Ustadz Muhammad Arifin Badri
Dialog kali ini insya Allah akan membahas beberapa permasalahan dan
pertanyaan pada artikel sebelumnya yang diajukan oleh seorang saudara
kita, yaitu Akhi Aris Wahyono yang pernah berkecimpung dan kemudian
bertobat dari LDII. Sungguh betapa banyak syubhat-syubhat yang melilit
para pengikut LDII, dan insya Allah kita akan mencoba menguraikannya
satu persatu. Semoga Allah memudahkan…
***
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan
kepada Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam, keluarga, sahabat dan
seluruh pengikutnya hingga hari qiyamat. Amiin.Menanggapi komentar saudara Aris Wahyono -semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan ketetapan di atas kebenaran kepadanya- maka perlu diketahui bahwa perihal poin (b) yaitu yang berkenaan dengan kewajiban membayar infaq rutin atau persenan sebenarnya adalah tujuan utama dari berbagai propaganda dan doktrin yang diajarkan oleh kelompok LDII. Berbagai doktrin tersebut pada ujung perjalanannya adalah sarana untuk mengeruk harta umat islam dan sekaligus ongkang-ongkang alias nganggur sambil menikmati setoran upeti dari seluruh pengikutnya. Dan pungutan ini bila dimaksudkan sebagai pembayaran zakat, maka kita semua sudah mengetahui tentang berbagai ketentuan dan persyaratan syari’at zakat mal, dimulai dari nishob, haul, jenis harta, jumlah yang harus dibayarkan, serta orang-orang yang berhak menerimanya. Dan iuran rutin yang diajarkan oleh LDII sudah barang tentu tidak memperdulikan semua ini, oleh karena itu mereka hanya mempertimbangkan jumlah kekayaan, tanpa memperdulikan berbagai ketentuan zakat yang telah saya sebutkan di atas dan telah dijabarkan dalam Al Qur’an, yaitu dalam surat At Taubah ayat 60, dan berbagai hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam serta telah dipaparkan dengan gamblang dalam karya-karya ulama islam di sepanjang masa.
Dengan demikian, jelaslah bahwa iuran wajib LDII tersebut bukan zakat, karena dikenakan kepada setiap anggota. Padahal segala pungutan dari setiap muslim yang di luar zakat dan tanpa sebab yang dibenarkan merupakan bentuk pungutan zholim atau semena-mena dan termasuk memakan harta orang lain tanpa alasan yang dibenarkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An Nisa’: 29)
Pungutan-pungutan semacam ini dalam islam disebut dengan “Al Muksu“/upeti. Penarikan upeti dari kaum muslimin diharamkan dalam syari’at Islam. Upeti hanya dibenarkan untuk diambil dari orang-orang ahluz zimmah (orang kafir/ahlul kitab yang tinggal di negeri islam).
Secara khusus Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam telah mengancam para penarik upeti semacam ini dalam sabdanya:
إن صاحب المكس في النار. رواه أحمد والطبراني في الكبير من رواية رويفع بن ثابت رضي الله عنه، وصححه الألباني.
“Sesungguhnya pemungut upeti akan masuk neraka.” (Riwayat Ahmad dan At Thobrany dalam kitab Al Mu’jam Al Kabir dari riwayat sahabat Ruwaifi’ bin Tsabit rodiallahu’anhu, dan hadits ini dishahihkan oleh Al Albany)
Kemudian klaim LDII bahwa yang tidak setor iuran wajib seperti itu atau berusaha mengakalinya akan masuk neraka, maka itu hanya sekedar doktrin kosong dan senjata untuk menakut-nakuti saja. Sebab bila pungutan wajib tersebut selain zakat, maka itu adalah upeti atau dalam bahasa arab disebut dengan Al Muksu. Dan bila itu adalah upeti maka yang diancam masuk neraka adalah pemungutnya dan bukan orang yang dipungut dan enggan membayar, sebagaimana ditegaskan dalam hadits di atas.
Adapun bila itu zakat, maka zakat tidak harus dibayarkan kepada kelompok LDII akan tetapi kepada orang-orang yang berhak menerimanya sebagaimana yang dirinci dalam ayat 60 dari surat At Taubah. Dan dalam konsep kehidupan umat Islam di Indonesia, yang berhak memungut zakat adalah pemerintah yang sah di negeri kita, merekalah yang berkewajiban memungut zakat dari orang-orang kaya, dan kemudian dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Oleh karena itu sahabat Mu’adz bin Jabal rodiallahu’anhu ketika diutus oleh nabi shollallahu’alaihiwasallam untuk berdakwah di daerah Yaman, beliau diwasiati oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dengan sabdanya berikut ini:
إِنَّك تأتي قوماً من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادةُ أن لا إله إلا الله -وفي رواية: إلى أَنْ يوحِّدوا الله- فإِنْ هم أطاعوك لذلك فأعلمهم أَنَّ الله افترض عليهم خمس صلوات في كلِّ يوم وليلة، فإِنْ هم أطاعوك لذلك فأعلمهم أَنَّ الله افترض عليهم صدقةً تُؤْخَذُ من أغنيائهم فتُرَدُّ على فقرائهم، فإِنْ هم أطاعوك لذلك، فإيَّاك وكرائم أموالهم، واتَّق دعوة المظلوم، فإِنَّه ليس بينها وبين الله حجاب . متفق عليه
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum dari ahli kitab, maka hendaknya pertama kali yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah mengucapkan syahadat (la ilaha illallah) -dan menurut riwayat yang lain: mentauhidkan (mengesakan) Allah-, Dan bila mereka menta’atimu dalam hal tersebut, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam, dan bila mereka menta’atimu dalam hal tersebut, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat, yang diambil dari orang-orang kaya dari mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin dari mereka. Dan bila mereka menta’atimu dalam hal tersebut, maka jauhilah olehmu mengambil yang terbaik dari harta mereka (sebagai zakat). Dan takutlah tehadap do’a orang yang dizolimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antaranya dan Allah (untuk di kabulkan do’anya). (Muttafaqun ‘alaih)
Inilah zakat dalam islam, diambil dari orang kaya dan kemudian dibagikan kepada orang-orang miskin dan mustahik lainnya yang telah disebutkan dalam surat At Taubah ayat 60.
Walau demikian bila ada dari umat islam yang ingin membayarkan zakatnya dengan sendiri tanpa melalui pemerintah, maka tidak ada larangan dari yang demikian.
Yang berkenaan dengan kewajiban mengikuti pengajian rutin, maka ini jelas-jelas menyelisihi firman Allah Ta’ala:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ
وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari mereka tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah: 122)
Ulama ahli tafsir dan juga lainnya telah menjabarkan bahwa ilmu itu terbagi menjadi beberapa bagian:
1. Ilmu Wajib atas setiap orang muslim, yaitu ilmu yang menjadi syarat tegaknya agama seseorang, diantaranya ilmu bahwa hanya Allah Ta’ala Yang Berhak diibadahi, ilmu tentang tatacara sholat (walau tanpa harus menghafal dalil setiap gerakan shalat dengan terperinci) tatacara mensucikan najis, berwudhu, berpuasa dll. Diantara dalil yang menjadi dasar kewajiban menuntut ilmu macam ini ialah firman Allah Ta’ala berikut:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada Tuhan Yang Berhak diibadahi selain Allah.” (QS. Muhammad: 19)
Dan juga sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam,
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد . متفق عليه
“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada petunjuknya dari kami, maka amalannya itu ditolak.” (Muttafaqun ‘alaih)
Ulama telah menjelaskan bahwa -berdasarkan hadits ini dan juga dalil-dalil lainnya- salah satu syarat diterimanya suatu amalan ialah bila amalan tersebut sesuai dengan ajaran Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan sunnah beliau.
2. Ilmu yang merupakan fardhu kifayah, yaitu berbagai ilmu agama lainnya yang selain dari ilmu macam pertama, diantaranya mengetahui berbagai perincian ilmu agama dalam berbagai bagiannya dengan disertai dalil-dalinnya. Dan dalil dari ilmu jenis ini ialah ayat 122 dari surat At Taubah di atas.
Oleh karena itu dahulu zaman Nabi shollallahu’alaihiwasallam tidak setiap orang yang telah masuk islam terus menerus duduk belajar dengan beliau atau sahabat beliau, dari mereka akan yang senantiasa menyertai beliau kemanapun beliau pergi dan dari mereka ada yang hanya belajar pertama kali masuk islam, diantaranya buktinya ialah hadits berikut:
عن طلحة بن عبيد الله رضي الله عنه يقول: جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم من أهل نجد ثائر الرأس يسمع دوي صوته، ولا يفقه ما يقول حتى دنا، فإذا هو يسأل عن الإسلام فقال رسول اللهصلى الله عليه و سلم: خمس صلوات في اليوم والليلة. قال: هل علي غيرهن؟ قال: لا إلا أن تطوع. قال: وذكر له رسول الله صلى الله عليه و سلم صيام شهر رمضان. قال: هل علي غيره؟ قال: لا ألا أن تطوع؟ قال: وذكر له رسول الله صلى الله عليه و سلم الصدقة. قال: فهل علي غيرها؟ قال: لا إلا أن تطوع؟ فأدبر الرجل وهو يقول: والله لا أزيد على هذا ولا أنقص. فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم أفلح إن صدق. رواه مسلم وأبو داود وغيرهما.
“Dari sahabat Tholhah bin Ubaidillah rodiallahu’anhu ia menuturkan: Datang seorang lelaki dari daerah Najed kepada Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dalam keadaan rambutnya tidak rapi, terdengar dengungan suaranya, akan tetapi tidak dapat dipahami apa yang ia ucapkan hingga ia mendekat, dan ternyata ia bertanya tentang agama Islam. Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam kemudian bersabda: ‘Shalat lima waktu dalam sehari semalam.’ Sahabat Itu bertanya: ‘Apakah aku wajib melakukan selainnya?’ Rasulullah menjawab: ‘Tidak, kecuali bila engkau hendak melakukan shalat sunnah.’ Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam juga mengajarkan kepadanya tentang puasa bulan Ramadhan, Sahabat Itu bertanya: ‘Apakah aku wajib melakukan selainnya?’ Rasulullah menjawab: ‘Tidak, kecuali bila engkau hendak melakukan puasa sunnah.’ Dan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam mengajarkan kepadanya tentang shadaqah (zakat). Sahabat Itu bertanya: ‘Apakah aku wajib melakukan selainnya?’ Rasulullah menjawab: ‘Tidak, kecuali bila engkau hendak melakukan shadaqah sunnah?’ Kemudian sahabat itu berpaling dan pergi sambil berkata: ‘Sungguh demi Allah aku tidak akan menambah sedikitpun dari amalan-amalan ini dan juga tidak akan menguranginya.’ (Mendengar yang demikian) Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: ‘Ia akan sukses bila ia jujur (dengan ucapannya).’” (Riwayat Muslim, Abu Dawud dll)
Banyak ulama hadits menjelaskan bahwa hadits ini beliau sabdakan sebelum diwajibkannya ibadah Haji.
Sahabat ini hanya belajar ilmu jenis pertama, yaitu ilmu yang merupakan kewajiban atas setiap muslim, dan ternyata Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam telah memberikan kesaksian bahwa bila sahabat ini tetap komitmen dan benar-benar menjalankan ucapannya, maka ia akan sukses/selamat dari neraka.
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam tidak memerintahkan agar sahabat ini kembali lagi ke majlis beliau atau menghadiri majlis ilmu yang ada di sekitar tempat ia tinggal atau dengan cara lainnya. Apalagi sampai mengancamnya dengan siksa neraka karena ia tidak mau belajar, dan tidak menghadiri pengajian. Dengan demikian hadits ini tidak selaras dengan doktrin LDII, yang mewajibkan belajar ngaji setiap minggu beberapa kali.
Bila ada yang bertanya mengapa LDII melakukan ini? Maka jawabannya -menurut hemat saya- doktrin ini hanya sekedar proteksi dan isolasi bagi setiap pengikut agar tidak belajar dan mendengar dari selain gurunya, sehingga tetap buta dan tidak dapat mendengar atau mengkaji ilmu agama dengan cara yang penuh obyektifitas, apalagi membandingkan dengan penjelasan selain kelompoknya.
Mengenai Pernikahan Bithonah adalah salah satu bentuk doktrin LDII yang tidak jelas dan tidak ada dalilnya, sebab pernikahan dalam Islam tidak disyaratkan dihadiri atau dilakukan di hadapan seorang Imam. Oleh karena itu dahulu, Nabi shollallahu’alaihiwasallam kadang kala tidak mengetahui bila salah seorang sahabatnya telah menikah hingga dikabari atau berjumpa dengan sahabat tersebut, sebagaimana kisah berikut:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه و سلم رأي على عبد الرحمن بن عوف أثر صفرة، فقال: ما هذا؟ قال: يا رسول الله إني تزوجت امرأة على وزن نواة من ذهب. قال: فبارك الله لك، أولم ولو بشاة . متفق عليه
“Dari sahabat Anas bin Malik rodiallahu’anhu, bahwasannya pada suatu hari Nabi shollallahu’alaihiwasallam menyaksikan pada diri Abdurrahman bin ‘Auf terdapat bekas minyak Za’faran, maka Beliau bertanya: ‘Apakah ini?’ Sahabat Abdurrahman-pun menjawab: ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku telah menikahi seorang wanita dengan mas kawin berupa emas seberat biji kurma.’ Beliau bersabda: ‘Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepadamu. Buatlah pesta walimah walau hanya dengan menyembelih seekor kambing.’” (Muttafaqun ‘alaih)
Bila Kita hendak sedikit bersikap lugu di hadapan orang-orang LDII, maka kita akan bertanya kepada mereka: Wahai Imam Bithonah, antum semua memuja-muja ilmu mangkul hingga menjadikannya sebagai syarat keabsahan islam seseorang. Nah, dalam penerapannya, ilmu mangkul yang bagaimana dan dari siapa antum semua menjalankan Penikahan Bithonah semacam ini?! Mana dalilnya? Ulama siapa yang mengajarkan nikah bithonah?
Bila Imam Bithonah tidak dapat membuktikan kemangkulan praktek nikah bithonah semacam ini, maka ini membuktikan bahwa ilmu mereka tidak mangkul dan bila tidak mangkul maka tidak sah dst.
Pertanyaan dari seorang yang lugu ini juga dapat diterapkan pada berbagai doktrin mereka:
Mengaji harus tiap minggu: mana ilmu mangkul-nya? Ayat apa, hadits mana? Ucapan ulama siapa? Dst
Mengenai iuran wajib: mana ilmu mangkulnya? Ayat dan haditsnya mana? Dst.
Kemudian anggapan bahwa Islam yang murni telah berpindah dari Makkah dan Madinah? Adalah anggapan yang tidak mangkul apalagi sampai mengklaim bahwa Islam yang murni tersebut sekarang sedang berada di Indonesia. Nyata-nyata suatu hal yang tidak mangkul. Mana dalilnya? Ulama siapa yang menyatakan demikian? Bukankah kata Indonesia tidak ada dalam Al Qur’an, Hadits dan juga karya-karya ulama zaman dahulu, maka bagaimana klaim ini bisa dikatakan mangkul??!! Ini bukti nyata bahwa doktrin mereka bahkan keagamaan mereka tidak mangkul sehingga tidak sah (menurut kaedah LDII) dan tidak benar.
Sebagai salah satu bukti ketidakmangkulan dakwaan ini ialah pernyataan mereka sendiri yang hingga kini masih menganggap Makkah dan Madinah sebagai sumber ilmu agama, sampai-sampai mereka merasa perlu untuk mengutus utusannya yaitu Kholil Asy’ary dan Dawam Habibullah untuk belajar di Makkah, sebagaimana yang dituturkan oleh saudara Aris Wahyono.
Bukan hanya mengutus utusan untuk belajar di Makkah dan Madinah, bahkan keberadaan dua kader LDII ini di Mekkah mereka jadikan sebagai pelet dan pemikat atau propaganda atau sebagai legimitasi akan kemangkulan mereka.
Seharusnya bila mereka mengaku bahwa Islam yang benar dan murni sedang mangkal dan mendekam di Indonesia, maka mengapa mereka melakukan hal tersebut?! Seharusnya mereka merasa terhinakan dan dikhianati dengan adanya dua orang tersebut yang masih menganggap Makkah sebagai sumber ilmu. Harusnya mereka belajar saja di Indonesia ke Imam bithonah mereka atau kepada amir yang mewakili Amir Bithonah mereka. Atau kepada Abdudhahir bin Nurhasan yang sekarang sedang menjabat sebagai pimpinan LDII, sebagai warisan dari bapaknya.
Ataukah Imam Bithonah yang telah mereka bai’at benar-benar seperti yang saya katakan: Imam Batholah (imam pengangguran) yang tidak memiliki ilmu?!
Ataukah…
Fakta ini membuktikan bahwa LDII bingung, membingungkan, muter-muter akhirnya keputer dan keblinger, dan benar-benar tidak mangkul.
Jelas-jelas fakta yang mangkul ini membuktikan bahwa agama mereka tidak mangkul sehingga tidak benar alias sesat. Inilah penerapan kaedah mangkul yang benar, tidak seperti penerapan LDII.
Tapi saya harap para pembaca tidak heran dengan kebingungan kaum LDII dalam menerapkan ilmu mangkul, sebab orang yang merasa telah menguasai ilmu hadits dari mereka semisal Abil Baghda kebingungan nyari dalil untuk menegakkan ilmu mangkul-nya, dan akhirnya hanya bisa mendatangkan qiyas (penyerupaan) dengan ilmu nyopir metromini, makanya ilmunya juga muter-muter kayak metromini hingga akhirnya keblinger. Dan sudah barang tentu penyerupaan ini tidak mangkul, sebab di arab dan pada zaman Nabi shollallahu’alaihiwasallam tidak ada metromini bukankah demikian wahai Abil Baghda??!!
Adapun mengenai Darul Hadits Al Kahiriyyah, maka sekolahan ini didirikan oleh Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah dan sudah barang tentu yang diajarkan serta kitab-kitab yang diajarkan tidak seperti yang didakwakan oleh LDII. Dan diantara staf pengajarnya saat ini ialah Syeikh Muhammad bin Jamil Zaenu, penulis buku: Bimbingan Islam Untuk Pribadi dan Masyarakat, karya beliau ini adalah salah satu bukti nyata yang mendustakan ajaran LDII, dan membuktikan bahwa ilmu mangkul LDII benar-benar tidak mangkul.
Adapun dakwaan bahwa Syeikh Yahya bin Utsman membai’at Imam Bithonah, maka kedustaan ini tidak lebih besar dari kedustaan sebelumnya yang menyatakan bahwa Imam-imam Masjid Haram dan Nabawi membaiat Imam Bithonah, sama-sama bohong di siang bolong.
Menanggapi pertanyaan Abul Baghda: “mana dalil nya islam itu jaya dengan debat ?” Maka saya katakan: pertanyaan ini merupakan salah satu bukti bahwa ilmu mereka tidak mangkul, sehingga ‘ahli hadits muda ini’ tidak tahu bahwa diantara cara berdakwah yang mangkul menurut Al Qur’an atau hadits, atau praktek ulama salaf semenjak zaman dahulu kala hingga zaman kita ini adalah dengan debat yang dilakukan dengan cara-cara yang bijak nan ilmiyyah.
Untuk sedikit mengajari ilmu mangkul kepada saudara Abu Baghda, maka berikut saya sebutkan beberapa dalil yang benar-benar mangkul tentang dibenarkannya memperjuangkan kejayaan Islam melalui perdebatan:
1. Firman Allah Ta’ala:
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (bijak) dan pelajaran yang baik dan debatlah/bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An Nahel: 125)
2. Firman Allah Ta’ala:
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنزِلَ إِلَيْنَا وَأُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang zalim diantara mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu, Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu, dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.” (QS. Al Ankabut: 46)
Kedua ayat ini menganjurkan dan mensyari’atkan perdebatan dalam mendakwahkan kebenaran, tentu kedua ayat ini adalah salah satu bukti bahwa islam dan kebenaran dapat jaya melalui perdebatan yang ilmiyyah dan dengan hati lapang guna mencari kebenaran, sebagaimana dicontohkan oleh Imam As Syafi’i dalam ucapannya berikut:
ما ناظرت أحدا قط إلا أحببت أن يوفق ويسدد ويعان ويكون عليه رعاية من الله وحفظ وما ناظرت أحدا إلا ولم أبال بين الله الحق على لساني أو لسانه. رواه أبو نعيم في حلية العلماء 9/118
“Aku tidak pernah berdebat dengan seseorang melainkan aku suka bila lawan debatku mendapatkan bimbingan, diluruskan dan pertolongan serta mendapatkan perlindungan dan penjagaan dari Allah (sehingga ucapannya benar). Dan aku tidak pernah berdebat dengan seseorang , melainkan aku tidak pernah perduli kebenaran itu Allah tunjukkan melalui lisanku atau lisannya.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam kitabnya Hilyatul Auliya’ 9/118).
Dan dalam Al Qur’an dikisahkan berbagai perdebatan/jidal para Nabi ‘alaihimussalaam dengan kaumnya, sebagai contoh, perdebatan antara Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan Raja Namrud (raja Babilonia) yang dikisahkan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَآجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رِبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِـي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِـي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu kekuasaan (kerajaan). Ketika Ibrahim mengatakan: ‘Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,’ orang itu berkata: ‘Saya dapat menghidupkan dan mematikan,’ Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari arah timur, maka terbitkanlah dari arah barat’, lalu terbungkamlah orang kafir itu, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang dzalim.” (QS. Al Baqarah: 258)
Pada kisah ini, nampak dengan jelas dan gamblang bahwa kebenaran menjadi jaya dan tegak dengan perdebatang yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. (Mungkinkah kisah ini tidak termaktub dalam Al Qur’an anda wahai Abil Baghda?! Ataukah Ayat ini masih disimpan oleh Imam Bithonah anda dan belum sempat diajarkan kepada umat LDII?!)
Dan pada kesempatan ini saya juga jadi penasaran dengan kisah-kisah perdebatan para nabi ‘alaihimussalam lainnya yang dikisahkan dalam Al Qur’an, diantaranya dalam ayat dan surat berikut:
- Ali Imran ayat 64 s/d71, & 183 s/d 184.
- Al Maidah ayat 18.
- Al An’am ayat 74 s/d 83.
- Thaha ayat 47 s/d 75, dan masih banyak sekali kisah-kisah perdebatan antara para Nabi ‘alaihimusslamam dengan umatnya. Mungkinkah ayat-ayat yang mengisahkan kisah-kisah ini belum disampaikan oleh Imam Bithonah kepada umatnya, terutama kepada ‘muhaddits muda’ Abil Baghda, sehingga ia bertanya: “mana dalil nya islam itu jaya dengan debat ?” Hingga saat ini saya belum mendapatkan jawaban yang tegas dari kaum LDII: Apakah Al Qur’an yang diimani oleh LDII berbeda dengan yang ada di masyarakat/kaum muslimin selain LDII?, sehingga ‘Ahli Hadits Muda’ Abul baghda tidak bisa mendapatkan ayat yang mensyari’atkan berdakwah melalui perdebatan dengan cara-cara yang bijak??
Dan berikut contoh perdebatan Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan salah seorang sahabatnya dalam hal perzinaan:
عن أبي أمامة رضي الله عنه قال : إن فتى شابا أتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال : يا رسول الله ! ائذن لي بالزنى. فأقبل القوم عليه فزجروه وقالوا مه مه ! فقال : ادنه. فدنا منه قريبا. قال: فجلس. قال: أتحبه لأمك ؟ قال : لا والله، جعلني الله فداك . قال : ولا الناس يحبونه لأمهاتهم . قال: أفتحبه لابنتك ؟ قال : لا والله يا رسول الله ! جعلني الله فداك . قال : ولا الناس يحبونه لبناتهم . قال أتحبه لأختك ؟ قال: لا والله جعلني الله فداك. قال: ولا الناس يحبونه لأخواتهم . قال أتحبه لعمتك ؟ قال : لا والله جعلني الله فداك . قال: ولا الناس يحبونه لعماتهم . قال أتحبه لخالتك ؟ قال : لا والله جعلني الله فداك . قال: ولا الناس يحبونه لخالاتهم . قال: فوضع يده عليه وقال : اللهم اغفر ذنبه وطهر قلبه وحصن فرجه . فلم يكن بعد ذلك الفتى يلتفت إلى شيء. رواه أحمد والطبراني والبيهقي وصححه الألباني
“Dari sahabat Abu Umamah rodiallahu’anhu, ia mengisahkan: Ada seorang pemuda yang datang kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam lalu ia berkata: ‘Wahai Rasulullah! Izinkanlah aku untuk berzina.’ Maka spontan seluruh sahabat yang hadir menoleh kepadanya dan menghardiknya, sambil berkata kepadanya: ‘Apa-apaan ini!’ Kemudian Rasulullah bersabda kepadanya: ‘Mendekatlah,’ maka pemuda itu pun mendekat ke sebelah beliau, lalu ia duduk. Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam kemudian bersabda kepadanya: ‘Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa ibumu?’ Pemuda itu menjawab: ‘Tidak, sungguh demi Allah. Semoga aku menjadi tebusanmu.’ Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: ‘Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa ibu-ibu mereka.’ Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam kembali bertanya: ‘Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa anak gadismu?’ Ia menjawab: ‘Tidak, sungguh demi Allah. Semoga aku menjadi tebusanmu,’ Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menimpalinya: ‘Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa anak gadis mereka.’ Kemudian beliau bertanya lagi: ‘Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudarimu?’ Ia menjawab: ‘Tidak, sungguh demi Allah. Semoga aku menjadi tebusanmu.’ Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menimpalinya: ‘Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari mereka.’ Rasulullah kembali bertanya: ‘Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ayahmu?’ Ia menjawab: ‘Tidak, sungguh demi Allah. Semoga aku menjadi tebusanmu.’ Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menimpalinya: ‘Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ayah mereka.’ Rasulullah kembali bertanya: ‘Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ibumu?’ Ia menjawab: ‘Tidak, sungguh demi Allah. Semoga aku menjadi tebusanmu.’ Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menimpalinya: ‘Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ibu mereka.’ Kemudian Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut, lalu berdoa: ‘Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan lindungilah kemaluannya.’ Maka semenjak hari itu, pemuda tersebut tidak pernah menoleh ke sesuatu hal (tidak pernah memiliki keinginan untuk berbuat serong).” (Riwayat Ahmad, At Thabrani, Al Baihaqy dan dishahihkan oleh Al Albany)
Pada diskusi antara Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dengan pemuda tersebut nampak dengan jelas bahwa kebenaran hukum Allah Ta’ala dalam hal perzinaan tegak dan berjaya. Bukankah demikian wahai Abil Baghda?! (Mungkinkah ilmu mangkul ini tidak ada dalam kamus atau ensiklopedi Imam Bithonah anda?! Bila belum atau tidak ada maka tambahkan sekarang juga agar tidak ketinggalan zaman dan kadaluwarsa)
Dan salah satu contoh tegaknya kebenaran melalui perdebatan yang dilakukan dengan himmah dan bijak, ialah kisah berikut:
Ibnu Abbas mengkisahkan kisah perdebatannya dengan orang-orang khowarij, beliau berkata: “Tatkala orang-orang haruriyyah (khowarij) telah bermunculan, mereka memisahkan diri dari kaum muslimin dengan berkumpul di daerah mereka, dan jumlah mereka adalah enam ribu orang, maka aku berkata kepada Ali bin Abi Tholib radliallahu ‘anhu: ‘Wahai Amirul mikminin, aku mohon engkau menunda pelaksanaan sholat dluhur, karena aku hendak mendatangi mereka dan menasehati mereka.’ Maka Ali berkata: ‘Aku takut atas dirimu.’ Aku menjawab: ‘Tidak akan terjadi apa-apa.’ Lalu aku berangkat menuju kepada mereka, dan mendatangi mereka pada saat pertengahan hari, sedangkan mereka sedang tidur siang, lalu aku mengucapkan salam kepada mereka, dan mereka pun spontan menjawab: ‘Selamat datang, kami ucapkan untukmu, wahai Ibnu Abbas, apakah yang menjadikanmu datang kemari?’ Aku berkata kepada mereka: ‘Aku datang kepada kalian dari sisi para sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan menantunya, atas merekalah Al Qur’an diturunkan, sehingga mereka lebih tahu daripada kalian tentang tafsirnya, sedangkan tidak seorang pun diantara kalian yang tergolong dari mereka (sahabat), sungguh aku akan menyampaikan kepada kalian apa yang sebenarnya mereka katakan/yakini, dan hendaknya kalian pun menyampaikan apa yang kalian katakan/yakini.’ Lalu aku berkata kepada mereka: ‘Apakah yang kalian benci dari sahabat Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan anak pamannya?’ Mereka menjawab: ‘Ada tiga hal.’ Aku berkata: ‘Apakah itu?’ Mereka menjawab: ‘Adapun yang pertama: karena ia (Ali bin Abi Tholib) telah menjadikan seorang manusia sebagai hakim (berhakim) dalam urusan Allah, padahal Allah telah berfirman:
إن الحكم إلا لله
Artinya: “Tiadalah hukum/keputusan, kecuali hukum Allah.” (QS. Yusuf: 67) apa urusan manusia dalam hukum Allah?’ ………Aku berkata kepada mereka: ‘Adapun anggapan kalian, bahwa Ali telah berhakim kepada seorang manusia dalam urusan Allah, maka aku akan membacakan kepada kalian ayat dari Al Qur’an, yang menyatakan bahwa Allah telah menyerahkan hukumnya kepada manusia dalam urusan yang berharga seperempat dirham, dan Allah memerintakan agar mereka memutuskan dalam urusan tersebut, Allah berfirman:
يا أيها الذين آمنوا لا تقتلوا الصيد وأنتم حرم ومن قتله منكم متعمدا فجزاء مثل ما قتل من النعم يحكم به ذوا عدل منكم
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan, sedangkan kalian dalan keadaan berihram. Dan barang siapa yang dengan sengaja membunuhnya, maka hukumanya adalah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan binatang buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang adil diantara kalian.” (Al Maidah: 95), maka atas nama Allah Ta’ala, apakah keputusan manusia dalam seekor kelinci dan yang serupa dari binatang buruan lebih utama? Ataukah keputusan mereka dalam urusan pertumpahan darah dan perdamaian diantara mereka, sedangkan kalian tahu, bahwa seandainya Allah menghendaki, niscaya Ia akan memutuskan, dan tidak perlu menyerahkan keputusan (hukuman pembunuh binatang buruan dalam keadaan berihram) kepada manusia?’ Mereka menjawab: ‘Tentu keputusan dalam hal pertumpahan darah dan perdamaian lebih utama.’ -Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya- Dan dalam urusan seorang istri dengan suaminya, Allah Azza wa Jalla berfirman:
وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما
Artinya: “Dan bila kalian kawatir ada persengketan antara keduanya, maka utuslah seorang hakim dari keluarga laki-laki (suami) dan seorang hakim dari keluarga wanita (istri). Jika keduanya menghendaki perbaikan, niscaya Allah memberikan taufiq kepada keduanya.” (QS. An Nisa’: 35). Maka, atas nama Allah, apakah keputusan manusia dalam urusan perdamaian antara mereka dan mencegah terjadinya pertumpahan darah diantara mereka lebih utama ataukah, keputusan mereka dalam urusan seorang wanita? Apakah aku sudah berhasil menjawab tuduhan kalian?’ Mereka menjawab: ‘Ya.’ Kemudian dari mereka bertaubatlah sebanyak dua ribu orang sedangkan sisanya terbunuh dalam kesesatan.” (Riwayat At Thabrani, Al Hakim, Al Baihaqi dll)
Pada kesempatan ini saya ingin bertanya kepada kaum LDII secara umum dan kepada saudara Abil Baghda secara khusus: “Kemanakah kedua ayat di atas dari kalian?! Apakah kedua ayat tersebut tidak termaktub dalam Al Qur’an yang dimangkulkan oleh Imam Bithonah yang telah anda bai’at? Mungkinkah Imam Mangkul anda telah membaiat anda untuk tidak mengakui ayat-ayat ini?
Saudara Abil Baghda, makanya belajarlah ilmu mangkul yang benar, dan jangan malah belajar ilmu mangkul ala sopir metro mini! (maaf kan anda sendiri yang menjadikan ilmu nyopir metro mini sebagai dalil)
Dan pada kesempatan ini saya ingin sedikit menegaskan lagi bahwa ilmu-ilmu yang -segala puji hanya milik Allah- telah diwariskan oleh para ulama’ dan diabadikan dalam karya-karya ilmiyyah mereka, semuanya adalah hak setiap orang muslim untuk mempelajarinya, tidak satupun dari mereka yang mensyaratkan suatu persyaratan tertentu bagi yang ingin membaca karya mereka. Bahkan Imam As Syafi’i -sebagaimana yang dikisahkan oleh muridnya Rabi’ bin Sulaiman- dengan tegas mengatakan:
قال ربيع بن سليمان: دخلت على الشافعي وهو عليل فسأل عن أصحابنا وقال يا بني لوددت أن الخلق كلهم تعلموا يريد كتبه ولا ينسب إلي منه شيء. رواه أبو نعيم في حلية الأولياء 9/118
“Rabi’ bin Sulaiman mengisahkan: Aku menjenguk As Syafi’i di saat beliau sedang sakit, kemudian beliau menanyakan perihal sahabat-sahabat kami, lantas berkata kepadaku: Wahai nak, aku berangan-angan seandainya seluruh manusia mempelajari karya-karyaku, dan mereka tidak menisbatkan sedikitpun dari karya-karya itu kepadaku.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitabnya Hilyatul Auliya’ 9/118).
Sehingga tuduhan mencuri ilmu sebagaimana yang didoktrinkan oleh Imam Bithonah (silahkan baca komentar saudara Rohmanudin yang dimuat pada akhir artikel sebelumnya) LDII tidak ada makna dan dasarnya, bahkan merupakan tuduhan palsu dan dusta. Doktrin itu hanya berfungsi membodohi umat LDII dan pengikutnya, sampai-sampai ‘ahli hadits muda’ LDII, yaitu saudara Abil Baghda tidak tahu kalau dalam Al Qur’an, hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam serta tauladan ulama salaf ada dalil, bahkan banyak dalil yang mensyari’atkan perdebatan/jidal guna menegakkan kebenaran, dan meruntuhkan dinasti kesesatan. Bila demikian halnya ahli hadits dari kalangan LDII, maka tidak heran bila orang-orang awam dari kalangan LDII benar-benar buta akan kebenaran.
Dan bila demikian halnya, maka saya dengan amat bangga dan amat bersyukur dan akan senantiasa bersyukur -insya Allah- kepada Allah Ta’ala yang telah melindungi saya dari berguru kepada ahli hadits atau guru ngaji dari kalangan LDII semacam saudara kita yang satu ini, yaitu Abil Baghda. Dan Pada kesempatan ini juga saya dengan bangga dan sadar telah mendapat kenikmatan yang amat besar karena diberi kesempatan untuk menimba ilmu di kota Madinah, kota Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam yang merupakan sumber ilmu dari zaman dahulu hingga zaman sekarang, dan bukan mengais ilmu di negeri antah berantah yang dipimpin oleh Imam Bithonah.
Pada akhirnya saya mohon maaf bila ada kata-kata saya yang kurang berkenan di hati pembaca, atau kesalahan saya, semoga Allah mengampuni itu semua dan saya yakin itu semua adalah kekurangan saya dan kesalahan saya. Dan semoga Allah melindungi kita dari kesesatan dan dari guru ngaji yang telah hanyut oleh hawa dan fanatis golongan.
اللهم يا مقلب القلوب ثبت قلوبنا على دينك
“Wahai Dzat Yang membolak-balikkan jantung, tetapkanlah jantung kami di atas agama-Mu…
Wallahu a’alam bisshawab
0 komentar:
Posting Komentar