-->

29 Agustus 2012

Bahaya yang ditimbulkan akibat kita tidak menghormati para Ulama



1. Menghina ulama akan menyebabkan rusaknya agama

Berkata Al-Imam Ath-Thahawi –rahimahullah- : “Ulama salaf dari kalangan ulama terdahulu, demikian pula para tabi’in, harus disebut dengan kebaikan. Maka siapa yang menyebut mereka dengan selain kebaikan maka dia berada di atas kesesatan”


Berkata Al-Imam Ibnul Mubarak –rahimahullah- : “Siapa yang melecehkan ulama, akan hilang akhiratnya. Siapa yang melecehkan umara’ (pemerintah), akan hilang dunianya. Siapa yang melecehkan teman-temannya, akan hilang kehormatannya”

Dan mencela ulama termasuk diantara dosa-dosa besar.

2. Orang yang menghina ulama sama artinya dia mengumumkan perang kepada Allah.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang wali Alloh yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari -rahimahullah- dari Abu Hurairah –radhiyallohu ‘anhu- :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ – …رواه البخاري

Dari Abu Hurairah”Sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman : ‘Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka sesungguhnya Aku menyatakan perang terhadapnya… [HR. Al Bukhari]

Dan para ulama, mereka adalah termasuk wali-wali Allah.

3. Orang yang menghina ulama sengaja mencampakkan dirinya untuk terkena do’a dari seorang alim yang terzhalimi

Hal ini sebagaimana kisah salah seorang Shahabat yang bermana Sa’ad bin Abi Waqqash –radhiyallohu ‘anhu- dan beliau termasuk salah seorang dari 10 Shahabat yang dijamin dengan Surga.

4. Orang yang mencibir para ulama maka ia akan dijerumuskan kepada apa yang ia tuduhkan kepada ulama itu.

Berkata Ibrahim An-Nakha-i –rahimahullah- “Aku mendapati dalam jiwaku keinginan untuk membicarakan aib seseorang; akan tetapi yang mencegahku dari membicarakannya adalah aku khawatir jika aib orang itu ternyata menimpa diriku”

5. Orang yang merasa lezat dengan meng-ghibah para ulama maka ia akan diberikan su-ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek)

Al-Qadhi Az-Zubaidi, ketika dia meninggal dunia lisannya berubah menjadi hitam, hal ini dikarenakan dia suka mencibir Al-Imam An-Nawawi

6. Daging para ulama itu beracun

Berkata Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullah- : “Daging para ulama itu beracun. Siapa yang menciumnya maka ia akan sakit. Siapa yang memakannya maka ia akan mati.”

7. Mencela ulama merupakan sebab terbesar bagi seseorang untuk terhalangi dari dapat mengambil faidah dari ilmu para ulama.

Berkata Al-Imam Hasan Al-Bashri –rahimahullah- : “Dunia itu seluruhnya gelap, kecuali majelis-majelisnya para ulama.”

8. Dengan dicelanya ulama akan mengakibatkan ulama dijauhkan dari medan dakwah

Sebagaimana hal ini datang dari kalangan harokah (orang-orang pergerakan), mereka memisahkan antara ulama dengan da’i. Mereka menyangka –dengan persangkaan mereka yang bathil- bahwa ulama itu hanya bisa duduk di kursi dan menyampaikan ilmu, akan tetapi mereka tidak memahami realita (fiqhul waqi’). Sedangkan yang memahami waqi’ adalah para da’i yang terjun langsung ke medan dakwah. Sehingga para ulama itu tidak bisa dijadikan rujukan dalam menghadapi peristiwa-peristiwa kekinian, dan yang dijadikan rujukan adalah orang-orang yang mereka anggap sebagai da’i
 beberapa sebab yang menyebabkan manusia tidak menghormati para ulama. Diantaranya:

1. Belajar sendiri (otodidak) atau hanya berguru kepada kitab tanpa mau duduk di majlis para ulama

2. Terlalu tergesa-gesa untuk menjadi da’i sebelum menghasilkan batasan paling rendah dari ilmu dengan alasan untuk berdakwah

3. Sifat sok tahu

4. Terpengaruh oleh kebebasan berpendapat gaya barat. Sehingga menganggap setiap orang boleh berbicara tentang agama menurut akal mereka walaupun tanpa ilmu.

5. Fanatik Hizbi / Fanatik Golongan

Syaikhul Islam berkata : “Tidak boleh menisbatkan diri kepada seorang syaikh atau sebuah kelompok dan memberikan loyalitas di atasnya.”

6. Tidak adanya ketelitian dalam menukil dan menyampaikan khabar tentang ulama
 
Beberapa faidah dari soal-jawab

1. Solusi belajar bagi orang yang “KURANG CERDAS”, jika yang dimaksud adalah

* Kurang faham atau kurang dapat memahami, maka solusinya adalah dengan bertanya kepada guru atau ustadz.

* Lemah dalam hafalan, maka berusahalah semampunya untuk menghafal. Jika telah mencapai batas maksimal kemampuannya dan tidak dapat lebih dari itu, maka sesungguhnya Allah tidak membebani kecuali sekadar kemampuan hamba.

2. Menyikapi perbedaan/perselisihan yang terjadi diantara ulama yang hidup dizaman ini.

Berkata Imam Adz-Dzahabi : “Perselisihan para ulama yang sezaman hendaknya dilipat dan tidak digubris.”

Bagi para penuntut ilmu hendaknya mereka menyibukkan diri dengan belajar dan memperkokoh keilmuan mereka. Jangan tersibukkan dengan perselisihan-perselisihan yang sifatnya ijtihadi dan perkara-perkara fitnah.

3. Cara paling jitu dalam menyikapi media yang menyesatkan, baik media cetak maupun elektronik adalah dengan mengabaikannya, tidak membelinya dan tidak membacanya. Kemudian menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat.

4. Tentang fanatik kepada “Salaf” maka perlu dirinci

*Jika yang dimaksud dengan salaf adalah Nabi –shallallohu ‘alaihi wa sallam- dan para Shahabatnya –radhiyallohu ‘anhum-, maka fanatik kepada mereka adalah wajib. Karena kebenaran ada pada mereka.

*Jika yang dimaksud adalah orang yang menisbatkan kepada salaf/salafiy maka ini tidak boleh, karena orang ini bisa jadi benar dan bisa jadi salah.

5. Cara berguru bagi penuntut ilmu

*Jika ia termasuk penuntut ilmu pemula, maka hendaknya ia mengambil ilmu dari satu guru agar tidak dibingungkan dengan berbagai pendapat-pendapat

*Jika ia termasuk orang yang mulai baik keilmuannya maka hendaknya ia belajar dari beberapa guru agar keilmuannya semakin luas dan pandangannya semakin terbuka.

Karena orang yang hanya berguru kepada seorang guru saja tanpa yang lainnya, maka kemungkinan dia untuk jatuh kedalam fanatisme akan lebih besar.

6. Termasuk akhlaq yang tercela adalah apabila ada seorang penuntut ilmu yang meng-ghibah gurunya karena kesalahan dari gurunya yang diketahui olehnya.

7. Seorang disebut sebagai ulama apabila:

* Menguasai Al-Qur’an
* Memahami hadits, ilmu-ilmunya dan tata cara istinbath
* Memahami cara mentarjih
*Disamping itu ia juga harus menguasai ilmu bahasa arab dan ilmu-ilmu alat lainnya.

Akan tetapi tidak disyaratkan bagi seorang ulama itu harus menghafal alqur’an seluruhnya

8. Menghilangkan sifat malu yang tidak pada tempatnya, yakni malu dalam menuntut ilmu adalah dengan memperhatikan ucapan salaf, “Tidak akan dapat menuntut ilmu, orang yang pemalu (yang berlebihan malunya) dan orang yang sombong”

Kemudian untuk dapat merasakan manisnya ilmu dan menuntut ilmu adalah dengan mengikhlaskan niat dan dengan menjauhi maksiat.

9. Rincian mencela ulama yang sesat

*Ulama sesat tersebut sudah meningal dunia, maka cukup dengan menyebutkan kesesatan-kesesatannya tanpa mencela orangnya. Karena ia akan mendapatkan balasan atas apa yang diperbuatnya di dunia.

*Ulama sesat tersebut masih hidup. Maka harus ditimbang manfaat dan mafsadatnya, mana yang lebih baik, mencelanya atau mendiamkannya. Tapi yang wajib adalah memperingatkan orang dari kesesatan-kesesatannya agar mereka berhati-hati terhadap orang yang memiliki kesesatan tersebut.

10. Termasuk adab adalah mengangkat tangan untuk meminta izin keluar dari majelis untuk suatu keperluan.

11. Syarat meraih kepemimpinan adalah dengan Ilmu yang mendalam dan kesabaran

12. Pernyataan sebagian orang agar hendaknya kita juga melihat kepada pendapat ulama lain, maka harus dirinci:

*Jika yang dimaksud adalah ulama ahlussunnah yang lain, seperti melihat pendapat-pendapat imam-imam madzhab yang empat, maka ini adalah bagus. Karena hal ini dapat memperkokoh ilmu.

*Jika yang dimaksud adalah ulama yang menyimpang dari kalangan pengikut hawa nafsu, maka ini sama sekali tidak perlu. Karena ulama ahlussunnah telah mencukupi.

Allohu A'lam Bishowab.....

Ketika para salaf memahami hal ini maka mereka menghukumi orang yang merendahkan para shahabat adalah orang zindiq dikarenakan akibat yang timbul dari sikap tersebut berupa pelecehan terhadap agama dan penghinaan sunnah pemimpin para rasul
-shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

Dari Mush’ab bin Abdillah berkata: “Abu Abdillah bin Mush’ab Az-Zubairy mengabarkan padaku: Berkata kepadaku Amirul Mukminin Al-Mahdy: “

Wahai Abu Bakr, apa yang kau katakan tentang orang yang merendahakan shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Aku berkata: ” Dia orang zindiq”.

Dia berkata:

“Aku belum pernah dengar seorangpun berkata demikian sebelummu.”

Aku berkata:

“Mereka adalah kaum yang ingin merendahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mereka tidak menemukan seorangpun dari umat ini yang mengikuti mereka dalam hal ini. Maka mereka merendahkan para shahabat di sisi anak-anak mereka, dan mereka di sisi anak-anak mereka, seakan-akan mereka mengatakan:

“Rasulullah ditemani oleh para shahabat yang jelek, betapa jelek orang yang ditemani oleh orantg-orang yang jelek”.

Maka dia berkata:

Tidaklah aku melihat kecuali seperti apa yang engkau katakan.”.

(Tarikh Baghdad: 10/174).

Pertanyaan : Apakah hukum mencela ulama jika sebagian fatwanya menyelisihi ijma’ para ulama ?

Jawaban : Ibnu Daqiqil ’Id berkata mengenai mencela kehormatan seseorang:

“Kehormatan kaum muslimin adalah jurang di antara jurang-jurang nerak
a, yang berdiri di tepinya adalah para ulama dan hakim.”

Maka anda wajib menjaga lisan anda dan menjaga kebaikan-kebaikan yang telah anda peroleh. Jangan anda bagikan pahala dari kebaikan-kebaikanmu kepada fulan dan fulan. Dan bersungguh-sungguhlah menjaga apa yang telah anda kumpulkan itu.

Seandainya anda telah banting tulang dalam sebuah pekerjaan sampai dapat mengumpulkan sejumlah dirham baik ratusan, ribuan atau puluhan ribu.Kemudian anda letakkan uang tersebut di sebuah kotak di dekat pintu (Tanpa ada niat ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla karena mudah diambil orang). Tentu ini merupakan perbuatan bodoh. Apabila kemudian datang anak-anak kecil kemudian mengambilnya, melemparnya dan merobek-robeknya, apa yang dikatakannya kepada anda? Anda akan dikatakan gila. Tidaklah ada orang yang melakukan hal ini melainkan orang gila.

Bagaimanapula jika yang anda dapatkan dengan penuh kelelahan tersebut adalah pahala kebaikan sebagai bekal menuju akhirat? Maka wajib bagimu untuk senantiasa menjaganya.

Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada para sahabatnya yang mulia :

“Apakah kalian mengetahui siapa yang bangkrut ?”. Para sahabat menjawab : “Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki dirham dan harta benda.” Beliau shalallah ‘alaihi wasalam bersabda: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala sholat, puasa, zakat namun dia juga mencaci, menuduh, memakan harta orang lain, menumpahkan darah orang lain, serta memukulnya. Lantas diambillah pahala kebaikan-kebaikannya sebagai bayaran kepada orang yang telah dianiayanya. Apabila telah habis kebaikan-kebaikannya sedangkan kesalahan-kesalahannya belum terbayar, maka diambil dosa-dosa orang yang dianiaya tadi untuk dibebankan kepadanya untuk akhirnya dilemparkan ke dalam neraka.”(HR. Muslim).

Maka wajib bagi kalian untuk menjaga lisan. Bukan karena mereka ulama atau bukan ulama. Apalagi para ulama lebih utama untuk dijaga kehormatannya,karena membicarakan keburukan mereka berarti meremehkan kedudukan ulama. Meremehkan mereka bukan karena fulan atau siapapun,namun meremehkan ulama memiliki efek merugikan yang lebih besar dari selain mereka,karena ulama pada hakikatnya adalah tauladan bagi manusia.

Sumber : Mutiara Faidah Syaikh DR.Abdul KArim Al Khudair hafidzahullah

Demikian juga dikatakan oleh para ulama salaf tentang orang yang mencela ulama dari kalangan tabi’in dan orang-orang setelah mereka.

Al-Imam Ahmad rahimhullah berkata:

“Jika engkau lihat seseorang mencela Hammad bin Salamah maka ragukanla
h keislamannya. Sesungguhnya Hammad sangat keras terhadap ahlul bid’ah.” (As-Siyar: 13/499).

Dan Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata:

“Jika engkau lihat seseorang mencela Hammad bin Salamah dan Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas maka ragukanlah keislamannya.”

( Syarah Ushul ‘Itiqad 1/514 ).

Sesungguhnya salaf tidak hanya melarang dari mencela ulama, bahkan mereka melarang dari meremehkan ulama.

Al-Imam Ibnul Mubarak rahimahullah berkata:

“Keharusan bagi seorang yang berakal untuk tidak meremehkan tiga orang: Ulama, Penguasa dan saudara. Siapa yang meremehkan ulama hancurlah akhiratnya, siapa meremehkan penguasa hancurlah dunianya, dan siapa yang meremehkan saudara hilanglah muru’ahnya.” (As-Siyar: 17/251).

Sumber : Makalah Ust. Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah Pada Kajian Umum Ilmiyah Di PP Al-Ukhuwah Sukoharjo

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.