Generasi terbaik umat ini adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah sebaik-baik manusia. Lantas disusul generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya. Tiga kurun ini merupakan kurun terbaik dari umat ini. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرَ أُمَّتِـي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik
umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka
(generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650)
Mereka
adalah orang-orang yang paling baik, paling selamat dan paling
mengetahui dalam memahami Islam. Mereka adalah para pendahulu yang
memiliki keshalihan yang tertinggi (as-salafu ash-shalih).
Karenanya,
sudah merupakan kemestian bila menghendaki pemahaman dan pengamalan
Islam yang benar merujuk kepada mereka (as-salafu ash-shalih). Mereka
adalah orang-orang yang telah mendapat keridhaan dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan mereka pun ridha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ
اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk mengikuti para sahabat.
Berjalan di atas jalan yang mereka tempuh. Berperilaku selaras apa yang
telah mereka perbuat. Menapaki manhaj (cara pandang hidup) sesuai manhaj
mereka. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ
“Dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku.” (Luqman: 15)
Menukil
ucapan Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam I’lam Al-Muwaqqi’in, terkait
ayat di atas disebutkan bahwa setiap sahabat adalah orang yang kembali
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, wajib mengikuti jalannya,
perkataan-perkataannya, dan keyakinan-keyakinan (i’tiqad) mereka. Dalil
bahwa mereka adalah orang-orang yang kembali kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, (dikuatkan lagi) dengan firman-Nya yang menunjukkan mereka
adalah orang-orang yang telah diberi Allah Subhanahu wa Ta’ala petunjuk.
Firman-Nya:
وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
“Dan (Allah) memberi petunjuk kepada (agama)-Nya, orang yang kembali (kepada-Nya).” (Asy-Syura: 13) (Lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, Abdussalam bin Salim bin Raja’ As-Suhaimi, hal. 14)
Maka, istilah
as-salafu ash-shalih secara mutlak dilekatkan kepada tiga kurun yang
utama. Yaitu para sahabat, at-tabi’un, dan atba’u tabi’in (para pengikut
tabi’in). Siapapun yang mengikuti mereka dari aspek
pemahaman, i’tiqad, perkataan maupun amal, maka dia berada di atas
manhaj as-salaf. Adanya ancaman yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala
terhadap orang-orang yang memilih jalan-jalan selain jalan yang
ditempuh as-salafu ash-shalih, menunjukkan wajibnya setiap muslim
berpegang dengan manhaj as-salaf. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan
ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115)
Disebutkan
oleh Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah bin Sulaiman Al-Jabiri
hafizhahullah, bahwa tidaklah orang yang berpemahaman khalaf (lawan dari
salaf), termasuk orang-orang yang tergabung dalam jamaah-jamaah dakwah
sekarang ini, kecuali dia akan membenci (dakwah) as-salafiyah. Karena,
as-salafiyah tidak semata pada hal yang terkait penisbahan (pengakuan).
Tetapi as-salafiyah memurnikan keikhlasan karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan memurnikan mutaba’ah (ikutan) terhadap Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Manusia itu terbagi dalam dua kelompok (salah
satunya) yaitu hizbu Ar-Rahman, mereka adalah orang-orang Islam yang
keimanan mereka terpelihara, tidak menjadikan mereka keluar secara
sempurna dari agama. Jadi, hizbu Ar-Rahman adalah orang-orang yang tidak
sesat dan menyesatkan serta tidak mengabaikan al-huda (petunjuk) dan
al-haq (kebenaran) di setiap tempat dan zaman. (Ushul wa Qawa’id fi
al-Manhaj As-Salafi, hal. 12-13)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasar hadits dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, berkata:
لاَ يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِـي ظَاهِرِيْنَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ
“Akan
selalu ada sekelompok orang dari umatku yang unggul/menang hingga tiba
pada mereka keputusan Allah, sedang mereka adalah orang-orang yang
unggul/menang.” (Shahih Al-Bukhari, no. 7311)
Menurut
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, bahwa yang
dimaksud hadits tersebut adalah adanya sekelompok orang yang berpegang
teguh dengan apa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang-orang yang unggul/menang,
tak akan termudaratkan oleh orang-orang yang menelantarkannya dan
orang-orang yang menyelisihinya. (Syarhu Ash-Shahih Al-Bukhari, 10/104)
Bila
menatap langit zaman, di setiap kurun, waktu, senantiasa didapati para
pembela al-haq. Mereka adalah bintang gemilang yang memberi petunjuk
arah dalam kehidupan umat. Mereka memancarkan berkas cahaya yang memandu
umat di tengah gelap gulita. Kala muncul bid’ah Khawarij dan Syi’ah,
Allah Subhanahu wa Ta’ala merobohkan makar mereka dengan memunculkan Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Abdullah bin Abbas radhiyallahu
‘anhuma. Begitupun saat Al-Qadariyah hadir, maka Abdullah bin Umar,
Abdullah bin Abbas, dan Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhum dari
kalangan sahabat yang utama melawan pemahaman sesat tersebut. Washil bin
‘Atha’ dengan paham Mu’tazilahnya dipatahkan Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu
Sirin, dan lain-lainnya dari kalangan utama tabi’in. Merebak Syi’ah
Rafidhah, maka Al-Imam Asy-Sya’bi, Al-Imam Syafi’i, dan para imam Ahlus
Sunnah lainnya menghadapi dan menangkal kesesatan Syi’ah Rafidhah. Jahm
bin Shafwan yang mengusung Jahmiyah juga diruntuhkan Al-Imam Malik,
Abdullah bin Mubarak, dan lainnya. Demikian pula tatkala menyebar
pemahaman dan keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk bukan Kalamullah.
Maka, Al-Imam Ahmad bin Hanbal tampil memerangi pemahaman dan keyakinan
sesat tersebut.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memunculkan para pembela risalah-Nya.
Mereka terus berupaya menjaga as-sunnah, agar tidak redup diempas para
ahli bid’ah. Bermunculan para imam, seperti Al-Imam Al-Barbahari,
Al-Imam Ibnu Khuzaimah, Al-Imam Ibnu Baththah, Al-Imam Al-Lalika’i,
Al-Imam Ibnu Mandah, dan lainnya dari kalangan imam Ahlus Sunnah. Lantas
pada kurun berikutnya, ketika muncul bid’ah sufiyah, ahlu kalam dan
filsafat, hadir di tengah umat para imam, seperti Al-Imam Asy-Syathibi,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta murid-muridnya, yaitu Ibnul Qayyim,
Ibnu Abdilhadi, Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi, dan lainnya rahimahumullah.
Sosok
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri bagi sebagian umat Islam bukan
lagi sosok yang asing. Kiprah dakwahnya begitu agung. Pengaruhnya sangat
luas. Kokoh dalam memegang sunnah. Sebab, menurut Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, sesungguhnya tidak ada kebahagiaan bagi para hamba, tidak ada
pula keselamatan di hari kembali nanti (hari kiamat) kecuali dengan
ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
تِلْكَ
حُدُودُ اللهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ
تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ. وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ
يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
“(Hukum-hukum
tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga
yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di
dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisa’: 13-14)
Maka,
ketaatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan poros kebahagiaan
yang seseorang berupaya mengitarinya, juga merupakan tempat kembali
yang selamat yang seseorang tak akan merasa bingung darinya.
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan makhluk dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Sesungguhnya
peribadahan mereka dengan menaati-Nya dan taat terhadap Rasul-Nya.
Tidak ada ibadah kecuali atas sesuatu yang telah Dia (Allah Subhanahu wa
Ta’ala) wajibkan dan sunnahkan dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Selain dari itu, maka yang ada hanyalah kesesatan dari jalan-Nya. Untuk
hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُناَ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan satu amal yang tidak ada dasar perintah kami, maka tertolak.” (Shahih Al-Bukhari no. 2697 dan Shahih Muslim, 1718)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula dalam hadits Al-Irbadh bin
Sariyah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Ahlu Sunan dan dishahihkan
At-Tirmidzi rahimahullahu:
إِنَّهُ
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِـي وَسُنَّةِ الْـخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ
الْـمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيهَا
بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya
kalian akan hidup setelahku, kalian akan mendapati banyak perselisihan.
Maka, pegang teguh sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin yang
mendapat petunjuk setelahku. Pegang teguh sunnah dan gigit dengan
gerahammu. Dan hati-hatilah dari perkara yang diada-adakan, karena
setiap bid’ah itu sesat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2676) [Lihat Majmu’ah Al-Fatawa,1/4]
Itulah
manhaj (cara pandang) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam
menetapi Islam. Cara pandang inilah yang telah hilang dari sebagian kaum
muslimin sehingga terjatuh pada perkara-perkara yang diada-adakan, yang
perkara tersebut tidak dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Perkara tersebut mereka ada-adakan dengan mengatasnamakan Islam.
Padahal Islam sendiri tak mengajarkan semacam itu. Mereka terbelenggu
bid’ah nan menyesatkan.
Kekokohan
memegang teguh prinsip beragama oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu digambarkan oleh Al-Hafizh Al-Mizzi rahimahullahu. Kata
Al-Hafizh Al-Mizzi rahimahullahu, “Aku tak pernah melihat orang yang
seperti beliau. Tidak pula dia melihat orang yang seperti dirinya. Aku
melihat, tidak ada seorangpun yang lebih mengetahui dan sangat kuat
mengikuti Al-Kitab dan sunnah Rasul-Nya dibanding beliau. Pantaslah bila
sosok Syaikhul Islam senantiasa membuat susah para ahlu bid’ah.
Disebutkan Al-Hafizh Ibnu Abdilhadi rahimahullahu, bahwa beliau
rahimahullahu adalah pedang terhunus bagi orang-orang yang menyelisihi
(Al-Kitab dan As-Sunnah). Menyusahkan orang-orang yang mengikuti hawa
nafsu, yang suka mengada-adakan ajaran (baru) dalam agama. (Al-Ushul
Al-Fikriyah Lil-Manahij As-Salafiyah ‘inda Syaikhil Islam, Asy-Syaikh
Khalid bin Abdirrahman Al-‘Ik)
Kecemburuan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu terhadap harkat martabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu besar. Itu bisa
tergambar melalui tulisan beliau rahimahullahu yang berjudul Ash-Sharimu
Al-Maslul ‘ala Syatimi Ar-Rasul (Pedang Terhunus terhadap Orang yang
Mencaci Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Tulisan ini merupakan
sikap ilmiah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam menyikapi
orang yang mencaci-maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mencaci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bukan perkara
ringan. Ini menyangkut nyawa manusia. Sikap tegas, ilmiah, dan selaras
akal sehat ini merupakan bentuk penjagaan beliau rahimahullahu terhadap
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan risalah yang dibawanya.
Bahkan
tatkala beliau dipenjara pun, senantiasa menyebarkan kebaikan kepada
sesama penghuni penjara. Beliau rahimahullahu memberi bimbingan,
melakukan amar ma’ruf, dan mencegah kemungkaran. Dikisahkan Al-Hafizh
Ibnu Abdilhadi rahimahullahu, tatkala beliau masuk tahanan, didapati
para penghuni tahanan sibuk dengan beragam permainan yang sia-sia. Di
antara mereka sibuk dengan main catur, dadu, dan lainnya. Mereka sibuk
dengan permainan tersebut hingga melalaikan shalat. Lantas Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mencegah hal itu secara tegas. Beliau
memerintahkan mereka untuk menetapi shalat. Mengarahkan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap amal shalih. Bertasbih, beristighfar,
dan berdoa. Mengajari mereka tentang sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sesuai yang mereka butuhkan. Beliau rahimahullahu
mendorong mereka untuk suka melakukan amal-amal kebaikan. Sehingga
jadilah tempat tahanan tersebut senantiasa dipenuhi kesibukan dengan
ilmu dan agama. Bilamana tiba waktu pembebasan, para narapidana tersebut
lebih memilih hidup bersama beliau. Banyak dari mereka yang lantas
kembali ke tahanan. Akibatnya, ruang tahanan itu pun penuh. (Al-Ushul
Al-Fikriyah hal. 51)
Demikianlah
kehidupan seorang alim. Keberadaannya senantiasa memberi manfaat kepada
umat. Dia menebar ilmu, menebar cahaya di tengah keterpurukan manusia.
Dia laksana rembulan purnama di tengah bertaburnya bintang gemilang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi perumpamaan keutamaan
antara seorang alim dengan seorang abid (ahli ibadah). Dari Abud Darda’
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَفَضْلُ
الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ
الْكَوَاكِبِ، إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءَ، إِنَّ
الْأَنْبِيَاءَ لَـمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا، إِنَّمَا
وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Dan
keutamaan seorang alim dibanding seorang ahli ibadah, bagai rembulan
atas seluruh bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi.
Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, (tetapi)
mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mampu mengambilnya, berarti dia
telah mengambil keberuntungan yang banyak.” (Sunan At-Tirmidzi, no.
2682, Sunan Abi Dawud no. 3641, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani rahimahullahu menshahihkan hadits ini)
Begitulah seorang alim. Dia laksana rembulan di langit zaman. Wallahu a’lam.
Dikutip dari: http://www.Asysyariah.com, Penulis : Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin, judul: Rembulan di Langit Zaman
0 komentar:
Posting Komentar