“Sesungguhnya
dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik maka akan
baik seluruh tubuh, namun jika ia rusak, rusak pula seluruh tubuh.
Segumpal daging itu adalah qalbu (jantung).”
Demikian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mempermisalkan hati (batin) seorang manusia dengan jantung yang bisa memengaruhi baik buruknya seluruh anggota tubuh yang lain. Karena memang hati juga bisa memengaruhi baik buruknya amalan seseorang. Jika hati seseorang baik dan sehat, maka akan membuahkan amalan yang shalih. Sebaliknya, ketika hati itu sakit, atau bahkan mati, maka akan membuahkan amalan-amalan buruk.
Antara Mukmin dan Munafiq
Oleh karena itu, seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak hanya memperhatikan amalan-amalan lahiriah semata tanpa amalan-amalan batin. Bahkan mereka mengetahui dengan yakin bahwa amal shalih itu memiliki timbangan batin sebagaimana juga memiliki timbangan lahiriah.
Para ulama telah menjelaskan bahwa hakikat amal shalih adalah amal yang murni ditujukan kepada Allah (ikhlas) dan amal yang benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Maka keikhlasan dalam amalan itulah sebagai timbangan batin, sebagaimana kesesuaian dengan tuntunan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- merupakan timbangan lahiriah bagi amal shalih.
Adapun orang-orang munafik, maka mereka adalah orang-orang yang secara lahiriah melakukan amalan-amalan kaum muslimin, namun secara batin mereka kosong dari keimanan terhadap Allah -subhanahu wa ta’ala-.
Hati Adalah Raja
Pengaruh hati terhadap baik buruk amalan manusia, tidak lain karena hati adalah bagaikan raja bagi seluruh anggota tubuh. Seorang yang sadar dan berakal tidak akan melakukan suatu amalan kecuali karena ada dorongan dari dalam hatinya. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّمَا اْلأَعْماَلُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan-amalan itu dengan niatnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Di antara penjelasan para ulama tentang makna hadits ini bahwa seluruh amalan itu terjadi dengan niat. Maka tidak ada satu amal pun yang dilakukan dengan kesadaran manusia tanpa disertai dengan niat. Ada juga yang menjelaskan maksudnya bahwa baik buruk amalan seorang manusia itu tergantung pada niatnya.
Apapun penjelasan yang disampaikan para ulama tentang hal ini yang jelas niat yang bertempat dalam hati manusia sangat memengaruhi amalan seseorang baik dari sisi keberadaan amalan itu atau dari sisi baik buruknya amalan tersebut. Dan ini jelas menunjukkan akan keagungan hati manusia dan pentingnya kita memperhatikan hati kita dan amalan-amalan hati kita.
Hati Asas Keimanan
Hal lain yang menunjukkan akan keagungan hati dan amalan-amalannya, adalah keberadaan hati itu sebagai asas dari keimanan. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa keimanan meliputi keyakinan hati, amalan hati, perkataan lisan dan amalan anggota badan, maka hati merupakan landasan bagi tegaknya keimanan. Tidak akan mungkin tegak keimanan seseorang tanpa adanya keyakinan hati dan amalan hati.
Maka hati bukan semata raja bagi anggota tubuh manusia, bahkan lebih dari itu, hati adalah sumber dari amalan-amalan lahiriah dan pondasi bagi baik buruknya amalan tersebut. Jika kehendak hati berlandaskan keimanan, maka perbuatan lahiriah pun merupakan keimanan. Jika kehendak hati berlandaskan kekufuran, kemunafikan atau kemaksiatan, maka amalan lahiriah pun akan menjadi semisalnya.
Banyak dalil yang telah menunjukkan hal ini, salah satunya firman Allah -subhanahu wa ta’ala-,
أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ
“Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.” (al-Mujadilah: 22)
Mereka yang dimaksud adalah orang-orang yang merealisasikan syariat wala dan bara, dan ternyata apa yang mereka lakukan itu dikarenakan telah ada keimanan dalam hati mereka. Maka jelas bahwa keimanan yang ada dalam hati adalah landasan bagi keimanan yang terpancar secara lahiriah.
Macam-macam Amalan Hati
Sangat banyak amalan hati yang harus kita perhatikan, seperti ikhlas, jujur, cinta, pengagungan, rasa takut, rasa harap, tawakkal, ketundukan, penerimaan, sabar, ridha, berserah diri, taubat, muraqabah dan lain-lain sebagainya.
Semua amalan-amalan hati itu akan menjadi amalan yang baik jika ditujukan hanya kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- semata. Karena dengan dtujukannya kepada Allah dan karena Allah, jadilah amalan itu sebagai ibadah kepada-Nya. Namun jika ditujukan kepada selain-Nya maka akan menjadi bentuk kesyirikan kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-, yang akan bisa membinasakan pelakunya. Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah: 165)
Ayat ini menunjukkan bahwa mereka dengan kecintaan yang mereka tujukan kepada selain Allah telah menjadikan mereka terjerumus ke dalam perbuatan syirik kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka mentauhidkan Allah dalam kecintaan mereka. Dan demikian pula dalam amalan hati lain seperti rasa takut dan rasa harap.
Jika kecintaan, rasa takut, rasa harap seseorang hanya ditujukan kepada Allah, sebagaimana amalan-amalan hati lainnya ditujukan hanya kepada Allah dan karena Allah, maka amalan hati itu akan mendorongnya mewujudkan peribadahan lahiriah kepada Allah dengan sebaik-baik bentuknya.
Masuk surga dengan amalan hati
Jika kita menilik perjalanan hidup orang-orang shalih yang ada pada generasi terdahulu, niscaya akan mudah kita dapatkan banyak contoh nyata yang menunjukkan akan besarnya pengaruh kebaikan hati dan amalan hati manusia terhadap keshalihannya. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah bersabda,
إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada orang yang seandainya bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Dan beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ
“Maukah aku beri tahu kalian tentang ahli surga. Dia adalah setiap orang yang lemah dan tawadhu’, seandainya dia bersumpah atas nama Allah, niscaya Dia akan meluluskan sumpahnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Para ulama telah menjelaskan hadits ini dengan berbagai macam penjelasan. Ada di antara mereka yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang yang lemah adalah orang yang memiliki sikap tawadhu’, yang bersikap rendah hati. Ibnu Khuzaimah pernah ditanya tentang maksud orang yang lemah dalam hadits di atas, maka beliau menjawab, dia adalah orang yang berlepas diri dari kekuatan dan daya upaya, sebanyak dua puluh sampai lima puluh kali setiap harinya. Sedangkan al-Kirmani maksudnya adalah orang yang tawadhu’ dan merendahkan diri. Al-Qadhi berkata, kelemahan yang ada dalam hadits ini bisa juga bermakna kelembutan dan kehalusan hati, dan ketundukannya terhadap keimanan.
Bagaimanapun juga, hadits ini menunjukkan bahwa para penduduk surga ketika mereka hidup di dunia memiliki amalan hati yang luar biasa sehingga hati-hati mereka menjadi lembut dan Allah pun menjadi sangat dekat dengan mereka, jika mereka bersumpah atas nama Allah, maka Allah akan meluluskan sumpahnya. Wallahu a’lam. (***)
Artikel Rubrik Lentera Majalah Sakinah Vol. 11 No. 1
Demikian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mempermisalkan hati (batin) seorang manusia dengan jantung yang bisa memengaruhi baik buruknya seluruh anggota tubuh yang lain. Karena memang hati juga bisa memengaruhi baik buruknya amalan seseorang. Jika hati seseorang baik dan sehat, maka akan membuahkan amalan yang shalih. Sebaliknya, ketika hati itu sakit, atau bahkan mati, maka akan membuahkan amalan-amalan buruk.
Antara Mukmin dan Munafiq
Oleh karena itu, seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak hanya memperhatikan amalan-amalan lahiriah semata tanpa amalan-amalan batin. Bahkan mereka mengetahui dengan yakin bahwa amal shalih itu memiliki timbangan batin sebagaimana juga memiliki timbangan lahiriah.
Para ulama telah menjelaskan bahwa hakikat amal shalih adalah amal yang murni ditujukan kepada Allah (ikhlas) dan amal yang benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Maka keikhlasan dalam amalan itulah sebagai timbangan batin, sebagaimana kesesuaian dengan tuntunan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- merupakan timbangan lahiriah bagi amal shalih.
Adapun orang-orang munafik, maka mereka adalah orang-orang yang secara lahiriah melakukan amalan-amalan kaum muslimin, namun secara batin mereka kosong dari keimanan terhadap Allah -subhanahu wa ta’ala-.
Hati Adalah Raja
Pengaruh hati terhadap baik buruk amalan manusia, tidak lain karena hati adalah bagaikan raja bagi seluruh anggota tubuh. Seorang yang sadar dan berakal tidak akan melakukan suatu amalan kecuali karena ada dorongan dari dalam hatinya. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّمَا اْلأَعْماَلُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan-amalan itu dengan niatnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Di antara penjelasan para ulama tentang makna hadits ini bahwa seluruh amalan itu terjadi dengan niat. Maka tidak ada satu amal pun yang dilakukan dengan kesadaran manusia tanpa disertai dengan niat. Ada juga yang menjelaskan maksudnya bahwa baik buruk amalan seorang manusia itu tergantung pada niatnya.
Apapun penjelasan yang disampaikan para ulama tentang hal ini yang jelas niat yang bertempat dalam hati manusia sangat memengaruhi amalan seseorang baik dari sisi keberadaan amalan itu atau dari sisi baik buruknya amalan tersebut. Dan ini jelas menunjukkan akan keagungan hati manusia dan pentingnya kita memperhatikan hati kita dan amalan-amalan hati kita.
Hati Asas Keimanan
Hal lain yang menunjukkan akan keagungan hati dan amalan-amalannya, adalah keberadaan hati itu sebagai asas dari keimanan. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa keimanan meliputi keyakinan hati, amalan hati, perkataan lisan dan amalan anggota badan, maka hati merupakan landasan bagi tegaknya keimanan. Tidak akan mungkin tegak keimanan seseorang tanpa adanya keyakinan hati dan amalan hati.
Maka hati bukan semata raja bagi anggota tubuh manusia, bahkan lebih dari itu, hati adalah sumber dari amalan-amalan lahiriah dan pondasi bagi baik buruknya amalan tersebut. Jika kehendak hati berlandaskan keimanan, maka perbuatan lahiriah pun merupakan keimanan. Jika kehendak hati berlandaskan kekufuran, kemunafikan atau kemaksiatan, maka amalan lahiriah pun akan menjadi semisalnya.
Banyak dalil yang telah menunjukkan hal ini, salah satunya firman Allah -subhanahu wa ta’ala-,
أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ
“Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.” (al-Mujadilah: 22)
Mereka yang dimaksud adalah orang-orang yang merealisasikan syariat wala dan bara, dan ternyata apa yang mereka lakukan itu dikarenakan telah ada keimanan dalam hati mereka. Maka jelas bahwa keimanan yang ada dalam hati adalah landasan bagi keimanan yang terpancar secara lahiriah.
Macam-macam Amalan Hati
Sangat banyak amalan hati yang harus kita perhatikan, seperti ikhlas, jujur, cinta, pengagungan, rasa takut, rasa harap, tawakkal, ketundukan, penerimaan, sabar, ridha, berserah diri, taubat, muraqabah dan lain-lain sebagainya.
Semua amalan-amalan hati itu akan menjadi amalan yang baik jika ditujukan hanya kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- semata. Karena dengan dtujukannya kepada Allah dan karena Allah, jadilah amalan itu sebagai ibadah kepada-Nya. Namun jika ditujukan kepada selain-Nya maka akan menjadi bentuk kesyirikan kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-, yang akan bisa membinasakan pelakunya. Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah: 165)
Ayat ini menunjukkan bahwa mereka dengan kecintaan yang mereka tujukan kepada selain Allah telah menjadikan mereka terjerumus ke dalam perbuatan syirik kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka mentauhidkan Allah dalam kecintaan mereka. Dan demikian pula dalam amalan hati lain seperti rasa takut dan rasa harap.
Jika kecintaan, rasa takut, rasa harap seseorang hanya ditujukan kepada Allah, sebagaimana amalan-amalan hati lainnya ditujukan hanya kepada Allah dan karena Allah, maka amalan hati itu akan mendorongnya mewujudkan peribadahan lahiriah kepada Allah dengan sebaik-baik bentuknya.
Masuk surga dengan amalan hati
Jika kita menilik perjalanan hidup orang-orang shalih yang ada pada generasi terdahulu, niscaya akan mudah kita dapatkan banyak contoh nyata yang menunjukkan akan besarnya pengaruh kebaikan hati dan amalan hati manusia terhadap keshalihannya. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah bersabda,
إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada orang yang seandainya bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Dan beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ
“Maukah aku beri tahu kalian tentang ahli surga. Dia adalah setiap orang yang lemah dan tawadhu’, seandainya dia bersumpah atas nama Allah, niscaya Dia akan meluluskan sumpahnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Para ulama telah menjelaskan hadits ini dengan berbagai macam penjelasan. Ada di antara mereka yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang yang lemah adalah orang yang memiliki sikap tawadhu’, yang bersikap rendah hati. Ibnu Khuzaimah pernah ditanya tentang maksud orang yang lemah dalam hadits di atas, maka beliau menjawab, dia adalah orang yang berlepas diri dari kekuatan dan daya upaya, sebanyak dua puluh sampai lima puluh kali setiap harinya. Sedangkan al-Kirmani maksudnya adalah orang yang tawadhu’ dan merendahkan diri. Al-Qadhi berkata, kelemahan yang ada dalam hadits ini bisa juga bermakna kelembutan dan kehalusan hati, dan ketundukannya terhadap keimanan.
Bagaimanapun juga, hadits ini menunjukkan bahwa para penduduk surga ketika mereka hidup di dunia memiliki amalan hati yang luar biasa sehingga hati-hati mereka menjadi lembut dan Allah pun menjadi sangat dekat dengan mereka, jika mereka bersumpah atas nama Allah, maka Allah akan meluluskan sumpahnya. Wallahu a’lam. (***)
Artikel Rubrik Lentera Majalah Sakinah Vol. 11 No. 1
0 komentar:
Posting Komentar