-->

27 Agustus 2012

Bahaya Berteman Dengan Ahlul Bid’ah

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak)

Diantara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah tidak bermajelis dan tidak berteman dengan ahlul bid’ah (orang yang gemar melakukan amalan yang tidak diajarkan Rasulullah n).
Jiwa setiap insan telah diciptakan dalam keadaan lemah. Allah l berfirman:
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (An-Nisa’: 28)
Oleh karena itu, Allah l dengan rahmat-Nya membimbing hamba-hamba-Nya kepada perkara yang bisa membantu menjaga agama mereka, berupa berteman dengan orang-orang baik dan shalih. Allah l berfirman:
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini.” (Al-Kahfi: 28)
Ibnu Katsir t berkata: “Yakni duduklah bersama hamba-hamba Allah l yang berdzikir, membaca kalimat tauhid, bertahmid, bertasbih, dan bertakbir serta meminta kepada Allah l pagi dan petang. Baik mereka orang fakir, kaya, ataupun lemah.”
Demikian juga, Allah l melarang dan memperingatkan kita agar tidak berteman atau duduk bersama orang-orang yang jelek agamanya. Allah l berfirman:
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am: 68)
Orang yang paling besar mudharatnya jika dijadikan teman adalah ahlul bid’ah (lihat keterangan tentang ahlul bid’ah pada catatan kaki rubrik Manhaji, red.). Mudharat yang terjadi akibat berteman, bergaul, dan bermajelis dengan mereka lebih besar daripada mudharat yang terjadi karena bergaul dengan pelaku maksiat yang masih Ahlus Sunnah.
Oleh karena itu, telah masyhur dalam kitab-kitab ulama Ahlus Sunnah tentang peringatan agar tidak berteman atau bermajelis dengan mereka.
Diantara dalil hal ini adalah firman Allah di atas:
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am: 68)

Peringatan salaf agar tidak bergaul dengan ahlul bid’ah
Fudhail bin Iyadh t berkata: “Barangsiapa yang duduk bersama ahlul bid’ah, maka hati-hatilah darinya. Barangsiapa yang duduk bersama ahlul bid’ah dia tidak akan diberi hikmah. Aku menginginkan ada benteng dari besi yang memisahkan aku dengan ahlul bid’ah…”
Beliau berkata, “Aku bertemu orang-orang terbaik, dan mereka semua adalah Ahlus Sunnah, semuanya melarang bergaul dengan ahlul bid’ah.”
Al-Imam Ahmad t berkata: “Tidaklah sepantasnya seseorang duduk dengan ahlul bid’ah atau bergaul dengannya, tidak pula punya hubungan dekat dengannya.”
Beliau juga berkata dalam suratnya kepada Musaddad: “Janganlah kamu bermusyawarah dengan ahlul bid’ah dalam perkara agamamu dan janganlah berteman safar dengannya.”
Pembaca yag budiman, demikianlah sikap salaf terhadap ahlul bid’ah. Bukan malah menjadikannya sebagai pimpinan ataupun pembimbing, terlebih dalam masalah ibadah.

Sikap terhadap orang yang bergaul dengan ahlul bid’ah (hizbiyin)
Ibnu Taimiyah t berkata: “Jika pergaulan seseorang adalah dengan orang-orang jelek, maka peringatkanlah orang darinya.”
Yahya bin Sa’id Al-Qaththan berkata: Ketika Sufyan datang ke Bashrah, beliau melihat Rabi’ bin Shubaih serta kedudukannya di sisi manusia. Beliau bertanya, “Bagaimana pemahamannya?” Mereka menjawab, “Pemahamannya adalah Ahlus Sunnah.” Beliau berkata, “Siapa teman-temannya?” Mereka menjawab, “Orang-orang Qadariyyah (pengingkar takdir).” Beliau berkata, “Berarti dia adalah pengingkar taqdir juga.”
Ibnu Baththah t berkata: “Semoga Allah l merahmati Sufyan Ats-Tsauri t. Beliau telah berucap dengan hikmah dan telah benar. Beliau berbicara dengan hikmah dan benar, juga dengan ilmu serta sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah yang dituntut oleh hikmah, dilihat oleh mata, dan dipahami orang yang punya bashirah. Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu.” (Ali ‘Imran: 118)
Abu Dawud As-Sijistani pernah berkata kepada Al-Imam Ahmad, “Aku melihat ada seorang Ahlus Sunnah sedang bersama dengan ahlul bid’ah. Apakah aku tinggalkan bicara dengannya?” Al-Imam Ahmad menjawab, “Jangan. Engkau beritahu dia bahwa orang yang kamu lihat dia bersamanya adalah ahlul bid’ah. Jika dia meninggalkan perbuatannya berbicara dengan ahlul bid’ah tersebut, maka sambunglah hubungan dengannya. Namun jika tetap seperti itu, tinggalkanlah. Ibnu Mas’ud berkata, ‘Seseorang itu sama dengan temannya’.”
Wahai hamba Allah l, janganlah engkau korbankan agamamu untuk dunia dengan berbasa-basi bersama ahlul bid’ah.
Ibnu Taimiyah t berkata: “Jika dia beranggapan baik kepada ahlul bid’ah –mengaku bahwa dia belum tahu keadaan mereka– maka dia diberitahu tentang keadaan mereka. Jika setelah dijelaskan, dia tidak berpisah dengan mereka dan tidak menampakkan pengingkaran terhadap mereka, maka dia digabungkan dan disikapi seperti mereka.”
Bahkan para ulama memerintahkan agar anak-anak pun dijauhkan sejak dini dari ahlul bid’ah. Ibnul Jauzi t berkata: “Takutlah kalian kepada Allah l dari berteman dengan mereka. Wajib untuk mencegah anak-anak dari pergaulan bersama mereka, agar tidak ada pada hati mereka satu kebid’ahan pun. Sibukkanlah mereka dengan hadits-hadits Rasulullah n agar lembut hati mereka.”
Al-Imam Al-Barbahari t berkata: “Jika nampak kepadamu dari seseorang satu kebid’ahan, hati-hatilah darinya. Karena yang dia sembunyikan darimu lebih banyak dari yang ditampakkannya.” (Dinukil dari Lammud Durril Mantsur)
Demikian salafus shalih sangat menjaga diri mereka, anak-anak serta sahabat-sahabat mereka dari kebid’ahan dan ahlul bid’ah.
Muhammad bin Sirin t jika mendengar satu kata dari ahlul bid’ah, dia meletakkan dua telunjuknya di dua telinganya dan berkata. “Tidak halal bagiku berbicara dengannya sampai dia berdiri dari majelisnya.”
Seorang ahlul ahwa (ahlul bid’ah) berkata kepada kepada Ayub As-Sakhtiyani, “Wahai Abu Bakr (yakni Ayub), aku ingin bertanya kepadamu satu kata.” Ayub berkata seraya berisyarat dengan telunjuknya, “Tidak, walaupun setengah kata.”

Salaf menerima berita temannya
Datang Dawud Al-Ashbahani ke Baghdad. Dia berbicara dengan lemah lembut kepada Shalih bin Ahmad bin Hanbal untuk memintakan izin agar bisa bertemu dengan ayahnya (yakni Al-Imam Ahmad bin Hanbal t). Shalih pun datang ke ayahnya dan berkata, “Ada seseorang minta kepadaku agar bisa bertemu denganmu.” Beliau bertanya, “Siapa namanya?” Shalih menjawab, “Dawud.” Beliau bertanya lagi, “Darimana dia?” Shalih khawatir membeberkan jati dirinya kepada Al-Imam Ahmad, namun beliau terus bertanya hingga paham siapa yang ingin berjumpa dengannya. Maka Al-Imam Ahmad berkata, “Muhammad bin Yahya An-Naisaburi telah menulis surat kepadaku tentang orang ini bahwa orang ini berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, maka janganlah dia mendekatiku.” Shalih berkata, “Wahai ayah, dia menafikan dan mengingkari tuduhan ini.” Al-Imam Ahmad berkata, “Muhammad bin Yahya lebih jujur darinya. Jangan izinkan dia masuk kepadaku.”

Efek negatif bermajelis dengan ahlul bid’ah
Duduk bergaul dengan ahlul bid’ah banyak sisi negatifnya dalam masalah agama. Diantaranya:
1.    Orang yang duduk dengan ahlul bid’ah tersebut akan terkena syubhat dan tidak bisa membantahnya, akhirnya dia terjerumus dalam kebid’ahan mereka.
Sufyan Ats-Tsauri t berkata, “Seseorang yang duduk dengan ahlul bid’ah tidak akan selamat dari satu diantara tiga perkara: menjadi fitnah bagi yang lainnya, masuk dalam hatinya kebid’ahan hingga dia tergelincir dengannya, atau dimasukkan oleh Allah l ke dalam neraka …”
Ketika ada orang yang berkata kepada Ibnu Sirin t, “Sesungguhnya fulan (salah seorang ahlul bid’ah, red.) ingin datang dan berbicara denganmu.” Beliau berkata, “Katakan kepadanya, jangan datang kepadaku. Sesungguhnya hati anak Adam itu lemah. Aku khawatir mendengar satu kalimat darinya kemudian hatiku tidak bisa kembali seperti semula.”
2.    Duduk dengan mereka menentang perintah Allah l dan Rasul-Nya serta menyimpang dari jalan sahabat.
Karena Allah l berfirman:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)
3.    Duduk dengan mereka menyebabkan kecintaan kepada mereka
Ibnu Mas’ud z berkata, “Seseorang hanya akan berteman dan berjalan dengan orang yang sejenis dengannya.”
4.    Duduk dengan mereka bermudharat bagi ahli bid’ah itu sendiri
Karena diantara hikmah menjauhi mereka adalah agar jera dan kemudian rujuk (keluar) dari kebid’ahannya. Adanya orang yang dekat dengannya akan menjadi sebab jauhnya dia dari bertaubat, karena merasa jalan yang ditempuhnya adalah kebenaran.
5.    Duduk dengan mereka, menjadi sebab orang lain berburuk sangkanya kepadanya.

Ini hanyalah sebagian dari keburukan yang kita ketahui. Hanya Allah l yang tahu betapa banyak mafsadah yang muncul akibat duduk dan berteman dengan ahlul bid’ah. Mudah-mudahan ini cukup sebagai nasihat bagi orang yang menginginkan keselamatan agamanya. (lihat Mauqif Ahlis Sunnah hal. 550-551)
Beberapa contoh kasus orang yang terjatuh dalam kesesatan karena berteman dengan ahlul bid’ah
Kesimpulannya, berteman dengan ahlul bid’ah adalah bencana yang besar dan bahaya yang menyebar. Karena ahlul bid’ah lebih berbahaya dari orang fasik. Banyak orang yang bergaul dengan ahlul bid’ah dan tidak selamat dari kebid’ahan mereka.
Al-Imam Adz-Dzahabi t berkata –dalam biografi Rawandi–: Dia berteman dengan Rafidhah dan orang-orang menyimpang lainnya. Jika dihukum, dia menjawab, “Aku hanya ingin tahu ucapan-ucapan mereka.” Sampai akhirnya dia pun menjadi mulhid (atheis/penyimpang) dan turun dari dien dan millah (agama) ini.”
Al-Imam Adz-Dzahabi juga berkata –dalam biografi Ibnu Aqil Al-Hanbali– ketika menukil ucapannya, beliau berkata, “Para ulama Hanbali ingin agar aku menjauhi sekelompok ulama, padahal itu menyebabkan aku luput dari sebagian ilmu.”
Al-Imam Adz-Dzahabi mengomentari ucapannya: “Para ulama melarangnya bergaul dengan Mu’tazilah namun dia enggan menerimanya. Akhirnya dia terjatuh dalam jerat mereka dan menjadi lancang dalam menakwil dalil-dalil. Kepada Allah l sajalah kita memohon keselamatan.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 21-25)
Wallahu a’lam bish-shawab.


0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.