-->

16 Desember 2012

Bid’ah Dalam Perkara Duniawi



Pertanyaan:

Wahai Sahamatus Syaikh, saya tahu adanya batasan yang rinci dalam membedakan antara sunnah dan bid’ah, namun tolong j
elaskan kepada kami apa batasan antara bid’ah dalam agama dengan bid’ah dalam masalah duniawi.



Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah menjawab:

Dalam masalah duniawi, tidak ada bid’ah, walaupun dinamakan bid’ah (secara bahasa). Manusia membuat mobil, pesawat, komputer, telepon, kabel, atau benda-benda buatan manusia yang lain semua ini tidak dikatakan bid’ah walaupun memang disebut bid’ah dari segi bahasa, namun tidak termasuk bid’ah dalam istilah agama. Karena bid’ah secara bahasa artinya segala sesuatu yang belum pernah dibuat sebelumnya, itu semua disebut bid’ah. Sebagaimana dalam ayat:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Allah adalah Pencipta langit dan bumi” (QS. Al Baqarah: 117)

maksud ayat ini yaitu Allah Ta’ala membuat mereka (langit dan bumi) yang sebelumnya tidak ada.

Demikian, secara bahasa memang istilah bid’ah secara mutlak dimaknai sebagai segala sesuatu yang belum ada sebelumnya. Andai perkara-perkara duniawi yang demikian biasanya tidak disebut sebagai bid’ah, semua itu tidak tercela walau dikategorikan sebagai bid’ah secara bahasa. Bahkan tidak diingkari, karena bukan perkara agama dan bukan perkara ibadah. Misalnya, jika kita katakan dibuatnya mobil, komputer, pesawat atau semisalnya adalah bid’ah, maka bid’ah di sini dari segi bahasa. Dan semua itu bukanlah kemungkaran dan tidak boleh diingkari. Yang diingkari adalah perkara-perkara baru dalam hal agama semisal shalawat-shalawat bid’ah, atau ibadah bid’ah lain yang. Inilah yang diingkari.

Karena syariat Islam harus dibersihkan dari bid’ah. Yang menjadi syari’at Islam adalah apa yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, bukan apa yang diada-adakan oleh manusia baik berupa shalawat, puasa, atau ibadah lain yang tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena agama ini telah sempurna, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Ma’idah: 3)



Sumber: Fatawa Nuurun ‘Ala Ad Darb juz 3 halaman 21 http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?View=Page&PageID=275&PageNo=1&BookID=5



Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
'
'
http://muslim.or.id/manhaj/bidah-dalam-perkara-duniawi.html

Mengkritisi Perkataan: Perbedaan adalah Rahmat!



“Perselisihan umatku adalah rahmat“. Hampir tidak ada di antara kita yang tak pernah mendengar atau membaca had
its ini.

Ia sangat begitu akrab dan populer sekali, baik di kalangan penceramah, aktivis dakwah, penulis, bahkan oleh masyarakat biasa masa kini. Hanya saja, sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban:

Apakah kemasyhuran ungkapan tersebut berarti kualitasnya bisa dipertanggung jawabkan?!

Pernahkah terlintas dalam benak kita untuk mengkritisi ungkapan tersebut dari sudut sanad dan matan-nya?! Tulisan berikut mencoba untuk mengorek jawabannya.

Semoga Allah menambahkan ilmu yang bermanfaat kepada kita. Aamiin.

Teks Hadist

اخْتِلاَفُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ

“Perselisihan umatku adalah rahmat.”

Penjelasan:

Hadits ini TIDAK ADA ASALNYA. Para pakar hadits telah berusaha untuk mendapatkan sanadnya, tetapi mereka tidak mendapatkannya, sehingga al-Hafizh as-Suyuthi berkata dalam al-Jami’ ash-Shaghir:

“Barangkali saja hadits ini dikeluarkan dalam sebagian kitab ulama yang belum sampai kepada kita!” [1]

Syaikh Al-Albani berkata, “Menurutku ini sangat jauh sekali, karena konsekuensinya bahwa ada sebagian hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang luput dari umat Islam. Hal ini tidak layak diyakini seorang muslim”.

Al-Munawi menukil dari as-Subki bahwa dia berkata: “Hadits ini tidak dikenal ahli hadits dan saya belum mendapatkannya baik dengan sanad shahih, dha’if (lemah), maupun maudhu’ (palsu).” Dan disetujui oleh Syaikh Zakariya al-Anshori dalam Ta’liq Tafsir Al-Baidhowi 2/92. [2]

Sebagian ulama berusaha untuk menguatkan hadits ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

“Hadits ini sangat populer sekali. Sering ditanyakan dan banyak di kalangan imam hadits menilai bahwa ungkapan ini tidak ada asalnya, tetapi al-Khothobi menyebutkan dalam Ghoribul Hadits… Ucapannya kurang memuaskan dalam penisbatan hadits ini tetapi saya merasa bahwa hadits ini ada asalnya”. [3]

Sungguh, ini adalah suatu hal yang sangat aneh sekali dari Al-Hafizh Ibnu Hajar –semoga Allah mengampuninya-. Bagaimana beliau merasa bahwa hadits ini ada asalnya, padahal tidak ada sanadnya?! Bukankah beliau sendiri mengakui bahwa mayoritas ulama ahli hadits telah menilai hadits ini tidak ada asalnya?! Lantas, kenapa harus menggunakan perasaan?!

Kami juga mendapati sebuah risalah yang ditulis oleh Syaikh Su’ud al-Funaisan berjudul “Ikhtilaf Ummati Rohmah, Riwayatan wa Diroyatan”, beliau menguatkan bahwa hadits ini adalah shohih dari Nabi.

Ini juga suatu hal yang aneh, karena semua ulama yang beliau katakan mengeluarkan hadits ini seperti Al-Khothobi, Nashr al-Maqdisi dan lain-lain. Mereka hanyalah menyebutkan tanpa membawakan sanad. Lantas, mungkinkah suatu hadits dikatakan shohih tanpa adanya sanad?! [4]

Mengkritisi Matan Hadits

Makna hadits ini juga dikritik oleh para ulama. Berkata al-Allamah Ibnu Hazm setelah menjelaskan bahwasanya ini bukanlah hadits: “Dan ini adalah perkataan yang paling rusak.

Sebab, jika perselisihan itu adalah rahmat, maka berarti persatuan adalah adzab. Ini tidak mungkin dikatakan seorang muslim, karena tidak akan berkumpul antara persatuan dan perselisihan, rahmat dan adzab”. [5]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani juga berkata: “Termasuk diantara dampak negatif hadits ini adalah banyak diantara kaum muslimin yang terus bergelimang dalam perselisihan yang sangat runcing diantara madzhab empat, dan mereka tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan hadits yang shohih sebagaimana perintah para imam mereka, bahkan menganggap madzhab seperti syariat yang berbeda-beda!!

Mereka mengatakan hal ini padahal mereka sendiri mengetahui bahwa di antara perselisihan mereka ada yang tidak mungkin disatukan kecuali dengan mengembalikan kepada dalil, inilah yang tidak mereka lakukan!

Dengan demikian mereka telah menisbatkan kepada syari’at suatu kontradiksi! Kiranya, ini saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ini bukanlah dari Allah bila mereka merenungkan firman Allah tentang Al-Qur’an:

“Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa: 82)

Ayat ini secara tegas menunjukkan bahwa perselisihan bukanlah dari Allah, lantas bagaimana kiranya dijadikan sebagai suatu syari’at yang diikuti dan suatu rahmat?!

Karena sebab hadits ini dan hadits-hadits serupa, banyak diantara kaum muslimin semenjak imam empat madzhab selalu berselisih dalam banyak masalah, baik dalam aqidah maupun ibadah.

Seandainya mereka menilai bahwa perselisihan adalah tercela sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ud dan selainnya serta didukung dengan banyak ayat Al-Qur’an dan hadits yang banyak sekali, maka niscaya mereka akan berusaha untuk bersatu. Namun, apakah mereka akan melakukannya bila mereka meyakini bahwa perselisihan adalah rohmat?!!

Kesimpulannya, perselisihan adalah tercela dalam syari’at [6]. Maka sewajibnya bagi setiap muslim untuk berusaha semaksimal mungkin untuk melepaskan diri dari belenggu perselisihan, karena hal itu merupakan faktor lemahnya umat, sebagaimana firman Allah:

“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Anfal: 46)

Adapun ridho dengan perselisihan, apalagi menamainya sebagai suatu rohmat, maka jelas ini menyelisihi ayat-ayat Al-Qur’an yang secara tegas mencela perselisihan, tidak ada sandarannya kecuali hadits yang tidak ada asalnya dari Rasulullah ini.” [7]

Salah Menyikapi Perselisihan

Saudaraku seiman yang kami cintai, kita semua mengetahui bahwa perselisihan adalah suatu perkara yang tidak bisa dielakkan, baik dalam aqidah, ibadah maupun muamalat.

Allah berfirman:

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.” (QS. Hud: 118-119)

Fakta di atas mengharuskan kita untuk memahami masalah perselisihan, karena ternyata banyak juga orang yang terpeleset dan salah dalam memahaminya;

Ada yang menjadikan perselisihan sebagai senjata pamungkas untuk menyuburkan kesalahan, kebid’ahan bahkan kekufuran, sehingga mereka memilih pendapat-pendapat nyeleneh seperti bolehnya acara tahlilan, manakiban, bahkan berani menentang hukum-hukum Islam dengan alasan :

“Ini adalah masalah khilafiyyah“,

“Jangan mempersulit manusia”.

Bahkan, betapa banyak sekarang yang mengkritisi masalah-masalah aqidah dan hukum yang telah mapan dengan alasan ”kemodernan zaman” dan “kebebasan berpendapat” sebagaimana didengungkan oleh para cendekiawan zaman sekarang. [8]

Sebaliknya, ada juga yang sesak dada menghadapi perselisihan, sekalipun dalam masalah fiqih dan ruang lingkup ijtihad ulama, sehingga ada sebagian mereka yang tidak mau sholat di belakang imam yang berbeda pendapat dengannya seperti masalah sedekap ketika i’tidal, mendahulukan lutut ketika sujud, menggerakan jari ketika tasyahhud dan lain sebagainya. Ini juga termasuk kesalahan.

Memahami Persilisihan.

Oleh karena itu, sangat penting kiranya kita jelaskan sikap yang benar dalam menyikapi perselisihan agar kita tidak berlebihan dan tidak juga meremehkan. Dari keterangan para ulama tentang masalah ini [9], dapat kami tarik suatu kesimpulan bahwa perselisihan itu terbagi menjadi dua macam:

Pertama: Perselisihan tercela yaitu setiap perselisihan yang menyelisihi dalil yang jelas dari Al-Qur’an atau hadits atau ijma’ ulama.

Hal ini memiliki beberapa gambaran:

1). Perselisihan dalam masalah aqidah atau hukum yang telah mapan, seperti perselisihan ahli bid’ah dari kalangan Syi’ah, Khowarij, Mu’tazilah dan sebagainya. [10]

2). Perselisihan orang-orang yang tidak memiliki alat ijtihad seperti perselisihan orang-orang yang sok pintar, padahal mereka adalah bodoh. [11]

3). Perselisihan yang ganjil sekalipun dari seorang tokoh ulama, karena ini terhitung sebagai ketergelinciran seorang ulama yang tidak boleh diikuti. [12]

Jadi, tidak semua perselisihan itu dianggap. Misalnya, perselisihan Iblis Liberal bahwa semua agama sama, ingkar hukum rajam dan potong tangan, hukum waris, jilbab dan sebagainya, ini adalah perselisihan yang tidak perlu dianggap dan didengarkan.

Demikian juga perselisihan Mu’tazilah modern bahwa tidak ada siksa kubur, Nabi Isa tidak turun di akhir zaman, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang tidak perlu dilirik.

Demikian pula perselisihan sebagian orang yang berfiqih ganjil bahwa wanita nifas tetap wajib sholat, daging ayam haram, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang tak perlu digubris.

‘Tidak seluruh perselisihan itu dianggap Kecuali perselisihan yang memang memiliki dalil yang kuat.’ [13]

Kedua: Perselisihan yang tidak tercela yaitu perselisihan di kalangan ulama yang telah mencapai derajat ijtihad dalam masalah-masalah ijtihadiyyah, biasanya dalam masalah-masalah hukum fiqih.

Imam Syafi’i berkata: “Perselisihan itu ada dua macam, pertama hukumnya haram dan saya tidak mengatakannya pada yang jenis kedua”. [14] Hal ini memiliki beberapa gambaran:

1). Masalah yang belum ada dalilnya secara tertentu.

2). Masalah yang ada dalilnya tetapi tidak jelas.

3). Masalah yang ada dalilnya yang jelas tetapi tidak shohih atau diperselisihkan keabsahannya atau ada penentangnya yang lebih kuat. [15]

Jadi, dalam masalah-masalah yang diperselisihkan ulama hendaknya kita sikapi dengan lapang dada dengan tetap saling menghormati saudara kita yang tidak sependapat, tanpa saling menghujat dan mencela sehingga menyulut api perselisihan.

Imam Qotadah: “Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan ulama, maka hidungnya belum mencium bau fiqih.” [16]

Imam Syafi’i pernah berkata kepada Yunus ash-Shadafi: “Wahai Abu Musa, apakah kita tidak bisa untuk tetap bersahabat sekalipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?!” [17]

Sekalipun hal ini tidak menutup pintu dialog ilmiyah yang penuh adab untuk mencari kebenaran dan pendapat terkuat, karena yang kita cari semua adalah kebenaran.

Camkanlah firman Allah, yang artinya:

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)

Keyakinan Syi'ah, Kotoran Imam Dapat Menghindarkan Api Neraka dan Membuat Masuk Sorga




Ibnu Babawaih al-Qummi laporan dalam bukunya:
"Manlaa Yahdurhul-Faqeeh" vol.4, halaman 418


Dilaporkan Ahmad b. Muhammad b. Sa'id al-Kufi pepatah: Dikisahkan kepada kami Ali b. al-Hasan b. Fidaal, dari ayahnya dari Abul-Hasan Ali b. Musa al-Ridha [AS] mengatakan:

"Tanda-tanda untuk Imam adalah:


1 - Dia yang paling luas dari semua orang.

2 - Dan yang paling bijaksana dari semua (Manusia).
3 - Dan yang paling benar dari semua (Manusia).
18 ... Kotorannya jauh lebih baik daripada berbau aroma misk ".


The Grand Ayat, Akhond Mulla Zainul Abideen-al-Galbaigani, dalam bukunya:


Anwaar al-Wilayah, halaman 440 menulis:


"Kotoran Imam tidak memeiliki bau apa-apa melainkan baunya seperti minyak misk

siapa yang meminum air kencing, darah dan memakan kotoran mereka (IMAM)
Maka, Allah akan hndarkan dari api neraka dan membuat dia masuk sorga

Abu Jafar mengatakan: "Untuk Imam ada 10 tanda:. Ia lahir murni dan disunat .... dan jika dia kentut berbau kesturi"

(Al-Kafi 1/319 Kitab hujja - Bab Kelahiran Imam)

Subhanallah ... wa na'uzubillah. Dari AJARAN Iblis Syiah Imamiyah.


http://inilah-bukti-kesesatan-syiah.blogspot.com/2012/12/keyakinan-syiah-kotoran-imam-dapat.html

Hukum Mengusap Wajah Setelah Berdoa


Banyak orang yang mengusap muka mereka setelah melakukan sholat ataupun berdo’a. Namun benarkah amalan itu pernah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya? Risalah ini insya Allah akan menjelaskan tentang lemahnya hadits-hadits mengenai mengusap wajah.
Abu Daud berkata bahwa saya mendengar Imam Ahmad ditanya oleh salah seorang tentang hukum mengusap wajah sesudah berdoa, maka beliau menjawab : “Saya tidak pernah mendengar itu dan saya tidak pernah mendapatkan sesuatu tentang itu. Abu Daud berkata : Saya tidak pernah melihat Imam Ahmad mengerjakan hal itu. [Abu Daud dalam Masail Imam Ahmad hal.71]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa mengangkat tangan pada saat berdoa adalah sunnah berdasarkan hadits-hadits yang sangat banyak, tetapi tentang mengusap wajah dengan kedua telapak tangan tidak saya temukan kecuali satu atau dua hadits, itupun tidak bisa dipakai sebagai dasar amalan tersebut. [Majmu Fatawa 22/519]
Syaikh Al-Izz bin Abdussalam berkata bahwa tidaklah mengusap wajah dengan kedua telapak tangan sesudah berdoa kecuali orang-orang bodoh saja. [Fatawa Izz bin Abdussalam] (1)
Dalam fatwanya Al-Lajnah Ad-Daimah nenyatakan: Adapun mengusap wajah ketika selesai berdoa, sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah rahimahullahu:
إِذَا دَعَوْتَ فَادْعُ اللهَ
بِبُطُوْنِ كَفَّيْكَ، وَلاَ تَدْعُ
بِظُهُوْرِهِمَا، فَإِذَا فَرَغْتَ
فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ
“Apabila engkau berdoa, maka berdoalah kepada Allah dengan kedua telapak tanganmu dan jangan berdoa dengan punggung tanganmu. Lalu jika engkau telah selesai, usaplah wajahmu dengan kedua telapak tanganmu.”
Maka hadits ini lemah, karena kelemahan Shalih bin Hassan, seorang perawinya. Dia didhaifkan oleh Al-Imam Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, dan Ad-Daruquthni rahimahumullah. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu mengatakan tentangnya: “Munkarul hadits.”
Begitu pula hadits lain yang berkaitan mengusap wajah yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dalam sanadnya ada Hammad bin ‘Isa, dia bersendiri dalam meriwayatkan hadits dan dia seorang rawi yang lemah. Sehingga mengusap wajah setelah berdoa tidak benar penukilannya, baik dari sunnah qauliyyah ataupun amaliyyah. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 6/94-95] (2)
Penjelasan kedudukan hadits tentang mengusap wajah:
1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a, tidaklah menurunkannya kecuali beliau mengusapkannya terlebih dahulu ke mukanya.
Penjelasan:
Hadits ini lemah. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi (2/244), Ibnu ‘Asakir (7/12/2). Dengan sanad: Hammaad ibn ‘Isa al-Juhani dari Hanzalah ibn Abi Sufyaan al-Jamhi dari Salim ibn ‘Abdullah dari bapaknya dari ‘Umar ibn al-Khatthab. At Tirmidzi berkata: ”Hadits ini gharib, kami hanya mendapatkannya dari Hammad ibn ‘Isa Al Juhani. Dan dia menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini. Dia hanya mempunyai (meriwayatkan) beberapa hadits saja, tapi orang-orang meriwayatkan darinya.” Bagaimanapun juga hadits ini lemah, berdasarkan pada perkataannya Al Hafidh Ibnu Hajar di dalam At Taqrib, dimana beliau menjelaskan tentang riwayat hidupnya dalam At Tahdzib: ”Ibnu Ma’in berkata: ’Dia adalah Syaikh yang baik’, Abu Hatim berkata: ’Lemah didalam (meriwayatkan) hadits’, Abu Dawud berkata: ’Lemah, dia meriwayatkan hadits-hadits munkar’. Hakim dan Naqash berkata: ’Dia meriwayatkan hadits-hadits yang tidak kuat dari Ibnu Juraij dan Ja’far Ash Shadiq’, Dia dinyatakan lemah oleh Ad Daraquthni, Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia meriwayatkan sesuatu yang salah melalui jalur Ibnu Juraij dan Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz, tidaklah diperbolehkan untuk menjadikannya sebagai sandaran, Ibnu Makula berkata: ’mereka semua mencap hadits-hadits dari dia sebagai hadits lemah”.
Terdapat hadits yang sejenis dengan hadits 1:
”Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dan mengangkat kedua tangannya, maka beliau mengusap wajahnya dengannya.”
Hadits ini Dha’if. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1492) dari Ibnu Lahi’ah dari Hafsh bin Hisyam bin ‘Utbah bin Abi Waqqash dari Sa’ib bin Yazid dari ayahnya. Ini adalah hadits dha’if berdasarkan pada Hafsh bin Hisyam karena dia tidak dikenal (majhul) dan lemahnya Ibnu Lahi’ah (Taqribut Tahdzib). Hadits ini tidak bisa dikuatkan oleh dua jalur hadits berdasarkan lemahnya hadits yang pertama.
2. ”Jika kamu berdo’a kepada Allah, kemudian angkatlah kedua tanganmu (dengan telapak tangan diatas), dan jangan membaliknya, dan jika sudah selesai (berdo’a) usapkan (telapak tangan) kepada muka.”
Penjelasan:
Hadits ini lemah. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1181, 3866), Ibnu Nashr dalam Qiyaamul-Lail (hal. 137), Ath Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Kabir (3/98/1) & Hakim (1/536), dari Shalih ibn Hassan dari Muhammad ibn Ka’b dari Ibnu ‘Abbas radiallaahu ‘anhu (marfu’).
Lemahnya hadits ini ada pada Shalih bin Hassan, sebagai munkarul hadits, seperti dikatakan Al Bukhari dan Nasa’i, ”Dia tertolak dalam meriwayatkan hadits”; Ibnu Hibban berkata:”Dia selalu menggunakan (mendengarkan) penyanyi wanita dan mendengarkan musik, dan dia selalu meriwayatkan riwayat yang kacau yang didasarkan pada perawi yang terpercaya”; Ibnu Abi Hatim berkata dalam Kitabul ‘Ilal (2/351): ”Aku bertanya pada ayahku (yaitu Abu Hatim al-Razi) tentang hadits ini, kemudian beliau berkata: ’Munkar’.”
Hadits dari Shalih bin Hasan ini diriwayatkan juga oleh jalur lain yaitu dari Isa bin Maimun, yaitu yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Nashr. Tapi hal ini tidaklah merubah lemahnya hadits ini, sebab Isa bin Maimun adalah lemah. Ibnu Hibban berkata: ”Dia meriwayatkan beberapa hadits, dan semuanya tertolak”. An Nasa’i berkata:”Dia tidak bisa dipercaya”. Hadits dari Ibnu Abbas ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (1485), dan Bayhaqi (2/212), melalui jalur ‘Abdul Malik ibn Muhammad ibn Aiman dari ‘Abdullah ibn Ya’qub ibn Ishaq dari seseorang yang meriwayatkan kepadanya dari Muhammad ibn Ka’b, dengan matan sebagai berikut:
”Mintalah kepada Allah dengan (mengangkat) kedua telapak tanganmu, dan minta pada-Nya dengan membaliknya, dan jika kau selesai, maka usaplah mukamu dengannya”.
Hadits ini sanadnya dha’if. Abdul Malik dinyatakan lemah oleh Abu Dawud. Dalam hadits ini terdapat Syaikhnya Abdullah bin Ya’qub yang tidak disebutkan namanya, dan tidak dikenal –Bisa saja dia adalah Shalih Bin Hassan atau Isa bin Maimun. Keduanya sudah dijelaskan sebelumnya.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Hakim (4/270) melalui jalur Muhammad ibn Mu’awiyah, yang berkata bahwa Mashadif ibn Ziyad al-Madini memberitahukan padanya bahwa dia mendengar hal ini dari Muhammad ibn Ka’b al-Qurazi. Adz Dzahabi menyatakan bahwa Ibnu Mu’awiyah dinyatakan kadzab oleh Daraquthni. Maka hadits ini adalah maudhu’. Abu Dawud berkata tentang hadits ini: ”hadits ini telah diriwayatkan lebih dari satu jalur melalui Muhammad ibn Ka’b; semuanya tertolak.”
Mengangkat kedua tangan ketika melakukan qunut memang terdapat riwayat dari Rasulullah tentangnya, yaitu ketika beliau berdoa terhadap kaum yang membunuh 15 pembaca Al Qur’an (Riwayat Ahmad (3/137) & Ath Thabarani Al-Mu’jamus-Shaghir (hal. 111) dari Anas dengan sanad shahih. Serupa dengan yang hadits yang diriwayatkan dari Umar dan yang lainnya ketika melakukan qunut pada sholat Witir. Namun mengusap muka sesudah do’a qunut maka tidaklah pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga dari para shahabatnya, ini adalah bid ’ah yang nyata.
Sedangkan mengusap muka setelah berdoa diluar sholat berdasarkan pada dua hadits. Dan tidaklah dapat dikatakan benar kedua hadits tersebut bisa menjadi hasan, seperti yang dikatakan oleh Al Manawi, berdasarkan pada lemahnya sanad yang ditemukan pada hadits tersebut. Inilah yang menjadikan alasan Imam An Nawawi dalam Al Majmu bahwa hal ini tidak dianjurkan, menambahkan perkataan Ibnu ‘Abdus-Salaam yang berkata bahwa ”Hanya orang yang sesat yang melakukan hal ini ”.
Bukti bahwa mengusap muka setelah berdo’a tidak penah dicontohkan adalah dikuatkan bahwa terdapat hadits-hadits yang tsabit yang menyatakan diangkatnya tangan untuk berdo’a, tapi tidak ada satupun yang menjelaskan mengusap muka setelahnya, dengan hal ini, wallahu a’lam, hal ini tidak diterima dan tidak pernah dicontohkan. (3)
Wallahu a’lam bish shawab.
________________
(1) Disalin dari buku Jahalatun Nas Fid Du’a edisi Indonesia Kesalahan Dalam Berdo’a, Penulis Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih, Penerjemah Zainal Abidin, Penerbit Darul Haq. Lihat: http://www.almanhaj.or.id/content/1326/slash/0
(2) http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=818
(3) Sumber : Kitab Irwa’ul Ghalil 2/178-182. Karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani. Lihat: http://jilbab.or.id/archives/88-lemahnya-hadits-mengusap-wajah-setelah-berdoa/

Hukum Mengangkat Tangan ketika Berdo’a


Kepada Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanyakan, “Bagaimanakah kaedah (dhobith) mengangkat tangan ketika berdo’a?”
Beliau –rahimahullah- menjawab dengan rincian yang amat bagus :
Mengangkat tangan ketika berdo’a ada tiga keadaan :
Pertama, ada dalil yang menunjukkan untuk mengangkat tangan. Kondisi ini menunjukkan dianjurkannya mengangkat tangan ketika berdo’a. Contohnya adalah ketika berdo’a setelah shalat istisqo’ (shalat minta diturunkannya hujan). Jika seseorang meminta hujan pada khutbah jum’at atau khutbah shalat istisqo’, maka dia hendaknya mengangkat tangan.
Juga contoh hal ini adalah mengangkat tangan ketika berdo’a di bukit Shofa dan Marwah, berdo’a di Arofah, berdo’a ketika melempar Jumroh Al Ula pada hari-hari tasyriq dan juga Jumroh Al Wustho.
Oleh karena itu, ketika menunaikan haji ada enam tempat untuk mengangkat tangan : (1) ketika berada di Shofa, (2) ketika berada di Marwah, (3) ketika berada di Arofah, (4) ketika berada di Muzdalifah setelah shalat shubuh, (5) di Jumroh Al Ula di hari-hari tasyriq, (6) di Jumroh Al Wustho di hari-hari tasyriq.
Kondisi semacam ini tidak diragukan lagi bagi seseorang untuk mengangkat tangan ketika itu karena adanya petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini.
Kedua, tidak ada dalil yang menunjukkan untuk mengangkat tangan. Contohnya adalah do’a di dalam shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a istiftah : Allahumma ba’id baini wa baina khothoyaya kama ba’adta bainal masyriqi wal maghribi …; juga membaca do’a di antara dua sujud : Robbighfirli; juga berdo’a ketika tasyahud akhir; namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan pada semua kondisi ini. Begitu juga dalam khutbah Jum’at. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a namun beliau tidak mengangkat kedua tangannya kecuali jika meminta hujan (ketika khutbah tersebut).
Barangsiapa mengangkat tangan dalam kondisi-kondisi ini dan semacamnya, maka dia telah terjatuh dalam perkara yang diada-adakan dalam agama (alias bid’ah) dan melakukan semacam ini terlarang.
Ketiga, tidak ada dalil yang menunjukkan mengangkat tangan ataupun tidak. Maka hukum asalnya adalah mengangkat tangan karena ini termasuk adab dalam berdo’a. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesunguhnya Allah Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa.. ” [1]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menceritakan seseorang yang menempuh perjalanan jauh dalam keadaan kusut dan penuh debu, lalu dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya mengatakan : “Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!” Padahal makanannya itu haram, pakaiannya haram, dan dia dikenyangkan dari yang haram. Bagaimana mungkin do’anya bisa dikabulkan? [2]
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan mengangkat kedua tangan sebagai sebab terkabulnya do’a.
Inilah pembagian keadaan dalam mengangkat tangan ketika berdo’a. Namun, ketika keadaan kita mengangkat tangan, apakah setelah memanjatkan do’a diperbolehkan mengusap wajah dengan kedua tangan?
Yang lebih tepat adalah tidak mengusap wajah dengan kedua telapak tangan sehabis berdo’a karena hadits yang menjelaskan hal ini adalah hadits yang lemah (dho’if) [3] yang tidak dapat dijadikan hujjah (dalil). Apabila kita melihat seseorang membasuh wajahnya dengan kedua tangannya setelah selesai berdo’a, maka hendaknya kita jelaskan padanya bahwa yang termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak mengusap wajah setelah selesai berdo’a karena hadits yang menjelaskan hal ini adalah hadits yang lemah (dho’if). [Liqo’at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset no. 51]
Footnote:
[1] Lafazh hadits yang dimaksudkan adalah :
إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ‏‎ ‎وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ‏‎ ‎يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا‎ ‎رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ‏‎ ‎يَرُدَّهُمَا صِفْرًا
“Sesunguhnya Rabb kalian tabaroka wa ta’ala Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa.” (HR. Abu Daud no. 1488 dan At Tirmidzi no. 3556. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih)
[2] HR. Muslim no. 1015.
[3] Hadits yang dimaksudkan adalah dari Umar bin Khothob radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله‎ ‎عليه وسلم- إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ‏‎ ‎فِى الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا‎ ‎حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mengangkat tangan ketika berdo’a, beliau tidak menurunkannya hingga beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.”
Mengenai hadits ini, seorang pakar hadits terkemuka yaitu Abu Zur’ah mengatakan, “Hadits ini adalah hadits mungkar. Saya takut hadits ini tidak ada asalnya.” (Lihat ‘Ilalul Hadits, hal. 156, Asy Syamilah)
Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 433 mengatakan bahwa hadits ini dho’if (lemah).
Sumber: http://rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3058-hukum-mengangkat-tangan-ketika-berdoa.html

Mengupas Hukum Berdoa Setelah Shalat


Mungkin sebagian saudara kami masih rancu mengenai perkara do’a dan mengangkat tangan sesudah shalat. Memang ada hadits yang menjelaskan dianjurkannya beberapa do’a pada dubur shalat (akhir shalat) sebagaimana yang disebutkan dalam hadits semacam ini :
أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ‏‎ ‎فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ‏‎ ‎اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ‏‎ ‎وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Aku wasiatkan padamu wahai Mu’adz. Janganlah engkau tinggalkan untuk berdo’a setiap dubur shalat (akhir shalat) : Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik (Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir pada-Mu, bersyukur pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu).” (HR. Abu Daud no. 1522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Namun apakah yang dimaksud dengan dubur shalat (akhir shalat)? Apakah sebelum salam atau sesudah salam?
Untuk memahami hal ini, alangkah baiknya kita memperhatikan penjelasan Syaikh Ibnu Baz berikut (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 11/194-196) yang kami sarikan berikut ini. Serta ada sedikit penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dan ulama lainnya yang kami sertakan.
Dubur shalat kadang bermakna sebelum salam dan kadang pula bermakna sesudah salam. Terdapat beberapa hadits yang menunjukkan hal ini. Mayoritasnya menunjukkan bahwa yang dimaksud dubur shalat adalah akhir shalat sebelum salam jika hal ini berkaitan dengan do’a.
Sebagaimana dapat dilihat dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkannya tasyahud padanya, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنْ‏‎ ‎الدُّعَاءِ بَعْدُ أَعْجَبَهُ‏‎ ‎إِلَيْهِ يَدْعُو بِهِ
“Kemudian terserah dia memilih do’a yang dia sukai untuk berdo’a dengannya.” (HR. Abu Daud no. 825)
Dalam lafazh lain,
ثُمَّ لْيَتَخَيَّرْ بَعْدُ مِنَ‏‎ ‎الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ
“Kemudian terserah dia memilih setelah itu (setelah tasyahud) do’a yang dia kehendaki (dia sukai).” (HR. Muslim no. 402, An Nasa’i no. 1298, Abu Daud no. 968, Ad Darimi no. 1340)
Di antara contoh do’a yang dibaca sebelum salam adalah yang terdapat dalam hadits Mu’adz bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat padanya,
لاَ تَدَعَنَّ فِى دُبُرِ كُلِّ‏‎ ‎صَلاَةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ‏‎ ‎أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ‏‎ ‎وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Janganlah engkau tinggalkan untuk berdo’a setiap dubur shalat (akhir shalat) [1] : Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik (Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir pada-Mu, bersyukur pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu).” (HR. An Nasa’i no. 1286, Abu Daud no. 1301. Sanad hadits ini shohih)
Contoh lain dari do’a yang dibaca sebelum salam adalah do’a yang diajarkan oleh Sa’ad bin Abi Waqosh radhiyallahu ‘anhu.
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ‏‎ ‎مِنَ الْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ‏‎ ‎الْجُبْنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ‏‎ ‎أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ‏‎ ‎وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ‏‎ ‎الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْقَبْرِ
“Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung pada-Mu dari hati yang lemah, aku berlindung dari dikembalikan ke umur yang jelek, aku berlindung kepada-Mu dari musibah dunia dan aku berlindung pada-Mu dari siksa kubur.” [2]
Adapun letak bacaan dzikir adalah setelah shalat setelah salam berdasarkan hadits-hadits shohih yang ada.
Contoh yang dimaksud adalah ketika selesai salam kita membaca : Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah. Allahumma antas salam wa minkas salam tabarokta yaa dzal jalali wal ikrom. Dzikir ini dibaca oleh imam, makmum ataupun orang yang shalat sendirian (munfarid).
Kemudian setelah itu imam berbalik ke arah makmum sambil menghadapkan wajahnya ke arah mereka. Setelah itu imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian membaca dzikir : Laa ilaha illalah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli sya’in qodir, laa hawla quwwata illa billah. Laa ilaha illallah wa laa na’budu illa iyyah, lahun ni’mah wa lahul fadhlu wa lahuts tsana’ul hasan. Laa ilaha illallah mukhlishina lahud din wa law karihal kaafirun. Allahumma laa mani ’a lima a’thoita wa laa mu’thiya lima mana’ta, wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu.
Inilah yang dianjurkan bagi muslim dan muslimah untuk membaca dzikir-dzikir ini setelah shalat lima waktu. Lalu setelah itu dia membaca tasbih (subhanallah), membaca tahmid (alhamdulillah), dan membaca takbir (Allahu Akbar). Lalu dia menggenapkan bacaan dzikir ini menjadi seratus dengan membaca : Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘ala kulli sya’in qodir.
Semua dzikir ini terdapat dalam hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu dianjurkan setelah membaca dzikir-dzikir ini agar membaca ayat kursi sekali secara lirih (sir). Lalu setelah itu membaca qul huwallahu ahad dan al maw’idzatain (Al Falaq dan An Naas) masing-masing sekali setelah selesai shalat; kecuali untuk shalat maghrib dan shubuh, ketiga surat ini dibaca masing-masing sebanyak tiga kali.
Dianjurkan pula bagi setiap muslim dan muslimah setelah selesai shalat maghrib dan shubuh untuk membaca dzikir : Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi wa yumit wa huwa ‘ala kulli sya’in qodir, dibaca sebanyak sepuluh kali sebagai tambahan dari bacaan-bacaan dzikir tadi, sebelum membaca ayat kursi, sebelum membaca tiga surat tadi. Amalan seperti ini terdapat dalam hadits yang shohih. Wallahu waliyyut taufiq.
Kesimpulan : Yang dimaksud dengan dubur shalat adalah :
1. Setelah tasyahud, sebelum salam. Ini adalah letak kita dianjurkan untuk berdo’a.
2. Setelah shalat, sesudah salam. Ini adalah letak kita dianjurkan untuk berdzikir.
Kalau Ingin Berdo’a, Sebaiknya Dilakukan Sebelum Salam
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah (Liqo ’at Al Bab Al Maftuh, kaset no. 82) berkata : Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa apabila engkau ingin berdo’a kepada Allah, maka berdo’alah kepada-Nya sebelum salam. Hal ini karena dua alasan :
Alasan pertama : Inilah yang diperintahkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membicarakan tentang tasyahud, “Jika selesai (dari tasyahud), maka terserah dia untuk berdo’a dengan do’a yang dia suka.”
Alasan kedua : Jika engkau berada dalam shalat, maka berarti engkau sedang bermunajat kepada Rabbmu. Jika engkau telah selesai mengucapkan salam, berakhir pula munajatmu tersebut. Lalu manakah yang lebih afdhol (lebih utama), apakah meminta kepada Allah ketika bermunajat kepada-Nya ataukah setelah engkau berpaling (selesai) dari shalat? Jawabannya, tentu yang pertama yaitu ketika engkau sedang bermunajat kepada Rabbmu.
Adapun ucapan dzikir setelah menunaikan shalat (setelah salam) yaitu ucapan astagfirullah sebanyak 3 kali. Ini memang do’a, namun ini adalah do’a yang berkaitan dengan shalat. Ucapan istighfar seseorang sebanyak tiga kali setelah shalat bertujuan untuk menambal kekurangan yang ada dalam shalat. Maka pada hakikatnya, ucapan dzikir ini adalah pengulangan dari shalat.
Hukum Mengangkat Tangan untuk Berdo’a Sesudah Shalat Fardhu
Pembahasan berikut adalah mengenai hukum mengangkat tangan untuk berdo’a sesudah shalat fardhu. Berdasarkan penjelasan yang pernah kami angkat, kita telah mendapat pencerahan bahwa memang mengangkat tangan ketika berdo’a adalah salah satu sebab terkabulnya do’a. Namun, apakah ini berlaku dalam setiap kondisi?
Sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin bahwa hal ini tidak berlaku pada setiap kondisi. Ada beberapa contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa beliau tidak mengangkat tangan ketika berdo’a. Agar lebih jelas, mari kita perhatikan penjelasan Syaikh Ibnu Baz mengenai hukum mengangkat tangan ketika berdo’a sesudah shalat.
Beliau –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) mengatakan : Tidak disyari’atkan untuk mengangkat kedua tangan (ketika berdo’a) pada kondisi yang kita tidak temukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan pada saat itu. Contohnya adalah berdo’a ketika selesai shalat lima waktu, ketika duduk di antara dua sujud (membaca do’a robbighfirli, pen) dan ketika berdo’a sebelum salam, juga ketika khutbah jum’at atau shalat ‘ied. Dalam kondisi seperti ini hendaknya kita tidak mengangkat tangan (ketika berdo’a) karena memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan demikian padahal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suri tauladan kita dalam hal ini. Namun ketika meminta hujan pada saat khutbah jum’at atau khutbah ‘ied, maka disyariatkan untuk mengangkat tangan sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka ingatlah kaedah yang disampaikan oleh beliau –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) berikut : “Kondisi yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan, maka tidak boleh bagi kita untuk mengangkat tangan. Karena perbuatan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam termasuk sunnah, begitu pula apa yang beliau tinggalkan juga termasuk sunnah.”
Bagaimana Jika Tetap Ingin Berdo’a Sesudah Shalat?
Ini dibolehkan setelah berdzikir, namun tidak dengan mengangkat tangan. Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/178) mengatakan : “Begitu pula berdo’a sesudah shalat lima waktu setelah selesai berdzikir, maka tidak terlarang untuk berdo’a ketika itu karena terdapat hadits yang menunjukkan hal ini. Namun perlu diperhatikan bahwa tidak perlu mengangkat tangan ketika itu. Alasannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan demikian. Wajib bagi setiap muslim senantiasa untuk berpedoman pada Al Kitab dan As Sunnah dalam setiap keadaan dan berhati-hati dalam menyelisihi keduanya. Wallahu waliyyut taufik.”
Bahkan Berdo’a Sesudah Shalat dan Dzikir adalah Perkara yang Dianjurkan
Dianjurkan seseorang berdo’a sesudah shalat dan setelah dzikir disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh Ali Basam dalam Tawdihul Ahkam (1/776-777). Syaikhul Islam –rahimahullah- mengatakan : “Dianjurkan bagi setiap hamba sesudah shalat dan setelah membaca dzikir semacam istigfar, tahlil, tasbih, tahmid dan takbir, lalu dia bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dia boleh berdo’a sesuai yang dia inginkan. Karena berdo’a sesudah melakukan aktivitas ibadah semacam ini adalah waktu yang tepat untuk terkabulnya do’a, apalagi sesudah berdzikir kepada-Nya dan menyanjung-Nya, juga setelah bershalawat kepada Nabi-Nya. Ini adalah sebab yang sangat ampuh untuk tercapainya manfaat dan tertolaknya mudhorot (bahaya).”
Namun yang perlu diperhatikan sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawanya (11/168) bahwa do’a sesudah shalat boleh dilakukan, namun tanpa mengangkat tangan dan tidak bareng-bareng (jama’i). Beliau mengatakan bahwa hal ini tidak mengapa.
Mengangkat Tangan Untuk Berdo’a Sesudah Shalat Sunnah
Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) mengatakan : Adapun shalat sunnah, maka aku tidak mengetahui adanya larangan mengangkat tangan ketika berdo’a setelah selesai shalat. Hal ini berdasarkan keumuman dalil. Namun lebih baik berdo’a sesudah selesai shalat sunnah tidak dirutinkan. Alasannya, karena tidak terdapat dalil yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal ini. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya, maka hal tersebut akan dinukil kepada kita karena kita ketahui bahwa para sahabat –radhiyallahu ‘anhum jami’an- rajin untuk menukil setiap perkataan atau perbuatan beliau baik ketika bepergian atau tidak, atau kondisi lainnya.
Adapun hadits yang masyhur (sudah tersohor di tengah-tengah umat) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Di dalam shalat, seharusnya engkau merendahkan diri dan khusyu’. Lalu hendaknya engkau mengangkat kedua tanganmu (sesudah shalat), lalu katakanlah : Wahai Rabbku! Wahai Rabbku !”
Hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah), sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab dan ulama lainnya. Wallahu waliyyut taufiq.
Demikian pembahasan kami tentang hukum berdo’a sesudah shalat. Masalah ini adalah masalah ijtihadiyah, yang masih terdapat perselisihan ulama di dalamnya. Namun demikianlah pendapat yang kami pilih dan lebih menenangkan hati kami.
Kami pun masih menghormati pendapat lainnya dalam masalah ini. Semoga Allah senantiasa memberikan pada kita ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib dan amalan yang diterima.
Footnote:
[1] Yang dimaksudkan di sini adalah pada akhir shalat sebelum salam.
[2] HR. An Nasa’i no. 5479. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih.
Sumber: http://www.rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3059-mengupas-hukum-berdoa-sesudah-shalat.html

Zikir Setelah Shalat


Dari Tsauban radhiallahu anhu dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى‎ ‎اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏‎ ‎إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ‏‎ ‎اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ‏‎ ‎اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ‏‎ ‎وَمِنْكَ السَّلَامُ‏‎ ‎تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ‏‎ ‎وَالْإِكْرَامِ‏‎ ‎قَالَ الْوَلِيدُ فَقُلْتُ‏‎ ‎لِلْأَوْزَاعِيِّ كَيْفَ‏‎ ‎الْاسْتِغْفَارُ قَالَ تَقُولُ‏‎ ‎أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ‏‎ ‎أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai shalat, beliau akan meminta ampunan tiga kali dan memanjatkan doa ALLAAHUMMA ANTAS SALAAM WAMINKAS SALAAM TABAARAKTA DZAL JALAALIL WAL IKROOM (Ya Allah, Engkau adalah Dzat yang memberi keselamatan, dan dari-Mulah segala keselamatan, Maha Besar Engkau wahai Dzat Pemilik kebesaran dan kemuliaan.”
Al-Walid berkata, “Maka kukatakan kepada Al-Auza’i, “Lalu bagaimana bacaan meminta ampunnya?” dia menjawab, “Engkau ucapkan saja ‘Astaghfirullah, Astaghfirullah’.” (HR. Muslim no. 591)
Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى‎ ‎اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏‎ ‎إِذَا سَلَّمَ لَمْ يَقْعُدْ‏‎ ‎إِلَّا مِقْدَارَ مَا يَقُولُ‏‎ ‎اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ‏‎ ‎وَمِنْكَ السَّلَامُ‏‎ ‎تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ‏‎ ‎وَالْإِكْرَامِ
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan salam, beliau tidak duduk selain seukuran membaca bacaan “ALLAAHUMMA ANTAS SALAAM, WAMINKAS SALAAM, TABAARAKTA DZAL JALAALIL WAL IKRAAMI (Ya Allah, Engkau adalah Dzat Pemberi keselamatan, dan dari-Mulah segala keselamatan, Maha Besar Engkau Dzat Pemilik kebesaran dan kemuliaan).” (HR. Muslim no. 932)
Mughirah bin Syu’bah pernah berkirim surat kepada Muawiyah dimana dia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى‎ ‎اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏‎ ‎كَانَ إِذَا فَرَغَ مِنْ‏‎ ‎الصَّلَاةِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا‎ ‎إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ‏‎ ‎لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ‏‎ ‎الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ‏‎ ‎وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ‏‎ ‎قَدِيرٌ اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ‏‎ ‎لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا‎ ‎مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا‎ ‎يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ‏‎ ‎الْجَدُّ
“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai shalat dan mengucapkan salam, beliau membaca: “LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAHU LAA SYARIIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WAHUWA ‘ALAA KULLI SYAI’IN QADIIR, ALLAAHUMMA LAA MAANI’A LIMAA A’THAITA WALAA MU’THIYA LIMAA MANA’TA WALAA YANFA’U DZAL JADDI MINKAL JADD (Tiada sesembahan selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah segala kerajaan dan milik-Nyalah segala pujian, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tiada yang bisa menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Engkau cegah, dan tidak bermanfaat pemilik kekayaan, dan dari-Mulah segala kekayaan).” (HR. Al-Bukhari no. 844 dan Muslim no. 593)
Dari Abdullah bin Az-Zubair  bahwa seusai shalat setelah salam, beliau sering membaca;
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ‏‎ ‎وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ‏‎ ‎الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ‏‎ ‎وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ‏‎ ‎قَدِيرٌ لَا حَوْلَ وَلَا‎ ‎قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لَا‎ ‎إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا‎ ‎نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ لَهُ‏‎ ‎النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ‏‎ ‎وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ‏‎ ‎لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ‏‎ ‎مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ‏‎ ‎وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ.‏‎ ‎وَقَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ‏‎ ‎صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ‏‎ ‎وَسَلَّمَ يُهَلِّلُ بِهِنَّ‏‎ ‎دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ
“LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAHUU LAA SYARIIKA LAHU, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WAHUWA ‘ALAA KULLI SYAI’IN QADIIR, LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAH, LAA-ILAAHA ILALLAAH WALAA NA’BUDU ILLAA IYYAAH, LAHUN NI’MATU WALAHUL FADHLU WALAHUTS TSANAA’UL HASAN, LAA-ILAAHA ILLALLAAH MUKHLISIHIINA LAHUD DIINA WALAU KARIHAL
KAAFIRUUNA.” (Tiada sesembahan yang hak selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada Daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Allah. Tiada sesembahan yang hak selain Allah, dan Kami tidak beribadah selain kepada-Nya, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, hanya bagi-Nya ketundukan, sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai).” Dan beliau (Ibnu Az-Zubair) berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu bertahlil dengan kalimat ini setiap selesai shalat.” (HR. Muslim no. 594)
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي‎ ‎دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا‎ ‎وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ‏‎ ‎ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ‏‎ ‎وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا‎ ‎وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ‏‎ ‎تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ‏‎ ‎تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ‏‎ ‎إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا‎ ‎شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ‏‎وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى‎ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ‏‎ ‎خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ‏‎ ‎مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
“Barangsiapa bertasbih kepada Allah sehabis shalat sebanyak tiga puluh tiga kali, dan bertahmid kepada Allah tiga puluh tiga kali, dan bertakbir kepada Allah tiga puluh tiga kali, hingga semuanya berjumlah sembilan puluh sembilan, dan untuk menggenapkan jadi seratus dia membaca: LAA ILAHA ILLALLAHU WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ALA KULLI SYAY`IN QADIR, maka kesalahan-kesalahannya akan diampuni walau sebanyak buih di lautan.” (HR. Muslim no. 597)
Pembahasan Fiqhiah:
Setelah selesai shalat, maka sudah menjadi kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat beliau untuk berzikir dengan zikir-zikir yang warid dalam hadits-hadits di atas. Di dalam zikir-zikir tersebut mengandung kalimat tauhid, pujian, dan pengagungan kepada Allah, serta permohonan agar dosa-dosa diampuni.
Berzikir setelah shalat merupakan hal yang disunnahkan, karenanya tidak sepantasnya seorang muslim untuk meninggalkannya bagaimanapun keadaannya, walaupun sekedar sebentar dan membaca salah satu dari zikir-zikir di atas.
Tidak ada dalil khusus yang menunjukkan urutan zikir yang satu dibandingkan yang lain, karenanya seorang muslim dibolehkan untuk memulai zikirnya dengan yang manapun dari zikir-zikir di atas.
Apakah zikir-zikir ini dibaca dengan jahr atau sirr?
Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini:
1. Ada yang menyunnahkannya. Ini adalah pendapat Imam Ath-Thabari -dalam sebuah nukilan darinya-, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, dan yang difatwakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dan Al-Lajnah Ad-Daimah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz.
Dalil pendapat pertama adalah hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dimana beliau berkata:
أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف‎ ‎الناس من المكتوبة كان على عهد‎ ‎النبي صلى الله عليه وسلم وقالا‎ ‎بن عباس كنت أعلم إذا انصرفوا‎ ‎بذلك إذا سمعته
“Mengangkat suara dengan zikir ketika orang-orang selesai shalat wajib adalah hal yang dulunya ada di zaman Nabi.” Ibnu Abbas berkata, “Saya mengetahui selesainya mereka shalat jika saya mendengarnya.” (HR. Al-Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)
Dalam sebuah riwayat, Ibnu Abbas  berkata:
كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ‏‎ ‎صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى‎ ‎اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِالتَّكْبِيرِ
“Aku dahulu mengetahui selesainya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari suara takbir.” (HR. Al-Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)
Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla (4/260), “Meninggikan suara ketika berzikir di akhir setiap shalat adalah amalan yang baik.”
Catatan:
Bagi yang menyunnahkan berzikir dengan suara jahr, bukan berarti membolehkan zikir secara berjamaah yang dipimpin oleh satu orang, karena amalan ini merupakan amalan yang bid’ah. Akan tetapi yang mereka maksudkan adalah setiap orang menjahrkan sendiri-sendiri bacaan zikirnya.
Asy-Syathibi berkata dalam Al-I’tisham (1/351), “Berdoa secara berjamaah secara terus-menerus bukanlah amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana itu juga bukan berasal dari sabda dan persetujuan beliau.”
2. Hukumnya makruh kecuali jika imam ingin mengajari makmum bacaan zikir. Ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’i, Ath-Thabari -dalam sebagian nukilan lainnya- dan mayoritas ulama, dan ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar, Ibnu Baththal, An-Nawawi, Asy-Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi, Asy-Syaikh Al-Albani.
Dalil-dalil pendapat kedua:
a. Allah Ta ’ala berfirman:
ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها
‎“Dan janganlah kalian menjahrkan shalat kalian dan jangan pula merendahkannya.”
Maksudnya: Janganlah kalian meninggikan suara kalian dalam berdoa dan jangan pula merendahkan suaramu sampai-sampai kamu sendiri tidak bisa mendengarnya.
b. Asy-Syaikh Ali Mahfuzh berkata, “Bagaimana boleh suara ditinggikan dalam zikir sementara Allah Ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya yang bijaksana, “Berdoalah kalian kepada Rabb kalian dalam keadaan merendah dan suara rendah, sesungguhnya Dia tidak mencintai orang-orang yang melampau batas.” Maka mengecilkan suara lebih dekat kepada keikhlasan dan lebih jauh dari riya`.” (Al-Ibda’ fii Madhaarr Al-Ibtida’ hal. 283)
c. Dari Abu Musa Al-Asy’ari  beliau berkata:
كنا مع رسول الله صلى الله عليه‎ ‎وسلم فكنا إذا أشرفنا على واد‎ ‎هللنا وكبرنا ارتفعت أصواتنا‎ ‎فقال النبي صلى الله عليه وسلم‎ ‎يا أيها الناس اربَعوا على‎ ‎أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا‎ ‎غائبا إنه معكم إنه سميع قريب‎ ‎تبارك اسمه وتعالى جده
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (dalam perjalanan). Jika kami mendaki bukit maka kami bertahlil dan bertakbir hingga suara kami meninggi. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, kasihanilah (baca: jangan paksakan) diri-diri kalian, karena sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada Zat yang tuli dan juga tidak hadir. Sesungguhnya Dia -yang Maha berkah namanya dan Maha tinggi kemuliaannya- mendengar dan dekat dengan kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704)
Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath (6/135), “At-Thabari berkata: Dalam hadits ini terdapat keterangan dibencinya meninggikan suara ketika berdoa dan berzikir. Ini adalah pendapat segenap para ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in.”
d. Berzikir dengan suara jahr akan mengganggu orang lain yang juga sedang berzikir, bahkan bisa mengganggu orang yang masbuk. Apalagi di zaman ini hampir tidak ditemukan satupun masjid kecuali ada yang masbuk di dalamnya, illa masya`allah.
e. Imam berzikir dengan suara jahr akan membuka wasilah kepada bid’ah zikir dan doa berjamaah.
Pendapat yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berdasarkan dalil-dalil yang tersebut di atas.
Adapun dalil pihak pertama, maka kesimpulan jawaban dari para ulama yang merajihkan pendapat kedua adalah:
a. Hadits Ibnu Abbas  tidaklah menunjukkan bahwa hal itu berlangsung terus-menerus. Karena kalimat ‘كُنْتُ (aku dahulu)’ mengisyaratkan bahwa hal ini tidak berlangsung lagi setelahnya. Karenanya Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengeraskan zikirnya hanya untuk mengajari para sahabat bacaan zikir yang dibaca setelah shalat. Adapun setelah mereka mengetahuinya maka beliaupun tidak lagi mengeraskan bacaan zikirnya. Demikian diterangkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kaset silsilah Al-Huda wa An-Nur no. 439.
b. Hal ini diperkuat dengan hadits Aisyah riwayat Muslim di atas yang menunjukkan bahwa setelah beliau salam maka beliau tidak duduk di tempatnya kecuali sekedar membaca zikir yang tersebut di atas.
Sebagai penutup, dan sekedar tambahan faidah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa (15/15-19) menyebutkan 10 faidah merendahkan suara dalam berdoa dan berzikir. Barangsiapa yang ingin mengetahuinya maka hendaknya dia merujuk kepadanya.
[Referensi: Kaset Silsilah Al-Huda wa An-Nur no. 206, 439, dan 471, risalah mengenai hukum meninggikan suara zikir setelah shalat oleh Ihsan bin Muhammad Al-Utaibi, dan Majmu’ Al-Fatawa Ibnu Al-Utsaimin 13/247,261]
Sumber: http://al-atsariyyah.com/?p=2034

Meringankan Shalat ketika Anak Menangis


Pertanyaan: Di dalam Ash Shahih dari hadits Abu Qatadah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meringankan shalatnya, manakala mendengar tangisan anak kecil. Apa sebab peringanan tersebut?
Jawaban:
Sebabnya adalah belas kasihan dan pemeliharaan terhadap anak-anak, terlebih lagi bila seseorang shalat sementara anaknya menangis. Dan ini bukanlah suatu hukum yang dikhususkan untuk seorang saja, bahkan kepada seluruh umat. Apabila seseorang mendengar tangisan bayi, maka hendaklah dia meringankan. Maka terkadang ayahnya akan tersibukkan. Demikian pula ibunya apabila dia shalat, maka dia akan tersibukkan darinya. Sehingga hati itu tersibukkan lagi tidak khusyuk ketika shalat. Sebab (peringanan) tersebut disebutkan di dalam sebuah hadits, “Sebagai belas kasihan terhadap ibunya.”
Demikian juga, orang yang lain akan tersibukkan dari shalat mereka. Oleh karena itu hendaklah diringankan. Maka apabila seseorang hendak memanjangkan (shalat) dan dia telah berniat untuk memanjangkannya, namun sementara itu dia mendengar tangisan anak kecil. Hendaklah diringankan sebagaimana petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam dua hadits ini dan selainnya.
Sumber: Anak Amanah Ilahi karya Asy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuri (penerjemah: Abu Abdurrahman Abdul Aziz As Salafy dan Ummu Abdurrahman), penerbit: Penerbit Al-Husna bekerja sama dengan Al Fath Media, hal. 92-93.

Shalat Sambil Menggendong Anak


Pertanyaan: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sambil menggendong Umamah sebagaimana di dalam Ash Shahih, apakah hal ini secara mutlak atau disyaratkan hendaknya anak itu suci dari kotoran?
Jawaban:
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dalam keadaan menggendong Umamah. Ini merupakan bentuk kasih sayang terhadap anak-anak dan bayi-bayi. Karena apabila mereka menangis sementara seseorang sedang shalat. Terkadang tangisan mereka menyibukkan dia dari shalatnya. Allah ta’ala berfirman,
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.” (Al Ahzab: 4)
Demikian pula seorang ibu terkadang tersibukkan dari shalatnya. Namun bilamana dia menggendong anaknya sebagaimana yang diperbuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu apabila dia ruku’ maka dia letakkan anaknya. Dan apabila dia bangkit lalu dia menggendongnya. Maka anak itu menjadi tenang dari tangisannya, sehingga orang yang menjaganya menjadi khusyu’ dalam shalatnya. Dan dia menjadi perhatian terhadap anak tersebut karena rasa kasih sayang kepadanya.
Adapun perkara yang berkaitan dengan syarat suatu kesucian. Bila dia bisa terhindar dari kotorannya, maka tidak mengapa yang demikian. Namun apabila terdapat kotoran padanya, semisal air kencing atau selainnya, maka tidak boleh. Dan kisah Umamah dikemungkinkan bahwa dia dalam keadaan bersih dari najis kencing atau tahi, sebagaimana yang telah disebutkan oleh para ulama rahimahumullah.
Sumber: Anak Amanah Ilahi karya Asy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuri (penerjemah: Abu Abdurrahman Abdul Aziz As Salafy dan Ummu Abdurrahman), penerbit: Penerbit Al-Husna bekerja sama dengan Al Fath Media, hal. 88-89.

Cara Thaharah dan Shalat Bagi Orang yang Sakit


Inilah beberapa hukum yang dikhususkan bagi orang yang sakit, dalam kaitannya dengan thaharah (bersuci) dan shalat, sebagaimana yang ditulis Fadhilatusy Syaikh Al-Utsaimin.
Syaikh berkata, “Ini merupakan tulisan ringkas tentang apa yang harus dilakukang orang yang sedang sakit dalam thaharah dan shalatnya. Orang yang sakit mempunyai hukum-hukum yang khusus, dan keadaannya mendapat perhatian yang khusus pula dalam syariat Islam. Sebab Allah telah mengutus Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa kebenaran dan kelonggaran yang didasarkan kepada kemudahan. Allah berfirman:
“Dia sekali-kali tidak menjadikam untuk kalian dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78)
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (Al-Baqarah: 185)
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupam kalian dan dengarlah serta taatlah.” (At-Taghabun: 16)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya agama itu adalah mudah.”
Beliau juga bersabda,
“Jika aku memerintahkan suatu perintah kepada kalian, maka lakukanlah menurut kesanggupan kalian.”
Berdasarkan kaidah yang fundamental ini, Allah memberi keringanan dalam beribadah kepada orang-orang yang lemah, menurut kadar kelemahannya, agar mereka tetap bisa beribadah kepada Allah tanpa merasa kesulitan dan keberatan. Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin.
Adapun cara bersuci bagi orang yang sakit adalah:
1. Orang yang sakit harus bersuci dengan air, wudhu dan hadats kecil dan mandi dari hadats besar.
2. Jika tidak sanggup bersuci dengan menggunakan air karena kondisinya yang memang lemah atau karena khawatir sakitnya bertambah parah atau menunda kesembuhannya, maka dia boleh bertayammum.
3. Adapun cara bertayammum: Telapak tangan ditempelkan di debu yang bersih dengan sekali tempelan, lalu ditepis-tepiskan agar debunya tidak terlalu banyak, lalu mengusap ke seluruh wajah. Kemudian menempelkan lagi di debu, lalu saling diusapkan tangan antara yang satu dan lainnya.
4. Jika dia sendiri tidak bisa wudhu atau tayammum, maka orang lain bisa mewudhukan atau menayammuminya.
5. Jika di sebagian anggota thaharah terdapat luka, maka dia tetap harus membasuhinya dengan air. Namun jika terkena air, luka itu bertambah parah, maka tangannya cukup dibasahi air, lalu diusapkan di permukaan luka sekedarnya saja. Jika ini pun tidak memungkinkan, maka dia bisa bertayammum.
6. Jika anggota thaharah ada yang patah, lalu ditutup perban atau digips, maka dia cukup mengusapnya dengan air dan tidak perlu bertayammum. Sebab usapan itu sudah dianggap sebagai pengganti dari mandi.
7. Boleh mengusapkan tangan ke dinding saat tayammum, atau ke tempat lain yang memang suci dan juga mengandung debu. Jika dinding itu dilapisi sesuatu yang bukan dari jenis tanah, seperti dicat, maka tidak boleh tayammum padanya, kecuali memang di situ ada unsur debunya.
8. Jika tidak memungkinkan tayammum di tanah atau di dinding atau sesuatu yang ada debunya, maka boleh saja meletakkan tangan di sapu tangan umpamanya, yang di atasnya ditaburi debu.
9. Jika dia tayammum untuk satu shalat, kemudian tetap dalam keadaan suci hingga masak waktu shalat berikutnya, maka dia bisa shalat dengan tayammum untuk shalat yang pertama. Sebab dia masih dalam keadaan suci dan tidak ada sesuatu pun yang membatalkannya.
10. Orang yang sakit harus membersihkan badannya dari berbagai jenis najis selagi dia sanggup untuk melakukannya. Jika tidak bisa, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun, dan tidak perlu mengulang shalatnya setelah suci.
11. Orang yang sakit harus shalat dengan pakaian yang suci. Jika di pakaiannya ada najis, maka dia harus mencucinya atau menggantinya dengan pakaian lain yang suci. Jika tidak memungkinkan, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun, dan tidak perlu mengulang shalatnya setelah suci.
12. Orang yang sakit harus shalat di atas sesuatu atau di tempat yang suci. Jika tempatnya itu ada najisnya, maka harus dicuci atau diganti dengan yang suci atau dilapisi sesuatu yang suci. Apabila tidak memungkinkan, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun dan tidak perlu mengulang shalatnya setelah suci.
13. Orang yang sakit tidak boleh menangguhkan shalatnya dari waktunya karena alasan ketidakmampuan dalam bersuci. Dia harus bersuci menurut kesanggupannya, kemudian shalat pada waktunya, sekalipun di badan, pakaian atau tempatnya terdapat najis.
Adapun cara shalatnya sebagai berikut:
1. Orang yang sakit harus mendirikan shalat wajib dalam keadaan berdiri, sekalipun agak miring atau sambil bersandar ke dinding atau ke tongkat.
2. Jika tidak bisa berdiri, dia bisa mendirikan shalat sambil duduk. Yang paling baik ialah duduk sambil menyilangkan kaki kiri di bawah paha kanan di tempat ruku’ dan sujud.
3. Jika tidak bisa shalat sambil duduk, maka dia berbaring pada lambungnya dengan menghadap ke arah kiblat. Yang paling baik adalah pada lambung kanan. Jika tidak memungkinkan berbaring pada lambung bagian kanan dan tidak bisa menghadap ke arah kiblat, dia bisa shalat seperti apa pun keadaannya, dan tidak perlu mengulang shalatnya.
4. Jika tidak bisa berbaring pada lambungnya, maka dia bisa berbaring menghadap ke atas, dan kedua kakinya menghadap ke arah kiblat. Yang paling baik ialah sedikit mengangkat kepalanya, agar bisa menghadap ke arah kiblat. Jika cara ini tidak memungkinkan, maka dia bisa shalat seperti apa pun keadaannya, dan tidak perlu mengulang shalatnya.
5. Orang yang sakit harus ruku’ dan sujud dalam shalatnya. Jika tidak sanggup, maka dia bisa menganggukkan kepala, dan anggukan sujud lebih rendah daripada anggukan ruku’. Jika dia bisa ruku’ dan tidak bisa sujud, maka dia harus tetap ruku’, sedangkan sujud cukup dengan menganggukkan kepala. Jika bisa sujud dan tidak bisa ruku’, maka dia harus sujud dan menganggukan kepala tatkala ruku’.
6. Jika tidak bisa menganggukkan kepala tatkala ruku’ dan sujud, maka dia bisa memberi isyarat dengan matanya, dengan sedikit memejam tatkala ruku’ dan lebih banyak memejamkan mata tatkala sujud. Sedangkan memberi isyarat dengan tangan seperti yang biasa dilakukan sebagian orang adalah tidak benar, sebab memang tidak ada dasarnya di dalam Al-Qur’an, Sunnah maupun pendapat para ulama.
7. Jika tidak bisa menganggukkan kepala atau memberi isyarat dengan matanya, maka dia bisa shalat dengan hatinya. Dia niat, bertakbir, membaca, ruku’, sujud, berdiri dan duduk dengan gerakan hatinya.
8. Orang yang sakit harus mengerjakan setiap shalat tepat pada waktunya dan mengerjakannya menurut kesanggupannya. Jika kesulitan melakukan shalat tepat pada waktunya, maka dia bisa menjama’ shalat zhuhur dan ashar, maghrib dan isya’, boleh jama’ taqdim dengan mengerjakan shalat ashar pada waktu shalat zhuhur dan shalat isya’ pada waktu shalat maghrib, maupun jama’ ta’khir, yaitu dengan mengerjakan dua pasangan ini pada waktu shalat yang kedua. Dia bisa memilih mana yang lebih mudah baginya. Sedangkan shalat subuh tidak bisa dijama’.
9. Jika orang yang sakit dalam perjalanan, karena dia hendak berobat di luar daerahnya, maka dia bisa meng-qashar shalat yang terdiri dari empat rakaat, sehingga dia bisa shalat zhuhur, ashar dan isya’ dengan dua rakaat, hingga kembali ke daerahnya, baik masanya lama maupun sebentar.
[Catatan: Kalau orang yang sakit secara tiba-tiba dalam shalat membaik, lalu bisa melakukan seluruh gerakan yang sebelumnya tidak bisa dilakukan, seperti berdiri, duduk, rukuk, sujud atau sekedar memberi isyarat, maka ia harus beralih ke cara normal untuk sisa shalatnya. -pen.]
Fatwa-fatwa tentang Thaharah dan Shalatnya Orang Sakit
1. Orang yang tidak mengerjakan beberapa shalat wajib, bagaimana cara mengqadha’nya?
Syaikh Muhammad bin Utsaimin ditanya tentang orang sakit yang dioperasi, sehingga dia tidak sempat mengerjakan beberapa shalat. Apakah dia harus mengerjakan (mengqadha’) shalat-shalat itu semuanya setelah sembuh sekaligus, ataukah mengerjakannya sesuai dengan waktunya masing-masing? Dengan kata lain, apakah dia harus mengqadha’ shalat subuh yang tertinggal pada waktu shalat subuh setelah dia sembuh, shalat zhuhur pada waktu shalat zhuhur dan seterusnya?
Syaikh menjawab, “Dia harus mengqadha’nya sekaligus pada satu waktu. Sebab tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sempat mengerjakan shalat ashar pada saat perang Khandaq, maka beliau mengerjakan (mengqadha’)nya sebelum shalat maghrib. Jadi, jika seseorang ketinggalan tidak mengerjakan beberapa shalat wajib, maka dia harus mengerjakannya sekaligus semuanya dan tidak boleh
menangguhkannya.”
2. Thaharah dan shalat orang yang tidak kuat menahan keluarnya kencing.
Syaikh berkata, “Dia tidak boleh wudhu untuk shalat kecuali setelah masuk waktu shalat. Setelah mencuci kemaluannya, dia bisa melapisi dengan sesuatu agar air kencingnya tidak mengenai pakaian dan badannya. Sesudah itu dia bisa wudhu dan shalat. Dia bisa shalat beberapa kali shalat wajib dan nafilah. Jika ingin mengerjakan shalat nafilah bukan pada waktu shalat, maka dia bisa mengerjakan cara serupa, lalu wudhu dan shalat.”
3. Orang yang terus-menerus kentut, bagaimana cara bersuci dan shalatnya?
Syaikh berkata, “Jika tidak memungkinkan baginya untuk menahan kentut, artinya kentut itu keluar tanpa disengaja, maka hukumnya sama dengan hukum orang yang tidak kuat menahan keluarnya kencing. Dia bisa wudhu setelah masuk waktu shalat lalu mendirikan shalat. Jika waktu kentut itu disertai keluarnya kotoran tepat pada waktu shalat, maka shalatnya tidak batal. Allah telah berfirman:
“Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (At-Taghabun: 16)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
4. Apakah wudhu menjadi batal karena pingsan?
Syaikh menjawab pertanyaan ini, “Benar. Pingsan membatalkan wudhu, sebab pingsan lebih parah daripada tidur. Sementara tidur sendiri membatalkan wudhu jika terlalu lelap. Sebab orang yang tidur terlelap tidak bisa tahu andaikata ada sesuatu yang keluar darinya.”
5. Jika ada di badan orang yang sakit, bisakah dia bertayammum?
Syaikh menjawab pertanyaan ini, “Dia tidak boleh bertayammum dalam keadaan seperti itu. Jika memungkinkan, dia harus mencuci najis itu. Jika tidak, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun tanpa harus tayammum. Sebab tayammum tidak berpengaruh terhadap hilangnya najis. Yang dituntut darinya adalah kebersihan badannya dari najis. Jadi, sekalipun dia tayammum, toh najisnya tidak hilang dari badan dan tidak bisa menghilangkan najis dari badan.”
6. Jika orang yang sakit mengalami junub, padahal dia tidak memungkinkan menggunakan air, maka apakah dia boleh tayammum?
Syaikh menjawab, “Jika orang yang sakit junub, padahal dia tidak bisa menggunakan air, maka dia boleh bertayammum. Hal ini didasarkan kepada firman Allah,
“Dan, jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah itu.” (Al-Maidah: 6)
7. Qadha shalat orang yang hilang kesadarannya karena bius atau penyakit.
Syaikh berkata tentang masalah ini, “Selagi kesadaran orang yang sakit itu hilang karena bius atau karena penyakitnya yang sudah akut, maka dia harus mengqadha’ semua shalatnya yang tertinggal setelah kesadarannya menjadi normal, secara berurutan dan sesegera mungkin mengerjakannya menurut kesanggupannya. Hal ini didasarkan kepada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Barangsiapa tidur dan tidak mengerjakan shalat atau lupa
mengerjakannya, maka hendaklah dia mengerjakannya selagi dia mengingatnya, tidak ada kafarat bagi shalatnya itu kecuali hanya itu.”
Tidak dapat diragukan, orang yang pingsan karena sakit, atau karena dibius selama sehari, dua hari, tiga hari dan seterusnya, hukumnya sama dengan hukum orang yang tidur. Dia tidak boleh menangguhkan shalat-shalat yang tertinggal itu hingga dia mengerjakan yang sama. Bahkan dia harus langsung mengerjakan (mengqadha’)nya setelah kesadarannya menjadi normal. Tak berbeda dengan orang yang tertidur setelah bangun dan orang yang lupa setelah ingat. Jika tidak bisa menggunakan air, maka dia boleh bertayammum.”
8. Orang yang pingsan harus mengqadha’ shalat, jika jangka waktu pingsannya tidak lama.
Syaikh Abdul Aziz diberi sebuah pertanyaan, “Sebagian orang ada yang mengalami kecelakaan mobil atau lainnya, lalu mengalami gegar otak dan tidak sadar selama tiga hari, atau boleh jadi seseorang pingsan selama itu. Apakah orang semacam ini harus mengqadha’ shalat-shalat yang tidak sempat dikerjakan jika kesadarannya sudah pulih?”
Syaikh menjawab, “Jika jangka waktunya hanya sebentar, seperti tiga hari atau lebih sedikit dari itu, maka dia harus mengqadha’
shalat-shalatnya. Sebab pingsan atau tidak sadar selama jangka waktu itu bisa diserupakan dengan tidur, sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengqadha’. Pernah diriwayatkan dari sejumlah shabat, bahwa mereka pernah pingsan selama kurang dari tiga hari, dan mereka mengqadha’ shalatnya.
Namun jika jangka waktunya lebih dari tiga hari, maka dia tidak perlu mengqadha’. Hal ini didasarkan kepada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Kewajiban dibebaskan dari tiga orang, yaitu dari orang tidur hingga bangun, dari anak kecil hingga baligh, dari orang gila hingga kembali sadar.”
Orang yang tidak sadar lebih dari tiga hari, diserupakan dengan orang gila yang hilang kesadarannya secara total.”
9. Orang yang sakit tidak boleh menangguhkan shalatnya hingga sembuh, dengan alasan tidak mampu bersuci atau karena sulit
menghindari najis.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata tentang masalah ini, “Sakit tidak menghalangi untuk melaksanakan shalat, dengan alasan tidak mampu bersuci, selagi ingatannya masih normal. Orang yang sakit harus shalat menurut kesanggupannya. Dia harus bersuci dengan menggunakan air selagi sanggup. Jika tidak sanggup menggunakan air, maka dia bertayammum lalu shalat. Dia juga harus menghilangkan najis dari badan dan pakaiannya waktu shalat, atau menggantinya dengan pakaian lain yang tidak ada najisnya. Jika tidak sanggup menghilangkan najis atau mengganti dengan pakaian lain yang suci, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti itu, karena Allah telah berfirman,
“Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (At-Taghabun: 16)
10. Sakit syaraf tidak membebaskan kewajiban, selagi kesadarannya normal.
Syaikh Ibnu Utsaimin mendapat lontaran pertanyaan, “Seseorang yang mendapat gangguan syaraf setelah sekian lama menurut analisis dokter, sehingga penyakitnya itu menyebabkan berbagai masalah, seperti suka menggertak orang tuanya sendiri, takut secara berlebihan, gelisah dan hanya diam saja, apakah tidak perlu mengerjakan kewajiban-kewajiban syariat? Apakah dia berdosa karenanya? Apa nasehat Syaikh?”
Syaikh menjawab, “Dia tidak terbebas dari hukum-hukum syariat selagi kesadarannya masih normal. Namun jika kesadaran dan ingatannya sudah hilang serta tidak bisa menguasai ingatannya, maka dia terbebas dari segala kewajiban. Nasehat kami, hendaklah dia banyak berdoa dan memohon ampunan kepada Allah, berlindung kepada Allah dari bisikan syetan yang terlaknat tatkala emosinya tak terkendali. Siapa tahu Allah akan menganugerahkan kesembuhan kepadanya.”
11. Muntah bukan najis dan tidak membatalkan wudhu.
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang muntah, apakah ia najis dan membatalkan wudhu?
Syaikh menjawab, “Yang benar, muntah itu tidak membatalkan wudhu, dan segala hal yang keluar dari badan manusia tidak membatalkan wudhu, kecuali dari dua jalan: kemaluan dan dubur. Karena memang dalil tidak ada. Lalu apakah muntah itu najis? Menurut jumhur, muntah adalah najis. Tetapi kami tidak mendapatkan satu dalil pun yang mendukung pendapat ini. Kalau begitu, pada dasarnya muntah adalah suci hingga ada dalil yang menunjukkan bahwa ia adalah najis. Muntah ini tidak bisa diqiyaskan kepada kencing atau kotoran, karena ada perbedaan hakekat antara keduanya jika dilihat dari segi kotor, bau dan kebusukannya. Maka kentut yang keluar dari dubur (anus) membatalkan wudhu, sedangkan sendawa tidak membatalkan wudhu, sekalipun
kedua-duanya berupa angin yang keluar dari perut. Jadi apa yang ada di dalam perut bukanlah kotoran. Sebab kalau tidak, tidak ada perbedaan antara keduanya. Memang tidak diragukan, jika harus berhati-hati dengan menghindarinya atau mencuci pakaian atau badan yang terkena muntah.”
12. Bagaimana shalatnya orang yang sakit, jika tempat tidur para pasien tidak menghadap ke arah kiblat?
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh menjawab, “Memang para penanggung jawab di rumah sakit harus menaruh perhatian hingga masalah ini. Mereka harus merancang tempat tidur pasien mengarah ke kiblat, sehingga tidak merepotkan para pasien. Jika orang yang sakit bisa mengubah tempat tidur ke arah kiblat, maka hendaklah dia melakukannya. Jika tidak dapat, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun, sehingga hal ini bisa dimasukkan ke dalam keumuman firman Allah,
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115)
13. Jika kasurnya empuk, sahkah orang yang sakit shalat di atasnya?
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh menjawab, “Jika kasurnya amat empuk, maka boleh saja shalat di atasnya, asalkan dilapisi sesuatu di tempat kening dan tangannya. Sebab bila dilapisi, maka permukaannya menjadi keras. Jika kening ditempelkan di kasur yang empuk, tentu letak penempelan itu tidak layak, sehingga sujudnya juga tidak sah.”
14. Kapankah posisi berdiri memjadi gugur, karena keadaan yang lemah ataukah karena kesulitan berdiri?
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh menjawab, “Kedua-duanya bisa menggugurkannya. Jika seseorang tidak kuat berdiri, maka dia boleh tidak berdiri, dan jika dia kesulitan untuk berdiri, dalam pengertian kekhusyukannya akan terganggu jika berdiri, maka dia juga boleh tidak berdiri. Hal ini didasarkan kepada keumuman firman Allah,
“Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.”
Di samping itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
“Shalatlah dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan duduk. Jika tidak mampu, maka dengan telentang di atas lambung.”
15. Jika tidak bisa memberi isyarat dengan kepala, bolehkah memberi isyarat dengan mata?
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh menjawab, “Tidak pernah disebutkan di dalam Sunnah yang shahih, bahwa orang yang tidak bisa memberi isyarat dengan kepalanya, bisa memberi isyarat dengan matanya. Hadits yang dijadikan dalil para fuqaha mengenai hal ini adalah hadits dha’if. Maka dari itu Syaikhul Islam berpendapat, tidak perlu shalat sambil memberi isyarat dengan mata. Yang jelas, jika tidak ada dalil yang shahih, maka orang yang sakit tidak boleh memberi isyarat dengan matanya. Karena shalat itu merupakan ibadah, berarti harus ada perkenan dari syariat. Berdasarkan kaidah ini, maka dapat kami katakan, jika tidak dapat memberi isyarat dengan kepala, maka gerakan macam apa pun menjadi gugur, dan cukup hanya dengan hati saja.” [1]
Footnote:
[1] Berarti ada perbedaan pendapat antara pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin dengan pengarang, sebagaimana yang diuraikan sebelum ini, pent.
NB: Tulisan dalam tanda [...] adalah tambahan dari admin, diambil dari buku “Berbahagialah Wahai Orang Sakit!” karya Dr. Muhammad Al-Burkan, terbitan Pustaka At-Tibyan hal. 49.
Sumber: Hiburan Bagi Orang Sakit karya Abdullah bin Ali Al-Ju’aitsin (penerjemah: Kathur Suhardi), penerbit: Pustaka Al-Kautsar cet. Kelima, November 1999, hal. 191-206.

Tuntunan dalam Berziarah Kubur


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ‏‎ ‎زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ ،‏‎ ‎فَزُوْرُوْهَا لِتَذْكِرِكُمْ‏‎ ‎زِيَارَتُهَا خَيْراً
“Dahulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, (kini) berziarahlah, agar ziarah kubur itu mengingatkanmu berbuat kebajikan.” (HR. Ahmad, hadits sahih)
Di antara yang perlu diperhatikan dalam ziarah kubur adalah:
1. Ketika masuk, disunahkan menyampaikan salam kepada mereka yang telah meninggal dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada para sahabat agar mengucapkan,
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ‏‎ ‎الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ‏‎ ‎وَ إِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ‏‎ ‎لاَحِقُوْنَ ، أَسْأَلُ اللهَ لَناَ‏‎ ‎وَ لَكُمْ الْعَافِيَةَ) مِنَ‏‎ ‎الْعَذَابَ)
“Semoga keselamatan tercurah untuk kalian wahai para penghuni kubur, dari orang-orang beriman. Dan kami insya Allah akan menyusul kalian. Aku memohon kepada Allah, untuk kami dan untuk kalian keselamatan (dari azab).” (HR. Muslim dan lainnya)
2. Tidak duduk di atas kuburan, serta tidak menginjaknya. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
لاَ تُصَلُّوْا إِلَى الْقُبُوْرِ‏‎ ‎وَ لاَ تَجْلِسُوْا عَلَيْهَا
“Janganlah kalian shalat menghadap kuburan dan jangan pula duduk di atasnya.” (HR. Muslim)
3. Tidak melakukan thawaf sekeliling kuburan dengan niat untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri kepada orang yang dikubur –pent.). Karena Allah berfirman,
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ‏‎ ‎الْعَتِيقِ
“Dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah, Ka’bah).” (AI-Hajj: 29)
4. Tidak membaca Al-Quran di kuburan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ‏‎ ‎مَقَابِرَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ‏‎ ‎يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ‏‎ ‎تـُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ‏‎ ‎الْبَقَرَةِ
“Jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim)
Ini merupakan isyarat bahwa kuburan bukanlah tempat membaca Al-Quran, berbeda halnya dengan rumah. Adapun hadits-hadits tentang membaca Al-Quran di kuburan adalah tidak sahih.
5. Adapun meminta pertolongan dan bantuan kepada mayit, meskipun mayit itu seorang nabi atau wali, ini merupakan syirik besar karena Allah berfirman,
وَلا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا‎ ‎لا يَنْفَعُكَ وَلا يَضُرُّكَ‏‎ ‎فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا‎ ‎مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan janganlah kamu menyembah apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” (Yunus: l06)
(Orang-orang yang zhalim adalah musyrikin).
6. Tidak meletakkan karangan bunga atau menaburkannya di atas kuburan mayit karena hal ini menyerupai orang-orang Nasrani, serta membuang-buang harta dalam perkara yang tidak bermanfaat. Apabila harta itu disedekahkan kepada orang-orang fakir dengan niat untuk si mayit, niscaya akan bermanfaat untuk si mayit dan bagi orang-orang fakir tersebut.
7. Dilarang membangun di atas kuburan atau menulis sesuatu dari Al-Quran atau syair di atasnya. Sebab hal itu dilarang, “Beliau melarang mengapur kuburan dan membangun di atasnya.”
Cukup meletakkan sebuah batu setinggi satu jengkal, untuk menandai kuburan. Dan itu sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika meletakkan sebuah batu di atas kubur Utsman bin Mazh’un, lantas beliau bersabda,
أَتَعَلـَّمُ عَلَى قَبْرِ أَخِيْ
“Aku memberikan tanda di atas kubur saudaraku.” (HR. Abu Daud, dengan sanad hasan)
Sumber: Manhaj Al-Firqah An-Najiyah, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.
Lihat: http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/02/17/bagaimana-cara-kita-menziarahi-kuburan/

Ziarah Kubur yang Jauh dari Tuntunan Syariat


Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni rahimahullah ditanya mengenai ziarah kubur yang disyariatkan. Beliau rahimahullah menjawab, Perlu diketahui bahwa ziarah kubur ada dua bentuk: ziarah kubur yang disyariatkan dan ziarah kubur yang jauh dari tuntunan Islam.
Ziarah Kubur yang Disyariatkan
Contoh dari ziarah kubur yang disyariatkan adalah mendoakan si mayit, sebagaimana dibolehkan juga melaksanakan shalat jenazah untuknya. Dasar dari hal ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menziarahi kubur Baqi’ dan kubur pada syuhada’ Uhud. Kemudian beliau mengajari para sahabatnya, jika mereka menziarahi kubur hendaklah membaca do’a:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ‏‎ ‎مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إنْ شَاءَ‏‎ ‎اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ يَرْحَمُ‏‎ ‎اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا‎ ‎وَمِنْكُمْ وَالْمُسْتَأْخِرِين‎ ‎نَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ‏‎ ‎الْعَافِيَةَ ، اللَّهُمَّ لَا‎ ‎تَحْرِمْنَا أَجْرَهُمْ وَلَا‎ ‎تَفْتِنَّا بَعْدَهُمْ وَاغْفِرْ‏‎ ‎لَنَا وَلَهُمْ
“Semoga keselamatan bagi kalian wahai negeri (peristirahatan sementara) kaum mukminin, dan kami insya Allah akan bertemu kalian. Semoga Allah merahmati kalian yang lebih dahulu dari kami dan kami pun akan menyusul kalian. Kami memohon pada Allah keselamatan pada kami dan kalian. Ya Allah, janganlah halangi ganjaran bagi mereka. Janganlah beri siksaan kepada mereka setelah itu. Ampunilah dosa-dosa kami dan mereka.”
Demikian pula setiap do’a orang mukmin untuk para nabi dan selainnya, sebagaimana kita temukan dalam pensyariatan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam hadits yang shahih,
إذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ‏‎ ‎فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ‏‎ ‎صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ‏‎ ‎صَلَّى عَلَيَّ مَرَّةً وَاحِدَةً‏‎ ‎صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا‎ ‎عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِي‎ ‎الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا دَرَجَةٌ‏‎ ‎فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إلَّا‎ ‎لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ‏‎ ‎وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا‎ ‎ذَلِكَ الْعَبْدَ فَمَنْ سَأَلَ‏‎ ‎اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ‏‎ ‎لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ‏‎ ‎الْقِيَامَةِ ، وَمَا مِنْ مُسْلِمٍ‏‎ ‎يُسَلِّمُ عَلَيَّ إلَّا رَدَّ‏‎ ‎اللَّهُ عَلَيَّ رُوحِي حَتَّى‎ ‎أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ
“Jika kalian mendengar muadzin (orang yang mengumandangkan adzan), maka katakanlah semisal yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah padaku karena barangsiapa yang bershalawat padaku sekali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sebanyak 10 kali. Kemudian mintalah wasilah pada Allah untukku karena wasilah adalah suatu derajat di surga yang hanya diberikan pada hamba-hamba Allah. Aku berharap termasuk hamba yang mendapatkan wasilah tersebut. Barangsiapa yang meminta pada Allah wasilah untukku, maka ia pantas mendapatkan syafa’atku pada hari kiamat nanti. Setiap muslim yang mengucapkan salam untukku, Allah akan kembalikan ruhku padaku sampai aku balas salam tersebut.”
Ziarah Kubur yang Jauh dari Tuntunan Islam
Ziarah kubur yang jauh dari tuntunan Islam adalah ziarah kubur yang dilakukan oleh pelaku syirik yang sejenis ziarah kubur yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani. Mereka memaksudkan do’a pada mayit dan beristi’anah (meminta tolong) melalui mayit yang ada di dalam kubur. Berbagai hajat diminta melalui perantaraan penghuni kubur.
Mereka pun shalat di sisi kubur dan berdoa melalui perantaraan si mayit. Perbuatan semacam ini sama sekali tidak pernah dilakukan oleh ulama masa silam dan para imam besar. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menutup jalan agar tidak memasuki pintu syirik dengan melakukan semacam ini. Dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata di saat sakit menjelang kematiannya,
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ‏‎ ‎وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ‏‎ ‎أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ‏‎ ‎يُحَذِّرُ مَا فَعَلُوا
“Sungguh Allah melaknat orang Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kubur Nabi mereka sebagai masjid (layaknya tempat ibadah). Dia telah memperingatkan apa yang mereka perbuat.” Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Seandainya bukan karena sabda beliau ini, tentu kubur beliau akan ditampakkan di luar rumah. Sungguh dilarang jika ada yang menjadikan kuburannya sebagai masjid.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lima hari sebelum kematiannya,
إنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا‎ ‎يَتَّخِذُونَ الْقُبُورَ مَسَاجِدَ‏‎ ‎أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ‏‎ ‎مَسَاجِدَ فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ‏‎ ‎عَنْ ذَلِكَ
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan (para nabi dan orang-orang shalih dari mereka) sebagai masjid, maka janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan itu sebagai masjid, karena sungguh aku melarang kalian dari hal itu”.”
Dari sini, kita dapat melihat bahwa ziarah bentuk pertama yang disebutkan di awal termasuk jenis amalan yang dituntunkan dan bentuk ihsan (berbuat baik) terhadap sesama.
Ziarah bentuk pertama tersebut dapat mensucikan hati sebagaimana yang Allah perintahkan (agar berziarah kubur untuk mengingat kematian). Sedangkan ziarah bentuk kedua termasuk bentuk syirik kepada Allah dan termasuk tindak kezholiman karena tidak menempatkan hak Allah dan hak hamba dengan benar. Dalam hadits yang shahih dikatakan,
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ‏‎ ‎عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ لَمَّا‎ ‎أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى‎ ‎‏} الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ‏‎ ‎يَلْبِسُوا إيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ‏‎ ‎‏{‏‎ ‎شَقَّ ذَلِكَ عَلَى أَصْحَابِ‏‎ ‎النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ‏‎ ‎وَسَلَّمَ وَقَالُوا : أَيُّنَا لَمْ‏‎ ‎يَظْلِمْ نَفْسَهُ ؟ فَقَالَ‏‎ ‎النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ‏‎ ‎وَسَلَّمَ إنَّمَا هُوَ الشِّرْكُ‏‎ ‎أَلَمْ تَسْمَعُوا قَوْلَ الْعَبْدِ‏‎ ‎الصَّالِحِ : } إنَّ الشِّرْكَ‏‎ ‎لَظُلْمٌ عَظِيمٌ {
“Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat Allah menurunkan ayat (yang artinya): “Orang-orang beriman yaitu mereka yang tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezholiman.” (QS. Al An’am: 82) Ketika mendengar ayat tersebut, para sahabat pun menjadi gelisah. Mereka pun bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Lantas siapakah –wahai Rasul- yang tidak berbuat zholim pada dirinya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya yang dimaksud zholim dalam ayat tersebut adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar perkataan seorang hamba yang sholih (yang artinya), “Sesungguhnya syirik adalah kezholiman yang paling besar?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي‎ ‎وَثَنًا يُعْبَدُ
“Ya Allah, janganlah jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah.”
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ‏‎ ‎آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا‎ ‎وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ‏‎ ‎وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr.” (QS. Nuh: 23)
Para ulama salaf mengatakan,
هَؤُلَاءِ كَانُوا قَوْمًا‎ ‎صَالِحِينَ فِي قَوْمِ نُوحٍ‏‎ ‎فَلَمَّا مَاتُوا عَكَفُوا عَلَى‎ ‎قُبُورِهِمْ وَصَوَّرُوا‎ ‎تَمَاثِيلَهُمْ فَكَانَ هَذَا‎ ‎أَوَّلَ عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ
“Berhala-berhala yang disebutkan dalam ayat tersebut dulunya adalah orang-orang sholih di kaum Nuh. Ketika mereka mati, kaum Nuh beri’tikaf di kubur mereka dan membuat patung-patung yang menyerupai mereka. Inilah awal penyembahan berhala.”
Ziarah bentuk kedua ini sejenis dengan ibadahnya orang Nashrani. Hal semacam ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan para tabi’in. Mereka tidak pernah memanjatkan do’a di sisi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seperti ini pun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf lainnya. Bahkan para ulama besar melarang seseorang berdiam diri di sisi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdo’a di situ. Para ulama tersebut katakan bahwa amalan semacam ini sangat jauh dari tuntunan Islam.
Para sahabat dan para tabi’in tidak pernah melakukan hal semacam ini. Yang mereka lakukan adalah mengucapkan salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penghuni kubur lainnya, selepas itu mereka pun pergi.
Kalau kita dapat menyaksikan, Abdullah bin ‘Umar ketika memasuki masjid Nabawi, beliau mengucapkan, “Semoga keselamatan kepadamu wahai Rasulullah. Semoga keselamatan kepadamu wahai Abu Bakr. Semoga keselamatan kepadamu wahai ayahku (Umar bin Khottob).” Selepas itu, Ibnu ‘Umar lekas pergi.
Imam Malik dan ulama besar lainnya memiliki perkataan tegas mengenai hal ini. Abu Yusuf dan ulama lainnya juga memiliki perkataan demikian. Mereka berkata bahwa tidak boleh bagi seorang pun meminta kepada Allah dengan menggunakan perantaraan seorang nabi, malaikat atau lainnya. Kaum muslimin (yaitu para sahabat) dahulu pernah tertimpa kemarau dan kekeringan. Namun mereka berdo’a memohon pada Allah agar diturunkan hujan. Mereka pun berdoa atas musuh-musuhnya dan meminta agar diberi pertolongan melalui do’a orang-orang sholih (yang masih hidup). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَهَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ‏‎ ‎إلَّا بِضُعَفَائِكُمْ :‏‎ ‎بِدُعَائِهِمْ وَصَلَاتِهِمْ‏‎ ‎وَإِخْلَاصِهِمْ
“Sungguh kalian akan diberi pertolongan dan diberi rizki berkat do’a orang-orang lemah di antara kalian, yaitu berkat do’a, shalat dan keikhlasan mereka.”
Namun lihatlah, mereka tidak pernah sama sekali memanjatkan do’a di sisi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang sholih (yang sudah mati). Mereka pun tidak melaksanakan shalat di sisi kuburan dan tidak meminta hajat darinya. Mereka pun tidak bersumpah atas nama Allah melalui perantaraan orang yang sudah mati, semisal dengan mengatakan: “Aku meminta pada Allah dengan hak si fulan dan si fulan.” Semua ini sangat jauh dari tuntunan Islam.
Ingatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ الْقُرُونِ الْقَرْنُ‏‎ ‎الَّذِي بُعِثْت فِيهِمْ ثُمَّ‏‎ ‎الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik generasi adalah generasi yang hidup saat aku diutus (yaitu para sahabat). Kemudian setelah itu adalah orang-orang setelah mereka.”
Para ulama telah sepakat bahwa para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik generasi dari umat ini (itu berarti mereka yang pantas dijadikan teladan, pen). [Majmu’ Al Fatawa, Abul ‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 24/326-329, Darul Wafa ’, cetakan ketiga, tahun 1426 H]
Apa yang dimaksud menjadikan kubur sebagai masjid?
Dalam perkataan lainnya, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni rahimahullah menjelaskan, “Menjadikan suatu tempat sebagai masjid adalah menjadikan shalat lima waktu dan ibadah lainnya di tempat tersebut sebagaimana ibadah-ibadah tersebut diadakan di masjid. Jadi tempat yang dijadikan sebagai masjid adalah tempat yang dimaksudkan untuk beribadah pada Allah dan berdo’a kepada-Nya di situ, dan bukan khusus do’a tersebut ditujukan pada makhluk. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal semacam ini yaitu menjadikan kubur mereka sebagai masjid dengan maksud melakukan shalat di sana sebagaimana ibadah yang dilakukan di masjid.
Walaupun orang yang melakukan ibadah di kubur tersebut memaksudkannya sebagai ibadah kepada Allah semata. Ini tetap terlarang agar tidak sampai terjerumus dalam keharaman yang lebih parah.
Kecuali jika memang orang tersebut menjadikan ibadah di sana ditujukan pada penghuni kubur, berdoa untuknya, menjadikannya sebagai perantara dalam berdoa dan berdoa di sisi kubur, (yang semacam ini jelas terlarangnya, pen). Intinya perbuatan menjadikan kuburan sebagai masjid (yaitu untuk beribadah kepada Allah semata) itu terlarang sebagaimana dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dilarang karena dapat mengantarkan pada syirik pada Allah. Perlu diingat bahwa setiap perbuatan yang bisa mengantarkan pada mafsadat (bahaya) dan tidak ada maslahat yang dominan, maka hal tersebut terlarang.” [Majmu’ Al Fatawa, 1/163]
Dalam kesempatan yang lain, beliau rahimahullah juga berkata, “Tidak ada silang pendapat di antara para ulama salaf dan ulama-ulama besar yang ada mengenai terlarangnya menjadikan kubur sebagai masjid. Seperti dimaklumi bersama bahwa masjid dibangun untuk shalat, dzikir, dan membaca al Qur’an. Jika kubur difungsikan untuk sebagian ibadah-ibadah tadi, maka ini termasuk dalam larangan menjadikan kubur sebagai masjid.” [Majmu’ Al Fatawa, 24/302]
Akhir Kata
Dari penjelasan ini, silakan para pembaca bandingkan ziarah kubur yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin saat ini di kuburan para habib dan para wali. Apakah seperti itu termasuk disyariatkan atau malah termasuk menjadikan kubur sebagai masjid?
Semoga sajian yang singkat ini bisa jadi renungan bagi yang ingin meraih hidayah. Hanya Allah yang memberi taufik.
Sumber: http://www.rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/3005-ziarah-kubur-yang-jauh-dari-tuntunan-islam.html

Diberdayakan oleh Blogger.