-->

17 September 2012

Meluruskan Tuduhan Miring tentang Wahhabi




Oleh Fadhl Ihsan

Mengapa ahlu bid'ah dan orang-orang kafir menjuluki pengikut dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai 'Wahhabi'? Tak lain tujuan mereka hanyalah untuk menjauhkan umat dari dakwah tauhid. Sejatinya, istilah ‘Wahhabi’ itu sendiri merupakan penisbatan yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab.

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Penisbatan (Wahhabi -pen) tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Semestinya bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyyah’, karena sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut adalah Muhammad, bukan ayahnya yang bernama Abdul Wahhab.” (Lihat Imam wa Amir wa Da’watun Likullil ‘Ushur, hal. 162)

Begitulah kalau seseorang telah dibutakan hawa nafsunya, tidak peduli apakah yang dikatakannya itu benar atau salah. Dan demi menipu umat mereka pun tak segan-segan membuat kedustaan yang dituduhkan kepada beliau rahimahullah. Berikut ini adalah bantahan terhadap tuduhan-tuduhan dusta yang sering dilontarkan para musuh dakwah terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi An-Najdi rahimahullah:

1. Tuduhan: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang mengaku sebagai Nabi (1), ingkar terhadap Hadits nabi (2), merendahkan posisi Nabi, dan tidak mempercayai syafaat beliau.

Bantahan:

- Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang sangat mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini terbukti dengan adanya karya tulis beliau tentang sirah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik Mukhtashar Siratir Rasul, Mukhtashar Zadil Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad atau pun yang terkandung dalam kitab beliau Al-Ushul Ats-Tsalatsah.

- Beliau berkata: “Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat –semoga shalawat dan salam-Nya selalu tercurahkan kepada beliau–, namun agamanya tetap kekal. Dan inilah agamanya; yang tidaklah ada kebaikan kecuali pasti beliau tunjukkan kepada umatnya, dan tidak ada kejelekan kecuali pasti beliau peringatkan. Kebaikan yang telah beliau sampaikan itu adalah tauhid dan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sedangkan kejelekan yang beliau peringatkan adalah kesyirikan dan segala sesuatu yang dibenci dan dimurkai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus beliau kepada seluruh umat manusia, dan mewajibkan atas tsaqalain; jin dan manusia untuk menaatinya.” (Al-Ushul Ats- Tsalatsah)

- Beliau juga berkata: “Dan jika kebahagiaan umat terdahulu dan yang akan datang karena mengikuti para Rasul, maka dapatlah diketahui bahwa orang yang paling berbahagia adalah yang paling berilmu tentang ajaran para Rasul dan paling mengikutinya. Maka dari itu, orang yang paling mengerti tentang sabda para Rasul dan amalan-amalan mereka serta benar-benar mengikutinya, mereka itulah sesungguhnya orang yang paling berbahagia di setiap masa dan tempat. Dan merekalah golongan yang selamat dalam setiap agama. Dan dari umat ini adalah Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 2/21)

- Adapun tentang syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau berkata –dalam suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku beriman dengan syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliaulah orang pertama yang bisa memberi syafaat dan juga orang pertama yang diberi syafaat. Tidaklah mengingkari syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini kecuali ahlul bid’ah lagi sesat.” (Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 118)

2. Tuduhan: Melecehkan Ahlul Bait.

Bantahan:

- Beliau berkata dalam Mukhtashar Minhajis Sunnah: “Ahlul Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempunyai hak atas umat ini yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Mereka berhak mendapatkan kecintaan dan loyalitas yang lebih besar dari seluruh kaum Quraisy…” (Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/446)

- Di antara bukti kecintaan beliau kepada Ahlul Bait adalah dinamainya putra-putra beliau dengan nama-nama Ahlul Bait: ‘Ali, Hasan, Husain, Ibrahim dan Abdullah.

3. Tuduhan: Bahwa beliau sebagai Khawarij, karena telah memberontak terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Al-Imam Al-Lakhmi telah berfatwa bahwa Al-Wahhabiyyah adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij ‘Ibadhiyyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mu’rib Fi Fatawa Ahlil Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi, juz 11.

Bantahan:

- Adapun pernyataan bahwa Asy-Syaikh telah memberontak terhadap Daulah Utsmaniyyah, maka ini sangat keliru. Karena Najd kala itu tidak termasuk wilayah teritorial kekuasaan Daulah Utsmaniyyah (3). Demikian pula sejarah mencatat bahwa kerajaan Dir’iyyah belum pernah melakukan upaya pemberontakan terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Justru merekalah yang berulang kali diserang oleh pasukan Dinasti Utsmani.

Lebih dari itu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan –dalam kitabnya Al-Ushulus Sittah–: “Prinsip ketiga: Sesungguhnya di antara (faktor penyebab) sempurnanya persatuan umat adalah mendengar lagi taat kepada pemimpin (pemerintah), walaupun pemimpin tersebut seorang budak dari negeri Habasyah.”

Dari sini nampak jelas, bahwa sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap waliyyul amri (penguasa) sesuai dengan ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan bukan ajaran Khawarij.

- Mengenai fatwa Al-Lakhmi, maka yang dia maksudkan adalah Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Hal ini karena tahun wafatnya Al-Lakhmi adalah 478 H, sedangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H /Juni atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yang telah wafat, namun berfatwa tentang seseorang yang hidup berabad-abad setelahnya. Adapun Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum, maka dia meninggal pada tahun 211 H. Sehingga amatlah tepat bila fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya. Berikutnya, Al-Lakhmi merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara, dan fitnah Wahhabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara. Sementara di masa Al-Lakhmi, hubungan antara Najd dengan Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yang diperingatkan Al-Lakhmi adalah Wahhabiyyah Rustumiyyah, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya (4).

- Lebih dari itu, sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kelompok Khawarij sangatlah tegas. Beliau berkata –dalam suratnya untuk penduduk Qashim–: “Golongan yang selamat itu adalah kelompok pertengahan antara Qadariyyah dan Jabriyyah dalam perkara taqdir, pertengahan antara Murji`ah dan Wa’idiyyah (Khawarij) dalam perkara ancaman Allah Subhanahu wa Ta'ala, pertengahan antara Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah serta antara Murji`ah dan Jahmiyyah dalam perkara iman dan agama, dan pertengahan antara Syi’ah Rafidhah dan Khawarij dalam menyikapi para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal 117). Dan masih banyak lagi pernyataan tegas beliau tentang kelompok sesat Khawarij ini.

4. Tuduhan: Mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka. (5)

Bantahan:

- Ini merupakan tuduhan dusta terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, karena beliau pernah mengatakan: “Kalau kami tidak (berani) mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang ada di kubah (kuburan/ makam) Abdul Qadir Jaelani dan yang ada di kuburan Ahmad Al-Badawi dan sejenisnya, dikarenakan kejahilan mereka dan tidak adanya orang yang mengingatkannya. Bagaimana mungkin kami berani mengkafirkan orang yang tidak melakukan kesyirikan atau seorang muslim yang tidak berhijrah ke tempat kami...?! Maha suci Engkau ya Allah, sungguh ini merupakan kedustaan yang besar.” (Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, hal. 203)

5. Tuduhan: Wahhabiyyah adalah madzhab baru dan tidak mau menggunakan kitab-kitab empat madzhab besar dalam Islam. (6)

Bantahan:

- Hal ini sangat tidak realistis. Karena beliau mengatakan –dalam suratnya kepada Abdurrahman As-Suwaidi–: “Aku kabarkan kepadamu bahwa aku –alhamdulillah– adalah seorang yang berupaya mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan pembawa aqidah baru. Dan agama yang aku peluk adalah madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianut para ulama kaum muslimin semacam imam yang empat dan para pengikutnya.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 75)

- Beliau juga berkata –dalam suratnya kepada Al-Imam Ash-Shan’ani–: “Perhatikanlah –semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatimu– apa yang ada pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para shahabat sepeninggal beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Serta apa yang diyakini para imam panutan dari kalangan ahli hadits dan fiqh, seperti Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal –semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala meridhai mereka–, supaya engkau bisa mengikuti jalan/ajaran mereka.” (Ad-Durar As-Saniyyah 1/136)

- Beliau juga berkata: “Menghormati ulama dan memuliakan mereka meskipun terkadang (ulama tersebut) mengalami kekeliruan, dengan tidak menjadikan mereka sekutu bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala, merupakan jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Adapun mencemooh perkataan mereka dan tidak memuliakannya, maka ini merupakan jalan orang-orang yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta'ala (Yahudi).” (Majmu’ah Ar-Rasa`il An-Najdiyyah, 1/11-12. Dinukil dari Al-Iqna’, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, hal.132-133)

6. Tuduhan: Keras dalam berdakwah (inkarul munkar).

Bantahan:

- Tuduhan ini sangat tidak beralasan. Karena justru beliaulah orang yang sangat perhatian dalam masalah ini. Sebagaimana nasehat beliau kepada para pengikutnya dari penduduk daerah Sudair yang melakukan dakwah (inkarul munkar) dengan cara keras. Beliau berkata: “Sesungguhnya sebagian orang yang mengerti agama terkadang jatuh dalam kesalahan (teknis) dalam mengingkari kemungkaran, padahal posisinya di atas kebenaran. Yaitu mengingkari kemungkaran dengan sikap keras, sehingga menimbulkan perpecahan di antara ikhwan… Ahlul ilmi berkata: ‘Seorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar membutuhkan tiga hal: berilmu tentang apa yang akan dia sampaikan, bersifat belas kasihan ketika beramar ma’ruf dan nahi mungkar, serta bersabar terhadap segala gangguan yang menimpanya.’ Maka kalian harus memahami hal ini dan merealisasikannya. Sesungguhnya kelemahan akan selalu ada pada orang yang mengerti agama, ketika tidak merealisasikannya atau tidak memahaminya. Para ulama juga menyebutkan bahwasanya jika inkarul munkar akan menyebabkan perpecahan, maka tidak boleh dilakukan. Aku mewanti-wanti kalian agar melaksanakan apa yang telah kusebutkan dan memahaminya dengan sebaik-baiknya. Karena, jika kalian tidak melaksanakannya niscaya perbuatan inkarul munkar kalian akan merusak citra agama. Dan seorang muslim tidaklah berbuat kecuali apa yang membuat baik agama dan dunianya.”(Lihat Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 176)

7. Tuduhan: Muhammad bin Abdul Wahhab itu bukanlah seorang yang berilmu. Dia belum pernah belajar dari para syaikh, dan mungkin saja ilmunya dari setan! (7)

Jawaban:

- Pernyataan ini menunjukkan butanya tentang biografi Asy-Syaikh, atau pura-pura buta dalam rangka penipuan intelektual terhadap umat.

- Bila ditengok sejarahnya, ternyata beliau sudah hafal Al-Qur`an sebelum berusia 10 tahun. Belum genap 12 tahun dari usianya, sudah ditunjuk sebagai imam shalat berjamaah. Dan pada usia 20 tahun sudah dikenal mempunyai banyak ilmu. Setelah itu rihlah (pergi) menuntut ilmu ke Makkah, Madinah, Bashrah, Ahsa`, Bashrah (yang kedua kalinya), Zubair, kemudian kembali ke Makkah dan Madinah. Gurunya pun banyak, (8) di antaranya adalah:

Di Najd: Asy-Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman (9) dan Asy-Syaikh Ibrahim bin Sulaiman. (10)

Di Makkah: Asy-Syaikh Abdullah bin Salim bin Muhammad Al-Bashri Al-Makki Asy-Syafi’i. (11)

Di Madinah: Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif. (12) Asy-Syaikh Muhammad Hayat bin Ibrahim As-Sindi Al-Madani, (13) Asy-Syaikh Isma’il bin Muhammad Al-Ajluni Asy-Syafi’i, (14) Asy-Syaikh ‘Ali Afandi bin Shadiq Al-Hanafi Ad-Daghistani, (15) Asy-Syaikh Abdul Karim Afandi, Asy-Syaikh Muhammad Al Burhani, dan Asy-Syaikh ‘Utsman Ad-Diyarbakri.

Di Bashrah: Asy-Syaikh Muhammad Al-Majmu’i. (16)

Di Ahsa`: Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Lathif Asy-Syafi’i.

8. Tuduhan: Tidak menghormati para wali Allah, dan hobinya menghancurkan kubah/bangunan yang dibangun di atas makam mereka.

Jawaban:

- Pernyataan bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak menghormati para wali Allah Subhanahu wa Ta'ala, merupakan tuduhan dusta. Beliau berkata –dalam suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku menetapkan (meyakini) adanya karamah dan keluarbiasaan yang ada pada para wali Allah Subhanahu wa Ta'ala, hanya saja mereka tidak berhak diibadahi dan tidak berhak pula untuk diminta dari mereka sesuatu yang tidak dimampu kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.”(17)

- Adapun penghancuran kubah/bangunan yang dibangun di atas makam mereka, maka beliau mengakuinya –sebagaimana dalam suratnya kepada para ulama Makkah–. (18) Namun hal itu sangat beralasan sekali, karena kubah/bangunan tersebut telah dijadikan sebagai tempat berdoa, berkurban dan bernadzar kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sementara Asy-Syaikh sudah mendakwahi mereka dengan segala cara, dan beliau punya kekuatan (bersama waliyyul amri) untuk melakukannya, baik ketika masih di ‘Uyainah ataupun di Dir’iyyah.

Hal ini pun telah difatwakan oleh para ulama dari empat madzhab. Sebagaimana telah difatwakan oleh sekelompok ulama madzhab Syafi’i seperti Ibnul Jummaizi, Azh-Zhahir At-Tazmanti dll, seputar penghancuran bangunan yang ada di pekuburan Al-Qarrafah Mesir. Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri berkata: “Aku tidak menyukai (yakni mengharamkan) pengagungan terhadap makhluk, sampai pada tingkatan makamnya dijadikan sebagai masjid.” Al-Imam An-Nawawi dalam Syarhul Muhadzdzab dan Syarh Muslim mengharamkam secara mutlak segala bentuk bangunan di atas makam. Adapun Al-Imam Malik, maka beliau juga mengharamkannya, sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Rusyd. Sedangkan Al-Imam Az-Zaila’i (madzhab Hanafi) dalam Syarh Al-Kanz mengatakan: “Diharamkan mendirikan bangunan di atas makam.” Dan juga Al-Imam Ibnul Qayyim (madzhab Hanbali) mengatakan: “Penghancuran kubah/bangunan yang dibangun di atas kubur hukumnya wajib, karena ia dibangun di atas kemaksiatan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Lihat Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh, hal.284-286)

Para pembaca, demikianlah bantahan ringkas terhadap beberapa tuduhan miring yang ditujukan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Untuk mengetahui bantahan atas tuduhan-tuduhan miring lainnya, silahkan baca karya-karya tulis Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kemudian buku-buku para ulama lainnya seperti:

- Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah, disusun oleh Abdurrahman bin Qasim An-Najdi.

- Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, karya Al-‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani Al-Hindi.

- Raddu Auham Abi Zahrah, karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, demikian pula buku bantahan beliau terhadap Abdul Karim Al-Khathib.

- Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi.

- ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As Salafiyyah, karya Dr. Shalih bin Abdullah Al-’Ubud.

- Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu`ayyidin, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, dsb.

Wallahu a’lam bish-shawab.

_______________

(1) Sebagaimana yang dinyatakan Ahmad Abdullah Al-Haddad Baa ‘Alwi dalam kitabnya Mishbahul Anam, hal. 5-6 dan Ahmad Zaini Dahlan dalam dua kitabnya Ad-Durar As-Saniyyah Firraddi ‘alal Wahhabiyyah, hal. 46 dan Khulashatul Kalam, hal. 228-261.

(2) Sebagaimana dalam Mishbahul Anam.

(3) Sebagaimana yang diterangkan pada kajian utama edisi ini/Hubungan Najd dengan Daulah Utsmaniyyah. (Silakan baca di sini: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=334)

(4) Untuk lebih rincinya bacalah kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir.

(5) Sebagaimana yang dinyatakan Ibnu ‘Abidin Asy-Syami dalam kitabnya Raddul Muhtar, 3/3009.

(6) Termaktub dalam risalah Sulaiman bin Suhaim.

(7) Tuduhan Sulaiman bin Muhammad bin Suhaim, Qadhi Manfuhah.

(8) Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/143-171.

(9) Ayah beliau, dan seorang ulama Najd yang terpandang di masanya dan hakim di ‘Uyainah.

(10) Paman beliau, dan sebagai hakim negeri Usyaiqir.

(11) Hafizh negeri Hijaz di masanya.

(12) Seorang faqih terpandang, murid para ulama Madinah sekaligus murid Abul Mawahib (ulama besar negeri Syam). Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendapatkan ijazah dari guru beliau ini untuk meriwayatkan, mempelajari dan mengajarkan Shahih Al-Bukhari dengan sanadnya sampai kepada Al-Imam Al-Bukhari serta syarah-syarahnya, Shahih Muslim serta syarah-syarahnya, Sunan At-Tirmidzi dengan sanadnya, Sunan Abi Dawud dengan sanadnya, Sunan Ibnu Majah dengan sanadnya, Sunan An-Nasa‘i Al-Kubra dengan sanadnya, Sunan Ad-Darimi dan semua karya tulis Al-Imam Ad-Darimi dengan sanadnya, Silsilah Al-‘Arabiyyah dengan sanadnya dari Abul Aswad dari ‘Ali bin Abi Thalib, semua buku Al-Imam An-Nawawi, Alfiyah Al-’Iraqi, At-Targhib Wat Tarhib, Al-Khulashah karya Ibnu Malik, Sirah Ibnu Hisyam dan seluruh karya tulis Ibnu Hisyam, semua karya tulis Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani, buku-buku Al-Qadhi ‘Iyadh, buku-buku qira’at, kitab Al-Qamus dengan sanadnya, Musnad Al-Imam Asy-Syafi’i, Muwaththa’ Al-Imam Malik, Musnad Al-Imam Ahmad, Mu’jam Ath-Thabrani, buku-buku As-Suyuthi dsb.

(13) Ulama besar Madinah di masanya.

(14) Penulis kitab Kasyful Khafa‘ Wa Muzilul Ilbas ‘Amma Isytahara ‘Ala Alsinatin Nas.

(15) Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bertemu dengannya di kota Madinah dan mendapatkan ijazah darinya seperti yang didapat dari Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.

(16) Ulama terkemuka daerah Majmu’ah, Bashrah.

(17) Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al Wahhabiyyah, hal. 119

(18) Ibid, hal. 76.

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=337

KEYAKINAN NAN INDAH LAGI MANIS

Setiap orang memiliki keyakinan, namun indah dan maniskah keyakinan mereka.... maka di sini akan kami sebutkan keyakinan nan indah lagi berbuah manis.


[1] IMAN KEPADA ALLAH
Iman Terhadap Wujud Allah
Iman terhadap wujud Allah ditopang oleh fitrah, akal sehat, dalil syari’at dan juga indera. Secara fitrah setiap manusia pasti mengakui bahwa ada yang menciptakan dirinya, hal itu dia yakini tanpa perlu berpikir panjang atau pun belajar ilmu tertentu. Tidak ada yang menyimpang dari keyakinan ini selain orang yang sudah terpengaruh faktor lain yang menyimpangkannya dari fitrah tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap bayi dilahirkan pasti dalam keadaan di atas fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari).
Adapun secara akal maka sesungguhnya keberadaan makhluk yang ada sejak dahulu hingga sekarang ini semua menunjukkan pasti ada yang menciptakan mereka. Tidak mungkin mereka menciptakan dirinya sendiri, atau terjadi secara tiba-tiba tanpa pencipta. Maka tidak ada kemungkinan selain alam ini pasti diciptakan oleh Allah ta’ala. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun yang ada sebelumnya ataukah mereka menciptakan diri mereka sendiri?” (QS. ath-Thur : 35). Ketika mendengar dibacakannya ayat ini maka Jubair bin Muth’im yang pada saat itu masih kafir mengatakan, “Hampir-hampir saja hatiku terbang, itulah saat pertama kali iman menyentuh dan bersemayam di dalam hatiku.” (HR. Bukhari).
Begitu pula adanya kitab-kitab suci yang semuanya berbicara tentang Allah, ini merupakan dalil syari’at tentang keberadaan/wujud Allah. Sedangkan secara indera adalah kita bisa menyaksikan terkabulnya doa yang dipanjatkan oleh orang. Sebagaimana yang terjadi pada Nabi Nuh. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Nuh, ingatlah ketika dia menyeru (Rabbnya) sebelum itu dan Kami pun mengabulkan doanya.” (QS. al-Anbiya’ : 72). Demikian pula apa yang disaksikan oleh umat para nabi berupa mukjizat nabi yang diutus kepada mereka. Seperti contohnya mukjizat nabi Musa yang membelah lautan dengan tongkatnya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka Kami wahyukan kepada Musa pukulkanlah dengan tongkatmu ke laut itu, maka ia pun terbelah dan setiap sisinya menjadi setinggi gunung yang tinggi.” (QS. asy-Syu’ara’ : 63). (Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 15)
Iman Terhadap Rububiyyah Allah
Rabb adalah Dzat yang memiliki kuasa menciptakan, mengatur urusan dan memerintah. Kita wajib mengimani bahwa tidak ada pencipta, pengatur dan yang berhak memerintah semua makhluk selain Allah semata. Allah berfirman (yang artinya), “Ingatlah sesungguhnya menciptakan dan memerintah adalah hak-Nya.” (QS. al-A’raaf : 54). Allah juga berfirman (yang artinya), “Itulah Allah Rabb kalian. Sang pemilik kerajaan. Sedangkan sesembahan yang kalian seru selain-Nya tidaklah menguasai apapun walaupun hanya setipis kulit ari.” (QS. Fathir : 13). Tidak ada orang yang mengingkari hal ini kecuali dikarenakan kesombongan dan kecongkakan seperti halnya Fir’aun.
Orang-orang musyrik pun sudah mengakui hal ini bahwa tidak ada yang menguasai alam ini dan menciptakan langit dan bumi selain Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh jika kalian tanyakan kepada mereka; siapakah yang menciptakan langit dan bumi, maka mereka pasti menjawab; yang menciptakannya adalah Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. az-Zukhruf : 9). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan sungguh jika kalian tanyakan kepada mereka; siapakah yang menciptakan mereka, maka pasti mereka akan mengatakan : Allah…” (QS. az-Zukhruf : 87). (Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 19)
Iman Terhadap Uluhiyyah Allah
Artinya kita mengimani bahwa hanya Allah sesembahan yang benar dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesembahan kalian adalah sesembahan yang esa. Tidak ada sesembahan selain Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah : 163). “Demikian itulah kuasa Allah, Dia adalah sesembahan yang haq sedangkan segala yang diseru selain-Nya adalah sesembahan yang batil.” (QS. al-Hajj : 62). Maka segala sesuatu yang disembah selain Allah adalah batil. Oleh sebab itu dakwah yang diserukan oleh para rasul adalah sama yaitu, “Hai kaumku, sembahlah Allah. tidak ada sesembahan yang benar bagi kalian selain Dia.” (QS. al-A’raaf : 59). (Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 21).
Iman Terhadap Asma' wa Sifat Allah
Yaitu dengan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang disebutkan oleh Allah atau rasul-Nya, di dalam al-Qur’an ataupun as-Sunnah sesuai dengan kemuliaan-Nya, tanpa menyimpangkan maknanya, tanpa menolak, dan tanpa menentukan bentuk dan caranya, serta tidak disertai dengan menyerupakannya dengan makhluk. Allah berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syura : 11).
Dalam mengimani hal ini terdapat dua kelompok besar yang menyimpang yaitu mu’aththilah dan musyabihah. Mu’aththilah menolak nama, sifat ataupun sebagian darinya dengan alasan bahwa apabila kita menetapkan hal itu akan menyebabkan terjadinya penyerupaan Allah dengan makhluk. Hal ini jelas tidak benar karena itu sama saja mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat pertentangan. Padahal Allah sendiri yang menetapkan adanya nama atau sifat tersebut. Dan pertentangan ini sangat mustahil terjadi. Sedangkan kaum musyabbihah menetapkan nama dan sifat akan tetapi menyerupakan hakikatnya dengan nama dan sifat makhluk. Menurut mereka itulah yang dimaksud oleh dalil, padahal Allah sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang serupa dengan-Nya. Maka menyerupakan Allah dengan makhluk jelas sebuah kebatilan, karena sama nama belum tentu hakikatnya sama.
Buah Iman Kepada Allah
  • Merealisasikan pengesaan Allah sehingga tidak menggantungkan harapan kepada selain Allah, tidak takut kepada yang lain, dan tidak menyembah kepada selain-Nya. 
  • Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, serta mengagungkan-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang Maha tinggi. 
  • Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan apa yang diperintah serta menjauhi apa yang dilarang-Nya. (Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 23).
[2] IMAN KEPADA MALAIKAT
Kandungan Iman Kepada Malaikat
Malaikat adalah makhluk ghaib yang senantiasa taat beribadah kepada Allah. Allah menciptakan mereka dari cahaya. Allah menganugerahkan kepada mereka ketundukan yang penuh terhadap perintah-Nya dan kekuatan yang hebat sehingga dapat melaksanakannya. Jumlah mereka banyak, tidak ada yang dapat menghitung semuanya kecuali Allah. Hal itu sebagaimana diceritakan oleh Nabi dalam hadits Anas yang mengisahkan peristiwa mi’raj Nabi ke langit bahwa di baitul ma’mur ada tujuh puluh ribu malaikat yang mengerjakan shalat di sana; apabila mereka sudah keluar darinya maka mereka tidak lagi kembali (HR. Bukhari dan Muslim).
Mengimani malaikat mengandung :
  • Keimanan terhadap wujud/keberadaan mereka
  • Mengimani nama-nama mereka yang kita ketahui dan keberadaan mereka meskipun tidak kita ketahui namanya
  • Mengimani sifat-sifat mereka yang diberitakan kepada kita
  • Mengimani perbuatan atau tugas mereka yang kita ketahui (Rujukan : Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 27)
Buah Iman Kepada Malaikat
Iman kepada malaikat akan dapat membuahkan manfaat yang agung di antaranya :
  • Mengetahui kebesaran Allah ta’ala dan kemahakuasaan-Nya
  • Bersyukur kepada Allah atas perhatian-Nya kepada manusia di mana Allah menciptakan malaikat yang menjaga mereka, mencatat amal-amal mereka
  • Mencintai ketaatan malaikat terhadap perintah Rabbnya (Rujukan : Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 29)>
[3] IMAN KEPADA KITAB-KITAB
Kandungan Iman Kepada Kitab
Yang dimaksud dengan kitab di sini adalah kitab-kitab suci yang Allah turunkan kepada para rasul-Nya sebagai bukti kasih sayang-Nya kepada manusia, petunjuk bagi mereka agar mereka bisa mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Iman kepada kitab-kitab mengandung empat hal :
  • Mengimani bahwa kitab-kitab tersebut benar-benar turun dari sisi Allah
  • Mengimani nama-nama kitab yang kita ketahui, adapun yang tidak kita ketahui namanya maka kita mengimaninya secara global
  • Membenarkan berita yang sahih yang terdapat di dalamnya sebagaimana berita-berita yang terdapat di dalam al-Qur’an dan berita-berita di dalam kitab suci terdahulu yang tidak diubah-ubah atau diselewengkan
  • Mengamalkan hukumnya yang belum dihapus oleh al-Qur’an dan merasa ridha dan pasrah kepada ketentuannya, sedangkan pemberlakuan kitab suci terdahulu telah dihapuskan semuanya oleh al-Qur’an. (Rujukan : Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 32).
Buah Iman Kepada Kitab
Iman kepada kitab membuahkan :
  • Menyadari perhatian Allah kepada hamba-hamba-Nya di mana Allah telah menurunkan kitab-kitab kepada masing-masing kaum sebagai petunjuk untuk mereka
  • Mengetahui kebijaksanaan Allah dalam menetapkan syari’at-Nya di mana Allah menetapkan syari’at yang sesuai dengan keadaan masing-masing kaum. (Rujukan : Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 33)
Iman Terhadap Al-Qur’an
al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk, lafaz maupun maknanya. Diturunkan dari-Nya. Didengar oleh Jibril dan disampaikan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian beliau menyampaikannya kepada para sahabatnya. Itulah yang kita baca dengan lisan kita, yang ditulis di dalam mushaf, dihafal di dalam dada dan kita dengar dengan telinga kita. al-Qur’an diturunkan kepada Nabi yang terakhir dan ia merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan kepada manusia dan menghapus syari’at-syari’at terdahulu. al-Qur’an yang ada di tangan-tangan kita itulah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, dan ia akan tetap ada hingga tiba waktunya diangkat di akhir zaman nanti. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikan tugasnya untuk menjelaskan al-Qur’an ini dengan ucapan, perbuatan dan ketetapannya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka mau berpikir.” (QS. an-Nahl : 44). (Rujukan : Kitab Tauhid li Shafits Tsani hal. 53).

[4] IMAN KEPADA PARA RASUL
Definisi Rasul
Secara bahasa Rasul artinya orang yang diutus untuk menyampaikan sesuatu. Sedangkan pengertian rasul dalam syari’at adalah orang yang mendapatkan wahyu dengan syari’at serta diperintahkan untuk menyampaikannya. Rasul yang pertama adalah Nuh ‘alaihis salam, sedangkan rasul yang terakhir adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah wahyukan kepadamu al kitab sebagaimana Kami mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi sesudahnya.” (QS. an-Nisaa’ : 163). Allah juga berfirman (yang artinya), “Bukanlah Muhammad itu sekedar bapak dari salah seorang dari kalian akan tetapi dia adalah seorang utusan Allah dan penutup nabi-nabi.” (QS. al-Ahzab : 40). (Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 34).
Perbedaan Nabi Dengan Rasul
Nabi secara istilah adalah seorang lelaki merdeka yang mendapatkan berita dari Allah ta’ala dengan syari’at terdahulu untuk dia ajarkan kepada orang-orang di sekelilingnya yang telah menganut syariat terdahulu tersebut. Adapun rasul adalah lelaki merdeka yang mendapatkan berita dari Allah dengan syariat serta diprintahkan untuk menyampaikannya kepada kelompok orang yang tidak mengetahuinya atau kaum yang menyelisihinya dari kalangan orang-orang yang menjadi sasaran dakwahnya. Kenabian merupakan sayrat kerasulan, sehingga tidak bisa menjadi rasul kecuali nabi. Setiap rasul adalah nabi dan tidak sebaliknya. Rasul diutus kepada orang yang belum mengenal agama Allah dan syari’at-Nya atau kepada orang-orang yang telah mengubah syariat dan agama dalam rangka mengajari dan mengembalikan mereka kepada ajaran yang benar. Maka rasul adalah hakim di antara mereka. Sedangkan nabi hanya diutus untuk mendakwahkan syariat sebelumnya yang sudah ada. (Kitab Tauhid li Shafits Tsani hal. 61).
Kandungan Iman Kepada Para Rasul
Iman kepada para rasul mengandung beberapa hal :
  • Mengimani bahwa risalah mereka adalah haq dari sisi Allah, maka barangsiapa yang mengingkari risalah salah satu saja di antara mereka sama saja dia telah kafir kepada mereka semua. Allah berfirman (yang artinya), “Kaum Nuh mendustakan seluruh rasul.” (QS. asy-Syu’ara’ : 105).
  • Mengimani rasul yang kita ketahui namanya, dan apabila tidak kita ketahui maka kita mengimani mereka secara global
  • Membenarkan berita yang benar-benar diberitakan oleh mereka
  • Mengamalkan syari’at rasul yang diutus kepada kita yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 36).
Buah Iman Kepada Para Rasul
Iman kepada rasul membuahkan berbagai faidah di antaranya :
  • Mengetahui rahmat Allah ta’ala dan perhatian-Nya kepada hamba-hamba-Nya di mana Allah mengutus untuk mereka para rasul yang menunjukkan kepada mereka kepada jalan Allah dan menjelaskan kepada mereka tata cara beribadah kepada-Nya
  • Bersyukur kepada Allah atas nikmat yang sangat agung ini
  • Mencintai para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam dan mengagungkan mereka, memuji mereka dengan pujian yang sepantasnya karena mereka adalah para utusan Allah yang telah menunaikan dengan baik kewajiban beribadah kepada-Nya serta menyampaikan risalah kepada umat manusia. (Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 38).
Mencintai Dan Mengagungkan Rasulullah
Wajib bagi setiap orang untuk mencintai Allah, bahkan hal itu tergolong ibadah yang paling agung. Dan salah satu konsekuensi kecintaan kepada Allah adalah kecintaan kepada Rasul. Nabi bersabda, “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dicintainya daripada anak dan orang tuanya, dan dari seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).
  • Di samping itu kita juga dilarang melakukan perbuatan melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam memuji beliau. Beliau bersabda, “Janganlah kamu memujiku sebagaimana kaum Nashara memuji Isa putera Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba. Maka katakanlah bahwa aku adalah hamba dan utusan-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
  • Termasuk bentuk pengagungan kepada beliau adalah dengan menjunjung tinggi sunnah-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah ia (Muhammad) berbicara dengan hawa nafsunya, namun itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm : 3-4). Dan kita juga tidak boleh sembarangan membicarakan sahih tidaknya hadits tanpa landasan ilmu. (Kitab Tauhid li Shafits Tsalits hal. 65).
[5] IMAN KEPADA HARI AKHIR
Kandungan Iman Kepada Hari Akhir
Hari akhir adalah hari tatkala umat manusia dibangkitkan dari kuburnya untuk dihisab dan dibalas amal-amalnya. Iman kepada hari akhir mengandung 3 hal :
  • Iman akan terjadinya hari kebangkitan; yaitu dihidupkannya orang-orang yang telah mati ketika ditiupnya sangkakala untuk kedua kalinya maka bangkitlah mereka untuk menghadap Allah dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, dan belum berkhitan.
  • Iman terhadap adanya hisab dan pembalasan amal. Setiap orang akan dibalas berdasarkan amalnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari kebijaksanaan Allah ta’ala yang telah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul serta mewajibkan umat manusia untuk menerima dan melaksanakan ajaran mereka, bahkan Allah juga memerintahkan untuk memerangi orang-orang yang menentang rasul-Nya, kalau seandainya setelah itu semua tidak ada balasan dan maka niscaya ini semua merupakan sebuah kesia-siaan yang Allah tentu saja terbebas darinya
  • Iman terhadap surga dan neraka. Keduanya merupakan tempat tinggal abadi bagi manusia. Surga adalah negeri yang penuh dengan kenikmatan yang Allah persiapkan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Sedangkan neraka adalah negeri yang penuh dengan siksaan yang dipersiapkan oleh Allah bagi orang-orang yang kafir dan zalim. (Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 40).
Fitnah Kubur dan Siksa Kubur
Kita juga wajib mengimani segala peristiwa yang terjadi setelah kematian, seperti :
  • Ujian di alam kubur. Yaitu pertanyaan kepada mayit setelah ia dikuburkan mengenai siapakah Rabbnya, apa agamanya dan siapa Nabinya. Pada saat itu Allah akan memberikan ketegaran bagi hamba-hamba-Nya yang beriman sehingga ia akan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan baik.
  • Siksa dan nikmat kubur. Siksa kubur diperuntukkan bagi orang-orang zalim yaitu orang munafik dan orang kafir. Adapun nikmat kubur diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman dan tulus lagi jujur. (Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 44).
Buah Iman Kepada Hari Akhir
Iman kepada hari akhir akan membuahkan :
  • Menumbuhkan semangat dalam melakukan ketaatan
  • Memunculkan perasaan takut untuk berbuat maksiat
  • Menghibur hati seorang mukmin yang mengalami kehilangan sebagian kenikmatan dunia. (Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 46).
[6] IMAN KEPADA TAKDIR
Kandungan Iman Kepada Takdir
Iman kepada takdir mencakup empat hal :
  • Mengimani bahwa Allah telah mengetahui segala sesuatu baik secara global maupun terperinci, baik yang terkait dengan perbuatan Allah sendiri ataupun perbuatan makhluk
  • Mengimani bahwa Allah telah menulis ilmunya di dalam Lauhul mahfuz sejak 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi
  • Mengimani bahwa segala kejadian di alam ini tidak terjadi kecuali dengan kehendak Allah, baik hal itu berkaitan dengan diri-Nya ataupun makhluk
  • Mengimani bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini merupakan makhluk Allah, baik itu berupa dzat, sifat maupun gerak-geriknya. (Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 53).
Kehendak Manusia
Manusia tidak hidup dalam keadaan dipaksa, mereka memiliki pilihan dan kemampuan. Hal ini ditunjukkan oleh dalil syari’at maupun dalil kenyataan. Dalil dari syari’at antara lain firman Allah (yang artinya), “Maka baransgiapa yang berkehendak silakan mengambil jalan untuk kembali kepada Rabb-nya.” (QS. an-Naba’ : 39). Allah juga berfirman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah sekuat kemampuan kalian.” (QS. at-Taghabun : 16). Sedangkan dalil kenyataan menunjukkan bahwa setiap orang menyadari bahwa dirinya mempunyai kehendak dan kemampuan yang dengan itu dia bisa melakukan sesuatu atau meninggalkannya. (Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 54).
Buah Iman Kepada Takdir
Iman kepada takdir akan menghasilkan :
  • Sikap bersandar kepada Allah dalam melakukan usaha
  • Menahan munculnya sikap ujub atau kagum terhadap diri sendiri
  • Tenang ketika menghadapi musibah yang menimpa. (Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 58).
Macam-Macam Takdir
Takdir ada bermacam-macam :
  • Takdir umum yang mencakup segala sesuatu yaitu yang sudah Allah tetapkan sejak 50 ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi
  • Takdir umri; yaitu takdir yang dituliskan ketika seoang bayi mulai mengawali kehidupannya di dalam rahim ibunya
  • Takdir sanawi; yaitu takdir yang dituliskan saat Lailatul Qadar di setiap tahunnya
  • Takdir yaumi; yaitu takdir yang dituliskan terjadi pada setiap harinya, baik itu terkait dengan rezeki, hidup maupun matinya seseorang. (Kitab Tauhid li Shafits Tsani hal. 113).
Semoga Allah menjadikan kita orang yang beriman dengan iman yang sebenar-benarnya sampai akhir hayat.

Adab Berpakaian Bagi Muslimah

Haruskah Hitam?


Terkait dengan warna pakaian terutama pakaian perempuan, terdapat beragam sikap orang yang dapat kita jumpai. Ada yang beranggapan bahwa warna pakaian seorang perempuan muslimah itu harus hitam atau minimal warna yang cenderung gelap. Di sisi lain ada yang memiliki pandangan bahwa perempuan bebas memilih warna dan motif apa saja yang dia sukai. Sesungguhnya Allah itu maha indah dan mencintai keindahan, kata mereka beralasan. Manakah yang benar dari pendapat-pendapat ini jika ditimbang dengan aturan al-Qur’an dan sunnah shahihah yang merupakan suluh kita untuk menentukan pilihan dari berbagai pendapat yang kita jumpai?
Salah satu persyaratan pakaian muslimah yang syar’i adalah pakaian tersebut bukanlah perhiasan. Dalam syarat ini adalah firman Allah yang artinya, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. an Nur:31). Dengan redaksinya yang umum ayat ini mencakup larangan menggunakan pakaian luar jika pakaian tersebut berstatus “perhiasan” yang menarik pandangan laki-laki.

عن فَضَالَةُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ رَجُلٌ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ وَعَصَى إِمَامَهُ وَمَاتَ عَاصِيًا وَأَمَةٌ أَوْ عَبْدٌ أَبَقَ فَمَاتَ وَامْرَأَةٌ غَابَ عَنْهَا زَوْجُهَا قَدْ كَفَاهَا مُؤْنَةَ الدُّنْيَا فَتَبَرَّجَتْ بَعْدَهُ فَلَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ

Dari Fadhalah bin Ubaid, dari Nabi beliau bersabda, “Tiga jenis orang yang tidak perlu kau tanyakan (karena mereka adalah orang-orang yang binasa). Yang pertama adalah orang yang meninggalkan jamaah kaum muslimin yang dipimpin oleh seorang muslim yang memiliki kekuasaan yang sah dan memilih untuk mendurhakai penguasa tersebut sehingga meninggal dalam kondisi durhaka kepada penguasanya. Yang kedua adalah budak laki-laki atau perempuan yang kabur dari tuannya dan meninggal dalam keadaan demikian. Yang ketiga adalah seorang perempuan yang ditinggal pergi oleh suaminya padahal suaminya telah memenuhi segala kebutuhan duniawinya lalu ia bertabarruj setelah kepergian sang suami. Jangan pernah bertanya tentang mereka.” (HR Ahmad no 22817 dll, shahih. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal 387)

Sedangkan tabarruj itu didefinisikan oleh para ulama’ dengan seorang perempuan yang menampakkan “perhiasan” dan daya tariknya serta segala sesuatu yang wajib ditutupi karena hal tersebut bisa membangkitkan birahi seorang laki-laki yang masih normal.
Di samping itu, maksud dari perintah berjilbab adalah menutupi segala sesuatu yang menjadi perhiasan (baca: daya tarik) seorang perempuan. Maka sungguh sangat aneh jika ternyata pakaian yang dikenakan tersebut malah menjadi daya tarik tersendiri. Sehingga fungsi pakaian tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Meski demikian anggapan sebagian perempuan multazimah (yang komitmen dengan aturan agama) bahwa seluruh pakaian yang tidak berwarna hitam adalah pakaian “perhiasan” adalah anggapan yang kurang tepat dengan menimbang dua alasan.

Yang pertama, sabda Nabi,

إن طيب الرجال ما خفي لونه وظهر ريحه ، وطيب النساء ما ظهر لونه وخفي ريحه

“Wewangian seorang laki-laki adalah yang tidak jelas warnanya tapi nampak bau harumnya. Sedangkan wewangian perempuan adalah yang warnanya jelas namun baunya tidak begitu nampak.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.7564 dll, hasan. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal. 387)
Hadits ini mengisyaratkan bahwa adanya warna yang jelas bukanlah suatu hal yang terlarang secara mutlak bagi seorang perempuan muslimah.

Yang kedua, para sahabiyah (sahabat Nabi yang perempuan) bisa memakai pakaian yang berwarna selain warna hitam. Bukti untuk hal tersebut adalah riwayat-riwayat berikut ini:

عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ فَتَزَوَّجَهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الزَّبِيرِ الْقُرَظِيُّ قَالَتْ عَائِشَةُ وَعَلَيْهَا خِمَارٌ أَخْضَرُ فَشَكَتْ إِلَيْهَا وَأَرَتْهَا خُضْرَةً بِجِلْدِهَا فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنِّسَاءُ يَنْصُرُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا قَالَتْ عَائِشَةُ مَا رَأَيْتُ
مِثْلَ مَا يَلْقَى الْمُؤْمِنَاتُ لَجِلْدُهَا أَشَدُّ خُضْرَةً مِنْ ثَوْبِهَا

Dari Ikrimah, Rifa’ah menceraikan istrinya yang kemudian dinikahi oleh Abdurrahman bin az Zubair. Aisyah mengatakan, “Bekas istri rifa’ah itu memiliki kerudung yang berwarna hijau. Perempuan tersebut mengadukan dan memperlihatkan kulitnya yang berwarna hijau. Ketika Rasulullah tiba, Aisyah mengatakan, Aku belum pernah melihat semisal yang dialami oleh perempuan mukminah ini. Sungguh kulitnya lebih hijau dari pada pakaiannya.” (HR. Bukhari no. 5377)

Dari Ummi Khalid binti Khalid, Nabi mendapatkan hadiah berupa pakaian berwarna hitam berukuran kecil. Nabi bersabda, “Menurut pendapat kalian siapakah yang paling tepat kuberikan pakaian ini kepadanya?” Para sahabat hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas bersabda, “Bawa kemari Ummi Khalid (seorang anak kecil perempuan yang diberi kunyah Ummi Khalid)” Ummi Khalid dibawa ke hadapan Nabi sambil digendong. Nabi lantas mengambil pakaian tadi dengan tangannya lalu mengenakannya pada Ummi Khalid sambil mendoakannya, “Moga awet, moga awet.” Pakaian tersebut memiliki garis-garis hijau atau kuning. Nabi kemudian berkata, “Wahai Ummi khalid, ini pakaian yang cantik.” (HR. Bukhari no. 5823)
Meski ketika itu Ummi Khalid belum balig namun Nabi tidak mungkin melatih dan membiasakan anak kecil untuk mengerjakan sebuah kemaksiatan. Sehingga hadits ini menunjukkan bolehnya seorang perempuan mengenakan pakaian berwarna hitam yang bercampur dengan garis-garis berwarna hijau atau kuning. Jadi pakaian tersebut tidak murni berwarna hitam.
Dari al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, “Sesungguhnya Aisyah memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur saat beliau berihram” (HR. Ibnu Abi Syaibah 8/372, dengan sanad yang shahih)
Pada tulisan yang lewat telah kita bahas bahwa yang dimaksud dengan celupan dengan ‘ushfur adalah celupan yang menghasilkan warna merah.
Perbuatan Aisyah sebagaimana dalam riwayat di atas menunjukkan bahwa seorang perempuan muslimah diperbolehkan memakai pakaian berwarna merah polos. Bahkan pakaian merah polos adalah pakaian khas bagi perempuan sebagaimana keterangan di edisi yang lewat.

Berikut ini beberapa riwayat yang kuat dari salaf tentang hal ini:
  • Dari Ibrahim an Nakha’i, bersama Alqamah dan al Aswad beliau menjumpai beberapa istri Nabi. beliau melihat para istri Nabi tersebut mengenakan pakaian berwarna merah.
  • Dari Ibnu Abi Mulaikah, aku melihat Ummi Salamah mengenakan kain yang dicelup dengan ‘ushfur (baca: berwarna merah).
  • Dari Hisyam dari Fathimah bin al Mundzir, sesungguhnya asma’ memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur (baca: berwarna merah)
  • Dari Said bin Jubair, beliau melihat salah seorang istri Nabi yang thawaf mengelilingi Ka’bah sambil mengenakan pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur (Baca: Berwarna merah). (Lihat Jilbab Mar’ah Muslimah karya al Albani hal. 122-123).
Di samping itu riwayat-riwayat di atas juga menunjukkan bahwa pakaian berwarna merah tersebut dipakai di hadapan banyak orang.
Singkat kata, yang dimaksud dengan pakaian yang menjadi “perhiasan” yang tidak boleh dipakai oleh seorang muslimah ketika keluar rumah adalah:
  1. Pakaian yang terdiri dari berbagai warna (Baca: Warna warni).
  2. Pakaian yang dihias dengan garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak yang menarik perhatian laki-laki yang masih normal. (Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal. 388).
Al Alusi berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa menurut kami termasuk “perhiasan” yang terlarang untuk dinampakkan adalah kelakuan mayoritas perempuan yang bergaya hidup mewah di masa kita saat ini yaitu pakaian yang melebihi kebutuhan untuk menutupi aurat ketika keluar dari rumah. Yaitu pakaian dari tenunan sutra terdiri dari beberapa warna (baca:warna-warni). Pada pakaian tersebut terdapat garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak yang membuat mata lelaki normal terbelalak. Menurut kami suami atau orang tua yang mengizinkan mereka keluar rumah dan berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya dalam keadaan demikian itu disebabkan kurangnya rasa cemburu. Hal ini adalah kasus yang terjadi di mana-mana.” (Ruhul Ma’ani, 6/56, lihat Jilbab Mar’ah Muslimah, karya Al Albani hal. 121-122).
Jika demikian keadaan di masa beliau, lalu apa yang bisa kita katakan tentang keadaan masa sekarang! Allahul Musta’an (Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan).
Meskipun demikian, pakaian yang lebih dianjurkan adalah pakaian yang berwarna hitam atau cenderung gelap karena itu adalah:
  1. Pakaian yang sering dikenakan oleh para istri Nabi. Ketika Shafwan menjumpai Aisyah yang tertinggal dari rombongan, Shafwan melihat sosok hitam seorang yang sedang tidur. (HR. Bukhari dan Muslim)
  2. Hadits dari Aisyah yang menceritakan bahwa sesudah turunnya ayat hijab, para perempuan anshar keluar dari rumah-rumah mereka seakan-akan di kepala mereka terdapat burung gagak yang tentu berwarna hitam. (HR. Muslim)
Serba Serbi Seputar Warna
Jilbab Putih

Lajnah Daimah (Komite Fatwa Para Ulama’ Saudi) pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut:
“Apakah seorang perempuan diperbolehkan memakai pakaian ketat dan memakai pakaian berwarna putih?”

Jawaban Lajnah Daimah, “Seorang perempuan tidak diperbolehkan untuk menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya atau keluar ke jalan-jalan dan pusat perbelanjaan dalam keadaan memakai pakaian yang ketat, membentuk lekuk tubuh bagi orang yang memandangnya. Karena dengan pakaian tersebut, perempuan tadi seakan telanjang, memancing syahwat dan menjadi sebab timbulnya hal-hal yang berbahaya. Demikian pula, seorang perempuan tidak diperbolehkan memakai pakaian yang berwarna putih jika warna pakaian semisal itu di daerahnya merupakan ciri dan simbol laki-laki. Jika hal ini dilanggar berarti menyerupai laki-laki, suatu perbuatan yang dilaknat oleh Nabi.” (Fatawa al Mar’ah, 2/84, dikumpulkan oleh Muhammad Musnid).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pada asalnya seorang perempuan diperbolehkan memakai pakaian yang berwarna putih asalkan cukup tebal sehingga tidak transparan/tembus pandang terutama ketika matahari bersinar cukup terik. Hukum ini bisa berubah jika di tempat tersebut pakaian berwarna putih merupakan ciri khas pakaian laki-laki maka terlarang karena menyerupai lawan jenis bukan karena warna putih.
Oleh karena itu pandangan miring sebagian wanita multazimah (yang komitmen dengan syariat) di negeri kita terhadap wanita yang berwarna putih adalah pandangan yang tidak tepat karena di negeri kita pakaian berwarna putih bukanlah ciri khas pakaian laki-laki, bahkan sebaliknya menjadi ciri pakaian perempuan (Baca: Jilbab).

Pakaian Perhiasan

Dalam edisi yang lewat, telah kita bahas tentang salah satu yang terlarang untuk pakaian perempuan yaitu bukan perhiasan dan telah kita sebutkan dua kriteria untuk mengetahui hal tersebut. Namun beberapa waktu yang lewat kami dapatkan penjelasan yang lebih tepat mengenai hal ini. Tepatnya dari Syaikh Ali al Halabi, salah seorang ulama dari Yordania. Ketika beliau ditanya tentang parameter untuk menilai suatu pakaian itu pakaian perhiasan ataukah bukan bagi seorang perempuan, beliau katakan, “Parameter untuk menilai hal tersebut adalah ‘urf (aturan tidak tertulis dalam suatu masyarakat)” (Puncak, Bogor 14 Februari 2007 pukul 17:15).

Penjelasan beliau sangat tepat, karena dalam ilmu ushul fiqh terdapat suatu kaedah: “Pengertian dari istilah syar’i kita pahami sebagaimana penjelasan syariat. Jika tidak ada maka mengacu kepada penjelasan linguistik arab. Jika tetap tidak kita jumpai maka mengacu kepada pandangan masyarakat setempat (‘urf ).”

Misal pengertian menghormati orang yang lebih tua. Definisi tentang hal ini tidak kita jumpai dalam syariat maupun dari sudut pandang bahasa Arab. Oleh karena itu dikembalikan kepada pandangan masyarakat setempat. Jika suatu perbuatan dinilai menghormati maka itulah penghormatan. Sebaliknya jika dinilai sebagai penghinaan maka statusnya adalah penghinaan. Hal serupa kita jumpai dalam pengertian pakaian perhiasan bagi seorang muslimah yang terlarang. Misal menurut pandangan masyarakat kita pakaian kuning atau merah polos bagi seorang perempuan yang dikenakan ketika keluar rumah adalah pakaian perhiasan maka itulah pakaian perhiasan yang terlarang. Akan tetapi di tempat atau masa yang berbeda pakaian dengan warna tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan maka pada saat itu pakaian tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan yang terlarang.

Artikel ini merupakan ringkasan artikel yang berjudul “Adab Berpakaian” bagian ke 3 dan 4 dari beberapa seri artikel di www.muslim.or.id. Silahkan langsung merujuk ke www.muslim.or.id untuk mengetahui adab-adab berpakaian lainnya.
***
Artikel www.muslimah.or.id
url : http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/adab-berpakaian-bagi-muslimah.html

"Pembunuhan Husain bin Ali bin Abu Thalib".

Banyak sekali bertebaran kisah-kisah tentang terbunuhnya Husain dari berbagai sumber terutama dari kalangan Syiah. Disini saya mencoba menyusun tulisan dari beberapa tulisan yang telah ada dengan mendasarkan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah dan juga Muridnya ibnu Katsir dalam kitabnya Al bidayah Wannihayah disertai sumber-sumber otentik dari hadits-hadits dan atsar yang telah sah.

Isyarat akan terbunuhnya Husain


Jauh hari sebelum Husain terbunuh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bercerita Kepada Ali bin Abi Thalib  bahwa Husain akan wafat dalam keadaan terbunuh. Adz-Dzahabi rahimahullah membawakan dari  dari ‘Ali, ia berkata:
“Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kedua mata beliau bercucuran air mata, lalu beliau bersabda: “Jibril baru saja datang, ia menceritakan kepadaku bahwa Husain kelak akan mati dibunuh. Kemudian Jibril berkata: “Apakah engkau ingin aku ciumkan kepadamu bau tanahnya?”. Aku menjawab: “Ya. Jibril lalu menjulurkan tangannya, ia menggenggam tanah satu genggaman. Lalu ia memberikannya kepadaku. Sehingga karena itulah aku tidak kuasa menahan air mataku”.[1]

Kronologi terbunuhnya Husain Radiyallahu anhu

Ketika Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu resmi menjadi khalifah, maka Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu juga sangat memuliakannya, bahkan sangat memperhatikan kehidupan Husain Radhiyallahu ‘anhu dan saudaranya, sehingga sering memberikan hadiah kepada keduanya. Tetapi, ketika Yazid bin Mu’awiyah diangkat sebagai khalifah, Husain Radhiyallahu ‘anhu bersama Ibnu Zubair Radhiyallahu ‘anhu termasuk yang tidak mau berbai’at. Bahkan penolakan itu terjadi sebelum Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu wafat ketika Yazid sudah ditetapkan sebagai calon khalifah pengganti Mu’awiyah.
Oleh karena itu, beliau berdua keluar dari Madinah dan lari menuju Mekah. Kemudian keduanya menetap di Makkah. Ibnu Zubair Radhiyallahu ‘anhu menetap di tempat shalatnya di dekat Ka’bah, sedangkan Husain Radhiyallahu ‘anhu di tempat yang lebih terbuka karena di kelilingi banyak orang.
Selanjutnya, banyak surat yang datang kepada Husain Radhiyallahu ‘anhu dari penduduk Irak membujuk beliau supaya memimpin mereka. Menurut isi surat, mereka siap membai’at Husain Radhiyallahu ‘anhu.dan surat-surat itu diantaranya juga berisi pernyataan gembira atas kematian Muawiyah Radhiyallahuanhu.[2]
kita ketahui penduduk Irak bahkan hinggan saat ini memang banyak diwarnai oleh pemikiran Rafidah (syiah) dan khawarij
Tidak cukup dengan surat saja, mereka terkadang mendatangi Husain radhiyallahu ‘anhu di Makkah, mengajak Beliau radhiyallahu ‘anhu berangkat ke Kufah dan berjanji akan menyediakan pasukan[3]. Para Sahabat seperti Ibnu Abbâs radhiyallahu ‘anhuma kerap kali menasehati Husain radhiyallahu ‘anhu agar tidak memenuhi keinginan mereka, karena ayah Husain radhiyallahu ‘anhu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dibunuh di Kufah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu khawatir mereka membunuh Husain radhiyallahu ‘anhu juga disana.
Saat hendak berangkat dari Mekah menuju Irak, di negeri tempat beliau terbunuh, Husain Radhiyallahu ‘anhu meminta nasehat kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.
Maka, Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhma berkata: “Kalaulah tidak dipandang tidak pantas, tentu aku kalungkan tanganku pada kepalamu (maksudnya hendak mencegah kepergiannya)”.
Maka Husain Radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Sungguh jika aku terbunuh di tempat demikian dan demikian, tentu lebih aku sukai daripada aku mengorbankan kemuliaan negeri Mekah ini” [4]
Husain Radhiyallahu ‘anhu akhirnya tetap berangkat menuju Irak setelah sebelumnya mengutus Muslim bin ‘Aqil bin Abi Thalib ke Irak untuk mengadakan penyelidikan, dan akhirnya mendapat berita bahwa beliau harus segera ke Irak.[5]
Namun, ketika Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma tiba di Madinah, beliau mendengar berita bahwa Husain sedang menuju ke Irak. Mengingat betapa bahayanya Irak bagi Husain Radhiyallahu ‘anhuma, maka Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pun menyusulnya untuk menyarankan agar Husain mengurungkan niatnya. Tetapi, karena harapan-harapan yang diberikan oleh orang-orang Irak, maka Husain tetap pada pendiriannya untuk berangkat ke Irak. Maka Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pun dengan berat hati melepaskannya setelah sebelumnya memeluk Husain Radhiyallahu ‘anhu dan mengucapkan kata perpisahan. Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Aku titipkan engkau kepada Allah dari kejahatan seorang pembunuh”.[6]
Demikianlah, akhirnya Husain bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhuma tetap berangkat ke Irak
Sebagian riwayat menyatakan bahwa Beliau radhiyallahu ‘anhu mengambil keputusan ini karena belum mendengar kabar tentang sepupunya, Muslim bin ‘Aqil, yang telah dibunuh disana.
Akhirnya, berangkatlah Husain radhiyallahu ‘anhu bersama keluarga menuju Kufah.
Sementara di pihak yang lain, ‘Ubaidullah bin Ziyâd diutus oleh Yazid bin Muawiyah untuk mengatasi pergolakan di Irak. Akhirnya, ‘Ubaidullah dengan pasukannya berhadapan dengan Husain radhiyallahu ‘anhu bersama keluarganya yang sedang dalam perjalanan menuju Irak. Pergolakan ini sendiri dipicu oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan Husain radhiyallahu ‘anhu. Dua pasukan yang sangat tidak imbang ini bertemu, sementara orang-orang Irak yang (telah) membujuk Husain radhiyallahu ‘anhu, dan berjanji akan membantu dan menyiapkan pasukan justru melarikan diri meninggalkan Husain radhiyallahu ‘anhu dan keluarganya berhadapan dengan pasukan ‘Ubaidullah. Sampai akhirnya, terbunuhlah Husain radhiyallahu ‘anhu sebagai orang yang terzhalimi dan sebagai syahid. Kepalanya dipenggal lalu dibawa ke hadapan ‘Ubaidullah bin Ziyâd dan kepala itu diletakkan di bejana.
Dalam tragedi mengenaskan ini, di antara Ahlul Bait yang gugur bersama Al Husain adalah putera Ali bin Abi Thalib lainnya; Abu Bakar bin Ali, Umar bin Ali, dan Utsman bin Ali.
Demikian pula putera Al Hasan, Abu Bakar bin Al Hasan. Namun anehnya, ketika Anda mendengar kaset-kaset, ataupun membaca buku-buku Syiah yang menceritakan kisah pembunuhan Al Husain , nama keempat Ahlul Bait tersebut tidak pernah diungkit. Tentu saja, agar orang tidak berkata bahwa Ali memberi nama anak-anak beliau dengan nama-nama sahabat Rasulullah ; Abu Bakar, Umar, dan ‘Utsman. Tiga nama yang paling dibenci orang-orang Syiah.

Kemana perginya para pengirim ratusan surat itu? Mana 12.000 orang yang katanya akan berbaiat rela mati bersama Al Husain ?
Mereka tidak memberikan pertolongan kepada Muslim bin Uqail, utusan Al Husain yang beliau utus dari Makkah ke Kufah. Tidak pula berperang membantu Al Husain melawan pasukan Ibnu Ziyad. Maka tak heran jika sekarang orang-orang Syiah meratap dan menyiksa diri mereka setiap 10 Muharram, sebagai bentuk penyesalan dan permohonan ampun atas dosa-dosa para pendahulu mereka terhadap Al Husain .
Tidak mengherankan kalau Ibnu Umar menyalahkan penduduk irak sebagai pembunuh Husain dalam sebuah atsar yang diriwayatkan Oleh Al Imam Al bukhari haditss no. 3470
‏ ‏عن ‏ ‏ابن أبي نعم ‏ ‏قال كنت شاهدا ‏ ‏لابن عمر ‏ ‏وسأله رجل عن دم البعوض فقال : ممن أنت ؟ فقال : من ‏ ‏أهل ‏ ‏‏العراق ، ‏قال انظروا إلى هذا يسألني عن دم البعوض وقد قتلوا ابن النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ،‏ ‏وسمعت النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏يقول ‏ ‏هما ريحانتاي من الدنيا

Dari ibnu Abi Nuaim, dia berkata:” saya menyaksikan Abdullan bin Umar ketika ditanya oleh seseorang tentang darah nyamuk, Maka ibnu umar bertanya: “engkau darimana? Dia menjawab:”dari irak, Maka ibnu Umar berkata:”Lihatlah orang ini! Dia bertanya kepadaku tentang darah nyamuk padahal mereka telah membunuh cucu Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam, Aku telah mendengar Rasullullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:”mereka berdua adalah Bunga rahanku didunia.
Kisah Kepala Husain
Riwayat yang paling shahih tentang kepala Husain telah dibawakan oleh Imam al-Bukhâri, nomor 3748:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنِي حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أُتِيَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ بِرَأْسِ الْحُسَيْنِ فَجُعِلَ فِي طَسْتٍ فَجَعَلَ يَنْكُتُ وَقَالَ فِي حُسْنِهِ شَيْئًا فَقَالَ أَنَسٌ كَانَ أَشْبَهَهُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَخْضُوبًا بِالْوَسْمَةِ
Aku diberitahu oleh Muhammad bin Husain bin Ibrâhîm, dia mengatakan; aku diberitahu oleh Husain bin Muhammad, kami diberitahu oleh Jarîr dari Muhammad dari Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan; ‘Kepala Husain dibawa dan didatangkan kepada ‘Ubaidullah bin Ziyâd. Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu ‘Ubaidullah bin Ziyâd menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husain. Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan; ‘Diantara Ahlul-Bait, Husain adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Saat itu, Husain radhiyallahu ‘anhu disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan, sejenis pacar yang condong ke warna hitam).
Lalu ‘Ubaidullah yang durhaka ini kemudian menusuk-nusuk hidung, mulut dan gigi Husain radhiyallahu ‘anhu, padahal disitu ada Anas bin Mâlik, Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhuma. Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan; “Singkirkan pedangmu dari mulut itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium mulut itu!” Mendengarnya, orang durhaka ini mengatakan; “Seandainya saya tidak melihatmu sudah tua renta yang akalnya sudah rusak, maka pasti kepalamu saya penggal.
Dalam riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Hibbân dari Hafshah binti Sirîn dari Anas radhiyallahu ‘anhu dinyatakan:
Lalu ‘Ubaidullah mulai menusukkan pedangnya ke hidung Husain radhiyallahu ‘anhu.
Dalam riwayat ath-Thabrâni rahimahullah dari hadits Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu:
Lalu dia mulai menusukkan pedang yang di tangannya ke mata dan hidung Husain radhiyallahu ‘anhu. Aku (Zaid bin Arqam) mengatakan; ‘Angkat pedangmu, sungguh aku pernah melihat mulut Rasulullah (mencium) tempat itu.’
Demkian juga riwayat yang disampaikan lewat jalur Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu:
Aku (Anas bin Malik) mengatakan kepadanya; ‘Sungguh aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium tempat dimana engkau menaruh pedangmu itu.’ Lalu Ubaidullah mengangkat pedangnya.
Dari sini, kita mengetahui betapa banyak riwayat palsu tentang peristiwa ini yang menyatakan bahwa kepala Husain radhiyallahu ‘anhu diarak sampai diletakkan di depan Yazid rahimahullah. Para wanita dari keluarga Husain radhiyallahu ‘anhu dikelilingkan ke seluruh negeri dengan kendaaraan tanpa pelana, ditawan dan dirampas. Semua ini merupakan kepalsuan yang dibuat Rafidhah (Syiah). Karena Yazid rahimahullah saat itu sedang berada di Syam, sementara kejadian memilukan tersebut berlangsung di Irak.
Syaikhul-Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan;

“Al-Husain terbunuh di Karbala di dekat Eufrat dan jasadnya dikubur di tempat terbunuhnya, sedangkan kepalanya dikirim ke hadapan Ubaidillah bin Ziyad di Kufah.
Demikianlah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dan dari para imam yang lain.
Adapun tentang dibawanya kepala beliau kepada Yazid telah diriwayatkan dalam beberapa jalan yang munqathi’ (terputus) dan tidak benar sedikitpun tentangnya.
Bahkan dalam riwayat-riwayat tersebut tampak sesuatu yang menunjukkan kedustaan dan pengada-adaan. Disebutkan padanya bahwa Yazid menusuk gigi taringnya dengan besi dan sebagian para shahabat yang hadir seperti Anas bin Malik, Abi Barzah dan lain-lain mengingkarinya. (tidak suka, red)
Hal ini adalah pengaburan, karena sesungguhnya yang menusuk dengan besi adalah ‘Ubaidilah bin Ziyad. Demikian pula dalam kitab-kitab shahih dan musnad, bahwasanya mereka menempatkan Yazid di tempat ‘Ubaidilah bin Ziyad. Adapun ‘Ubaidillah, tidak diragukan lagi bahwa dialah yang memerintahkan untuk membunuhnya (Husain) dan membawa kepalanya ke hadapan dirinya. Dan akhirnya Ibnu Ziyad pun dibunuh karena itu.
Dan lebih jelas lagi bahwasanya para shahabat yang tersebut tadi seperti Anas dan Abi Barzah tidak berada di Syam, melainkan berada di Iraq ketika itu.

Sesungguhnya para pendusta adalah orang-orang jahil (bodoh), tidak mengerti apa-apa yang menunjukkan kedustaan mereka.”[7]
Adapun tempat yang selama ini dianggap sebagai kuburan Husain atau kuburan kepala Husain di Syam, di Asqalan, di Mesir atau di tempat lain, maka itu adalah dusta, tidak ada bukti sama sekali. Karena semua ulama dan sejarawan yang dapat dipercaya tidak pernah memberikan kesaksian tentang hal itu. Bahkan mereka menyebutkan bahwa kepala Husain dibawa ke Madinah dan dikuburkan di sebelah kuburan Hasan
Adapun yang dirajihkan oleh para ulama tentang kepala Al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma adalah sebagaimana yang disebutkan oleh az- Zubair bin Bukar dalam kitabnya Ansab Quraisy dan beliau adalah seorang yang paling ‘alim dan paling tsiqah dalam masalah ini (tentang keturunan Quraisy). Dia menyebutkan bahwa kepala Al-Husain dibawa ke Madinah An-Nabawiyah dan dikuburkan di sana. Hal ini yang paling cocok, karena di sana ada kuburan saudaranya Al-Hasan, paman ayahnya Al-Abbas dan anak Ali dan yang seperti mereka.[8]
Komentar Ibnu Taimiyah Tentang pembunuhan Husain
“Ketika Husain bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhuma terbunuh pada hari ‘Asyura, yang dilakukan oleh sekelompok orang zhalim yang melampaui batas, dan dengan demikian berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan Husain Radhiyallahu ‘anhuma untuk memperoleh kematian sebagai syahid, sebagaimana Allah Azza wa Jalla juga telah memuliakan Ahlu Baitnya yang lain dengan mati syahid, seperti halnya Allah Azza wa Jalla telah memuliakan Hamzah, Ja’far, ayahnya yaitu ‘Ali dan lain-lain dengan mati syahid. Dan mati syahid inilah salah satu cara Allah Azza wa Jalla untuk meninggikan kedudukan serta derajat Husain Radhiyallahu ‘anhuma. Maka, ketika itulah sesungguhnya Husain Radhiyallahu ‘anhuma dan saudaranya, yaitu Hasan Radhiyallahu ‘anhuma menjadi pemuka para pemuda Ahli sorga.” [9]
Kesyahidan Husain menurut Syaikhul Islam
“Husain Radhiyallahu ‘anhuma telah dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mati syahid pada hari (‘Asyura) ini. Dengan peristiwa ini, Allah Azza wa Jalla juga berarti telah menghinakan pembunuhnya serta orang-orang yang membatu pembunuhan terhadapnya atau orang-orang yang senang dengan pembunuhan itu. Husain Radhiyallahu ‘anhuma memiliki contoh yang baik dari para syuhada yang mendahuluinya. Sesungguhnya Husain Radhiyallahu ‘anhuma dan saudaranya (yaitu Hasan) Radhiyallahu ‘anhuma merupakan dua orang pemuka dari para pemuda Ahli sorga. Keduanya merupakan orang-orang yang dibesarkan dalam suasana kejayaan Islam, mereka berdua tidak sempat mendapatkan keutamaan berhijrah, berjihad dan bersabar menghadapi beratnya gangguan orang kafir sebagaimana dialami oleh para Ahli Baitnya yang lain. Karena itulah, Allah Azza wa Jalla memuliakan keduanya dengan mati syahid sebagai penyempurna bagi kemuliaannya dan sebagai pengangkatan bagi derajatnya agar semakin tinggi. Pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu ‘anhuma ini merupakan musibah besar. Dan Allah Azza wa Jalla mensyari’atkan agar hamba-Nya ber-istirja’ (mengucapkan innâ lillâh wa innâ ilaihi raji’ûn) ketika mendapatkan musibah dengan firman-Nya:
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji’ûn “. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [al-Baqarah/2:155-157][10]
Semoga Kita dapat mengambil Pelajaran dari kisah ini.
Semoga bermanfaat.
Artikel ini merupakan saduran dari Tulisan Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin dan ustadz Abdul Hakim serta sumber-sumber lain dengan beberapa perubahan sesuai dengan Misi blog ini.
[1] Siyar A’lâm Nubalâ (III/288-289). Pentahqiq kitab ini (Muhammad Na’im al-‘Arqasusy dan Ma’mûn Shagharjiy) mengatakan, hadits itu dan yang senada diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Thabrani dan lain-lain, sedangkan para perawinya oleh al-Haitsami dikatakan sebagai para perawi yang tsiqah.
[2] Al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/150)
[3] Mereka (penduduk irak) mengatakan telah menyediakan 12000 pasukan untuk mengamankan kedatangan Husain, Namun hingga Husain dipenggal kepalanya, tak ada satupun yang muncul.
[4] Siyar A’lâm Nubalâ (III/292). Pentahqiq kitab ini (Muhammad Na’im al-‘Arqasusy dan Ma’mûn Shagharji) mengatakan, riwayat ini diriwayatkan oleh ath-Thabrâni, sedangkan para perawinya oleh al-Haitsami dikatakan sebagai para perawi yang dipakai dalam kitab Shahîh.
[5] al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/153 dst)
[6] Siyar A’lâm Nubalâ (III/292)
[7] Majmû’ Fatâwa, ( IV/ 507)
[8] Majmû’ Fatâwa (XXVII/465)
[9] Majmû’ Fatâwa (XXV/302)
[10] Majmû’ Fatâwa (IV/511)

Hal-Hal Yang Harus di Ketahui oleh Setiap Muslimah



Kebanyakan saudari muslimah secara tidak sadar atau karena belum tahu hukumnya dalam islam, melakukan hal-hal yang tidak sesuai syariat islam. Hal-hal yang dilarang keras bahkan pelakunya diancam siksaan yang pedih. Padahal Allah sudah memberikan tuntunan dan peringatan serta balasan atas perbuatan yang dilakukan. Dalam tulisan ini akan kami jelaskan beberapa hal yang sangat penting untuk diketahui kemudian dilaksanakan oleh setiap wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir dalam kehidupan mereka sehari-hari, hal-hal tersebut diantaranaya:
  1. Kewajiban memakai Jilbab Masih saja ada yang menanyakan(menyangsikan) kewajiban berjilbab. Padahal dasar hukumnya sudah jelas yaitu:
    • Surat Al-Ahzab ayat 59 (33:59) : Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan hijab keseluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebihi mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
    • Surat An-Nuur: ayat 31 (24:31) : Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasanny, kecuali yang biasa tampak padanya. Dan hendaklah mereka menutup kain kudung kedadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putri mereka atau putra-putri suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau buda-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang beriman supaya kamu beruntung ”
“(Ini adalah) satu surat yang kami turunkan dan kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya”. (An-Nuur:1)
Ayat pertama Surat An-Nuur yang mendahului ayat-ayat yang lain. Yang berarti hukum-hukum yang berada di surat itu wajib hukumnya.
    • Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya: “Janganlah kaum wanita menampakkan sedikitpun dari perhiasan mereka kepada pria-pria ajnabi (yang bukan mahram/halal nikah), kecuali yang tidak mungkin disembunyikan.”
    • Ibnu Masud berkata : Misalnya selendang dan kain lainnya. “Maksudnya adalah kain kudung yang biasa dikenakan oleh wanita Arab di atas pakaiannya serat bagian bawah pakiannya yang tampak, maka itu bukan dosa baginya, karena tidak mungkin disembunyikan.”
    • Al-Qurthubi berkata: Pengecualian itu adalah pada wajah dan telapak tangan. Yang menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah bahwa Asma binti Abu Bakr menemui Rasulullah shalallohu ‘alahi wa sallam sedangkan ia memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah berpaling darinya dan berkata kepadanya : “Wahai Asma ! Sesungguhnya jika seorang wanita itu telah mencapai masa haid, tidak baik jika ada bagian tubuhnya yang terlihat, kecuali ini.” Kemudian beliau menunjuk wajah dan telapak tangannya. Semoga Allah memberi Taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya.”
    • Juga berdasarkan sabda Nabi shalallohu ‘alahi wa sallam: “Ada tida golongan yang tidak akan ditanya yaitu, seorang laki-laki yang meninggalkan jamaah kaum muslimin dan mendurhakai imamnya (penguasa) serta meninggal dalam keadaan durhaka, seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari tuannya) lalu ia mati, serta seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya, padahal suaminya telah mencukupi keperluan duniawinya, namun setelah itu ia bertabarruj. Ketiganya itu tidak akan ditanya.” (Ahmad VI/19; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad). Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang wajib ditutup karena dapat membangkitkan syahwat laki-laki. (Fathul Bayan VII/19).
Masihkah menyangsikan kewajiban mamakai Jilbab?
  1. Menggunjing, Gosip = Ghibah.
Maaf saudari muslimah, ini juga sangat2 sering dilakukan tanpa sadar. Begitu saja terjadi dan tiak terasa bahwa itu salah satu dosa, karena begitu biasanya. Definisi ghibah dapat kita lihat dalam hadits Rasulullah berikut ini:
“Ghibah ialah engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.” Si penanya kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar ada padanya ?” Rasulullah menjawab, “kalau memang benar ada padanya, itu ghibah namanya. Jika tidak benar, berarti engkau telah berbuat buhtan (mengada-ada).” (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Berdasarkan hadits di atas telah jelas bahwa definisi ghibah yaitu menceritakan tentang diri saudara kita sesuatu yang ia benci meskipun hal itu benar. Ini berarti kita menceritakan dan menyebarluaskan keburukan dan aib saudara kita kepada orang lain. Allah sangat membenci perbuatan ini dan mengibaratkan pelaku ghibah seperti seseorang yang memakan bangkai saudaranya sendiri. Allah berfirman:
” Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)
  1. Menjaga Suara
Suara empuk dan tawa canda seorang wanita terlalu sering kita dengarkan di sekitar kita, baik secara langsung atau lewat radio dan televisi. Terlebih lagi bila wanita itu berprofesi sebagai penyiar atau MC karena memang termasuk modal utamanya adalah suara yang indah dan merdu. Begitu mudahnya wanita memperdengarkan suaranya yang bak buluh perindu, tanpa ada rasa takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal Dia telah memperingatkan:
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al Ahzab: 32)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah bersabda : “Wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan menghias-hiasinya (membuat indah dalam pandangan laki-laki sehingga ia terfitnah)”. (HR. At Tirmidzi, dishahihkan dengan syarat Muslim oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i dalam Ash Shahihul Musnad, 2/36).
Sebagai muslimah harus menjaga suara saat berbicara dalam batas kewajaran bukan sengaja dibikin mendesah-desah, mendayu-dayu, merayu, dan semisalnya. Wallahu a’lam
  1. Mencukur alis mata.
Abdullah bin Mas’ud RadhiyAllohu ‘anhu, dia berkata :
“Alloh Subhanahu wa Ta’ala melaknat wanita yang mencukur alisnya dan wanita yang minta dicukurkan alisnya, wanita yang minta direnggangkan giginya untuk mempercantik diri, yang mereka semua merubah ciptaan Alloh”.
Mencukur alis atau menipiskannya, baik dilakukan oleh wanita yang belum menikah atau sudah menikah, dengan alasan mempercantik diri untuk suami atau lainnya tetap diharamkan, sekalipun disetujui oleh suaminya. Karena yang demikian termasuk merubah penciptaan Allah yang telah menciptakannya dalam bentuk yang sebaik- baiknya. Dan telah datang ancaman yang keras serta laknat bagi pelakunya. Ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram.
  1. Memakai Wangi-wangian: Dari Abu Musa Al-Asyari bahwasannya ia berkata: Rasulullah shalallohu ‘alahi wa sallam bersabda:
“Siapapun wanita yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.” (Al-Hakim II/396 dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).
Dari Zainab Ats-Tsaqafiyah bahwasannya Nabi bersabda shalallohu ‘alahi wa sallam:
“Jika salah seorang diantara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid, maka jangan sekali-kali mendekatinya dengan (memakai) wewangian.” (Muslim dan Abu Awanah).
Dari Musa bin Yasar dari Abu Hurairah: Bahwa seorang wanita berpapasan dengannya dan bau wewangian tercium olehnya. Maka Abu Hurairah berkata :
Wahai hamba Allah ! Apakah kamu hendak ke masjid ? Ia menjawab : Ya. Abu Hurairah kemudian berkata : Pulanglah saja, lalu mandilah ! karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda : “Jika seorang wanita keluar menuju masjid sedangkan bau wewangian menghembus maka Allah tidak menerima shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi.” (Al-Baihaqi III/133).
Alasan pelarangannya sudah jelas, yaitu bahwa hal itu akan membangkitkan nafsu birahi. Ibnu Daqiq Al-Id berkata :
“Hadits tersebut menunjukkan haramnya memakai wewangian bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, karena hal itu akan dapat membangkitkan nafsu birahi kaum laki-laki” (Al-Munawi : Fidhul Qadhir).
Syaikh Albani mengatakan: Jika hal itu saja diharamkan bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, lalu apa hukumnya bagi yang hendak menuju pasar, atau tempat keramaian lainnya ? Tidak diragukan lagi bahwa hal itu jauh lebih haram dan lebih besar dosanya. Berkata Al-Haitsami dalam AZ-Zawajir II/37
“Bahwa keluarnya seorang wanita dari rumahnya dengan memakai wewangian dan berhias adalah termasuk perbuatan dosa besar meskipun suaminya mengizinkan”.
Selanjutnya tentang pakaian seorang muslimah. Fenomena jilbab sangat bagus saat ini, tetapi sangat disayangkan dalam pelaksanaannya masih jauh dari yang disyariatkan, jilbab gaul istilahnya.

6. Memakai Pakaian transparan dan membentuk tubuh/ketat
Sebab yang namanya menutup itu tidak akan terwujud kecuali tidak trasparan. Jika transparan, maka hanya akan mengundang fitnah (godaan) dan berarti menampakkan perhiasan. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda : “Pada akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakain namun (hakekatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti punuk unta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka adalah kaum wanita yang terkutuk.” (At-Thabrani Al-Mujamusshaghir : 232).
Di dalam hadits lain terdapat tambahan yaitu : “Mereka tidak akan masuk surga dan juga tidak akan mencium baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan sekian dan sekian.” (HR.Muslim).
Ibnu Abdil Barr berkata : “Yang dimaksud oleh Nabi adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian yang tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk tubuhnya dans tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu tetap berpakaian namanya, akan tetapi hakekatnya telanjang.”(Tanwirul Hawalik III/103).
Dari Abdullah bin Abu Salamah, bahawsanya Umar bin Al-Khattab pernah memakai baju Qibtiyah (jenis pakaian dari Mesir yang tipis dan berwarna putih) kemudian Umar berkata : “Jangan kamu pakaikan baju ini untuk istri-istrimu !. Seseorang kemudian bertanya : Wahai Amirul Muminin, Telah saya pakaikan itu kepada istriku dan telah aku lihat di rumah dari arah depan maupun belakang, namun aku tidak melihatnya sebagai pakaian yang tipis !. Maka Umar menjawab : Sekalipun tidak tipis,namun ia menggambarkan lekuk tubuh.” (H.R. Al-Baihaqi II/234-235).
Usamah bin Zaid pernah berkata: Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam pernah memberiku baju Qibtiyah yang tebal yang merupakan baju yang dihadiahkan oleh Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Baju itu pun aku pakaikan pada istriku. Nabi bertanya kepadaku: “Mengapa kamu tidak mengenakan baju Qibtiyah ?” Aku menjawab : Aku pakaikan baju itu pada istriku. Nabi lalu bersabda : “Perintahkan ia agar mengenakan baju dalam di balik Qibtiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tulangnya.” (Ad-Dhiya Al-Maqdisi : Al-Hadits Al-Mukhtarah I/441).
Aisyah pernah berkata: ” Seorang wanita dalam shalat harus mengenakan tiga pakaian : Baju, jilbab dan khimar. Adalah Aisyah pernah mengulurkan izar-nya (pakaian sejenis jubah) dan berjilbab dengannya (Ibnu Sad VIII/71).
Pendapat yang senada juga dikatakan oleh Ibnu Umar : Jika seorang wanita menunaikan shalat, maka ia harus mengenakan seluruh pakainnya : Baju, khimar dan milhafah (mantel)” (Ibnu Abi Syaibah: Al-Mushannaf II:26/1).

7. Memakai Pakaian menyerupai pakaian Laki-laki.
Karena ada beberapa hadits shahih yang melaknat wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria, baik dalam hal pakaian maupun lainnya. Dari Abu Hurairah berkata: “Rasulullah melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria” (Al-Hakim IV/19 disepakati oleh Adz-Dzahabi).
Dari Abdullah bin Amru yang berkata: Saya mendengar Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam bersabda: “Tidak termasuk golongan kami para wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita.” (Ahmad II/199-200)
Dari Ibnu Abbas yang berkata: Nabi shalallohu 'alahi wa sallam melaknat kaum pria yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian. Beliau bersabda : “Keluarkan mereka dari rumah kalian. Nabi pun mengeluarkan si fulan dan Umar juga mengeluarkan si fulan.”
Dalam lafadz lain : “Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria.” (Al-Bukhari X/273-274).
Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam bersabda: “Tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan memandang mereka pada hari kiamat; Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang bertingkah kelaki-lakian dan menyerupakan diri dengan laki-laki dan dayyuts (orang yang tidak memiliki rasa cemburu).” (Al-Hakim I/72 dan IV/146-147 disepakati Adz-Dzahabi).
Dalam hadits-hadits ini terkandung petunjuk yang jelas mengenai diharamkannya tindakan wanita menyerupai kaum pria, begitu pula sebaiknya. Ini bersifat umum, meliputi masalah pakaian dan lainnya, kecuali hadits yang pertama yang hanya menyebutkan hukum dalam masalah pakaian saja.

8. Memakai Pakaian menyerupai pakaian Wanita Kafir
Syariat Islam telah menetapkan bahwa kaum muslimin (laki-laki maupun perempuan) tidak boleh bertasyabuh (menyerupai) kepada orang-orang kafir, baik dalam ibadah, ikut merayakan hari raya, dan berpakain khas mereka. Dalilnya Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala surat Al-Hadid ayat 16, yang artinya :
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik (Al-Hadid:16).”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam surat Al-Hadid ayat 16, yang artinya: “Janganlah mereka seperti...” merupakan larangan mutlak dari tindakan menyerupai mereka, di samping merupakan larangan khusus dari tindakan menyerupai mereka dalam hal membatunya hati akibat kemaksiatan (Al-Iqtidha... hal. 43).
Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat ini (IV/310): Karena itu Allah Subhanahu Wa Ta'ala melarang orang-orang beriman menyerupai mereka dalam perkara-perkara pokok maupun cabang. Allah berfirman :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad).“Raaina” tetapi katakanlah “Unzhurna” dan dengarlah. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih” (Q.S.Al-baqarah:104).
Lebih lanjut Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya (I/148): Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mnyerupai ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan orang-orang kafir. Sebab, orang-orang Yahudi suka menggunakan plesetan kata dengan tujuan mengejek.
Jika mereka ingin mengatakan “Dengarlah kami” mereka mengatakan “Raaina” sebagai plesetan kata “ruunah” (artinya ketotolan) sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 46. Allah juga telah memberi tahukan dalam surat Al-Mujadalah ayat 22, bahwa tidak ada seorang mu’min yang mencintai orang-orang kafir. Barangsiapa yang mencintai orang-orang kafir, maka ia bukan orang mu’min, sedangkan tindakan menyerupakan diri secara lahiriah merupakan hal yang dicurigai sebagai wujud kecintaan, oleh karena itu diharamkan. Wallahu Ta'ala a'lam

KISAH IBADAH HAJI NABI MUSA ‘ALAIHISSALAM



Imam Ahmad rahimahullah, dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melewati lembah Azraq (biru), lalu beliau bertanya: "Lembah apa ini? " Mereka (para Shahabat radhiyallahu 'anhum) menjawab: "Lembah Azraq (biru)." Beliau bersabda: "Seakan-akan aku melihat Musa 'alaihissalam, dan dia sedang turun dari ats-Tsaniyyah, dan ia berdo'a kepada Allah dengan bertalbiyah. " Sampai beliau shallallahu 'alaihi wasallam sampai ke Tsaniyatu Harsyaa', lalu beliau bertanya: "Tsaniyah apa ini? " Mereka menjawab: Tsaniyatu Harsyaa' " Beliau bersabda: "Seakan-akan aku melihat Yunus bin Mata 'alaihissalam berada di atas unta merah, ia memakai jubah dari wol, tali kakang untanya sangat menarik, dan ia dalam keadaan bertalbiyah." (Diriwayatkan juga oleh Imam Muslim 160 dari hadits Dawud bin Abi Hind dengan jalur ini)

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Mujahid, dia bercerita, kami pernah berada bersama Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, mereka menyebut-nyebut Dajjal. Mujahid rahimahullah mengatakan: "Sesungguhnya di antara matanya tertulis ka-fa-ra (kafir). "Dia bertanya: "Apa yang mereka katakan? "Dia menjawab: "Mereka mengatakan: 'Tertulis di antara kedua matanya ka-fa-ra' " Maka Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan: "Aku belum pernah mendengar beliau (Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) mengatakan hal tersebut. Hanya saja beliau pernah bersabda: 'Adapun Ibrahim, maka perhatikanlah Sahabat kalian ini (maksudnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam). Sedangkan Musa 'alaihissalam adalah laki-laki berkulit sawo matang, rambut keriting, dan biasa mengendarai unta berwarna merah yang ditarik dengan tali yang dikalungkan pada hidungnya, seolah-olah aku meihatnya turun di sebuah lembah dengan membaca talbiyah."

Hasyim mengatakan: "Al-Khilbah berarti al-liif yaitu, serabut atau serat."

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam al-Musnad 1/245 dan 249, dan juga al-Bukhari 3239 serta Muslim 166 dari Abul 'Aliyah, telah mengabarkan kepada kami paman Nabi kalian, Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma dia bercerita, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada malam Isra' Mi'raj aku melihat Musa bin 'Imran 'alaihissalam adalah seorang laki-laki yang berkulit coklat, tinggi dan keriting (rambutnya). Seakan-akan dia salah seorang dari suku Syanu'ah. Aku juga melihat 'Isa bin Maryam 'alaihissalam tidak tinggi dan tidak pendek (pertengahan), berkulit putih kemerahan, dengan rambut lurus."

Imam Ahmad rahimahullah dalam al-Musnad II/282, dan juga al-Bukhari 3394 serta Muslim 168 juga meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda –ketika beliau isra' mi'raj: "Aku sempat bertemu Musa 'alaihissalam. " Lalu beliau mensifatinya: "Dia adalah seorang laki-laki –perawi berkata:'Aku kira beliau berkata: (perawi ragu-ragu)- berperawakan besar, berambut ikal bergelombang, seakan-akan beliau adalah seorang dari suku Syanu-ah. Aku juga bertemu dengan 'Isa bin Maryam 'alaihissalam.' Lalu beliau mensifatinya:"Dia seorang yang tidak terlau tinggi juga tidak terlalu pendek, berkulit merah, seakan-akan dia baru keluar dari tempat pemandian." Beliau shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda: "Aku juga melihat Ibrahim 'alaihissalam, dan aku lebih mirip dengannya."

HadiTs-hadits mengenai hal tersebut telah kami kemukakan dalam pembahasan tentang ciri-ciri Nabi Ibrahim Shalawaatullah 'alaihi wa salaamuhu.

(Sumber: Kisah Shahih Para Nabi, Syaikh Salim al-Hilali hafizhahullah, edisi Indonesia. Pustaka Imam asy-Syafi’i hal 327-328 dengan sedikit gubahan. Diposting oleh Abu Yusuf  Sujono)

Tipe Wanita yang Disunnahkan untuk Dilamar





Dalam melamar, seorang muslim dianjurkan untuk memperhatikan beberapa sifat yang ada pada wanita yang akan dilamar, diantaranya:
  1. Wanita itu disunahkan seorang yang penuh cinta kasih. Maksudnya ia harus selalu menjaga kecintaan terhadap suaminya, sementara sang suami pun memiliki kecenderungan dan rasa cinta kepadanya.
    Selain itu, ia juga harus berusaha menjaga keridhaan suaminya, mengerjakan apa yang disukai suaminya, menjadikan suaminya merasa tentram hidup dengannya, senang berbincang dan berbagi kasih sayang dengannya. Dan hal itu jelas sejalan dengan firman Allah Ta'ala,
    Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan Dia jadikan di antara kalian rasa kasih dan saying. (ar-Ruum:21).
  2. Disunahkan pula agar wanita yang dilamar itu seorang yang banyak memberikan keturunan, karena ketenangan, kebahagiaan dan keharmonisan keluarga akan terwujud dengan lahirnya anak-anak yang menjadi harapan setiap pasangan suami-istri.
    Berkenaan dengan hal tersebut, Allah Ta'ala berfirman,
    Dan orang-orang yang berkata, 'Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa'. (al-Furqan:74).
    Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
    Menikahlah dengan wanita-wanita yang penuh cinta dan yang banyak melahirkan keturunan. Karena sesungguhnya aku merasa bangga dengan banyaknya jumlah kalian pada hari kiamat kelak. Demikian hadist yang diriwayatkan Abu Daud, Nasa'I, al-Hakim, dan ia mengatakan, Hadits tersebut sanadnya shahih.
  3. Hendaknya wanita yang akan dinikahi itu seorang yang masih gadis dan masih muda. Hal itu sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab Shahihain dan juga kiab-kitab lainnya dari hadits Jabir, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepadanya,
    Apakah kamu menikahi seorang gadis atau janda? dia menjawab,"Seorang janda."Lalu beliau bersabda, Mengapa kamu tidak menikahi seorang gadis yang kamu dapat bercumbu dengannya dan ia pun dapat mencumbuimu?.
    Karena seorang gadis akan mengantarkan pada tujian pernikahan. Selain itu seorang gadis juga akan lebih menyenangkan dan membahagiakan, lebih menarik untuk dinikmati akan berperilaku lebih menyenangkan, lebih indah dan lebih menarik untuk dipandang, lebih lembut untuk disentuh dan lebih mudah bagi suaminya untuk membentuk dan membimbing akhlaknya.
    Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri telah bersabda,
    Hendaklah kalian menikahi wanita-wanita muda, karena mereka mempunyai mulut yang lebih segar, mempunyai rahim yang lebih subur dan mempunyai cumbuan yang lebih menghangatkan.
    Demikian hadits yang diriwayatkan asy-Syirazi, dari Basyrah bin Ashim dari ayahnya, dari kakeknya. Dalam kitab Shahih al_Jami' ash_Shaghir, al-Albani mengatakan, "Hadits ini shahih."
  4. Dianjurkan untuk tidak menikahi wanita yang masih termasuk keluarga dekat, karena Imam Syafi'I pernah mengatakan, "Jika seseorang menikahi wanita dari kalangan keluarganya sendiri, maka kemungkinan besar anaknnya mempunyai daya piker yang lemah."
  5. Disunahkan bagi seorang muslim untuk menikahi wanita yang mempunyai silsilah keturunan yang jelas dan terhormat, karena hal itu akan berpengaruh pada dirinya dan juga anak keturunannnya. Berkenaan dengan hal tersebut, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
    Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscahya kamu beruntung. (HR. Bukhari, Muslim dan juga yang lainnya).
  6. Hendaknya wanita yang akan dinikahi itu taat beragama dan berakhlak mulia. Karena ketaatan menjalankan agama dan akhlaknya yang mulia akan menjadikannya pembantu bagi suaminya dalam menjalankan agamanya, sekaligus akan menjadi pendidik yang baik bagi anak-anaknya, akan dapat bergaul dengan keluarga suaminya.
    Selain itu ia juga akan senantiasa mentaati suaminya jika ia akan menyuruh, ridha dan lapang dada jika suaminya memberi, serta menyenangkan suaminya berhubungan atau melihatnnya. Wanita yang demikian adalah seperti yang difirmankan Allah Ta'ala,
    "Sebab itu, maka wanita-wanita yang shahih adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminyatidak berada di tempat, oleh karena Allah telah memelihara mereka". (an-Nisa:34).
    Sedangkan dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
    "Dunia ini adalah kenikmatan, dan sebaik-baik kenikmatannya adalah wanita shalihah". (HR. Muslim, Nasa'I dan Ibnu Majah).
  7. Selain itu, hendaklah wanita yang akan dinikahi adalah seorang yang cantik, karena kecantikan akan menjadi dambaan setiap insan dan selalu diinginkan oleh setiap orang yang akan menikah, dan kecantikan itu pula yang akan membantu menjaga kesucian dan kehormatan. Dan hal itu telah disebutkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hadits tentang hal-hal yang disukai dari kaum wanita.
    Kecantikan itu bersifat relatif. Setiap orang mempunyai gambaran tersendiri tentang kecantikan ini sesuai dengan selera dan keinginannya. Sebagian orang ada yang melihat bahwa kecantikan itu terletak pada wanita yang pendek, sementara sebagian yang lain memandang ada pada wanita yang tinggi.
    Sedangkan sebagian lainnya memandang kecantikan terletak pada warna kulit, baik coklat, putih, kuning dan sebagainya. Sebagian lain memandang bahwa kecantikan itu terletak pada keindahan suara dan kelembutan ucapannya.
Demikianlah, yang jelas disunahkan bagi setiap orang untuk menikahi wanita yang ia anggap cantik sehingga ia tidak tertarik dan tergoda pada wanita lain, sehingga tercapailah tujuan pernikahan, yaitu kesucian dan kehormatan bagi tiap-tiap pasangan.

--------
Sumber: Fikih Keluarga, Syaikh Hasan Ayyub, Cetekan Pertama, Mei 2001, Pustaka Al-kautsar

Diberdayakan oleh Blogger.