapan fisik dan kematangan mental, adalah bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tidak memerintahkan seluruh
pemuda untuk menikah. Beliau hanya memerintahkan mereka yang sudah siap
menikah dengan memiliki al-ba’ah, yaitu kemampuan memberi nafkah. Ini
menunjukkan bahwa kesiapan untuk menikah itu diperoleh dengan kemampuan
menafkahi (berdasarkan nash hadits) dan hal-hal selain nafkah
(berdasarkan qiyas atas nafkah tersebut).
Ketiga, pada pernikahan perempuan yang masih muda
belia, lebih utama kalau usia si calon suami tidak jauh dari usia si
perempuan, kecuali untuk suatu maksud yang dapat dibenarkan. Imam
An-Nasai telah mengeluarkan sebuah riwayat di dalam Sunan-nya, demikian
pula Ibnu Hibban di dalam Shahih-nya serta Al-Hakim di dalam
Al-Mustadrak dan ia menilai shahih riwayat tersebut berdasarkan syarat
Bukhari dan Muslim dan disepakati oleh adz-Dzahabi, dari Buraidah, ia
berkata: “Abu Bakar dan Umar melamar Fathimah. Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Fathimah masih kecil.” Lalu Ali
melamar Fathimah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam kemudian
menikahkan Fathimah dengan Ali.” Sanad hadits ini shahih. An-Nasai
meletakkan hadits ini di bawah bab berjudul: Menikahkan Perempuan dengan
Seorang Pria yang Seusia.
Dari hadits tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa usia si calon
suami perlu diperhatikan, yaitu tidak jauh dengan usia si perempuan.
Karena kedekatan jarak usia ini akan lebih dapat melahirkan keserasian
di antara sepasang suami istri, dan lebih dapat melanggenkan pernikahan
mereka. Sedangkan pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam
dengan Aisyah radhiyallahu ‘anha, maka beberapa hadits telah menunjukkan
bahwa pernikahan tersebut dilandasi oleh sebuah mimpi. Dan mimpi para
Nabi itu adalah benar. Jadi ia merupakan hal yang dikehendaki oleh Allah
Subhanallahu wa Ta’ala bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan
Aisyah radhiyallahu ‘anha. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah
meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Engkau diperlihatkan kepadaku di dalam mimpi selama tiga hari.
Seorang malaikat datang membawanu di dalam sepotong kain sutera.
Malaikat itu berkata: “Ini adalah istrimu.” Aku lalu menyingkap wajahmu,
ternyata wanita itu adalah engkau. Aku pun beqkata: Kalau ini berasal
dari Allah, maka Dia akan mewujudkannya.” (Redaksi hadits ini dari Imam
Muslim)
Pernikahan yang penuh berkah itu pun menghasilkan kebaikan yang
sangat besar. Namun demikian, kami tidak mengklaim bahwa ia hanya
dikhususkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam saja. Sebab
kami memang tidak memiliki dalil atas hal tersebut. Dan tidak ada
seorang pun yang dapat melarang pernikahan seperti itu selama ia memang
akan menghasilkan suatu kemaslahatan. Pandangan ini berdasarkan pendapat
yang dipegang oleh An-Nasai pada saat menentukan bab untuk hadits di
atas, sebagaimana yang telah diterangkan.
(Sumber: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=377113)
Dari: Majalah Akhwat Shalihah vol. 11/1432 H/2011, hal. 63-67 & 96.
16 Desember 2012
Hikmah & Ketentuan Pernikahan Dini
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar