Ahlus Sunnah meyakini, bahwa persatuan merupakan salah satu pokok ajaran agama mereka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Berpegang-teguhlah kalian dengan tali Allah, dan janganlah kalian berpecah-belah.” (QS. Ali Imran: 103)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu menafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan ‘tali Allah’ di sini adalah al-Jama’ah/persatuan,
atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Dalam riwayat
Muslim Ahmad dan Abu Daud tatkala menceritakan golongan yang selamat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yaitu al-Jama’ah.” (dinukil dari al-Ishbah fi Bayani Manhaj as-Salaf fi at-Tarbiyah wa al-Ishlah karya Syaikh Abdullah bin Shalih al-Ubailan, hal. 79)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Apabila
umat manusia kembali kepada al-Kitab dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam niscaya persatuan itu akan terwujud. Sebagaimana hal
itu telah terjadi pada generasi awal umat ini, padahal mereka dahulu
-sebelumnya- berpecah-belah…” (al-Ishbah, hal. 82). Beliau menekankan, “Tidak
akan bisa menyatukan hati dan mempersatukan umat manusia kecuali dengan
al-Kitab dan as-Sunnah. Kalau tanpa itu maka tidak mungkin mereka bisa
bersatu…” (al-Ishbah, hal. 82).
Syaikh Abdullah al-Ubailan hafizhahullah berkata, “Dengan tiga perkara berikut ini, maka persatuan itu akan terlaksana; [1] aqidah
yang sahihah, [2] kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah ketika
berselisih, [3] taat kepada ulil amri (umara/ulama) serta selalu
menginginkan kebaikan bagi mereka dan menasehati dengan cara yang
bijak…” (al-Ishbah, hal. 84).
Apa Sebab Perpecahan?
Syaikh Abdullah al-Ubailan hafizhahullah berkata, “Mereka
-Ahlus Sunnah- meyakini bahwa sebab utama perpecahan adalah sikap
sektarian dan suka bergolong-golongan pada diri sebagian kaum muslimin
terhadap suatu kelompok tertentu, jama’ah tertentu, atau sosok tertentu
selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang
mulia.” (al-Ishbah, hal. 85)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi
bergolong-golongan. Maka engkau -wahai Muhammad- tidak ikut bertanggung
jawab atas mereka sedikitpun.” (QS. al-An’am: 159).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Ayat
yang mulia ini menunjukkan bahwa agama memerintahkan untuk bersatu dan
bersepakat, dan agama ini melarang tindak perpecah-belahan dan
persengketaan bagi segenap pemeluk agama (Islam), dalam seluruh
persoalan agama; yang pokok maupun yang cabang…” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 285)
Suatu ketika, Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma ditanya, “Kamu berada di atas millah Ali atau millah Utsman?”. Maka beliau menjawab, “Bahkan, saya berada di atas millah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (dinukil dari al-Ishbah, hal. 86)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Para
sahabat dahulu biasa meninggalkan pendapat pribadi mereka, meskipun
pendapat itu dibangun di atas al-Kitab dan as-Sunnah. Mereka
meninggalkannya apabila hal itu menyebabkan tercerai-berainya persatuan.
Lihatlah, bagaimana sikap Abdullah bin Mas’ud seorang sahabat yang
mulia -semoga Allah meridhainya- tatkala Amirul Mukminin Utsman
radhiyallahu’anhu menyempurnakan sholat (tidak mengqashar) di Mina.
Padahal, Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berpendapat qashar di Mina.
Meskipun demikian, apabila beliau sholat di belakang Utsman
radhiyallahu’anhu maka beliau menyempurnakan (tidak qashar). Ketika
ditanyakan kepadanya tentang hal itu, beliau menjawab, ‘Wahai putraku, perselisihan itu buruk.’ (HR. Bukhari dan Muslim).” (dinukil dari al-Ishbah, hal. 97). Lihatlah, bagaimana Ibnu Mas’ud mengalah dan mengikuti pendapat Amirul Mukminin demi mempertahankan kesatuan umat…
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Memang
terkadang sesuatu yang lebih utama ditinggalkan kepada sesuatu yang
kurang utama, hal itu apabila dengan sesuatu yang kurang utama itu akan
membuahkan persatuan. Di saat semacam itu, wajib baginya untuk mengalah
dari menginginkan sesuatu yang lebih utama menuju sesuatu yang kurang
utama. Hal itu perlu dilakukan demi utuhnya kesatuan dan persatuan kaum
muslimin…” (al-Ishbah, hal. 98).
Beliau menambahkan, “Hal itu
-dianjurkan untuk mengalah- berlaku dengan catatan selama tidak merusak
agama. Adapun apabila menimbulkan kerusakan agama, maka tidak boleh.
Oleh karenanya wajib bagi seorang muslim mengalah dari memaksakan
pendapat dan ijtihadnya, meskipun menurutnya apa yang dia yakini itulah
yang lebih utama. Lantas, bagaimana lagi apabila ternyata apa yang
dianut oleh jama’ah (mayoritas umat/ulama) adalah sesuatu yang lebih
utama, sedangkan apa yang diyakini oleh orang yang menyelisihi ini
adalah sesuatu yang kurang utama, atau bahkan sesuatu yang tidak
benar?!.” (al-Ishbah, hal. 98).
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Oleh
sebab itu seharusnya para penuntut ilmu dan orang-orang yang
menyandarkan diri kepada ilmu mencamkan baik-baik kaidah ini; yaitu apabila
seseorang muslim memiliki pendapat dan ijtihad yang seandainya
ditampakkan kepada orang banyak menimbulkan kekacauan dan persengketaan,
maka semestinya dia tidak perlu menampakkannya. Cukuplah dia
mengikuti apa yang dianut oleh mayoritas umat Islam. Sebab hal itu lebih
menjamin -kebaikan- baginya dan lebih mendekati kebenaran.” (al-Ishbah, hal. 98).
Syaikh Abdullah al-Ubailan mengomentari ucapan terakhir Syaikh Fauzan di atas, “Benar, hal ini tidak ragu lagi sangat diperlukan. Apalagi dalam kondisi berkecamuknya fitnah.” (al-Ishbah, hal. 98).
Kesimpulan dan Pelajaran
Dari paparan ringkas di atas, dapat kita petik kesimpulan dan faedah sebagai berikut:
- Berpegang teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah dengan benar -sebagaimana dipahami Nabi dan para sahabat- membuahkan persatuan yang sejati, bukan justru mengobarkan perpecahan di tengah-tengah umat, terlebih lagi di kalangan para da’i…!
- Apabila perpecahan itu telah terjadi, maka sebabnya adalah tidak mewujudkan salah satu di antara ketiga hal di atas. Bisa jadi karena perbedaan aqidah, atau tidak mau merujuk kepada al-Kitab dan as-Sunnah, atau karena tidak merujuk kepada ulil amri (ulama dan umara) dan menasehati mereka dengan cara yang bijak.
- Seorang muslim hendaknya tidak segan untuk mengalah, menjaga persatuan, dan lebih mengutamakan kemaslahatan umat di atas kepentingan pribadi dan golongan.
- Seorang muslim -apalagi penuntut ilmu dan da’i- semestinya memperhitungkan dampak dari pendapat atau ucapan yang dilontarkannya di hadapan manusia, apakah hal itu menimbulkan kekacauan di tengah-tengah mereka ataukah tidak.
- Sebuah pelajaran berharga, bahwa perpecahan tidak akan teratasi dengan perpecahan pula. Perpecahan hanya bisa diatasi dengan persatuan yang sejati. Barangsiapa mengira bahwa perpecahan bisa diatasi dengan sikap ta’ashub kepada sosok tertentu selain Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sungguh dia telah keliru!
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar