Kalau mereka mau memahami satu saja dari hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam yang shahih dari sekian banyak hadits, maka mereka akan
sadar bahwa do’a dan dzikir itu dilaksanakan dengan cara sembunyi dan
suara perlahan. Dalam hadits tujuh golongan yang akan dilindungi Allah
Subhanahu Wa Ta'ala pada hari Kiamat, diantaranya nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam menyebutkan :
“… seorang yang berdzikir kepada
Allah dalam keadaan sepi/ sendiri, lalu mengalirkan air mata…” (HR.
Al-Bukhari no.660 – Fat-hul Baari II/143 dan Muslim no. 1031. Lihat
Riyaadhush Shaalihiin no. 376).
Allah Subhanahu Wa Ta'ala
berfirman: “Berdo’alah kepada Rabb-mu dengan berendah diri dan suara
yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui
batas.” (QS. Al-A’raaf: 55)
Dalam sebuah hadits dari Abu Musa
al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Orang – orang mengangkat
suaranya ketika bertakbir dan bedo’a, kemudian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Hai sekalian manusia, kasihanilah diri
kalian, sesungguhnya kalian tidak berdo’a kepada Rabb yang tuli dan
tidak juga jauh. Sesungguhnya kalian berdo’a kepada Rabb Yang
Mahamendengar lagi Mahadekat, dan Dia bersama kalian”.” (HR. Al-Bukhari
no.2992, 4220, 6384, 6610, 7386, Muslim no. 2704 dan Ahmad IV/402 dari
Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu).
Seperti Nabi Zakariya ‘alaihissalam beliau berdo’a dengan suara yang lembut :
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: “ Yaitu ketika ia berdo’a kepada Rabb-nya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 3)
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: “Dan sebutlah (Nama) Rabb-mu dalam
hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak
mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk
orang – orang yang lalai.” (QS. Al-A’raaf: 205)
Ada satu riwayat
yang shahih bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu (wafat tahun
32 H) ‘(‘Abdullah bin Mas’ud, kun-yahnya Abu ‘Abdirrahman. Ia seorang
ulama dari kalangan Sahabat yang pintar, faham Kitabullah, faqih tentang
agama dan alim tentang Sunnah. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ I/461-499
oleh Imam adz-Dzahabi)’ pernah melihat satu kaum di masjid, mereka
membuat beberapa halaqah (kelompok), setiap halaqah ada seorang yang
memimpin dan di tangan mereka ada biji-bijian tasbih, lalu (si pemimpin)
berkata: “Bertakbirlah seratus kali,” dan mereka bertakbir seratus
kali, lalu berkata: “Bertahlillah (ucapkan: Laa Ilaaha illallaah)
seratus kali,” dan mereka bertahlil seratus kali, kemudian berkata:
“Bertasbihlah (ucapkan: Subhaanallaah) seratus kali,” dan mereka
bertasbih seratus kali.
Kemudian ‘Abdullah bin Mas’ud mendatangi
halaqah-halaqah dzikir tersebut, lalu berkata: “Apa yang kalian
lakukan?” Jawab mereka: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, (ini adalah) batu
kerikil (biji-bijian tasbih) yang kami pakai untuk menghitung tahlil dan
tasbih.” ‘Abdullah bin Mas’ud berkata: “Hitunglah kejelekan dan
kesalahan-kesalahan kalian, aku jamin tidak akan hilang
kebaikan-kebaikan kalian. Celakalah kalian wahai ummat Muhammad,
alangkah cepatnya kebinasaan kalian, mereka Sahabat-Sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak yang masih hidup, ini pakaiannya
belum rusak dan bejananya belum hancur, demi Rabb yang jiwaku ada di
tangan-Nya, apakah kalian merasa lebih baik dari agama Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam, atau kalian membuka pintu kesesatan?”
Mereka berkata: “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdirrahman, kami tidak
menginginkan kecuali kebaikan!” Beliau berkata: “Betapa banyak orang
yang menginginkan kebaikan tapi tidak benar caranya! Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Nanti akan ada satu
kaum yang membaca al-Qur’an tidak melewati tenggorokan mereka!” (Lanjut
Ibnu Mas’ud) : “Demi Allah, aku melihat apa yang disabdakan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut kebanyakan (adalah) dari kalian.”
(Lihat riwayat lengkapnya dalam Sunan ad-Darimi I/68-69, Silsilah
al-Ahaadiits ash-Shahihah no. 2005).
Riwayat ini banyak sekali manfaatnya, di antaranya:
- ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu mengingkari cara berdzikir
dengan berjama’ah meskipun niatnya baik, karena hal ini merupakan
sesuatu yang bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan meskipun
dianggap baik oleh orang banyak.
- Yang menjadi tolok ukur dalam
beragama bukanlah banyaknya ibadah, tetapi ibadah itu sesuai dengan
Sunnah atau tidak? Dan setiap orang harus menjauhkan bid’ah, karena
bid’ah akan membawa kesesatan.
- Bahwa pemahaman para Sahabat
ridhwanullah ‘Alaihim ajma’iin adalah hujjah. Kalau seandainya dzikir
secara berjama’ah itu baik, maka para Sahabat sudah melakukannya.
Dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih,
tidak ada satupun riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
memimpin majelis dzikir berjama’ah bersama para Sahabat, baik sesudah
shalat lima waktu maupun pada kesempatan lainnya. Yang ada, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan al-Qur’an, lafazh dan maknanya
kepada para Sahabat, dan mengajarkan sunnah-sunnah, mengajarkan tauhid,
bagaimana beribadah kepada Allah dengan benar, menjauhkan syirik,
mengajarkan shalat, akhlak, adab-adab Islam, hukum-hukum halal dan haram
dan lainnya.
Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah (wafat tahun 597
H) berkata: “Iblis telah menyesatkan kebanyakan dari orang awam dengan
menghadiri majelis – majelis dzikir dan mereka sengaja menangis…
Sesungguhnya aku mengetahui, banyak sekali orang yang hadir di majelis
tersebut bertahun – tahun, menangis, berpura – pura khusyu’, tetapi
keadaan mereka tidak berubah sedikitpun juga, mereka masih tetap
bermuamalah dengan riba (rentenir/ lintah darat), menipu dalam jual
beli, tidak tahu tentang rukun shalat ‘(Banyak yang tidak tahu tentang
tata cara shalat, dari mulai takbir sampai salam, bahkan sangat banyak
yang tidak tahu tentang makna syahadatain, tauhid Uluhiyyah, Ama’ul wash
Shifat dan konsekuensinya. Allahul Musta’aan)’, selalu ghibah
(membicarakan ‘aib kaum Muslimin) dan durhaka kepada kedua orang tua.
Mereka adalah orang – orang yang terkena perangkap iblis (syaitan), aku
melihat bahwa mereka menyangka bahwa hadir di majelis dzikir tersebut
dan menangis akan menghapus dosa-dosa yang mereka lakukan?!” (Lihat,
al-Muntaqa an-Nafiss min Talbiss Ibliss lil Imam Ibnil Jauzi hal. 542
oleh Syaikh ‘Ali Hasan‘Ali’Abdul Hamid cet. I Daar Ibnil Jauzi 1410 H).
Oleh karena itu, majelis ilmu dikatakan majelis dzikir. Allah Subhanahu
Wa Ta'ala memerintahkan kita bertanya kepada ahludz dzikir .
“ Maka bertanyalah kepada ahludz dzikir (ahli ilmu/ulama) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Keutamaan orang yang
bearilmu atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama atas bintang –
bintang lainnya.” (HR. Ahmad V/196, at-Tirmidzi no.2682, Sunan Ibni
Majah no. 223 dari Sahabat Abud Darda’ radhiyallahu 'anhu. Lihat Shahiih
al-Jaami’ish Shaghiir no.6297)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Keutamaan ilmu lebih aku sukai/cintai daripada
keutamaan ibadah, dan sebaik-baik agama kalian adalah al-Wara’.” (HR.
Al-Hakim I/92, Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 4214)
Do’a dan dzikir adalah ibadah, sedangkan syarat diterimanya ibadah ada dua:
1. Ikhlas (semata-mata karena Allah), menjauhkan syirik besar dan syirik kecil (riya’)
2. Ittiba’ (sesuai dengan contoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam)
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala selalu melimpahkan shalawat dan salam
serta barakah-Nya yang melimpah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wasallam keluarganya dan para Sahabatnya ridhwanullah ‘Alaihim ajma’iin
Disadur dan diringkas dari Buku Do’a & Wirid (Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas)
Posted in: Do'a Dan Dzikir
0 komentar:
Posting Komentar