Oleh Ustadz Badrusalam, Lc.
Gegabah dalam memvonis sebagai negara kafir
seringkali membawa sikap yang merugikan islam, sehingga konskwensinya
adalah munculnya pemberontakan dan huru hara, dan yang menjadi korban
adalah rakyat jelata yang tak berdosa.
Ketahuilah saudaraku, berhukum dengan selain hukum islam adalah dosa
besar yang mendatangkan kemurkaan Allah dan adzabnya, namun tidak
setiap yang berhukum dengan hukum selain islam itu dikafirkan kecuali
apabila disertai istihlal (meyakini bahwa Allah menghalalkan berhukum
dengan selain hukum islam) atau juchud (mengingkari kewajiban berhukum
dengan hukum Allah), atau ‘ienad (menentang disertai dengan sombong dan
melecehkan).
Adapun apabila ia berhukum dengan selain hukum islam dalam keadaan
ia meyakini haramnya perbuatan tersebut tidak dikafirkan sebagaimana
yang dikatakan oleh Syaikhul islam terdahulu,”Sesungguhnya seorang
hamba apabila melakukan dosa disertai keyakinan bahwa Allah telah
mengharamkannya dan meyakini bahwa ketundukan hanya kepada Allah dalam
apa yang Dia haramkan dan mewajibkan untuk tunduk kepadanya, maka orang
seperti ini tidak dihukumi kafir.”[1]
Dan ini adalah pendapat yang dipegang oleh para ulama islam dari
zaman ke zaman kecuali kaum khawarij yang di zaman sekarang ini
membawakan perkataan-perkataan para ulama yang bersifat global untuk
membela pendapat mereka. Berikut ini saya bawakan sebagian perkataan
para ulama islam.
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan firman Allah “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka ia kafir.” (QS Al Maidah : 44) beliau berkata,”Barang siapa yang juchud
kepada apa yang Allah turunkan maka ia telah kafir, dan barang siapa
yang menetapkan (kewajibannya) namun ia tidak berhukum dengannya maka
ia dzalim dan fasiq.”[2]
Dan dalam riwayat Thawus, ibnu Abbas berkata,”Sesungguhnya ia bukan
kufur seperti yang mereka (kaum khowarij) fahami, ia kufur yang tidak
mengeluarkan dari millah, kufur dibawah kufur.”[3]
Al Qurthubi berkata,” ibnu Mas’ud dan Al Hasan berkata,” ayat ini
umum untuk setiap orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah
turunkan yaitu yang meyakini (tidak wajibnya) dan menganggap halal
(berhukum dengan selain hukum Allah).”[4]
Mujahid berkata,” Barang siapa yang meninggalkan berhukum dengan apa yang Allah turunkan karena menolak[5] kitabullah maka ia kafir dzalim fasiq.”[6]
‘Ikrimah berkata,” Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan karena juchud
kepadanya maka ia kafir, dan barang siapa yang menetapkan (kewajiban
berhukum dengannya) namun ia tidak berhukum dengannya maka ia zalim
fasiq.”[7]
Syaikh para mufassir Abu ja’far Ath Thobari berkata,” Sesungguhnya
Allah ta’ala menjadikan ayat itu umum untuk orang yang juchud
(mengingkari) hukum Allah, Allah mengabarkan bahwa mereka menjadi kafir
karena meninggalkan berhukum (dengan hukum Allah) sesuai keadaan
ketika mereka meninggalkannya (yaitu juchud), demikian pula setiap
orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan karena juchud
maka ia kafir kepada Allah sebagaimana yang dikatakan oleh ibnu ‘Abbas,
karena juchudnya kepada hukum Allah setelah ia mengetahui bahwa itu
termasuk apa yang Allah turunkan sama dengan juchudnya kepada kenabian
nabi-Nya setelah ia mengetahui bahwa ia adalah Nabi.”[8]
Abul ‘Abbas Al Qurthubi berkata,” Firman Allah “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka ia kafir”.
Sebagian orang berhujjah dengan lahiriyah ayat ini untuk
mengkafirkanorang yang berbuat dosa (besar), mereka adalah kaum
khowarij. Padahal sama sekali bukan hujjah untuk mereka, karena ayat
ini turun mengenai orang-orang Yahudi yang merubah-rubah kalam Allah
sebagaimana tertera dalam hadits, mereka adalah orang-orang kafir, maka
hukumnya sama dengan orang yang menyerupai sabab turunnya ayat
tersebut. Penjelasan adalah sebagai berikut :
Seorang muslim apabila mengetahui hukum Allah secara pasti dalam
suatu perkara[9] kemudian ia tidak berhukum dengannya, jika perbuatan
tersebut berasal dari juchud, ia menjadi kafir tanpa ada perselisihan.
Dan jika bukan karena juchud, ia dianggap berbuat maksiat melakukan
dosa besar, karena ia membenarkan asal hukum tersebut dan mengetahui
kewajiban berhukum dengannya, akan tetapi ia berbuat maksiat dengan
meninggalkan perbuatan tersebut, demikian pula setiap hukum yang
diketahui secara pasti sebagai hukum syari’at seperti sholat dan
lain-lain dari kaidah-kaidah yang telah diketahui, dan ini adalah
madzhab Ahlussunnah…
Maksud pembahasan ini adalah bahwa yang dimaksud ayat-ayat ini
adalah ahli kufur dan ‘ienad, dan ayat tersebut walaupun lafadznya
berbentuk umum, namun keluar darinya kaum muslimin, karena meninggalkan
berhukum disertai keimanan kepada asal hukumnya adalah dibawah
kesyirikan, sedangkan Allah berfirman :
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ.
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni untuk dipersekutukan dan
mengampuni dosa yang lebih rendah dari syirik bagi siapa yang Dia
kehendaki.” (An Nisaa : 48).
Dan meninggalkan berhukum dengan (hukum Allah) tidak termasuk syirik dengan kesepakatan ulama,
dan bisa diampuni, sedangkan kufur itu tidak bisa diampuni (jika ia
mati diatasnya. Pen), sehingga meninggalkan berhukum itu bukan kufur
(yang mengeluarkan pelakunya dari islam.pen).”[10]
Abu Abdillah Al Qurthubi berkata,” artinya (ia kafir) karena
meyakini (tidak wajibnya) dan menganggapnya halal, adapun orang yang
tidak berhukum (dengan hukum Allah) sementara ia meyakini bahwa dirinya
telah melakukan keharaman maka ia termasuk muslimyang fasiq, dan
urusannya diserahkan kepada Allah Ta’ala, jika berkehendak Allah akan
adzab dan jika tidak Allah akan ampuni.”[11]
Syaikhul islam ibnu taimiyah berkata,”Mereka itu apabila mengetahui
bahwa tidak boleh berhukum kecuali dengan apa yang llah turunkan namun
mereka tidak beriltizam dengannya, bahkan meyakini halal berhukum
dengan selain apa yang Allah turunkan maka mereka kafir dan jika tidak demikian maka mereka adalah orang-orang bodoh (yang tidak kafir).”[12]
Ibnu Qayyim Al jauziyyah berkata,” Yang shahih bahwa berhukum dengan
selain apa yang Allah turunkan mencakup dua kufur : kufur besar dan
kecil sesuai dengan keadaan hakim tersebut, jika ia meyakini wajibnya
berhukum dengan apa yang Allah turunkan dalam kejadian ini, dan ia
menyimpang darinya dan berbuat maksiat disertai pengakuannya bahwa ia
berhak mendapatkan adzab, maka ini adalah kufur ashgor (kecil), dan
jika ia meyakini bahwa berhukum dengan hukum Allah itu tidak wajib dan
bahwa ia diberi kebebasan padanya, disertai keyakinan bahwa itu adalah
hukum Allah maka ini kufur akbar, jika ia tidak tahu atau salah maka ia
dihukumi sebagai orang yang beralah (tidak kafir).”[13]
Ibnu Katsir berkata,” (Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka ia kafir) karena mereka juchud kepada hukum Allah, ‘ienad dan sengaja.” [14]
Syaikh Al ‘Allamah Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata,”
Barang siapa yang berhukum dengannya (yaitu undang-undang buatan
manusia) dengan keyakinan bolehnya berbuat itu maka ia kafir keluar
dari millah, dan jika ia melakukan itu dengan tanpa keyakinan tadi maka
ia kafir kufur amali yang tidak mengeluarkannya dari millah.”[15]
Dan ulama-ulama lainnya seperti ibnu daqiq Al ‘ied, ibnul jauzi, Al
Baidlawi, Abu Su’ud, Al Jashshosh, dan lain-lain bahkan Abul ‘Abbas Al
Qurthubi menyatakan bahwa ini adalah kesepakatan para ulama ahlussunnah
sebagaimana telah kita sebutkan tadi.
Perselisihan ulama mengenai negara islam kapan menjadi negara kafir.
Bila kita telah mengetahui bahwa tidak semua yang berhukum dengan
hukum islam kafir keluar dri islam, namun disesuaikan dengan
keadaannya, maka ketahuilah sesungguhnya kaum muslimin berbeda pendapat
mengenai negara islam kapan menjadi negara kafir menjadi lima pendapat
:
Pertama : bahwa negeri islam tidak akan menjadi nergeri kafir secara
mutlak, ini adlah pendapat ibnu hajar Al Haitami dan beliau
menisbatkannya kepada Asy Syafi’iyyah.
Kedua : Negeri islam menjadi negeri kafir dengan diperbuatnya
dosa-dosa besar, ini adalah pendapat kaum khowarij dan mu’tazilah.
Ketiga : negeri islam tidak berubah menjadi negeri kafir dengan
sebatas dikuasai orang kafir, namun sampai syi’ar-syi’ar islam terputus
sama sekali. Ini adalah pendapat Ad Dasuki Al maliki.
Keempat : Negeri islam berubah menjadi negeri kafir dengan dikuasai
oleh orang kafir secara sempurna. Ini adalah pendapat Abu hanifah.
Kelima : Negeri islam berubah menjadi negeri kafir apabila dikuasai
oleh orang-orang kafir dimana mereka menampakkan hukum-hukumnya, dan
ini pendapat Abu Yusuf dan Muhammad bin Al hasan.[16]
Pendapat terakhir ini yang rajih dan paling kuat, berdasarkan
beberapa dalil diantaranya hadits ketika Rosulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengirim pasukan beliau besabda :
… ادْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ
وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحّوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ
إِلىَ دَارِ الْمُهَاجِرِيْنَ.
“…dakwahilah mereka kepada islam, jika mereka menjawab maka
terimalah mereka dan tahanlah dari mereka kemudian serulah agar hijrah
ke negeri muhajirin…” (HR Muslim no 1731).
Disini Rosulullah menyebutnya sebagai negeri muhajirin karena mereka
yang menguasai negeri tersebut, maka negeri islam adalah yang dikuasai
oleh kaum muslim dimana mereka mampu menampakkan syi’ar-syi’ar islam
yang besar seperti melaksanakan sholat jum’at, ‘ied, puasa ramadlan,
haji, dikumandangkannya adzan secara bebas dan lain-lain. Dan negeri
kafir adalah sebaliknya.
Syaikhul islam ibnu Taimiyah memberikan batasan syari’at mengenai
ini, beliau berkata,”Suatu negeri disebut negeri kafir atau negeri iman
atau negeri fasiq bukanlah sifat yang tetap namun ia bersifat relatif
sesuai dengan keadaan penduduknya.”[17]
Beliau juga berkata,”Negeri itu berubah-ubah hukumnya sesuai dengan
keadaan penduduknya, terkadang suatu negeri menjadi negeri kafir bila
penduduknya kafir, kemudian menjadi negeri islam bila penduduknya masuk
islam sebagaimana keadaan Makkah yang tadinya negeri kafir.”[18]
Dalam hadits Anas ia berkata,” Adalah Rosulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menyerang apabila tiba waktu adzan, bila terdengar suara
adzan maka beliau menahan dan jika tidak beliau menyerang.” (HR Bukhari
dan Muslim).[19]
Hadits ini adalah dalil yang tegas bahwa adanya sebagian hukum-hukum
islam yang tampak, dapat dijadikan tanda sebagai negeri islam karena
ia menunjukkan siapa yang menguasai negeri tersebut.
Bila ada yang berkata,” lalu bagaimana di zaman sekarang ini di
Amerika, dan negara-negara kuffar lainnya yang dikumandangkan padanya
adzan, apakah menjadi negara islam ?” jawabnya tentu tidak karena
penduduk disana mayoritas orang-orang kafir dan merekalah yang
menguasainya dan dikumandangkannya adzan disana tidak secara bebas
tidak seperti di negeri-negeri islam.”
Fatwa syaikhul islam mengenai negeri maridin.
Negeri maridin adalah negeri islam yang dikuasai oleh orang kafir
namun mereka membiarkan kaum muslimin memperlihatkan syi’ar-syi’ar
agama islam di sana seperti sebuah negeri islam yang terkenal di Turki
dan dikuasai oleh Al Aratiqah selama tiga abad kemudian dikuasai oleh
Tartar namun mereka membiarkan kaum muslimin dihukumi oleh Al Aratiqah.
Syaikhul islam berkata mengenai negeri tersebut,” Adapun apakah
negeri mereka itu negeri perang (kafir) atau negeri islam maka ia
terdiri dari dua makna, tidak sama dengan negeri islam yang berjalan
padanya hukum-hukum islam, tidak pula sama dengan negeri kafir yang
penduduknya orang-orang kafir, namun ia adalah macam yang ketiga dimana
orang islam di dalamnya di perlakukan sesuai dengan porsinya, dan
orang yang keluar dari syari’at islam diperangi sesuai dengan porsinya
juga.”[20]
Syaikhul islam tidak mengkafirkan pemerintah negeri maridin tidak
juga tentaranya padahal mereka memberikan loyalitas kepada orang-orang
kafir dan menolong mereka atas kaum muslimin, karena belum terwujudnya
illat (alasan) hukum untuk dikafirkan yaitu ridla kepada agama
orang-orang kafir itu dan membela mereka karena agama tersebut, dan ini
sama keadaannya dengan kisah Hathib bin Abi Balta’ah yang telah kita
sebutkan.
Maka cobalah renungkan perkataan-perkataan ulama islam tersebut,
mereka sangat berhati-hati untuk memvonis kafir, tidak ada yang berani
dan tergesa-gesa kecuali mereka yang sedikit ilmu dan wara’nya. Semoga
Allah menunjuki kita kepada jalan kebenaran dan memberi taufiq kepada
pemerintah kita untuk berpegang kepada syari’at islam yang mulia ini,
Amin.
[1] Ibnu Taimiyah, Ash Sharimul maslul hal 521. [2] Dikeluarkan oleh ibnu Jarir dalam tafsirnya 4/333 cet. Dar ibnu Hazm. Periwayatan Ali bin AbiThalhah dari ibnu Abbas adalah riwayat yang shahih, walaupun Ali tidak mendengar dari ibnu ‘Abbas, akan tetapi perantaranya telah diketahui yaitu Mujahid dan Ikrimah yang keduanya adalah imam yang tsiqah.
[3] HR Al Hakim dalam mustadrok no 3219 tahqiq Abdul Qadir ‘Atho, Al Hakim berkata “Shahih” dan disetujui oleh imam Adz Dzahabi. Qultu : hadits ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Albani rahimahullah, semua perawinya tsiqah kecuali Hisyam bin Hujair, ibnu Hajar berkata,” Shoduq lahu auhaam”. Sehingga sanad atsar ini hasan, tetapi ia tidak bersendirian namun dimutaba’ah oleh Abdullah bin Thawus dari ayahnya dari ibnu ‘Abbas sebagaimana yang dikeluarkan oleh ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya, dan Abdullah bin Thawus dikatakan oleh ibnu Hajar,” Tsiqah.” Sehingga atsar ini menjadi shahih, bagaimana jadinya bila digabungkan lagi dengan jalan Ali bin Abi Thalhah di atas, tentu menjadi semakin shahih. Maka sungguh sangat aneh bila riwayat ini berusaha dilemahkan oleh sebagian khowarij di zaman ini, selain ia bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan ulama) untuk menshahihkan atsar ini. Demikianlah bila orang bodoh berbicara, akan melahirkan keajaiban dunia !!
[4] Al jami’ liahkamil qur’an 6/190.
[5] Kata “menolak” disini maknanya adalah ‘ienad.
[6] Mukhtashor tafsir Al Khozin 1/310.
[7] Ibid.
[8] ibnu Jarir dalam tafsirnya 4/334.
[9] Perkataan beliau ini membantah orang yang berkata bahwa maksud kufur duuna kufrin adalah untuk hakim yang tidak berhukum dalam satu atau dua kejadian namun ia tetap berhukum dengan hukum Allah. dan perkataan para ulama tidak membedakan apakah dalam satu kejadian atau seratus kejadian, bahkan pendapat tadi menjerumuskan kepada aqidah murji’ah yang mengatakan bahwa maksiat tidak mempengaruhi kesempurnaan iman, karena apabila seorang hakim berhukum dengan semua hukum islam kecuali dalam satu kejadian karena juchud dan ‘ienad maka ia kafir dengan ijma’ ulama. Dan apabila ia berhukum dengan selain apa yang llahturunkan bukan karena juchud tidak pula ‘ienad dan istihlal, ia meyakini wajibnya berhukum dengan hukum Allah dan ia mengakui bahwa ia berhak mendapatkan adzab, maka orang ini menjadi fasiq dan tidak kafir walaupun dalam banyak kejadian dengan ijma’ ulama juga.
[10] Al Mufhim 5/117-118.
[11] Al jami’ liahkamil qur’an 6/190.
[12] Minhajussunnah 5/130.
[13] Madarijussalikin 1/337.
[14] Tafsir ibnu Katsir 3/87 tahqiq Hani Al haj.
[15] Majmu’ fatawa 1/80.
[16] Lihat kitab fiqih siyasah syar’iyyah karya Dr Khalid bin Ali bin Muhammad.
[17] Majmu’ fatawa ibnu taimiyah 18/287.
[18] Majmu fatawa ibnu taimiyah 27/144.
[19] Bukhari no 610 dan Muslim no 1365.
[20] Majmu’ fatawa ibnu Taimiyah 28/241.
Disalin dari http://abuyahyabadrusalam.com
0 komentar:
Posting Komentar