Hadits-hadits
lemah (Dho’if) yang tersebar di kalangan kaum muslimin banyak sekali,
namun mereka tak sadar bahwa hadits-hadits Dho’if bukanlah berasal dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, oleh karena itu kita tidak
boleh berhujjah dan beramal dengan hadits dhoif tersebut.
Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina
Hadits
dho’if (lemah), apalagi palsu, tidak boleh dijadikan dalil, dan hujjah
dalam menetapkan suatu aqidah, dan hukum syar’i di dalam Islam. Demikian
pula, tidak boleh diyakini hadits tersebut sebagai sabda Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam-
Diantara
hadits-hadits dho’if ‘lemah’, hadits yang masyhur digunakan oleh para
khatib, dan da’ii dalam mendorong manusia untuk menuntut ilmu dimana pun
tempatnya, sekalipun jauhnya sampai ke negeri Tirai Bambu, Cina.
Hadits ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda,
اطلبوا العلم ولو بالصين
“Tuntutlah ilmu, walaupun di negeri Cina”.
[HR. Ibnu Addi dalam Al-Kamil (207/2), Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbihan
(2/106), Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (9/364), Al-Baihaqiy dalam
Al-Madkhol (241/324), Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ (1/7-8), dan
lainnya, semuanya dari jalur Al-Hasan bin ‘Athiyah, ia berkata, Abu
‘Atikah Thorif bin Sulaiman telah menceritakan kami dari Anas secara
marfu’]
Ini adalah hadits dhaif jiddan (lemah sekali),
bahkan sebagian ahli hadits menghukuminya sebagai hadits batil, tidak
ada asalnya. Ibnul Jauziy –rahimahullah- berkata dalam Al-Maudhu’at
(1/215) berkata, ‘’Ibnu Hibban berkata, hadits ini batil, tidak ada
asalnya’’. Oleh karena ini, Syaikh Al-Albaniy –rahimahullah- menilai
hadits ini sebagai hadits batil dan lemah dalam Adh-Dhaifah (416).
As-Suyuthiy
dalam Al-La’ali’ Al-Mashnu’ah (1/193) menyebutkan dua jalur lain bagi
hadits ini, barangkali bisa menguatkan hadits di atas. Ternyata, kedua
jalur tersebut sama nasibnya dengan hadits di atas, bahkan lebih parah.
Jalur yang pertama, terdapat seorang rawi pendusta, yaitu Ya’qub bin
Ishaq Al-Asqalaniy. Jalur yang kedua, terdapat rawi yang suka memalsukan
hadits, yaitu Al-Juwaibariy. Ringkasnya, hadits ini batil, tidak boleh
diamalkan, dijadikan hujjah, dan diyakini sebagai sabda Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Tuntutlah Duniamu
اِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا, وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا
“Beramallah
untuk duniamu seakan-akan engkau hidup akan selamanya dan beramallah
untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”.
Ini
bukanlah sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-,
walaupun masyhur di lisan kebanyakan muballigh di zaman ini. Mereka
menyangka bahwa ini adalah sabda beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam-. Sangkaan seperti ini tidaklah muncul dari mereka,
kecuali karena kebodohan mereka tentang hadits. Di samping itu, mereka
hanya “mencuri dengar” dari kebanyakan manusia, tanpa melihat sisi
keabsahannya.
Hadits
ini diriwayatkan dua sahabat. Namun kedua hadits tersebut lemah, karena
di dalamnya terdapat inqitho’ (keterputusan) antara rawi dari sahabat
dengan sahabat Abdullah bin Amer. Satunya lagi, Cuma disebutkan oleh
Al-Qurthubiy, tanpa sanad. Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy men-dho’if-kan (melemahkan) hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (no. 8).
Surat Yasin Hatinya Al-Qur’an
Banyak
hadits-hadits yang tersebar di kalangan masyarakat menjelaskan
keutamaan-keutamaan sebagian surat-surat Al-Qur’an. Namun sayangnya,
banyak di antara hadits itu yang lemah, bahkan palsu. Maka cobalah
perhatikan hadits berikut:
إن لكل شيء قلبا, وإن قلب القرآن (يس) , من قرأها فكأنما قرأ القرآن عشر مرات
“Sesungguhnya
segala sesuatu memiliki hati, sedang hatinya Al-Qur’an adalah Surat
Yasin. Barang siapa yang membacanya, maka seakan-akan ia telah membaca
Al-Qua’an sebanyak 10 kali“. [HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (4/46), dan Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (2/456)]
Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu),
karena dalam sanadnya terdapat dua rawi hadits yang tertuduh dusta,
yaitu: Harun Abu Muhammad, dan Muqotil bin Sulaiman. Karenanya, Ahli
Hadits zaman ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy
-rahimahullah- menggolongkannya sebagai hadits palsu dalam kitabnya
As-Silsilah Adh-Dho’ifah (no.169).
Perselisihan Umatku adalah Rahmat
Sudah
menjadi takdir Allah -Azza wa Jalla-, adanya perpecahan di dalam Islam
dan memang hal tersebut telah disampaikan oleh Rasulullah -Shollallahu
‘alaihi wasallam- . Di negara kita sendiri, sekte-sekte dan aliran sesat
yang menyandarkan diri kepada Islam sudah terlalu banyak. Apabila kita
memperingatkan dan membantah kesesatan aliran-aliran tersebut, maka
sebagian kaum muslimin membela aliran-aliran tersebut. Mereka berdalil
dengan hadits berikut,
إِخْتِلَافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
Padahal hadits ini dho’if (palsu),
bahkan tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits. Syaikh Al-Albaniy
-rahimahullah- berkata, “Hadits ini tak ada asalnya. Para ahli hadits
telah mengerahkan tenaga untuk mendapatkan sanadnya, namun tak mampu”.
Dari segi makna, haditsjugabatil. Ibnu Hazm -rahimahullah- dalam Al-Ihkam (5/64) berkata, “Ini
merupakan ucapan yang paling batil, karena andaikan ikhtilaf
(perselisihan)itu rahmat, maka kesepakatan adalah kemurkaan. Karena,
disana tak ada sesuatu, kecuali kesepakatan, dan perselihan; tak ada,
kecuali rahmat atau kemurkaan“.
Barangsiapa Mengenal Dirinya, Dia Akan Mengenal Rabb-Nya
Di sani ada sebuah hadits yang palsu, dan tidak ada asalnya, namun sering digunakan oleh sebagian orang sufi untuk menguatkan kesesatan mereka. Hadits itu berbunyi,
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبّـَهُ
“Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka sungguh dia akan mengenal Rabb (Tuhan)-Nya”.
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- dalam Adh-Dha’ifah (1/165) berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya” [Adh-Dha’ifah (1/165)]. An-Nawawiy berkata, “Hadits ini tidak tsabit (tidak shahih)” [Al-Maqashid (198) oleh As-Sakhowiy].
As-Suyuthiy berkata, “Hadits ini tidak shahih” [Lihat Al-Qoul Asybah (2/351 Al-Hawi)].
Ringkasnya,
hadits ini merupakan hadits palsu yang tidak ada asalnya. Oleh karena
itu, seorang muslim tidak boleh mengamalkannya, dan meyakininya sebagai
sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Keutamaan Menamatkan Al-Quran
Membaca
Al-Qur’an, apalagi menamatkannya merupakan keutamaan besar bagi seorang
hamba, karena setiap hurufnya diberi pahala oleh Allah -Ta’ala- .
keutamaan tersebut telah dijelaskan dalam beberapa hadits, tapi bukan
hadits berikut, karena haditsnya palsu. Bunyi hadits palsu ini:
إِذَا خَتَمَ الْعَبْدُ الْقُرْآنَ صَلَّى عَلَيْهِ عِنْدَ خَتْمِهِ سِتُّوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ
” Jika seorang hamba telah menamatkan Al Qur’an, maka akan bershalawat kepadanya 60.000 malaikat ketika ia menamatkannya” . [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/112)].
Hadits ini palsu
disebabkan oleh rawi yang bernama Al-Hasan bin Ali bin Zakariyya, dan
Abdullah bin Sam’an. Kedua orang ini adalah pendusta, biasa memalsukan
hadits. Syaikh Al-Albaniy menyatakan kepalsuan hadits ini dalam
Adh-Dho’ifah (2550).
Macam-macam Wanita
Di
dunia ini wanita ini bermacam-macam jenisnya. Ada yang seperti kantong
plastik, setelah dimamfaatkan dibuang. Ada juga yang sama sekali tidak
ada mamfaatnya, bahkan merusak yang lain. Namun yang terbaik adalah
wanita yang banyak memberi mamfaat bagi dirinya, dan orang lain,
terutama suami. Dia membantu diri dan suaminya di atas ketaatan. Konon
kabarnya nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
النِّسَاءُ
عَلَى ثَََََلَاثَةِ أَصْنَافٍ صِنْفٍ كاَلْوِعَاءِ تَحْمِلُ وَتَضَعُ
وَصِنْفٍ كَالْعَرِّ وَهُوَ الْجَرَبُ وَصِنْفٍ وَدُوْدٍ وَلُوْدٍ تُعِيْنُ
زَوْجَهَا عَلَى إِيْمَانِهِ فَهِيَ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الْكَنْزِ
“Wanita-wanita
itu ada tiga macam: kelompok wanita seperti bejana, ia hamil dan
melahirkan; kelompok wanita seperti koreng – yaitu kudis- ; kelompok
wanita yang amat penyayang, dan banyak melahirkan, serta membantu
suaminya di atas keimanannya. Wanita ini lebih baik bagi suaminya
dibandingkan harta simpanan“. [HR.Tamam Ar-Raziy dalam Al-Fawa’id (206/2)].
Namun sayangnya hadits ini adalah hadits dho’if mungkar,
karena ada seorang rawi yang bernama Abdullah bin Dinar. Dia adalah
seorang rawi yang mungkar haditsnya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu
abi Hatim dalam Al-Ilal (2/310). Jadi, hadits ini tidak boleh dianggap
sebagai sabda nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . karenanya, Syaikh
Al-Albaniy memasukkan hadits ini dalam silsilah hadits dhoi’f dalam
Adh-Dho’ifah (714).
Memandang Wanita Cantik
Dan
mungkin juga ada di antara kaum muslimin yang sering sekali memandang
setiap wanita yang cantik dengan tujuan mempertajam penglihatannya,
beramal dengan hadits berikut;
النََّظَرُ إِلىَ وَجْهِ المَرْأَةِ الحَسْنَاءِ وَالخُضْرَةِ يَزِيْدَانِ فِيْ البَصَرِ
“Memandang wajah wanita cantik dan yang hijau-hijau menambah ketajaman penglihatan” .[HR. Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Auliya’ (3/201-202), dan Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (4/106)]
Memiliki
pandangan yang tajam dan penglihatan yang jernih merupakan nikmat yang
besar dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga terkadang seseorang
menempuh berbagai cara untuk memperoleh penglihatan yang tajam. Dan
mungkin juga ada di antara kaum muslimin yang sering sekali memandang
setiap wanita yang cantik dengan tujuan mempertajam penglihatannya,
beramal dengan hadits berikut;
النََّظَرُ إِلىَ وَجْهِ المَرْأَةِ الحَسْنَاءِ وَالخُضْرَةِ يَزِيْدَانِ فِيْ البَصَرِ
“Memandang wajah wanita cantik dan yang hijau-hijau menambah ketajaman penglihatan” .[HR. Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Auliya’ (3/201-202), dan Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (4/106)]
Hadits ini maudhu’ (palsu),
karena dalamnya ada rawi yang dho’if, dan tidak ditemukan ada seorang
ahli hadits yang menyebutkan biografinya. Rawi itu ialah Ibrahim bin
Habib bin Sallam Al-Makkiy. Karenanya, Adz-Dzahabiy berkata, “Hadits
batil”. Ibnul Qoyyim dalam Al-Manar Al-Munif berkata, “Hadits ini dan
semisalnya adalah buatan orang-orang zindiq (munafiq)” [Lihat
Adh-Dho’ifah (133)]
Menjaga Mata ketika Jima’ (Bersetubuh)
Melihat kemaluan istri ketika berhubungan adalah boleh berdasarkan hadits-hadits shahih. Adapun hadits yang berbunyi:
إِذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ زَوْجَتَهُ أَوْ جَاِريَتَهُ فَلَا يَنْظُرْ إِلَى فَرْجِهَا فَإِنَّ ذَلِكَ يُوْرِثُ الْعَمَى
“Apabila
seorang diantara kalian berhubungan dengan istrinya atau budaknya, maka
janganlah ia melihat kepada kemaluannya, karena hal itu akan mewariskan
kebutaan“. [HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil (2/75)].
Maka hadits ini adalah palsu
karena dalam sanadnya terdapat Baqiyah ibnul Walid. Dia adalah seorang
mudallis yang biasa meriwayatkan dari orang-orang pendusta sebagaimana
yang dijelaskan oleh Ibnu Hibban. Lihat Adh-Dho’ifah (195)
Merayu Istri
Bercumbu
dan merayu istri adalah perkara yang dianjurkan oleh Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-. Namun jangan kalian tertipu dengan hadits palsu
berikut ini:
زينوا مجالس نسائكم بالمغزل
“Hiasilah majelis istri-istri kalian dengan rayuan“. [HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil fi Adh-Dhu’afaa’ (6/130), dan Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (5/280)]
Hadits ini palsu,
karena dalam rawi hadits ini terdapat Muhammad bin Ziyad Al-Yasykuriy.
Dia seorang pendusta lagi suka memalsukan hadits. Lihat Adh-Dho’ifah
(1/72/no.19) karya Al-Albaniy -rahimahullah-.
Perbanyak Dzikir Sampai Dianggap Gila
Di
antara kebiasaan orang-orang sufi, mereka berdzikir dengan cara
melampaui batas syariat Islam, yaitu berdzikir dengan bilangan yang
memberatkan diri seperti berdzikir sebanyak 70 ribu kali, 100 ribu kali.
Padahal, maksimal dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sebanyak 100
kali dalam dzikir-dzikir tertentu, bukan pada semua jenis dzikir.
Mereka membebani diri seperti ini, karena mendengar hadits berikut:
أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِاللهِ حَتى يَقُوْلُوْا مَجْنُوْنٌ
“Perbanyaklah dzikir sehingga orang-orang berkata, engkau gila”. [HR. Ahmad (3/68), Al-Hakim (1/499), dan Ibnu Asakir (6/29/2)]
Hadits ini lemah
karena diriwayatkan oleh Darraj Abu Samhi. Dia lemah riwayatnya yang
berasal dari Abul Haitsam. Di-dho’if-kan oleh syaikh Al-Albaniy dalam
Adh-Dho’ifah (no. 517) (2/9).
Barang Siapa Dunia adalah Cita-Citanya
Banyak
hadits lemah dan palsu yang tersebar di masyarakat melalui lisan para
khatib yang memiliki ilmu agama (khususnya ilmu hadits) sehingga banyak
di antara masyarakat tertipu dan menyangkanya sebagai sabda Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- .
Dia ntara hadits tersebut :
مَنْ
أَصْبَحَ وَالدُّنْيِا أَكْثَرُ هَمِّهِ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فَيْ شَيْءٍ
وَمَنْ لَمْ يَتَّقِ اللهَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِيْ شَيْءٍ وَمَنْ لَمْ
يَهْتَمَّ لِلْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً فَلَيْسَ مِنْهُمْ
“Barang
siapa yang berada di waktu pagi, sedang dunia adalah cita-citanya yang
terbesar, maka ia tidak akan berada dalam suatu (jaminan) dari Allah
sedikit pun. Barang siapa yang tidak bertaqwa kepada Allah, maka ia
tidak akan berada dalam suatu (jaminan) dari Allah sedikit pun. Barang
siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin seluruhnya, maka ia
bukan termasuk di antara mereka“. [HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/317) Al-Khatib dengan penggalan pertama dari hadits ini dalam Tarikh Bagdad (9/373)].
Hadits ini palsu,
karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang tertuduh dusta, yaitu Ishaq
bin Bisya. Hadits ini memiliki jalur periwayatan lain, namun ia tidak
bisa menguatkan hadits di atas, karena kelemahannya tidak jauh beda
dengannya. Oleh karenanya, Al-Albany menyatakan hadits ini palsu dalam
Adh-Dha’ifah (309)
Sebab Kacaunya Bacaan Imam
Seorang
imam terkadang salah dalam bacaannya. Jika ia salah, maka muncullah
beberapa persangkaan yang buruk. Ada diantara mereka berpendapat bahwa
kacaunya bacaan imam disebabkan adanya diantara jama’ah yang tak beres
melaksanakan wudhu’ atau mandi junub. Ini didasari oleh hadits palsu
yang bukan hujjah,seperti hadits yang berbunyi:
إِذَا صَلَّيْتُمْ خَلْفَ أَئِمَّتِكُمْ فَأَحْسِنُوْا
طُهُوْرَكُمْ فَإِنَّمَا يَرْتَجُّ عَلَى الْقَارِىءِ قِرَاءَتُهُ
بِسُوْءِ طُهْرِ الْمُصَلِّي خَلْفَهُ
“Jika
kalian sholat di belakang imam kalian, perbaikilah wudhu’ kalian,
karena kacaunya bacaan imam bagi imam disebabkan oleh jeleknya wudhu’
orang yang ada di belakang imam“. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/63)]
Hadits ini palsu,
sebab di dalamnya terdapat rowi yang majhul, seperti Abdullah bin Aun
bin Mihroz, Abdullah bin Maimun. Rowi lain, Muhammad bin Al-Furrukhon,
ia seorang yang tak tsiqoh. Dari sisi lain, sudah dimaklumi bahwa jika
Ad-Dailamiy bersendirian dalam meriwayatkan hadits dalam kitabnya Musnad
Al-Firdaus, maka hadits itu palsu. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy
menyatakan palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2629).
Mengusap Kedua Kelopak Mata dengan Kedua Ibu Jari
Ada
di antara kaum muslimin, biasa melakukan amalan yang terkadang tidak
diketahui dasarnya. Setelah mengadakan pemeriksaan terhadap kitab-kitab
hadits, ternyata berdasarkan hadits lemah, palsu, bahkan terkadang tidak
ada dalilnya!!
Di
antara amalan mereka ini yang tidak berdasar, yaitu mengusap kedua
kelopak mata dengan kedua ibu jari. Mereka hanya berdasarkan hadits
palsu yang dinisbahkan kepada Nabi Khidir.
Konon kabarnya Nabi Khidir -‘alaihis salam- berkata, “Barangsiapa
yang mengucapkan selamat datang kekasihku dan penyejuk mataku, Muhammad
bin Abdullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, kemudia ia mencium kedua
ibu jarinya, dan meletakkannya pada kedua matanya, ketika ia mendengar
muadzdzin berkata,
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً رَسُوْلُ اللهِ
Maka ia tidak sakit mata selamanya”
[HR. Abul Abbas Ahmad bin Abu Bakr Ar-Raddad Al-Yamaniy dalam Mujibat
Ar-Rahmah wa ‘Aza’im Al-Maghfirah dengan sanad yang terdapat di dalamnya
beberapa orang majhul (tidak dikenal), disamping terputus sanadnya.
Karenanya Syaikh Al-Albaniy melemahkan hadits ini dalam Adh-Dha’ifah
(1/173) dari riwayat Ad-Dailamy dan Syaikh Masyhur Alu Salman dalam
Al-Qoul Al-Mubin (hal.182)]
Keutamaan Memakai Sorban Ketika Sholat
Memakai
sorban adalah sunnah dan ciri khas kaum muslimin, baik dalam sholat
maupun di luar sholat, sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa
hadits. Namun, tak ada satu hadits pun yang menjelaskan keutamaan
tertentu memakai sorban saat sholat, kecuali haditsnya lemah atau palsu,
seperti hadits berikut:
رَكْعَتَانِِ بِعِمَامَةٍ خَيْرٌ مِنْ سَبْعِيْنَ رَكْعَةً بَلَا عِمَامَةٍ
“Sholat dua raka’at dengan memakai sorban lebih baik dibandingkan sholat 70 raka’at, tanpa sorban“. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus sebagaimana yang disebutkan oleh As-Suyuthiy dalam Al-Jami’ Ash-Shoghir ()]
Hadits ini maudhu’ (palsu),
sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah
(128), “Hadits ini palsu”. Selanjutnya, beliau juga komentari ulang
hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (5699).
Sujud Menyentuh Tanah
Seorang
ketika sujud dalam sholat, boleh ia memakai alas. Menyentuhkan telapak
tangan, dahi, dan anggota sujud lainnya ke tanah, ini tak ada keutamaan
tertentu baginya. Adapun hadits berikut:
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيُبَاشِرْ بِكَفَّيْهِ الْأَرْضَ عَسَى اللهُ أَنْ يَفُكَّ عَنْهُ الْغُلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Jika
seorang diantara kalian bersujud, maka hendaknya ia menyentuhkan kedua
telapak tangannya ke tanah, semoga Allah melepaskan belenggu darinya
pada hari kiamat“. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (6/58), cet. Dar Al-Haromain]
Hadits ini adalah dho’if (lemah),
tak bisa dijadikan hujjah, karena di dalamnya ada rowi bermasalah:
Ubaid bin Muhammad, seorang rowi yang memiliki hadits-hadits munkar
[Lihat Al-Majma’ (2/311/no.2764)].Sebab inilah, Syaikh Al-Albaniy
menggolongkan hadits ini lemah dalam Adh-Dho’ifah (2624)
Jangan Shalat, Jangan Bicara
Jika
khatib telah berada di atas mimbar dan muadzin berkumandang, maka
seorang yang melaksanakan shalat tahiyyatul masjid atau shalat sunat
muthlaq, ia terus dalam shalatnya, tanpa harus membatalkan shalatnya
berdasarkan hadits-hadits yang shahih. Bahkan ia boleh berbicara dengan
temannya dalam kondisi itu, jika ada hajat mendesak. Adapun hadits di
bawah ini yang menjelaskan tentang tidak bolehnya shalat dan bicara
dalam kondisi tersebut maka hadits ini batil. Berikut perinciannya:
إِذَا صَعِدَ الْخَطِيْبُ الْمِنْبَرَ ؛ فَلاَ صَلَاةَ وَلَا كَلاَمَ
“Apabila khatib sudah naik mimbar, maka tidak ada lagi shalat dan tidak ada lagi ucapan.”
Hadits ini batil
karena tidak ada asalnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh
Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (87). Namun perlu diketahui bahwa jika
adzan sudah selesai ketika khatib berada di atas mimbar siap untuk
berkhutbah, maka seorang tidak boleh lagi berbicara dan melakukan
aktifitas apapun selain shalat tahiyatul masjid agar seluruh jama’ah
memfokuskan diri untuk mendengarkan khutbah.
Berdzikir dengan Tasbih
“Sebaik-baik
pengingat adalah alat tasbih. Sesungguhnya sesuatu yang paling afdhol
untuk ditempati bersujud adalah tanah dan sesuatu yang ditumbuhkan oleh
tanah“. [HR.Ad-Dailamiy (4/98- sebagaimana dalam Mukhtashar-nya)]
Berdzikir
adalah ibadah yang harus didasari dengan keikhlasan dan mutaba’ah
(keteladanan) kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . karenanya
seorang tidak dianjurkan menggunakan alat tasbih ketika ia berdzikir
sebab tidak ada contohnya dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
berdzikir dengannya, tapi beliau hanya berdzikir dengan jari-jemarinya.
Adapun hadits berikut, maka ia adalah hadits palsu, tidak boleh
dijadikan hujjah dalam menetapkan sunnahnya berdzikir dengan alat tasbih
نِعْمَ الْمُذَكِّرُ السُّبْحَةُ وَإِنَّ
أَفْضَلَ مَا يُسْجَدُ عَلَيْهِ الْأَرْضُ وَمَا أَنْبَتَتْهُ الْأَرْضُ
“Sebaik-baik
pengingat adalah alat tasbih. Sesungguhnya sesuatu yang paling afdhol
untuk ditempati bersujud adalah tanah dan sesuatu yang ditumbuhkan oleh
tanah“. [HR.Ad-Dailamiy (4/98- sebagaimana dalam Mukhtashar-nya)]
Hadits ini adalah hadits yang palsu
sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah
(83), karena adanya rawi-rawi yang majhul. Selain itu hadits ini secara
makna adalah batil, sebab tasbih tidak ada di zaman Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-.
Menuntut Ilmu di Masa Muda
Keutamaan
menuntut ilmu sangat banyak disebutkan dalam ayat-ayat maupun
hadits-hadits shahih. Bahkan sampai di dalam hadits yang dho’if dan
palsu, seperti berikut,
أَيُّمَا
نَاشِئٍ نَشَأَ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ وَالْعِبَادَةِ حَتَّى يَكْبُرَ
وَهُوَ عَلَى ذَلِكَ أَعْطَاهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوَابَ
اثْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ صِدِّيْقًا
“Anak
muda mana pun yang tumbuh dalam menuntut ilmu, dan ibadah sampai ia
menjadi tua, sedangkan dia masih tetap di atas hal itu, maka Allah akan
memberikannya pada hari kiamat pahala 72 orang shiddiqin“. [HR.Tamam Ar-Raziy dalam Al-Fawaid (2428), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Al-Ilm (1/82)].
Namun hadits ini derajatnya adalah dho’if jiddan (lemah sekali),
bahkan boleh jadi hadits ini palsu, karena di dalamnya ada rawi yang
bernama Yusuf bin Athiyyah. Dia adalah seorang yang mungkarul hadits.
Bahkan An-Nasa’iy menilainya matruk (ditinggalkan karena biasa berdusta
atas nama manusia). Karenanya Syaikh Al-Albaniy menghukumi hadits ini
dho’if jiddan dalam Adh-Dho’ifah (700).
Bersedihlah Ketika Membaca Al-Qur’an!
Ketika
membaca Al-Qur’an memang kita dianjurkan untuk bersedih sebagai hasil
renungan dan tadabbur makna-makna ayat sebagaimana yang dijelaskan dalam
sunnah. Adapun hadits di bawah ini, sekalipun sebagian maknanya benar,
namun ia bukan hujjah dalam hal ini, karena kelemahan hadits ini. Nash
haditsnya:
اِقْرَؤُوْا الْقُرْآنَ بِحُزْنٍ فَإِنَّهُ نَزَلَ بِالْحُزْنِ
“Bacalah Al-Qur’an dengan perasaan sedih, karena dia turun dengan kesedihan“. [HR. Al-Khollal dalam Al-Amr Bil Ma’ruf (20/2) dan Abu Sa’id Al-A’robiy dalam Mu’jam-nya (124/1)].
Dalam
sanadnya terdapat rawi yang bernama Uwain bin Amr Al-Qoisiy, dia adalah
seorang yang mungkarul hadits lagi majhul menurut Al-Bukhariy. Selain
itu juga ada rawi yang bernama Ismail bin Saif, dia adalah seorang yang
biasa mencuri hadits, dan meriwatkan hadits yang lemah dari orang-orang
yang tsiqoh. Tak heran jika Al-Albaniy menyatakan hadits ini dho’if jiddan (lemah sekali) dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (2523).
Kekasih Allah
Orang
yang bertaubat dari dosa-dosanya adalah orang yang terpuji di sisi
Allah berdasarkan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun hadits
berikut ini, maka dia adalah hadits yang palsu, tidak ada asalnya:
التَّائِبُ حَبِيْبُ اللهِ
“Orang yang bertaubat adalah kekasih Allah.”
Hadits
ini adalah hadits yang bukan berasal dari nabi -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- . tak ada seorang imam ahlul hadits yang meriwayatkan hadits
ini dalam kitab-kitab mereka. Hadits ini hanyalah disebutkan oleh
Al-Ghazaliy dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin (4/434) dengan
menyandarkannya kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , padahal
hadits ini adalah hadits palsu, tidak ada asalnya! Lihat penjelasan palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (95) karya Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy
Ikhlas 40 Hari
Ikhlash
adalah sifat orang mukmin. Keutamaan ikhlash telah dimaklumi baik dalam
hadits yang shohih, maupun hadits yang lemah. Namun kita tak butuh
kepada hadits dho’if seperti di bawah ini, karena itu bukan sabda Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Konon kabarnya Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam- bersabda,
من أخلص لله أريعين يوما ظهرت ينابيع الحكمة على لسانه
“Barang siapa yang ikhlash karena Allah selama 40 hari, niscaya akan muncul mata air hikmah pada lisannya“. [HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/189)]
Hadits ini dho’if (lemah),
karena terdapat inqitho’ (keterputusan) antara Makhul dengan Abu Ayyub
Al-Anshoriy. Selain itu, Hajjaj bin Arthoh, rawi dari Makhul adalah
seorang mudallis, dan ia meriwayatkannya secara mu’an’anah. Sedang
seorang mudallis jika meriwayatkan hadits secara mu’an’anah (dengan
memakai kata “dari”), maka haditsnya dho’if (lemah). Tak heran jika
Syaikh Al-Albaniy melemahkannya dalam Adh-Dho’ifah (38)
Dunia dan Hakikatnya
Banyak
sekali hadits-hadits palsu yang beredar di masyarakat. Ada yang keliru
maknanya, dan ada yang bagus maknanya, seperti hadits ini:
أََََوْحَى اللهُ إِلَى الدُّنْيَا أَنِ اخْدِمِيْ مَنْ خَدَمَنِيْ وَأَتْعِبِيْ مَنْ خَدَمَكِ
“Allah wahyukan kepada dunia, “Layanilah orang yang melayani-Ku, dan capekkanlah orang yang melayanimu“. [HR. Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (8/44), dan Al-Hakim dalam Ma’rifah Ulum Al-Hadits (hal.101)]
Hadits ini palsu,
karena Al-Husain bin DawudAl-Balkhiy yang banyak meriwayatkan naskah
hadits palsu dari Yazid bin Harun. Karena itu, Al-Albaniy menyebutkan
hadits ini dalam deretan hadits-hadits palsu dalam Adh-Dho’ifah
Hak Anak atas Orang Tua
Seyogyanya
orang tua memilihkan nama yang baik untuk anaknya, dan mendidik
akhlaknya sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi -Shollallahu‘alaihi
wasallam- danpara sahabatnya. Adapun hadits yang berbunyi :
حَقُّ الْوَلَدِ عَلَى الْوَالِدِ أَنْ يُحَسِّنَ اسْمَهَ وَيُحَسِّنَ أَدَبَهُ
“Hak seorang anak atas orang tuanya, orang tua memperbaiki nama anaknya, dan akhlaknya“. [HR. Abu Muhammad As-Siroj Al-Qoriy dalam Al-Fawaid (5/32/1-kumpulan 98), dan lainnya].
Maka hadits ini palsu,
karena ada dua orang rawi : Muhammad Al-Fadhl adalah seorang pendusta,
dan Muhammad bin Isa adalah orangnya matruk (ditinggalkan). Karenanya
Al-Albaniy mencantumkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (199)
Jum’at Hajinya Orang Fakir
Ibadah
haji adalah ibadah yang dicita-citakan oleh setiap orang sehingga
setiap orang berusaha mengumpulkan harta demi ibadah itu. Namun sebagian
diantara manusia ada yang tidak sempat melaksanakannya sehingga ia
bersedih. Tapi kesedihan itu hilang karena ia mendengarkan sebuah hadits
berikut :
الدَّجَاجُ غَنَمُ فٌقَرَاءِ أُمَّتِيْ وَاْلجُمُعَةُ حَجُّ فُقَرَائِهَا
“Ayam adalah kambingnya orang fakir dari kalangan umatku, dan shalat jum’at hajinya orang fakir mereka” .[HR. Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin (3/90)]
Tapi ternyata sayangnya hadits ini palsu
sehingga seorang muslim tidak boleh meyakini dan mengamalkannya. Dia
palsu karena ada seorang rawi yang bernama Abdullah bin Zaid
An-Naisaburiy. Dia adalah seorang pendusta yang suka memalsukan hadits.
Lihat Adh-Dho’ifah (192)
Nabi Ilyas dan Khidir Bersaudara Kandung
Ketika
seseorang membaca kisah para nabi di luar Al-Qur’an, maka seorang harus
berhati-hati, karena di sana banyak hadits-hadits yang lemah, bahkan
palsu yang berbicara tentang kehidupan para nabi. Oleh karena itu
seorang harus yakin betul bahwa hadits ini shahih berdasarkan keterangan
para ulama, baru setelah itu dia yakini. Diantara hadits lemah yang
menyebutkan kisah para nabi, hadits berikut ini:
إِلْيَاسُ وَالخَضِرُ أَخَوَانِ أَبُوْهُمَا مِنَ الفُرْسِ وَأُمُّهُمَا مِنَ الرُّوْمَ
“Nabi Ilyas dan Khidir adalah dua orang bersaudara. Bapak mereka dari Persia, dan ibunya dari Romawi“. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/2/124)]
Hadits ini palsu,
karena ada dua orang rawi bermasalah dalam memalsukan hadits, yaitu
Ahmad bin Ghalib, dan Abdur Rahman bin Muhammad Al-Yahmadiy. Oleh karena
itu, Syaikh Al-Albaniy menyatakan hadits ini palsu dalam Adh-Dho’ifah
(2257).
Penduduk Surga
Banyak
sekali hadits-hadits palsu yang beredar di masyarakat. Terkadang
maknanya lurus, namun terkadang juga menggelitik orang seperti hadits
palsu berikut:
أَهْلُ الْجَنَّةِ جَرَدٌ إِلَّا مُوْسَى بْنَ عِمْرَانَ فَإِنَّ لَهُ لِحْيَةً إِلَى سُرَّتِهِ
“Penduduk surga adalah belalang, kecuali Musa bin Imron, karena dia memiliki jenggot sampai ke pusarnya“.[HR.Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu’afaa’ (185), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (4/48), dan Ar-Raziy dalam Al-Fawa’id (6/111/1)].
Hadits ini adalah hadits batil yang palsu.
Dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang suka memalsukan hadits, yaitu
Syaikhnya Ibnu Abi Kholid Al-Bashriy. Maka tak heran apabila syaikh
Al-Albaniy mencantumkan hadits ini dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (704).
Amalan Sedikit, tapi Bermanfaat
Bermalas
malasan dalam beribadah sudah menjadi kebiasaan sebagian kaum muslimin.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut diantaranya rasa
takutnya kepada Allah masih kurang, keimanan terhadap Hari Pembalasan
masih minim, dan ada juga yang malas karena mungkin beramal dengan
hadits di bawah ini.
قَلِيْلُ العَمَلِ ينَْفَعُ مَعَ العِلْمِ، وَكَثيِْرُ العَمَلِ لَايَنْفَعُ مَعَ الجَهْلِ
“Amalan
yang sedikit akan bermanfaat, jika disertai oleh ilmu; dan amalan yang
banyak tidak akan bermanfaat, jika disertai kejahilan“. [HR. Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al-’Ilm wa Fadhlih (1/145)]
Hadits ini dhoif, bahkan palsu,
disebabkan adanya 3 rawi: [1] Muhammad bin Rauh bin ‘Imran Al-Qutairiy
(orangnya lemah), [2] Mu’ammal bin Abdur Rahman Ats-Tsaqofiy (orang
dho’if). Ibnu Adi berkata,”Dominan haditsnya tidak terpelihara”; [3]
Abbad bin Abdush Shomad. Ibnu Hibban berkata, “…Abbad bin Abdush Shomad
menceritakan kami dari Anas tentang suatu naskah hadits, seluruhnya
maudhu’ (palsu)”.Al-Albaniy berkata, “Hadits ini Palsu” [lihat
Adh-Dho’ifah (369)]
Kencing di Lubang
Kencing
di lubang adalah perkara yang boleh, kecuali jika di dalamnya ada
makhluk seperti semut, maka hendaknya kita jangan kencing di tempat itu
demi menyayangi makhluk Allah yang kecil ini. Adapun hadits yang
berikut, maka haditsnya dho’if:
Abdullah bin Sarjis -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِيْ الْجُحْرِ
“Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melarang kencing di lubang“. [HR. Abu Dawud (29), dan An-Nasa’iy (34)].
Hadits ini adalah hadits yang lemah,
karena adanya keterputusan antara Qotadah dan Abdullah bin Sarjis
-radhiyallahu ‘anhu- . selain itu, Qotadah juga adalah seorang yang
mudallis. Tak heran jika Syaikh Al-Albaniy men-dho’ifkan hadits ini
dalam Al-Irwa’ (55)
Solusi Terakhir ….
Talaq
adalah solusi terakhir ketika terjadi cekcok yang parah antara
suami-istri setelah melalui proses yang panjang berupa nasihat, dan
usaha perbaikan lainnya. Jadi talaq adalah perkara yang halal yang tidak
dibenci oleh Allah, jika dilakukan pada tempatnya. Adapun hadits yang
menjelaskan bahwa talaq adalah perkara yang dibenci dalam segala hal,
maka haditsnya dho’if sebagaimana perinciannya berikut ini:
أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ الطَّلَاقُ
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah -Azza wa Jalla- adalah talaq“. [HR. Abu Dawud (2178) dan Ibnu Majah (2018)]
Hadits ini adalah hadits yang mudhtharib (goncang) sanadnya sebagaimana yang anda bisa lihat penjelasannya dalam Al-Irwa’ (2040) karya Syaikh Al-Albaniy.
Do’a Keluar WC
Ada
sebuah hadits yang menyebutkan do’a keluar WC. Do’a ini banyak
disebarkan dan dimasyurkan di TPA dan TQA. Ternyata haditsnya lemah
sebagaimana dalam penjelasan berikut ini:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَذْهَبَ عَنِّيَ الْأَذَى وَعَافَانِيْ
” Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dariku gangguan (kotoran) ini, dan telah menyehatkan aku”. [HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (301)]
Hadits ini adalah hadits yang dho’if,
karena dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Ismail bin Muslim
Al-Makkiy. Dia adalah seorang yang lemah haditsnya sebagaimana yang
dinyatakan oleh Al-Hafizh dalam At-Taqrib. Hadits ini memiliki syahid
dari riwayat Ibnu Sunniy dalam Amal Al-Yaum wal Lailah (29). Namun
hadits ini juga lemah, karena ada seorang yang majhul dalam sanadnya,
yaitu Al-Faidh. Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam
Al-Irwa’ (53).
Ketentuan dan Taqdir Allah
Ketentuan
dan taqdir Allah adalah perkara ghaib yang tidak boleh ditetapkan
dengan hadits lemah, apalagi palsu, seperti hadits ini:
إِذَا
أَرَادَ اللهُ إِنْفَاذَ قَضَائِهِ وَقَدَرِهِ ؛ سَلَبَ ذَوَيْ
الْعُقُوْلِ عُقُوْلَهُمْ حَتَّى يُنْفِذَ فِيْهِمْ قَضَاءَهُ وَقَدَرَهُ
“Apabila
Allah ingin melaksanakan ketentuan, dan taqdir-Nya, maka Allah akan
menarik (menghilangkan) akalnya orang-orang yang memiliki pikiran
sehingga Allah melaksanakan ketentuan, dan taqdir-Nya pada mereka“.
[HR. Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (14/99), Ad-Dailamiy dalam Musnad
Al-Firdaus (1/1/100), dari jalur Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbihan
(2/332)]
Hadits ini lemah, bahkan boleh jadi palsu
, karena rowi yang bernama Lahiq bin Al-Husain. Sebagian ahlul hadits
menuduhnya pendusta, dan suka memalsukan hadits. Karenanya, Syaikh
Al-Albaniy memasukkannya dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (2215)
Taubat yang Benar
Seorang ketika telah bertaubat dari suatu dosa, hendaknya ia berusaha
dengan sekuat tenaga meninggalkan dosa itu sebagaimana yang dijelaskan
oleh para ulama’ kita. Adapun hadits berikut, maka ia adalah hadits
dho’if (lemah):
التَّوْبَةُ مِنَ الذَّنْبِ أَنْ لَا تَعُوْدَ إِلَيْهِ أَبَدًا
“Taubat dari dosa, engkau tidak kembali kepadanya selama-lamanya“. [HR. Abul Qosim Al-Hurfiy dalam Asyr Majalis min Al-Amali (230), dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (7036)]
Hadits ini lemah
, karena dalam sanadnya terdapat rowi yang bernama Ibrahim bin Muslim
Al-Hijriy; dia adalah seorang yang layyinul hadits (lembek haditsnya).
Selain itu, juga ada Bakr bin Khunais, seorang yang shoduq (jujur), tapi
memiliki beberapa kesalahan. Karenanya Syaikh Al-Albaniy melemahkannya
dalam Adh-Dho’ifah (2233)
Adam Turun di India
Dalam
kisah-kisah para naib dan rasul, disebutkan kisah masyhur bahwa Adam
turun di negeri India, berdasarkan hadits yang lemah berikut ini,
نَزَلَ
آدَمُ بِالْهِنْدِ وَاسْتَوْحَشَ فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ فَنَادَى
بِالْأَذَانِ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللهُ مَرَّتَيْنِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
مَرَّتَيْنِ قَالَ آدَمُ مَنْ مُحَمَّدٌ قَالَ آخِرُ وَلَدِكَ مِنَ
الْأَنْبِيَاءِ
“Nabi
Adam turun di India, dan beliau merasa asing. Maka turunlah Jibril
seraya mengumandangkan adzan, “Allahu Akbar, Asyhadu Alla Ilaha illallah
(dua kali), asyhadu anna Muhammdan rasulullah (dua kali). Adam
bertanya, “Siapakah Muhammad itu?” Jibril menjawab, “Cucumu yang paling
terakhir dari kalangan nabi“.”. [HR.Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (2/323/2)]
Hadits ini dho’if (lemah), atau palsu,
karena ada seorang rawi dalam sanadnya yang bernama Muhammad bin
Abdillah bin Sulaiman. Orang yang bernama seperti ini ada dua; yang
pertama dipanggil Al-Kufiy, orangnya majhul (tidak dikenal), sedang
orang yang seperti ini haditsnya lemah. Yang satunya lagi, dikenal
dengan Al-Khurasaniy. Orang ini tertuduh dusta. Jika dia yang terdapat
dalam sanad ini, maka hadits ini palsu. Hadits ini di-dho’if-kan oleh
Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (403).
Bagi-bagi Kejelekan
Mengangkat
dan merendahkan derajat suatu bangsa harus didasari oleh dalil dari
Al-Qur’an dan sunnah. Adapun hadits di bawah, maka tidak boleh dijadikan
dalil dalam merendahkan suku Barbar, karena kelemahan hadits ini:
الْخُبْثُ سَبْعُوْنَ جُزْءًا فَجُزْءٌُ فِيْ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَتِسْعٌ وَسِتُّوْنَ فِيْ الْبَرْبَرِ
“Kejelekan ada 70 bagian; satu bagian pada jin dan manusia, dan 69 bagian pada orang-orang Barbar”
. [HR. Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh
(2/489), Ath-Thobraniy dalam Al-Ausath (8672), dan Ibnu Qoni’ dalam
Mu’jam Ash-Shahabah].
Mengangkat dan merendahkan derajat suatu bangsa harus didasari oleh dalil dari Al-Qur’an dan
Hadits ini adalah hadits yang lemah
menurut penilaian Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam
As-SilsilahAdh-Dho’ifah (2535), karena dalam hadits ini terdapat dua
penyakit: Inqitho’ (keterputusan) antara Yazid bin Abi Habib dengan Abu
Qois, dan terjadinya idhthirob (kesimpangsiuran) dari sisi sanad akibat
kelemahan seorang rawi yang bernama Abu Sholih (dikenal dengan Katib
Al-Laits).
Kisah Nabi Idris bersama Malaikat Maut
Disana
ada sebuah kisah palsu yang dinisbahkan secara dusta kepada Nabi Idris
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- . Saking masyhurnya kisah ini, banyak
penulis, dan majalah yang menukilnya, seperti kami pernah temukan dalam
Majalah “Anak Shaleh”. Bunyi hadits itu:
إِنَّ
إِدْرِيْسَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ صَدِيْقًا لِمَلَكِ
الْمَوْتِ. فَسَأَلَهُ أَن يُرِيَهُ الْجَنَّةَ وَ النَّارَ, فَصَعَدَ
إِدْرِيْسُ فَأَرَاهُ النَّارَ فَفَزِعَ مِنْهَا وَكَادَ يُغْشَى عَلَيْهِ,
فَالْتَفَّ عَلَيْهِ مَلَكُ الْمَوْتِ بِجَنَاحِهِ, فَقَالَ مَلَكُ
الْمَوْتِ: أَلَيْسَ قَدْ رَأَيْتَهَا؟ قَالَ: بَلىَ, وَلَمْ أَرَ
كَالْيَوْمِ قَطُّ. ثُمَّ انْطَلَقَ بِهِ حَتَّى أَرَاهُ الْجَنَّةَ,
فَدَخَلَهَا, فَقَالَ مَلَكُ الْمَوْتِ: انْطَلِقْ قَدْ رَأَيْتَهَا. قَالَ
إِلَى أَيْنَ؟ قَالَ مَلَكُ الْمَوْتِ: حَيْثُ كُنْتَ. قَالَ إِدْرِيْسُ:
لَا وَاللهِ ! لَا أَخْرُجُ مِنْهَا بَعْدَ أَنْ دَخَلْتُهَا. فَقِيْلَ
لِمَلَكِ الْمَوْتِ: أَلَيْسَ أَنْتَ قَدْ أَدْخَلْتَهُ إِيَّاهَا؟
وَإِنَّهُ لَيْسَ لِأَحَدٍ دَخَلَهَا أَنْ يَخْرُجَ مِنْهَا
“Sesungguhnya
Nabi Idris -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dulu berteman dengan Malaikat
Maut. Lalu ia pun meminta kepadanya agar diperlihatkan surga dan
neraka. Maka idris pun naik (ke langit), lalu Malaikat Maut
memperlihatkan neraka kepadanya. Lalu Idris kaget sehingga hampir
pinsang. Maka Malaikat Maut mengelilingkan sayapnya pada Idris seraya
berkata, “Bukankah engkau telah melihatnya?” Idris berkata, “Ya, sama
sekali aku belum pernah melihatnya seperti hari ini”. Kemudian, Malaikat
Maut membawanya sampai ia memperlihatkan surga kepada Nabi Idris seraya
masuk ke dalamnya. Malaikat Maut berkata, “Pergilah, sesungguhnya
engkau telah melihatnya”. “Kemana?”, tanya Idris. “Ke tempatmu semula”,
jawab Malaikat Maut. “Tidak ! Demi Allah, aku tak akan keluar setelah
aku memasukinya”, tukas Idris. Lalu dikatakanlah kepada Malaikat Maut,
“Bukankah engkau yang telah memasukkannya? Sesungguhnya seorang yang
telah memasukinya tidak boleh keluar darinya“. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Mu’jam Al-Ausath (2/177/1/7406)]
Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu),
karena dalam sanadnya terdapat rawi yang tertuduh dusta, yaitu Ibrahim
bin Abdullah bin Khalid Al-Mishshishiy. Sebab itu, hadits ini
dicantumkan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam kumpulan hadits-hadits palsu di
dalam kitabnyaAdh-Dho’ifah (339).
Empat Berkah dari Langit
Diantara
hadits palsu yang beredar di masyarakat adalah berikut ini. Konon
kabarnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ أَرْبَعَ بَرَكَاتٍ مِنَ السَمَاءِ إِلَى اْلأَرْضِ فَأَنْزَلَ الْحَدِيْدَ وَالنَّارَ وَالْمَاءَ وَالْمِلْحَ
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan empat berkah dari langit ke bumi; maka Allah menurunkan besi, api, air, dan garam“. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/2/221)]
Hadits
ini palsu , tak benar datangnya dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam-. Dalam sanadnya terdapat Saif bin Muhammad, seorang pendusta !!
Karenanya, Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy -rahimahullah- menyatakan hadits
ini palsu dalam Adh-Dho’ifah (3053).
Fadhilah Mendatangi Sholat Jama’ah
Fadhilah
sholat berjama’ah banyak disebutkan dalam hadits-hadits shohih. Adapun
hadits berikut adalah hadits lemah, tak boleh diamalkan, dan diyakini
sebagai sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-:
اَلْمَشَّاؤُوْنَ إِلَى الْمَسَاجِدِ فِي الظُّلَمِ أُوْلَئِكَ الْخَوَّاضُوْنَ فِيْ رَحْمَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Orang
yang sering berjalan menuju masjid dalam kondisi gelap, mereka itu
adalah orang yang berada dalam rahmat Allah –Azza wa Jalla-”. [HR.
Ibnu Majah dalam Sunan-nya (779), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (1/281), dan
Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (17/456) & (52/18)]
Hadits ini adalah dho’if (lemah),
karena ada dua rowi yang bermasalah dalam sanadnya: Muhammad bin Rofi’,
dan Isma’il bin Iyasy. Walau Isma’il tsiqoh, namun jika ia meriwayatkan
hadits dari selain orang-orang Syam, maka haditsnya lemah!! Hadits ini
ia riwayatkan dari Muhammad bin Rofi’, seorang penduduk Madinah.
Ke-dho’if-an hadits ini telah ditegaskan oleh Syaikh Al-Albaniy
Al-Atsariy dalam Adh-Dho’ifah (3059)
Padamkan Neraka dengan Sholat
Jika
kita mau mengoleksi hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan sholat,
maka terlalu banyak. Namun disini kami mau ingatkan bahwa ada hadits
lemah dalam hal ini, yaitu hadits yang berbunyi:
إِنَّ
لِلّهِ تَعَالَى مَلَكًا يُنَادِيْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ : يَا بَنِيْ
آدَمَ قُوْمُوْا إِلَى نِيْرَانِكُمْ الَّتِيْ أَوْقَدْتُمُوْهَا عَلَى
أَنْفُسِكُمْ فَأَطْفِئُوْهَا بِالصَّلاَةِ
“Sesungguhnya
Allah -Ta’ala- memiliki seorang malaikat yang memanggil setiap kali
sholat, “Wahai anak Adam, bangkitlah menuju api (neraka) kalian yang
telah kalian nyalakan bagi diri kalian, maka padamkanlah api itu dengan
sholat“. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (9452) dan Ash-Shoghir (1135), Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (3/42-43), dan lainnya]
Hadits ini lemah
, karena ada seorang rawi bernama Yahya bin Zuhair Al-Qurosyiy. Dia
adalah seorang majhul (tak dikenal). Olehnya, Syaikh Al-Albaniy
-rahimahullah- melemahkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (3057)
Orang Baik dibutuhkan Orang
Di antara hadits palsu yang biasa diucapkan oleh sebagian da’i-da’i adalah hadits berikut:
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا ؛ صَيَّرَ حَوَائِجَ النَّاسِ إِلَيْهِ
“Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka Allah akan menjadikan kebutuhan-kebutuhan manusia kepadanya“. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/95)]
Hadits ini palsu
disebabkan oleh adanya rowi dalam sanadnya yang bernama Yahya bin
Syabib; dia seorang pemalsu hadits. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy
meletakkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2224)
Manusia yang Terburuk Kedudukannya
Banyak
sekali hadits-hadits lemah yang tersebar di kalangan kaum muslimin,
namun mereka tak sadar bahwa itu bukanlah sabda Rasulullah -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-, seperti hadits:
إِنَّ مِنْ أَسْوَأِ النَّاسِ مَنْزِلَةً مَنْ أَذْهَبَ آخِرَتَهُ بِدُنْيَا غَيْرِهِ
“Sesungguhnya
manusia yang paling buruk kedudukannya, orang yang menghilangkan
(menghancurkan) akhiratnya dengan dunia orang lain“. [HR. Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (2398), dan Al-Baihaqiy dalam Syu'abul Iman (6938)]
Hadits ini adalah hadits dho’if (lemah),
karena rowi yang bernama Syahr bin Hausyab, seorang jelek hafalannya
dan banyak me-mursal-kan hadits, dan Al-Hakam bin Dzakwan, seorang yang
maqbul. Intinya, hadits ini lemah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh
Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (2229)
Ketentuan dan Taqdir Allah
Ketentuan
dan taqdir Allah adalah perkara ghaib yang tidak boleh ditetapkan
dengan hadits lemah, apalagi palsu, seperti hadits ini:
إِذَا
أَرَادَ اللهُ إِنْفَاذَ قَضَائِهِ وَقَدَرِهِ ؛ سَلَبَ ذَوَيْ
الْعُقُوْلِ عُقُوْلَهُمْ حَتَّى يُنْفِذَ فِيْهِمْ قَضَاءَهُ وَقَدَرَهُ
“Apabila
Allah ingin melaksanakan ketentuan, dan taqdir-Nya, maka Allah akan
menarik (menghilangkan) akalnya orang-orang yang memiliki pikiran
sehingga Allah melaksanakan ketentuan, dan taqdir-Nya pada mereka“.
[HR. Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (14/99), Ad-Dailamiy dalam Musnad
Al-Firdaus (1/1/100), dari jalur Abu Nu'aim dalam Tarikh Ashbihan
(2/332)]
Hadits ini lemah, bahkan boleh jadi palsu
, karena rowi yang bernama Lahiq bin Al-Husain. Sebagian ahlul hadits
menuduhnya pendusta, dan suka memalsukan hadits. Karenanya, Syaikh
Al-Albaniy memasukkannya dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (2215)
Bertaqwa di Masa Tua
Bertaqwa
kepada Allah bukan hanya di masa tua, bahkan juga harus di masa muda.
Namun tentunya ketaqwaan lebih ditingkatkan lagi di masa tua berdasarkan
hadits-hadits shohih !! Bukan berdasarkan hadits palsu ini:
إِذَا أَتَى عَلَى الْعَبْدِ أَرْبَعُوْنَ سَنَةً يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَخَافَ اللهَ تَعَالَى وَيَحْذَرَهُ
“Jika telah datang (lewat) 40 tahun pada diri seorang hamba, maka wajib baginya untuk takut dan khawatir kepada Allah -Ta’ala- “. [HR. Ad-Dailamiy dalam Al-Firdaus (1/89)]
Hadits ini palsu,
karena ada rowi dalam sanadnya yang bernama Ahmad bin Nashr bin
Abdillah yang dikenal dengan Adz-Dari’. Dia adalah seorang pemalsu
hadits, pendusta, dan dajjal. Karenanya, Al-Albaniy Al-Atsariy
menyatakannya palsu dalam Adh-Dho’ifah (2200)
Memulai dengan Hamdalah
Ada
sebuah hadits yang masyhur dalam kitab-kitab dan lisan manusia yang
menjelaskan harusnya seseorang memulai segala urusan yang penting dengan
membaca Alhamdulillah. Tapi hadits ini lemah sebagaimana berikut ini
perinciannya:
كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِالْحَمْدِ فَهُوَ أَقْطَعُ
“Segala urusan penting yang tidak dimulai di dalamnya dengan alhamdulillah, maka urusan itu akan terputus“. [HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1894)]
Hadits ini lemah,
karena ke-mursal-an yang terjadi pada sanadnya sebagaimana yang
dijelaskan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (2/677), dan Syaikh
Al-Albaniy. Karenanya, Al-Albaniy melemahkan hadits ini dalam Al-Irwa’
(2).
Tanda Tawadhu’
Tawadhu’
adalah perkara yang dianjurkan karena dia adalah akhlak yang mulia.
Saking mulianya sampai dalam hadits yang palsu pun disebutkan
kemuliannya, seperti hadits berikut:
مِنَ
التَّوَاضُعِ أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ مِنْ سُؤْرِ أَخِيْهِ وَمَنْ شَرِبَ
مِنْ سُؤْرِ أَخِيْهِ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى رُفِعَتْ لَهُ
سَبْعُوْنَ دَرَجَةً وَمُحِيَتْ عَنْهُ سَبْعُوْنَ خَطِيْئَةً وَكُتِبَ
لَهُ سَبْعُوْنَ دَرَجَةً
“Di
antara bentuk ketawadhu’an, seorang mau meminum sisa minuman
saudaranya. Barangsiapa yang meminum sisa minum saudaranya, karena
mencari wajah Allah -Ta’ala-, maka akan diangkat derajatnya sebanyak 70
derajat, dan akan dihapuskan 70 kesalahan darinya, serta dituliskan
baginya 70 derajat.” [HR.Ad-Dauqutniy sebagaimana dalam Al-Maudhu'at (3/40) karya Ibnul Juaziy]
hadits ini adalah hadits yang palsu
karena ada seorang rawi yang bernama Nuh bin Abi Maryam, dia adalah
seorang yang tertuduh dusta. Selain itu hadits ini semakin lemah karena
Ibnu Juraij (seorang rawi dalam hadits ini) adalah seorang yang
mudallis, sedangkan ia meriwayatkannya secara mu’an’anah (menggunakan
lafadz dari). Demikia penjelasan Syaikh Al-Albaniy secara ringkas dalam
kitabnya Adh-Dho’ifah (79).
Orang-Orang yang Beruntung
Orang-orang
yang beruntung banyak disinggung dalam Al-Qur’an dan sunnah yang
shahihah. Bahkan dalam hadits yang dho’if pun, seperti hadits berikut:
أَفْلَحَ
مَنْ كَانَ سُكُوْتُهُ تَفَكُّرًا وَنَظَرُهُ اِعْتِبَارًا أَفْلَحَ مَنْ
وَجَدَ فِيْ صَحِيْفَتِهِ اِسْتِغْفَارًا كَثِيْرًا
“Beruntunglah
orang yang diamnya adalah tafakkur, pandangannya adalah ibroh,
beruntunglah orang yang mendapatkan istighfar yang banyak dalam catatan
amalannya” . [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/123)].
Hadits ini adalah dho’if,
karena dalam sanadnya terdapat dua orang yang majhul (tidak dikenal),
yaitu Abul Khushaib Ziyad bin Abdurrahman, dan Husain bin Mansur
Al-Asadiy Al-Kufiy dan juga seorang yang lemah (Hibban ibnu Ali
Al-Anaziy). Syaikh Al-Albaniy menghukumi hadits ini dho’if (lemah) dalam
Adh-Dho’ifah (2519).
Makanan Dunia dan Akhirat
Banyak
sekali hadits dho’if yang tersebar di masyarakat. Utamanya
hadits-hadits yang berkaitan dengan janji-janji dan keutamaan, seperti
hadits ini:
أَفْضَلُ طَعَامِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ اللَّحْمُ
“Seutama-utamanya makanan dunia dan akhirat adalah daging” . [HR. Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu'afa' (1264)].
Hadits ini dihukumi dho’if jiddan
oleh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy Al-Atsariy dalam
Adh-Dho’ifah (2518), karena ada seorang rawi yang bernama Amr bin Bakr
As-Saksakiy. Hadits-haditsnya menyerupai hadits palsu. Sebab itu
Al-Hafizh menggelarinya dengan matruk (ditinggalkan karena biasa
berdusta atas nama manusia). Selain itu, anaknya (Ibrahim bin Amr
As-Saksakiy) yang meriwayatkan darinya senasib dengan ayahnya.
Berdzikir Setiap Saat
Berdzikir
setiap saat merupakan perkara yang dianjurkan sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam hadits-hadits shohih, bahkan dalam hadits-hadits dho’if
, seperti hadits ini:
أَكْثِرُوْا
ذِكْرَ اللهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ فَإِنَّهُ لَيْسَ عَمَلٌ أَحَبُّ إِلَى
اللهِ تَعَالىَ وَلَا أَنْجَى لِعَبْدٍ مِنْ كُلِّ سَيِّئَةٍ فِي
الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى
“Perbanyaklah
dzikir kepada Allah dalam segala kondisi, karena tak ada suatu amalan
yang lebih dicintai oleh Allah -Ta’ala- , dan lebih menyelamatkan
seorang hamba dari segala kejelekan di dunia, dan akhirat dibandingkan
dzikir kepada Allah“. [HR. Adh-Dhiya' Al-Maqdisiy dalam Al-Mukhtaroh (7/112/1)]
Hadits ini palsu,
karena Abu Abdir Rahman Asy-Syamiy. Dia adalah seorang pendusta seperti
yang dinyatakan oleh Al-Azdiy -rahimahullah-. Ada penguat bagi hadits
ini dari riwayat Al-Baihaqiy , oh sayang hadits ini juga palsu, karena
ada rowinya bernama Marwan bin Salim Al-Ghifariy Al-Jazariy; dia adalah
pendusta. Lihat rincian palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2617)
Hati-hati dengan Dunia
Seorang
manusia di dunia ibaratnya seorang musafir; ia singgah mengambil bekal
menuju akhirat berupa amal sholih. Namun dunia terkadang memperdaya
kebanyakan manusia :
إحذروا الدنيا فإنها أسحر من هاروت وماروت
“Waspadalah terhadap dunia, karena ia lebih memperdaya dibandingkan Harut dan Marut“.
Namun sayang hadits ini adalah palsu,
tak ada asalnya. Hadits ini disebutkan oleh Al-Ghozaliy dalam Ihya’
Ulumuddin, padahal ia palsu !! Al-Iroqiy dalam Takhrij Al-Ihya’ (3/177)
menukil dari Adz-Dzahabiy bahwa hadits ini mungkar, tak ada asalnya.
Sebab itu, Al-Albaniy menempatkannya dalam Adh-Dho’ifah (34) sebagai
tempat bagi hadits palsu dan dho’if.
Siapa yang Adzan, itu yang Iqamat
“Barangsiapa yang adzan, maka dialah yang iqamat”. [HR. Abud Dawud (514), At-Tirmidziy (199), dan lainnya]
Hadits
ini lemah karena berasal dari Abdurrahman bin Ziyad Al-Afriqiy. Dia
lemah hafalannya. Sebab itu Al-Albaniy melemahkannya dalam Adh-Dha’ifah
(no. 35) dan Al-Irwa’ (237).
Syaikh Al-Albaniy berkata dalam Adh-Dha’ifah (1/110), “Di
antara dampak negatif hadits ini, dia merupakan sebab timbul
perselisihan di antara orang-orang yang mau shalat, sebagaimana hal itu
sering terjadi. Yaitu ketika tukang adzan terlambat masuk mesjid karena
ada udzur, sebagian orang yang hadir ingin meng-iqamati shalat, maka tak
ada seorang pun di antara mereka kecuali ia menghalanginya seraya
berhujjah dengan hadits ini. Orang miskin ini tidaklah tahu kalau
haditsnya lemah, tidak boleh mengasalkannya kepada Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam-, terlebih lagi melarang orang bersegera menuju
ketaatan kepada Allah, yaitu meng-iqamati shalat”.
Barang Siapa yang tidak Mengenal Imamnya…
Ketaatan
kepada penguasa merupakan perkara asasi di kalangan Ahlus Sunnah.
Sebaliknya, mendurhakai mereka merupakan perkara yang diharamkan,
apalagi jika sampai menghina, merendahkan mereka, dan mencabut tangan
darinya, karena hal ini akan menimbulkan kerusakan di kalangan
hamba-hamba Allah.
Banyak
sekali dalil-dalil baik dalam Al-Kitab, maupun sunnah yang
memerintahkan kita untuk taat kepada pemerintah muslim, dan mengharamkan
durhaka kepada mereka.
Namun ada satu hal yang kami perlu ingatkan disini bahwa disana ada sebuah hadits yang dho’if dalam masalah ini,
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَعْرِفْ إِمَامَ زَمَانِـهِ مَاتَ مِيـْتَةً جَاهِلِيَّةً.
“Barangsiapa yang tidak mengenal imam (penguasa) di zamannya, maka ia mati seperti matinya orang-orang jahiliyah”.
Ahmad bin Abdul Halim Al-Harraniy berkata, “Demi Allah, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidaklah pernah mengatakan demikian . . .”. [Lihat Adh-Dho’ifah (1/525)]
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata setelah menyatakan bahwa hadits ini tidak ada asal-muasalnya, “Hadits
ini pernah aku lihat dalam sebagian kitab-kitab orang-orang Syi’ah dan
sebagian kitab orang-orang Qodiyaniyyah (Ahmadiyyah). Mereka
menjadikannya sebagai dalil tentang wajibnya berimam kepada si Pendusta
mereka yang Mirza Ghulam Ahmad, si Nabi gadungan. Andaikan hadits ini
shahih, niscaya tidak ada isyarat sedikit pun tentang sesuatu yang
mereka sangka, paling tidak intinya kaum muslimin wajib mengangkat
seorang pemerintah yang akan dibai’at”. [Lihat As-Silsilah Adh-Dho’ifah (no. 350).
Agama Adalah Akal
Dalam
ensiklopedia ini kami petikkan sebuah hadits yang biasa digunakan orang
dan masyhur menunjukkan keutamaan akal dan pikiran. Namun, kebanyakan
orang tidak mengenal kepalsuan hadits tersebut.
Adapun hadits yang dimaksud, lafazhnya sebagai berikut:
اَلدِّيْنُ هُوَ الْعَقْلُ, وَمَنْ لاَدِيْنَ لَهُ لاَ عَقْلَ لَهُ
“Agama adalah akal pikiran, Barangsiapa yang tidak ada agamanya, maka tidak ada akal pikirannya”.
[HR. An-Nasa`iy dalam Al-Kuna dari jalurnya Ad-Daulabiy dalam Al-Kuna
wa Al-Asma’ (2/104) dari Abu Malik Bisyr bin Ghalib dan Az-Zuhri dari
Majma’ bin Jariyah dari pamannya]
Hadits
ini adalah hadits lemah yang batil karena ada rawinya yang majhul,
yaitu Bisyr bin Gholib. Bahkan Ibnu Qayyim -rahimahullah- berkata dalam
Al-Manar Al-Munif (hal. 25), “Hadits yang berbicara tentang akal seluruhnya palsu”.
Oleh karena itu Syaikh Al-Albaniy berkata, “Diantara
hal yang perlu diingatkan bahwa semua hadits yang datang menyebutkan
keutamaan akal adalah tidak shahih sedikit pun. Hadits-hadits tersebut
berkisar antara lemah dan palsu. Sungguh aku telah memeriksa,
diantaranya hadits yang dibawakan oleh Abu Bakr Ibnu Abid Dunya dalam
kitabnya Al-Aql wa Fadhluh, maka aku menemukannya sebagaimana yang telah
aku utarakan, tidak ada yang shahih sama sekali”. [Lihat Adh-Dhi’ifah (1/54)]
Mengusap Tengkuk Ketika Wudhu’
Sebagian
kaum muslimin, ketika dia berwudhu’, maka ia mengusap tengkuknya.
Benarkah hal ini ada haditsnya yang bisa dijadikan hujjah?
Jawabannya: hadits ada namun ia merupakan hadits palsu.
مَسْحُ الرَقَبََةِ أَمَانٌ مِنَ الْغِلِّ
“Mengusap tengkuk merupakan pelindung dari penyakit dengki”.
An-Nawawiy berkata dalam Al-Majmu’ (1/45), “Ini adalah hadits palsu, bukan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-”.
Syaikh Al-Albaniy berkata, “Hadits ini palsu”. [Lihat Adh-Dho’ifah (1/167)]
Dari
sini, kita mengetahui tentang tidak disyari’atkannya mengusap tengkuk
ketika berwudhu’, karena tidak ada hadits yang shahih menetapkannya.
Adapun hadits ini – sebagaimana yang anda lihat- merupakan hadits palsu.
Jadi, tidak boleh diamalkan dan dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu
hukum.
<<<<<<< “Nasihat bagi Para Da’I” >>>>>>>>>
Jika kalian memberikan nasihat dan wejangan kepada para jama’ah, maka janganlah kalian menghiasi ceramah kalian dengan hadits-hadits dho’if, dan palsu. Sayangilah diri kalian sebelum kalian terkena sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأَ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka“. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya(110), dan Muslim dalam Shohih-nya (3)]
Periksalah
hadits-hadits yang kalian sampaikan dalam ceramah-ceramah kalian. Jika
tidak tahu, maka belajarlah, dan tanya kepada orang-orang yang berilmu.
Janganlah perasaan malu dan sombong membuat dirimu malu bertanya dan
belajar sehingga engkau sendiri yang menggelincirkan dirimu dalam
neraka, wal’iyadzu billah !!
Dikutip
dari http:///almakasari.com Kumpulan Hadits-hadits Dho’if, dari
Buletin Jum’at Al-Atsariyyah. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat :
Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec.
Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah).
Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al
Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa.
Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout :
Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas. (infaq
Rp. 200,-/exp)