-->

27 Agustus 2012

10 Faedah Tentang Kitab



Oleh:Al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi hafidzahullah

I. MENULIS KITAB, AMALAN UTAMA

Al-Hafizh Ibnu Jama’ah al-Kinani asy-Syafi’i mengatakan: “Termasuk adab seorang alim adalah menyibukkan diri dengan menulis bila telah memiliki keahlian, karena menulis dapat memperluas wacana ilmiyahnya tentang berbagai bidang ilmu dan menelaah kitab-kitab ulama.

Dan hendaknya bagi seorang yang ingin mengarang karya tulis untuk memilih suatu pembahasan yang manfaatnya besar dan sangat di butuhkan oleh manusia, lebih baik lagi bila pembahasan tersebut belum pernah dibahas sebelumnya, dengan memilih kata-kata yang jelas, tidak terlalu panjang sehingga membosankan dan tidak juga terlalu ringkas sehingga”.[1]

Alangkah bagusnya ucapan seorang penyair:

كَتَبْتُ وَقَدْ أَيْقَنْتُ يَوْمَ كِتَابَتِيْ بِأَنَّ يَدِيْ تَفْنَى وَيَبْقَى كِتَابُهُ
وَ أَعْلَمُ أَنَّ اللهَ لاَبُدَّ سَائِلِيْ فَيَا لَيْتَ شِعْرِيْ مَا يَكُوْنُ جَوَابُهُ

Ketika saya menulis saya yakin
Bahwa tanganku akan binasa dan tulisanku kekal
Dan saya tahu bahwa Allah pasti menanyakanku
Aduhai, apa nanti jawabannya?[2]

II. SEMANGAT MEMBACA DAN MENULIS KITAB

Al-Imam Al-Muzani membaca kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i sebanyak lima puluh kali. [3]
Abdullah bin Muhammad membaca kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah sebanyak dua puluh tiga kali.[4]

Ibnul Jahm apabila dia mengantuk pada selain waktu tidur, maka dia mengusir ngantuknya dengan membaca kitab-kitab hikmah sehingga ngantuknya hilang.[5]

Ibnu Tabban membaca kitab sepanjang malam. Ibunya pernah melarang dan menyuruhnya tidur, maka dia menyembunyikan sebuah lampu, apabila ibunya tidur dia menyalakan lampu dan meneruskan untuk membaca.[6]

Muhammad bin Ahmad bin Qudamah menulis dengan tangannya beberapa kitab yang banyak sekali, di antaranya Tafsir Al-Baghowi, Al-Mughni, Hilyah Abu Nu’aim, Al-Ibanah Ibnu Baththoh, dan Al-Khiroqi serta mushaf dengan jumlah yang banyak.[7]

Imam Ismail al-Jurjani menulis setiap malam sembilan puluh lembar kertas dengan tulisan yang bagus dan hati-hati.[8]

III. TAFSIR JALALAIN

Sebagian ulama Yaman berkata: “Saya menghitung huruf-huruf Al-Qur’an dan Tafsir al-Jalalain, ternyata saya mendapatinya sama hingga sampai surat Al-Muzammil. Dan mulai surat al-Mudatsir tafsir lebih banyak daripada Al-Qur’an. Dari sini, maka boleh membawa Tafsir Al-Jalalain tanpa wudhu”. [9]

IV. KITAB BUKAN BANTAL

Nuaim bin Naim pernah berkata: Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya: “Apakah seorang boleh meletakkan kitab di bawah kepalanya?” Beliau bertanya: “Kitap apa?” Penanya menjawab: “Kitab hadits.” Imam Ahmad berkata: “Kalau memang dia khawatir untuk dicuri maka boleh, adapun menjadikannya sebagai bantal maka tidak boleh”.[10]

V. MEWASPADAI KITAB-KITAB BID’AH

Imam Abu Zur’ah pernah ditanya tentang Harits al-Muhasibi dan kitab-kitabnya, maka beliau berkata kepada penanya: “Waspadalah dirimu dari kitab-kitab ini! Ini adalah kitab-kitab bid’ah dan sesat, peganglah hadits”. Dikatakan padanya: “Dalam kitab-kitab ini terdapat pelajaran”. Dia menjawab: “Barangsiapa yang baginya Al-Qur’an tidak ada pelajaran, maka tidak ada pelajaran baginya juga dalam kitab-kitab ini“. Kemudian dia berkata: “Alangkah cepatnya manusia menuju kepada bid’ah”.[11]

Aduhai, alangkah miripnya hari ini dengan kemarin! Lantas, bagaimanakah kiranya, bila Imam Abu Zur’ah mendapati kitab-kitab pada zaman sekarang yang berisi penyimpangan dan kesesatan seperti kitab-kitab Sayyid Quthub, An-Nabhani, Al-Ghozali, Al-Qorodhawi, al-Kautsari, As-Saqqof, al-Buthi, Muhammad Surur dan kitab-kitab pergerakan lainnya.[12]

VI. WALIMAH KITAB FATHUL BARI

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani mengarang kitab Fathul Bari Syarh Shohih Bukhori selama seperempat abad lebih, beliau memulai pada awal tahun 817 H dan selesai pada awal Rojab tahun 842 H, belum lagi tambahan-tambahan yang beliau cantumkan setelah itu sehingga selesai sebelum wafatnya pada tahun 852 H.

Beliau menempuh metode menakjubkan dalam mengarang kitabnya. Awalnya melalui imla’ selama lima tahun, kemudian beberapa muridnya yang cerdas berkumpul dan mengusulkan agar dibukukan syarahnya tersebut. Akhirnya, beliapun menulis dengan tangannya sendiri sedikit demi sedikit, sehingga kitabnya telah dikoreksi dan diteliti secara jeli.

Tatkala selesai karya syarah Bukhori tersebut, Al-Hafizh Ibnu Hajar mengadakan sebuah walimah besar-besaran pada hari Sabtu 8 Sya’ban tahun 842 H. Dalam acara tersebut, dibacakan majlis akhir dari Fathul Bari dan walimah itu dihadiri oleh pembesar ulama, tokoh, penuntut ilmu dan kaum muslimin.

Al-Biqo’i menyebutkan bahwa orang-orang pasar baik kaum laki-laki maupun wanita keluar untuk rekreasi. Lanjutnya: “Sampai-sampai saya mengira bahwa tidak ada seorang tokoh pun di Mesir kecuali hadir dalam walimah tersebut. Hari itu adalah hari yang istimewa, belum ada sepertinya di zaman itu. Pada kesempatan tersebut, dilantunkan syair-syair indah berisi pujian kepada penulis dan kitabnya, Fathul Bari dijual dengan harga tiga ratus dinar.[13]

VII. MAHAR KITAB

Abu Bakar Al-Kasyani adalah seorang tokoh ulama yang beruntung, dia berguru kepada Imam Abu Bakar As-Samaragandi sekaligus menikah dengan putrinya yang terkenal pintar dan ahli ibadah. Tahukah anda sebab pernikahannya?! Al-kisah, Fathimah adalah seorang wanita yang cantik jelita dan pandai sekali, dia hafal kitab karya ayahandanya At-Tuhfah fi Al-Fiqih, banyak para raja yang hendak meminangnya, tetapi sang ayah tidak merestuinya.

Tatkala Al-Kasyani datang belajar kepadanya dan nampak kepandaiannya dalam bidang fiqih sehingga dia mengarang kitab Al-Bada’i sebagai penjelasan dari kitab At-Tuhfah fil Fiqih. Tatkala dia menyodorkan kepada sang guru, karuan aja sang guru sangat bergembira lalu menikahkannya dengan putrinya serta menjadikan maharnya adalah kitab tersebut. Oleh karena itu, para fuqoha’ pada masanya mengatakan: “Dia mensyarah (menulis penjelasan) kitab Tuhfah-nya dan mendapatkan putrinya”.[14]

Dikisahkan juga bahwa apabila Al-Kasyani salah, maka istrinya yang menegur dan meluruskannya. Fatwa yang keluar ditanda tangani olehnya dan ayahnya. Tatkala sudah menikah dengan Al-Kasyani, maka ditanda tangani olehnya, ayahnya dan suaminya.[15]

VIII. BAGAIMANA MENELAAH KITAB?

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Menelaah kitab terbagi menjadi dua macam:
  • Pertama: Menalaah dengan tadabbur (memahami dan menghayati). Hal ini perlu hati-hati dan tidak tergesa-gesa.
  • Kedua: Hanya sekedar menelaah saja dengan membaca isi kitab dan pembahasan yang terdapat di dalamnya. Hal ini cukup dengan tela’ah sekilas. Dan cara yang paling utama dalam membaca kitab adalah memahami dan menghayati makna-makna yang terkandung serta meminta bantuan kepada yang mengerti agar dapat memahaminya”.[16]

IX. PERPUSTAKAAN KITAB BUKAN DEKOR

Hendaknya bagi kita untuk memiliki sebuah perpustakaan yang berisi kitab-kitab penting yang sangat kita butuhkan. Namun, jangan jadikan perpustakaan kita hanya sekedar sebagai pajangan belaka, tetapi jadikan tujuan kita untuk mengambil faedah dari kitab-kitab tersebut dengan membaca dan menelaahnya.

Sungguh, betapa banyak orang yang memiliki sebuah perpustakaan yang berisi ratusan dan ribuan kitab tetapi dia tidak mengerti tentang isi kitabnya sendiri!!! Ada seorang ulama pernah mengunjungi perpustakan model seperti ini, tetapi setelah dia mengetes pemiliknya ternyata dia tidak pernah membaca dan menelaah kitab-kitabnya sendiri, maka sang alim-pun menyindirnya: “Kitab-kitabmu banyak sekali tetapi airmu sedikit sekali”!!!

Al-Hafizh As-Sakhowi menceritakan bahwa ada seseorang pernah datang kepada Al-Hafizh Al-’Iraqi, memprotesnya tatkala beliau menghukumi suatu hadits dengan palsu padahal hadits tersebut tercantumkan dalam kitab-kitab hadits!! Al-Hafizh Al-’Iraqi akhirnya meminta kepadanya untuk menghadirkan kitab tersebut untuk dikoreksi. Lelaki itupun pergi untuk mengambil kitabnya, ternyata kitab yang dibawanya adalah kitab yang khusus mencantumkan hadits-hadits palsu yaitu Al-Mau’dhu’at oleh Ibnul Jauzi.[17]

X. BEROBAT DENGAN MEMBAKAR KITAB

Dalam biografi Imam Ash-Shon’ani diceritakan bahwa suatu saat beliau pernah terkena mencret, keluarganya telah berusaha mencarikan obat untuknya tetapi belum membuahkan hasil. Tiba-tiba beliau diberi dua kitab yaitu Al-Insan Al-Kamil oleh Abdul Qodir al-Jili dan Al-Madhmun Bihi Ala Ahlihi karya Al-Ghozali.

Ash-Shon’ani berkata: “Saya yakin kitab ini bukan karyanya tetapi dusta”. Lanjutnya: “Kemudian saya menelaah dua kitab tersebut, ternyata saya mendapati kekufuran yang amat nyata, maka saya perintahkan agar dua kitab tersebut dibakar lalu apinya digunakan untuk membuat roti untukku. Beliaupun kemudian memakan roti tersebut dengan niat kesembuhan. Setelah itu, beliau tidak pernah sakit sedikitpun.[18]

Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
www.abiubaidah.com

Catatan Kaki:
[1] Tadzkirotus Sami’ wal Mutakallim hlm. 54.
[2] Al-Ghurar ‘Ala Thurar 2/246, Muhammad Khair Ramadhan Yusuf.
[3] Lihat Muqoddimah Ar-Risalah hlm. 4.
[4] Dzail Thobaqot Hanabilah 2/411.
[5] Al-Hayawan al-Jahizh 1/53.
[6] Tartibul Madarik Al-Qodhi Iyadh 1/78.
[7] Dzail Thobaqot Hanabilah 2/53.
[8] Siyar A’lam Nubala’ 13/54.
[9] Kasyfu Zhunun ‘an Asamil Kutub wal Funun 1/308.
[10] Thobaqotul Hanabilah 1/391.
[11] Tarikh Baghdad 8/218.
[12] Bayanu Manhaj Salaf fii Mua’malati Ahlil Bida’ wal Ahwa’ hlm. 144 karya Salim bin Ied al-Hilali.
[13] Manhaj Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani fil Aqidah hlm. 102-103 oleh Muhammad Ishaq Kandu.
[14] Thobaqotul Fuqoha’ hlm. 102,
[15] Al-Fawaid Al-Bahiyyah hlm. 158, dinukil dari Huququl Mar’ah hlm. 280 oleh DR. Nawwal binti Abdul Aziz.
[16] Kitabul Ilmi hlm. 89.
[17] Fathul Mughits 1/294. Lihat pula Min Buthunil Kutub 1/17 oleh Yusuf al-’Atiq dan Ma’alim fi Thoriq Tholabil Ilmi hlm. 179 oleh Abdul Aziz As-Sadhan.
[18] Kutub Hadzaro Minha Ulama 1/45 oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.