Islam
adalah agama universal yang mencakup seluruh ajaran kebaikan. Mulai
dari keyakinan, ucapan maupun perbuatan diterangkan secara lengkap dalam
Islam. Keterangannya baik secara global atau rinci terpampang dengan
jelas dan gamblang. Itulah jalan-jalan keselamatan yang bisa ditempuh
oleh para pemeluk agama ini. Jalan-jalan yang bisa menghantarkan
pelintasnya ke jannah Allah Subhanahu wa ta’ala dan menyelamatkannya
dari adzab neraka. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
قَدْ
جآءَكُمْ مِنَ اللهِ نُوْرٌ وَكِتاَبٌ مُبِيْنٌ. يَهْدِي بِهِ اللهُ مَنِ
اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلاَمِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُماَتِ
إِلىَ النُّوْرِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيْهِمْ إِلىَ صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ
“Sungguh
telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang
menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keridhaan-Nya ke jalan-jalan keselamatan dan Allah
mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya dengan seizin-Nya serta
menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Ma`idah: 15-16)
Jalan
keselamatan boleh berbilang namun kebenaran tetap hanya satu. Karena
setiap jalan keselamatan adalah bagian dari kebenaran yang satu.
Sehingga sebuah jalan tidak dihukumi sebagai jalan keselamatan kecuali
bila nilai kebenaran menjadi muatannya. Jika terjadi perselisihan dan
pertikaian mengenai sebuah jalan keselamatan maka kebenaran itu tetap
berjumlah satu. Kebenaran berada pada salah satu pendapat yang dipegang
oleh salah satu pihak. Tentunya tolak ukur kebenaran itu adalah Al
Qur`an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Allah Subhanahu wa ta’ala
berfirman:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ
“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَنْ
يٌشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ ماَ تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ ماَ تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَساَءَتْ مَصِيْراً
“Dan
barang siapa menentang Rasul sesudah jelas baginya petunjuk, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (shahabat g), Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan
Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)
Lalu Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَماَذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)
Al-Imam
Al-Qurthubi t berkata: “Ayat ini menetapkan bahwa tidak ada kedudukan
ketiga antara al-haq dan al-bathil dalam permasalahan mentauhidkan Allah
Subhanahu wa ta’ala . Maka demikian pula perkaranya dalam
permasalahan-permasalahan yang setara. Yaitu dalam
permasalahan-permasalahan ushul (prinsip), kebenaran berada pada salah
satu pihak.
Barangkali
ada yang mengatakan: “Sesungguhnya dzahir ayat ini menunjukkan bahwa
yang selain (mentauhidkan) Allah adalah kesesatan. Karena permulaan ayat
berbunyi:
فَذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمُ الْحَقٌّ فَماَذاَ بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ
“Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah Rabb kalian yang sebenarnya; sehingga tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)
Lalu kenapa memperluas pendalilan ini (yakni menggunakan ayat ini untuk mengingkari bentuk kesesatan selain kesyirikan -ed)?”
Jawabannya:
Sesungguhnya para pendahulu kita yang baik telah berdalil dengan
keumuman ayat ini terhadap segala kebatilan. Oleh karena itu Al-Imam
Malik t berdalil dengannya dalam mengharamkan permainan catur
sebagaimana pada riwayat Asyhab. Bentuk (pendalilan) itu sebagai
berikut: bahwa kekafiran adalah sesuatu yang menutupi al-haq. Maka semua
yang selain kebenaran berjalan di atas jalur ini.” (Tafsir Al-Qurthubi,
8/336)
Dalam
setiap pertikaian dan perselisihan, kebenaran hanya satu sedangkan yang
selainnya adalah keliru. Bahkan tak jarang mengandung kebatilan dan
kesesatan. Inilah sebab Allah Subhanahu wa ta’ala melarang setiap
perselisihan dan pertikaian. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t pernah
menerangkan: “Ayat-ayat yang melarang setiap perselisihan dalam agama
mengandung celaan terhadapnya. Seluruhnya mempersaksikan dengan nyata
bahwa al-haq di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala hanya satu, sedangkan
yang selainnya merupakan kesalahan. Kalau seandainya semua pendapat itu
adalah benar, niscaya Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya tidak
akan melarang dari kebenaran dan tidak pula akan mencelanya. Sungguh
Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan bahwa perselisihan bukan
dari sisi-Nya. Yang bukan dari sisi Allah Subhanahu wa ta’ala tidak
dianggap sebagai kebenaran. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَوْ كاَنَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلاَفاً كَثِيْراً
“Kalau kiranya Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa`: 82) (Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah, hal. 594)
Dalil-dalil tentang Kebenaran Hanya Satu
Cukup
banyak dalil akurat dari Al Qur`an, As Sunnah dan amalan shahabat yang
menunjukkan bahwa kebenaran dalam setiap permasalahan yang
diperselisihkan hanya satu. Adapun yang selainnya merupakan kesalahan.
Di antara dalil-dalil tersebut:
1. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَأَنَّ
هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْماً فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Dan
bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah dia dan janganlah
kalian mengikuti jalan-jalan yang lain. Karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah
wasiatkan pada kalian agar kalian bertakwa.” (Al-An‘am: 153)
Ibnu Katsir t -ketika menafsirkan ayat ini- berkata: “Firman Allah Subhanahu wa ta’ala :
فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ
“Ikutilah (jalan-Ku) dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain.”
(Di
sini) sungguh Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang jalan-Nya
dengan bentuk kata tunggal karena kebenaran itu hanya satu. Oleh sebab
itu, Allah menyebutkan tentang jalan-jalan yang lain dengan bentuk kata
jamak (banyak). Karena jalan-jalan yang lain terpisah-pisah dan
bercabang-cabang….” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/256)
2. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَدَاوُدَ
وَسُلَيْماَنَ إِذْ يَحْكُماَنِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيْهِ
غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُناَّ لِِحُكْمِهِمْ شاَهِدِيْنَ. فَفَهَّمْناَهاَ
سُلَيْماَنَ وَكُلاًّ آتَيْناَ حِكْماً وَعِلْماً وَسَخَّرْناَ دَاوُدَ
الْجِباَلَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وُكُناَّ فاَعِلِيْنَ
“Dan
(ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman di waktu keduanya memberikan
keputusan mengenai tanaman. Karena tanaman itu dirusak oleh
kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan yang
diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada
Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat). Dan kepada masing-masing
mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu. Dan telah Kami tundukkan
gunung-gunung serta burung-burung. Semuanya bertasbih bersama Dawud. Dan
Kamilah yang melakukannya.” (Al-Anbiya`: 78-79)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan -tentang dua ayat ini- sebagai
berikut: “Kedua nabi yang mulia ini telah sama-sama memberikan keputusan
dalam sebuah kasus yang membutuhkan vonis hukum. Maka Allah Subhanahu
wa ta’ala mengistimewakan salah seorang dari keduanya dengan memahamkan
(kepadanya) duduk permasalahan (yang dihadapi). Bersamaan dengan itu
Allah memuji masing-masing dari keduanya dengan mendatangkan pengetahuan
hukum dan ilmu kepadanya. Demikian pula para ulama yang mujtahid g.
Siapa yang benar dari mereka mendapatkan dua pahala sedangkan yang salah
mendapatkan satu pahala. Masing-masing mereka taat kepada Allah sesuai
dengan kemampuannya. Allah tidak akan memberatkannya dengan sesuatu yang
dia tidak mampu mengilmuinya…” (Majmu’ Al-Fatawa, 33/41)
3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
إِذاَ حَكَمَ الْحاَكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصاَبَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذاَ حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
“Apabila
seorang hakim menghukumi lalu berijtihad maka jika benar dia
mendapatkan dua pahala dan jika salah dia mendapatkan satu pahala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)
Al-Imam
Al-Muzani menandaskan: “Perlu dipertanyakan kepada orang yang
membolehkan perbedaan pendapat dan menyangka bahwa dua orang alim jika
berijtihad pada sebuah kejadian –yang satu berpendapat (halal) sementara
yang lain berpendapat (haram)– masing-masing dari keduanya meraih
kebenaran: Apakah engkau mengatakan ini dengan sebuah sumber (hukum)
atau dengan qiyas? Bila dia menjawab: Dengan sebuah sumber (hukum).
Dipertegas kepadanya: Bagaimana bisa dari sebuah sumber (hukum)
sedangkan Al Qur`an menolak perbedaan pendapat. Bila dia menjawab:
Dengan qiyas. Dipertegas kepadanya: Sumber-sumber (hukum) menolak
perbedaan pendapat dan bagaimana engkau bisa mengqiyas atas
sumber-sumber (hukum) tersebut untuk membolehkan perbedaan pendapat. Ini
merupakan perkara yang tidak bisa diterima oleh orang yang berakal
terlebih lagi oleh seorang yang berilmu.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa
Fadhlihi, karya Ibnu ‘Abdil Barr, 2/89)
4. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
إِنَّ
بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً
وَتَفَرَّقَتْ أُمَّتِي عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي
الناَّرِ إِلاَّ وَاحِدَةً. قَالُوا: وَمَنْ هِيَ، ياَ رَسُوْلَ اللهِ؟
قاَلَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ الْْيَوْمَ وَأَصْحاَبِي
“Sesungguhnya
Bani Israil telah berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan akan
berpecah umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan. Mereka seluruhnya
berada dalam api neraka kecuali golongan yang satu. Para shahabat
bertanya: “Siapa golongan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “(Dia
adalah golongan yang memegang) ajaranku dan (faham) shahabatku pada
hari ini.” (HR. At-Tirmidzi dan selainnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash c)
Dalam
sanad hadits ini terdapat Abdurrahman bin Ziyad Al-Ifriqi. Dia seorang
yang dha’if. Tetapi hadits ini dikuatkan oleh banyak hadits lain yang
semakna. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan dari beberapa orang
shahabat, antara lain:
1. Abu Hurairah
2. Mu’awiyah bin Abi Sufyan
3. Anas bin Malik
4. ‘Auf bin Malik
5. Ibnu Mas‘ud
6. Abu Umamah
7. ‘Ali bin Abi Thalib
8. Sa’ad bin Abi Waqqash
Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala meridhai mereka semua.
Al-Imam
Syathibi t memaparkan: “Sabda beliau “Kecuali golongan yang satu”,
secara nash memberikan penjelasan bahwa kebenaran hanya satu dan tidak
beraneka ragam. Sebab jika seandainya kebenaran menjadi milik berbagai
pihak niscaya beliau tidak akan mengatakan “Kecuali golongan yang
satu”…”. (Al-I’tisham, 2/755)
5. Al-Imam Al-Muzani berkata:
Para
shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam telah berbeda
pendapat. Sebagian mereka menyalahkan yang lainnya. (Sebagian mereka)
melihat kepada pendapat-pendapat yang lain lalu mengomentarinya. Jika
mereka berpandangan bahwa seluruh pendapat mereka (ketika berselisih)
adalah benar, niscaya mereka tidak akan melakukan yang demikian.
‘Umar
bin Al-Khaththab pernah marah karena perselisihan Ubay bin Ka’b z
dengan Abdullah bin Mas’ud mengenai hukum shalat mengenakan sehelai
pakaian. Saat itu Ubay berkata: “Sesungguhnya shalat dengan
mengenakan sehelai pakaian merupakan perkara yang baik lagi bagus.” Ibnu
Mas’ud berkata: “Sungguh yang demikian itu (dibolehkan) bila jumlah
pakaiannya sedikit.” Maka ‘Umar keluar dalam keadaan marah dan berkata:
“Dua orang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yang
dipandang dan diambil pendapatnya telah berselisih. Ubay telah benar dan
Ibnu Mas’ud tidak lalai. Akan tetapi tidaklah aku mendengar seorang pun
berselisih mengenainya setelah (aku meninggalkan) tempatku ini
melainkan aku akan memperlakukannya demikian dan demikian.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/83-84)
Tidak Setiap Mujtahid Benar
Dalil-dalil
di atas dengan tegas mematahkan kesesatan sebagian muslimin yang
berpandangan bahwa setiap mujtahid benar. Sebab pernyataan ini adalah
madzhab Mu’tazilah negeri Bashrah. Merekalah sumber dari kebid’ahan ini.
Mereka berpendapat demikian karena tidak paham tentang makna-makna dan
metode-metode fiqih yang mengantarkan kepada kebenaran serta memisahkan
dari kerancuan-kerancuan yang batil. (Al-Bahru Al-Muhith karya
Az-Zarkasyi, 6/243)
Tidak
ada seorang pun dari para ulama sunnah dan imam-imam Islam yang
menyuarakan bahwa setiap mujtahid benar. Adapun penisbahannya kepada
Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Malik merupakan isapan jempol dan tidak
bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. (Al-Bahru Al-Muhith, 6/242 dan
Shifatush-shalah karya Al-Albani hal.63-64)
Al-Imam Malik t berkata: “Tidaklah
(ada) kebenaran melainkan hanya satu. (Mungkinkah -ed) dua pendapat
yang saling bertentangan keduanya benar? Tidaklah al-haq dan kebenaran
melainkan hanya satu.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/82, 88, 89)
Hal
yang hampir senada diucapkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t
(Majmu’ Al-Fatawa, 33/42), Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t (Mukhtashar
Ash-Shawa’iqil Mursalah, hal. 594), Ibnu Abdil Barr t (Jami’ Bayanil
‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/88), dan para ulama yang lainnya.
Perselisihan Bukan Argumen untuk Mentolerir Suatu Pendapat
Berargumen
dengan perselisihan dan perbedaan pendapat untuk melegitimasi suatu
pemikiran (dari tokoh tertentu) atau madzhab sebagai sebuah kebenaran
merupakan perkara yang tidak benar. Sikap ini tidak memiliki akurasi
hujjah. Sebab Al Qur`an dan As Sunnah tidak mengajarkannya.
Al-Hafidz Abu ‘Umar bin Abdil Barr t berkata: “Perselisihan
bukan hujjah menurut seluruh ahli fiqih umat ini kecuali bagi orang
yang tidak punya mata hati dan pengetahuan. Maka pendapatnya bukan
hujjah.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/229)
Kewajiban
seorang muslim adalah mencari letak kebenaran dalam sebuah perselisihan
dan pertikaian. Tidak semua pendapat mengusung kebenaran. Kebenaran
hanya berada pada salah satu pihak yang berselisih dan bertikai. Ini
adalah pendapat Al-imam Malik, Ahmad dan Asy-Syafi’i rahimahumullah.
(Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah, hal. 594)
Pihak
yang benar adalah yang pendapatnya berlandaskan Al Qur`an dan As Sunnah
beserta pemahaman Salaf. Sebuah kesalahan fatal bila seorang muslim
menganggap suatu perkara dibolehkan dengan alasan (di dalam perkara
tersebut terdapat) perselisihan di kalangan para ulama apalagi yang
selainnya. Ini merupakan kekeliruan terhadap syariat Islam. Namun sangat
disayangkan betapa banyak orang yang terjatuh di dalamnya. Mereka bukan
dari golongan orang awam saja akan tetapi juga melibatkan orang-orang
yang mengaku dirinya berilmu. Sebagian mereka dianggap ulama atau paling
tidak bergelar kyai maupun ustadz. Bahkan tak jarang ahlul bid’ah
berupaya melanggengkan berbagai kebid’ahannya dengan alasan yang
demikian. Wallahul musta’an.
Marilah kita menyimak penuturan ulama berikut ini:
-Al-Imam Asy-Syathibi berkata: “Perkara
ini telah melampaui kadar yang cukup. Sehingga terjadi pembolehan
sebuah perbuatan karena berpegang pada kondisinya yang diperselisihkan
di kalangan para ulama. Pembolehan ini bukan bermakna untuk memelihara
perselisihan, sebab hal ini memiliki sisi pandang yang lain, akan tetapi
tujuannya adalah yang selain itu (yakni tujuannya tidak untuk
memelihara perselisihan -red). Terkadang dalam suatu permasalahan muncul
fatwa yang melarang. Lalu dipertanyakan: “Kenapa engkau melarang?
Padahal permasalahannya diperselisihkan.” Maka perselisihan dijadikan
argumen untuk membolehkan, semata-mata karena permasalahannya
diperselisihkan. Bukan karena dalil yang menyokong kebenaran madzhab
yang membolehkan. Tidak pula karena taqlid kepada orang yang lebih
pantas diikuti daripada orang yang mengatakan larangan. Itulah wujud
kesalahan terhadap syariat, yaitu menjadikan yang bukan pegangan sebagai
pegangan dan yang bukan hujjah sebagai hujjah.” (Tahdzib Al-Muwafaqat, karya Muhammad bin Husain Al-Jizani, hal. 334)
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Siapapun
tidak boleh berhujjah dengan pendapat seseorang dalam
permasalahan-permasalahan yang diperselisihkan. Hujjah itu hanya berupa
nash (Al Qur`an dan As Sunnah), ijma’ dan dalil yang disimpulkan dari
itu (sedangkan) pendahuluannya dikokohkan dengan dalil-dalil syar’i,
tidak dengan pendapat-pendapat sebagian ulama. Karena pendapat-pendapat
ulama perlu diberi hujjah dengan dalil-dalil syar’i, bukan untuk
dijadikan sebagai hujjah atas dalil-dalil syar’i.” (Majmu’ Al-Fatawa, 26/202-203)
Setiap Pendapat Menuntut Dalil
Menuntut
dalil dari setiap pendapat merupakan kewajaran di kalangan pecinta
kebenaran. Tentunya tanpa memandang siapa yang menjadi sasarannya. Sebab
nilai kebenaran terletak pada dalil bukan dalam kebesaran nama
seseorang. Namun tidak berarti tanpa etika dan adab yang layak dalam
melakukannya. Inilah barangkali yang tidak dipahami oleh para pembebek
yang terperosok dalam kubangan pengkultusan tokoh. Acapkali mereka
memegang sebuah pendapat karena yang mengucapkannya adalah seorang yang
punya nama besar tanpa menoleh dalilnya. Terkadang profil yang dimaksud
bukan ulama yang faham agama beserta dalil-dalilnya dengan benar.
Tapi
keharusan berpijak kepada dalil tak bisa digugurkan walaupun pemilik
pendapat adalah seorang ulama dengan kriteria yang hampir mencapai titik
sempurna. Orang yang mempelajari sejarah hidup generasi terbaik umat
ini akan melihat bahwa mereka tak sungkan-sungkan untuk bertanya tentang
dalil sebuah pendapat kepada yang bersangkutan. Berikut beberapa
riwayat dalam masalah ini:
1. Dari Abu Ghalib, ia berkata: Kami bertanya (kepada Abu Umamah ):
أَبِرَأْيِكَ قُلْتَ: هَؤُلاَءِ كِلاَبُ الناَّرِ، أَوْ شَيْءٌ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟
“Apakah
dengan pendapatmu engkau mengatakan: Mereka (Khawarij) adalah
anjing-anjing neraka, atau sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah
إِنِّي
لَجَرِيْءٌ بَلْ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ ثِنْتَيْنِ وَلاَ ثَلاَثٍ
“(Jika
demikian) sungguh aku sangat berani. Akan tetapi aku mendengarnya dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam tidak hanya sekali, dua dan tiga
kali.” Lalu beliau menyebutkan hitungan bilangannya berulang kali. (HR. Ahmad, dengan sanad yang jayyid menurut penilaian Asy-Syaikh Muqbil t, lihat Al-Jami’ush Shahih, 1/199-201)
2. Dari Abu Shalih, ia berkata: Aku mendengar Abu Sa’id Al-Khudri z mengatakan:
الدِّناَرُ بِالدِّناَرِ، وَالدِّرْهَمُ بِالدِّرْهَمِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، فَمَنْ زَادَ – أَوِ ازْدَادَ – فَقَدْ أَرْيَى
“Dinar
dengan dinar, dan dirham dengan dirham (menukar/jual-belinya) dengan
timbangan yang sama (bobotnya). Barangsiapa yang menambahi atau minta
tambahan berarti dia telah berbuat riba.”
Aku
(Abu Shalih) berkata kepadanya (Abu Sa’id): “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas
mengatakan yang selain ini.” Abu Sa’id Al-Khudri menjawab: “Aku telah
bertemu Ibnu ‘Abbas. Aku bertanya: Apakah yang engkau ucapkan ini adalah
sesuatu yang pernah engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam , atau engkau mendapatkannya dalam Kitabullah –k–? Beliau (Ibnu
‘Abbas –red) menjawab: Aku tidak mengatakan semua itu. Kalian lebih
tahu tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam daripada aku. Akan
tetapi Usamah telah memberitakan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam bersabda:
لاَ رِباً إِلاَّ فِي النَّسِيْئَةِ
“Tidak ada riba kecuali (riba) an-nasi`ah.” (HR. Al-Bukhari no. 2178 dan Muslim no. 1596)
3.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan di dalam Manaqib Asy-Syafi’i (86-87):
Al-Imam Ahmad pernah bertanya kepada Al-Imam As-Syafi’i rahimahumallah: “Apa pendapatmu tentang masalah yang demikian dan demikian?” Lalu Al-Imam Asy-Syafi’i menjawab masalahnya. Al-Imam Ahmad berkata: “Dari
mana engkau mengatakan itu? Apakah terdapat padanya sebuah hadits atau
ayat Al Qur`an?” Al-Imam Asy-Syafi’i menjawab: “Ya.” Lantas beliau
mengutarakan sebuah hadits Nabi n mengenai masalah tersebut.” (Zajrul Mutahawin karya Hamd bin Ibrahim hal. 69)
Demikianlah
tuntunan dari pendahulu kita yang baik. Namun sangat disayangkan kini
banyak kalangan mentolerir suatu pendapat karena semata-mata yang
mengucapkannya adalah seorang ulama atau kyai. Mereka tidak bersikap
ilmiah dengan mau melihat dalilnya. Terlebih lagi mau berpikir tentang
akurasi dalil dan pendalilannya. Inilah realita pahit dan memilukan
dalam kehidupan beragama kebanyakan kaum muslimin belakangan ini. Bahkan
penyakit ini berkembang pula di tengah para santri kebanyakan pondok
pesantren di dalam dan luar negeri. Tak kalah serunya tatkala hal serupa
ikut merebak di level para da’i yang sedang bergelut di kancah dakwah
kecuali segelintir orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa ta’ala .
Wallahul musta’an.
Semoga
pembahasan ini mengingatkan kita untuk kembali intropeksi diri dengan
satu pertanyaan: Dari golongan manakah kita dalam memegang pendapat?
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan kita selalu berada
di belakang dalil dalam beragama dan tidak dininabobokan oleh nama besar
sosok-sosok tertentu.
Penutup
Seluruh
pembahasan di atas berlaku secara umum pada segala permasalahan agama
baik ushul (prinsip) maupun furu’ (cabang) tanpa perbedaan. Karena
masing-masing bagian memiliki kekokohan hubungan yang sama erat dengan
norma-norma syari’at. (Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah, hal. 594 dan
Fathul Qadir karya Al-Imam Asy-Syaukani, 1/370)
Adapun
perselisihan yang dimaksud dalam pembahasan di atas yaitu perselisihan
yang mengandung kontradiksi antara dua pendapat atau lebih dan tidak
bisa kompromikan. Yang bisa dikompromikan dengan metode-metode yang
dikenal di kalangan para ulama tidak termasuk dalam cakupannya, karena
tidak masuk dalam kategori perselisihan dengan makna yang sesungguhnya.
Perselisihan ini diistilahkan di kalangan para ulama dengan nama
ikhtilaf tadhadh. Di sana terdapat perselisihan yang berangkat dari
keragaman dalil. Ini pada hakekatnya tidak dapat dikatakan sebagai
perselisihan. Lebih tepat untuk dikatakan sebagai keragaman aturan
syariat Islam dalam masalah tersebut. Perselisihan ini diistilahkan di
kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf tanawwu’.
Dari Ibnu Mas’ud z, beliau berkata:
سَمِعْتُ
رَجَلاً قَرَأَ آيَةً سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقْرَأُ خِلاَفَهاَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَانْطَلَقْتُ بِهِ
إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ لَهُ
ذَلِكَ، فَعَرَفْتُ فِيْ وَجْهِهِ الْكَرَاهَةَ، وَقاَلَ: كِلاَكُماَ
مُحْسِنٌ وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَإِنَّ مَنْ كاَنَ قَبْلَكُم اخْتَلَفُوْا
فَهَلَكُوْا
“Aku
mendengar seseorang membaca satu ayat, padahal aku mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam membaca berbeda dengan bacaannya. Maka aku
memegang tangannya dan membawanya menemui Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam , lalu aku laporkan perkara itu kepada beliau. Aku
melihat rasa tidak suka pada wajah beliau dan beliau bersabda: Kalian
berdua telah benar dan janganlah berselisih, karena orang-orang sebelum
kalian berselisih sehingga mereka binasa.” (HR. Al-Bukhari no. 2410)
Demikianlah
yang dapat kami tuliskan di sini. semoga bermanfaat bagi penulis dan
pembaca. Yang benar datangnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala , sedangkan
yang salah datangnya dari kami dan setan. Karenanya kami mohon ampun
kepada Allah Subhanahu wa ta’ala .Wallahu a’lam.
Sumber
bacaan: -Al Qur`an, -Tafsir Ibnu Katsir, -Mukhtashar Ash-Shawa’iqil
Mursalah karya Muhammad Al-Mushili, -Al-I’tisham karya Asy-Syathibi
tahqiq Salim Al-Hilali, -Shifat Shalat Nabi karya Asy-Syaikh Al-Albani
,-Zajrul Mutahawin karya Hamd bin Ibrahim Al-Utsman,- Tahdzib
Al-Muwafaqat karya Muhammad bin Husain Al-Jizani
Dikutip dari http://www.asysyariah.com, Penulis : Penulis : Al-Ustadz Abdul Mu’thi Al-Medani , Judul: Jalan Kebenaran Hanya Satu
Diarsipkan pada: http://qurandansunnah.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar